Sabtu, 20 Mei 2006

"Parade masa kecil"

cerita masa kanak-kanak yang masih terekam jelas sampai detik ini, dimana kami berlari, dimana kami bersembunyi, dimana kami bermain petak umpet yang ujung-ujungnya dimarahi oleh guru ngaji yang tak lain adalah nenekku sendiri. dimarahi bukan karena kami bermain petak umpet tetapi karena bunga teh-tehannya yang berfungsi sebagai pagar halaman babak belur karena kami jadikan tempat persembunyian, kami, para bocah-bocah nakal hanya bisa tertawa geli, besoknya begitu lagi.

meski saat ini bayangan tentang desa kecil itu masih melekat dengan kental, tetapi menikmatinya tidak lagi seleluasa dulu. lekuk-lekuk desa tak bisa kujelajahi setiap jengkalnya apalagi sekedar untuk mencium bau tanahnya, rerimbunan pohon atau kicau burung yang tak ubahnya bagai alarm kehidupan. mungkin juga bukit kecil itu sudah menjadi belantara hutan karet yang tidak terurus, bukit itu namanya Lhok Jeuruweng, menyimpan seribu romansa masa kecil yang tidak akan pernah pupus dimakan usia. masih ingat sekalu aku bagaimana dulu diatas bukit ini kami bermain perosotan dengan menggunakan pelepah kelapa, meluncur tidak ubahnya seperti papan ski yang meluncur diatas salju, setelah itu naik lagi ke puncak bukit, melihat-lihat pemandangan yang indah sebentar lalu meluncur lagi kebawah, begitu seterusnya, membayangnkannya saat ini sudah membuatku lelah dan terengah-engah tapi waktu itu semua itu entah ada dimana.

hampir enam tahun aku tidak bisa menikmati lekukan tubuh desa kecil bernama padang petua ali ini, apalagi mencium aroma tanah basahnya dan lumpur lumpur becek di ruas jalannya, rerimbunan pepohonan dan kicau burung yang tak ubahnya bagai alarm kehidupan. semuanya telah berubah, berganti dengan ketakutan dan kengerian. tawa-tawa bocah teman sepermainanku berakhir dengan bibir mengatup rapat dan air mata yang mengalir namun tanpa suara, bukit itu...yang dulu menyimpan seribu pesona kini tidak ubahnya seprti mangkuk kengerian yang tidak segan segan menumpahkan isinya dan membuat orang orang tak berani lagi memandanginya.


entahlah...sempat juga terfikirkan, mengapa semua ini cepat sekali terjadi. tapi..barangkali inilah yang dinamakan takdir, tidak seorangpun bisa mencegahnya. tangan-tangan kecil dulu kini telah menjadi besar dan bertebaran dimana-mana, bahkan dalam mimpi pun aku tidak pernah menyalami mereka lagi, bukankah lebih baik begitu? daripada setiap kali memikirkan mereka yang ada hanya bayangan asap-asap yang mengepul namun bukan dari sudut dapur melainkan dari rumah-rumah yang terbakar, ketakutan-ketakutan disuatu malam diakhi kelulusan SLTP ku. ketika paman dan bibi ku lari entah kemana karena ketakutan.

dan aku menangis sesenggukan di pelukan ayah, karena saat itu ibu tidak ada dirumah. bagaimanakah bocah bocah lain yang tidak punya dua tangan kekar orang tuanya untuk memeluk mereka disaat ketakutan seperti itu?
teman kecilku...dimana kalian? apa kalian juga serign merindukan bukit kecil itu???tempat kita meluncur bersama dan menggembala? dan aku selalu berharap suatu saat kita bisa bertemu kembali.

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)