Sabtu, 04 Februari 2006

"Ketika dunia tak lagi bersahabat"

Uang bukanlah segalanya. tapi untuk mendapatkan segala-galanya memerlukan uang. kata itu bukan pertama kali kudengar, memang ada benarnya juga, tapi tidaklah mutlak. sebab ada hal-hal yang tidak dapat dibeli dengan uang; cinta. tapi kali ini aku sedang tidak ingin bercerita tentang cinta, terlalu sempit waktu yang kupunya untuk mengupas sisi-sisi cinta dalam sudut pandangku.

siang tadi, seorang perempuan berusia lima puluhan lebih masuk ke mushola di fakultasku. penampilannya terlihat rapi dan apik, tak ada tanda-tanda dia seorang pengemis ataupun apapun julukannya. setelah menyalamiku dan seorang temanku perempuan itupun berlalu. tujuannya adalah kepada sekelompok mahasiswa yang sedang mentoring disudut mushola. barangkalai ada keperluan apa..begitu batinku saat itu.

melihat perempuan itu sangat serius berbicara, akupun terpancing untuk menyimak pembicaraan mereka meski tak terlalu jelas. belakangan ku ketahui ia sedang dalam kesulitan. perempuan itu mengaku telah tiga hari berada di banda aceh dan terkatung-katugn karena tidak ada ongkos pulang ke kampung halamannya ditapak tuan. bisa ditebak, ia sedang berusaha untuk mendapatkannya.

entah mengapa, usilku kumat. aku tanya ini dan itu sebelum menyerahkan sedikit uang dan berharap agar uang itu bermanfaat untuknya. kutanya dimana dia menginap dan ia mengaku tidur di terminal. herannya lagi, dia juga tidak tahu kalau anaknya yang bertugas di Mata Ie telah lama pindah ke Tapak Tuan, dan anaknya sama sekali tidak memberitahukan perihal kepindahannya. keanehan lainnya, menurutku bukan itu saja, perempuan itu mengaku berasal dari pulau jawa tapi sama sekali tak ada tanda-tanda kalau dia berasal dari sana, dari logat bicaranya barangkali.

aku jadi teringat dengan bocah kecil yang meminta paksa kepada orang-orang yang ditemuinya. berbeda dengan anak-anak yang lain, bocah ini memang memiliki keberanian lebih, yaitu langsung menyerobot kantong orang yang dimintainya, dan sebagai imbalannya dia tak segan-segan untuk memberikan kecupan manis di pipi korbannya(laki-laki).

akhir-akhir ini, fenomena seperti diatas bukan lagi hal langka yang harus ditemui di tempat-tempat tertentu. bukan hanya di perempatan jalan atau di traffict light saja tapi juga sudah merambah ke tempat-tempat lain yang dianggap strategis seperti kampus. ada yang menjalankannya karena memang terpaksa dan ada juga yang suka-suka, dalam artian dia masih memungkinkan untuk melakukan perkerjaan lain karena fisiknya sempurna dan sehat walafiat. dan bisa jadi penghasilannya lebih besar dan tentunya kehalalannya terjamin seratus persen.

barangkali dunia sudah semakin tak bersahabat untuk mereka. entahlah. yang pasti setiap hari semakin bertambah saja profesi seperti itu. bahkan untuk anak-anak usia sekolah yang mestinya tak perlu disibukkan dengan kelelahan seperti itu guna mencari nafkah membantu orang tuanya. bahkan aku pernah membaca sebuah tulisan yang menggambarkan bagaimana pedihnya kehidupan di jakarta. ada yang jadi preman, pengemis dan yang parah adalah dengan menjadi pura-pura gila. alasannya sederhana saja, dengan menjadi pura-pura gila semuanya serba mudah didapat, makan gratis dan tidak perlu nyari uang cukup dengan menadahkan tangan saja.

terlepas dari itu semua, urusan kita adalah memberi. dan tidak mengkait-kaitkan apa latar belakangnya meminta-minta. tapi bukannya selesai setelah itu. kalau setelah memberi lantas mulut tak pernah berhenti mencerca lebih baik urungkan saja niat itu. dan lebih baik untuk tidak memberi katrena hanya melahirkan kesia-siaan. hanya diperlukan sedikit keihklasan bagi setiap kita. agar tak ada kemubaziran dan tak ada yang sia-sia. sebab hisup bukanlah untuk sebuah kesia-siaan.(ihan's)
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)