Jumat, 30 Juni 2006

"Ayah Mu Kekasih Ku"

“Tidak salah menyayangi orang yang sudah berkeluarga, tapi jangan biarkan hatimu sampai mencintainya”

Kata-kata itulah yang sedari tadi diingat-ingat oleh Sulung, dimana ia pernah membacanya. Apakah dalam cerita-cerita yang ada dimajalahnya atau disalah artikel yang ada di surat kabar, entahlah gadis itu tak dapat mengingatnya dengan pasti. Yang jelas bundelan majalahnya telah ditelusuri lembar demi lembarnya namun ia sama sekali tidak menemukan penggalan kalimat tersebut.

Sulung sepertinya mulai lelah, beberapa butir peluh telah bertengger dengan manis di pelipisnya. Gadis itu menyandarkan punggungnya ke dinding dan meraih sebotol air mineral yang terletak tidak jauh dari tempatnya duduk.ia meneguknya beberapa tegukan. Ia mencoba mengerahkan seluruh ingatannya dan mencoba mengingat kembali dimana ia pernah membaca penggalan kalimat tersebut. Tetapi percuma ia sama sekali tak dapat mengingatnya dengan baik. Merasa yang dicarinya tak diketemukan ia bergegas merapikan majalahnya dan beberapa surat kabar nasional.

Entah mengapa ia menjadi sangat peduli dengan kalimat itu sekarang, padahal dulu ia mengabaikannya begitu saja. Hanya menganggapnya angina lalu. Apakah karena semuanya mirip dengan apa yang dialami gadis berambut panjang itu, hanya Sulung yang tahu dengan pasti. Masih sambil bersandar Sulung meraih hand phonenya dan membuka folder kotak masuk dari seseorang.

“Barangkali ada diantara sms-sms ini…” desisnya.
Diantara sekian banyak pesan yang ada di folder tersebut ternyata tidak satupun yang isinya menyerupai itu, jangankan dibilang sama. Sulung mulai letih dan kecewa. Ia tampak begitu risau meski sesekali ia tersenyum karena pesan yang isinya menggelitik kalbu. Matanya menerawang. Mungkin membayangkan sosok tersebut.

“Duh…” ia menghela nafas. Berat sekali. Sangat berat. Seperti melepaskan tumpukan bertonton beban dalam rongga jiwanya yang sempit.

”Kalau saja kita tidak ketemu...semua ini pasti tidak akan terjadi, aku tidak harus merasa sesakit ini Kak...dan kalau saja aku sedikit mengindahkan penggalan kalimat yang pernah kubaca beberapa waktu lalu, tentu aku tidak perlu merasa bersalah pada diriku sendiri. Kisah hidupkupasti akan menjadi lain...” pekiknya dalam hati. Matanya tak berkedip menatap sebaris nama di nokia 3100 nya.

”Tapi sudahlah..bukankah aku pernah mengatakan pada diriku sendiri untuk tidak pernah menyesali semua yang terjadi? Apa kurangnya dia...baik, menyayangi ku dan selalu berempati dengan apa yang aku alami, bahkan tidak jarang ia memenuhi kebutuhanku meski aku tidak pernah meminta semua itu. Yah...tidak ada yang kurang pada mu kak...yang kurang barangkali karena aku tidak bisa memilikimu dengan utuh...tapi sudahlah, aku tidak perlu menyalahkanmu atau siapapun, bukankah kau tidak membohongiku tentang siapa dirimu?”

Sulung merebahkan tubuhnya, ia mencoba menyusuri kembali perjalanan waktunya hingga ke pertemuannya dengan seseorang. Tapi belum sempat ia menyusuri seperempat perjalananpun ia sudah tertidur pulas.


Ihan

”Ada yang kamu sembunyikan dari ku Lung”
”Tidak ada”
”Lung, jangan membohongiku. Kita berteman hampir tiga tahun. Kemana-mana selalu bersama, setiap ada persoalan juga kita sering berbagi bersama. Tapi untuk persoalan mu yang sekarang tidak bolehkah aku tahu Lung? Lihatlah tubuh mu sendiri Lung, sudah makin kurus. Kalau tidak ada beban yang kau pendam mana mungkin kamu jadi begini, kamu tidak seceria dulu Lung”
”seperti para normal saja kamu Vi”
”Ayolah Lung”
Vivian adalah teman dekat Sulung sejak ia duduk dibangku kuliah, dibandingkan dengannya Vivian cenderung pendiam dan sedikit introvert, kebiasaannya itulah yang membuat Sulung akhir-akhir ini merasa enggan untuk bercerita mengenai dirinya pada Vivian. Merasa tidak enak hati karena ada saja yang ia ceritakan pada sahabatnya itu sementara Vivian hampir tidak pernah mengeluh apapun padanya. Tapi apakah benteng pertahanannya akan bobol sampai disini? Dan dirinya harus menceritakan apa yang sebenarnya terjadi?
”Lung...?”
”Ya”
”Kamu tidak ingin berbagi denganku?” desak Vivian dengan halus
”Aku tidak tahu harus memulainya darimana”
”Hm...”
”Vi..?”
”Ya?”
”Apa kamu pernah jatuh cinta?”
”Tidak” jawab Vivian polos sambil tersenyum.
Dalam hati Sulung berfikit bagaimana ia sempat jatuh cinta kalau setiap hari berkutat dengan buku dan buku, dirumahnya ada perpustakaan dengan jumlah ratusan buku. Disanalah Vivian sering menghabiskan sisa waktunya sepulang kuliah. Hanya sesekali ia bermain atau pergi berbelanja, itupun karena terdesak dan karena paksaan ibunya.
”bagaimana aku bisa bercerita padamu, kamu tentu tidak akan memahami persoalanku kalau kamu sendiri tidak pernah mengalaminya”
”sudahlah Lung...aku bukan anak-anak lagi kok...” jawabnya seraya menimpuk air dengan batu kecil.” aku sering membaca buku-buku seputar percintaan dan berbagai problemnya, aku juga sering mendengar keluhan-keluhan temanku sejak smu seputar hubungan asmara mereka.” Vivian tersenyum lagi.
”heheh...”
”Kamu sedang jatuh cinta Lung”
”Sudah lama”
”Sudah lama? Dan aku tidak pernah tahu? Betapa pintarnya kamu menutupi semua itu Lung”
”Karena aku tidak inginseorangpun tahu dengan kisah cintaku yang rumit ini, membingungkan dan membuatku tersiksa...”
”Juga tidak pada sahabatmu ini Lung?” Vivian menatapnya lembut.
”Entahlah...mungkin sekarang aku akan bercerita” Sulung menghela nafas.
”Baiklah, aku akanmendengarkannya”
keduanya lalu diam, tak ada yang berkata. Vivian masih menunggu Sulung untuk berbicara, tapi sepertinya tanda-tanda kearah sana belum ada.
”DImana kamu kenal dia?”tanya Vivian memecah kebekuan
”Disini” ”Disini?” tanya Vivian memastikan
”Ya, ditempat kita duduk ini”
“kalau begitu kamu sedang bernostalgia” ledek Vivian
”Tidakjuga” ”Lanjutkan”
”Kami kenal satu setengah tahun yang lalu,di tepi sungai ini. ketika itu keluargaku sedang ada problem yang membuatku sangat terpukul. untuk menenangkan diri aku pergi menyendiri di tepi sungai ini, hingga tanpa sadar hari sudah mulai gelap. tapi aku belum ingin pergi. kemudian seseorang mengingatkanku untuk pulang, mungkin dia mengira aku akan bunuh diri waktu itu. Betapa terkejutnya dia saat tahu aku sedang menangis, dia menghiburku dengan petuah-petuahnya yang saat itu kuanggap sebagai angin lalu. Singkat cerita aku pulang diantar olehnya.”
Sulung menarik nafas, Vivian masih mendengarkannya dengan serius sambil sesekali menimpuk air dengan batu.
”Kupikir pertemuan kami hanya sampai disitu saja, tapi rupanya waktu membawa kami pada pertemuan berikutnya. Kami bertemu kembali ditempat yang sama”
”Lelaki itu sengaja menunggumu?”
”Tidak. Dia suka memancing disini”
”Oh”
“Setelah itu kami makin dekat, aku sering menceritakan persoalanku padanya, hanya dia yang tahu seluk beluk persoalanku dengan detil dan tak jarang dia ikut membantuku mencarikan jalan keluarnya sehingga aku merasa nyaman berad didekatnya, aku merasa semakin hari semakin tidak bisa kehilangannya. Lalu aku memberanikandiri mengatakan padanya kalau aku sering merinduinya, dan diluar dugaanku ternyata dia membuat pernyataan yang sama”
“Tidak bertepuk sebelah tangan”
“kami jarang bertemu, sebulan belum tentu sekali. Aku memaklumi aktivitasnya yang padat dan kesibukannya. Paling ia hanya menelfonku tapi itupun sangat jarang. Aku tidak terlalu memaksakan diri untuk bisa selalu bersamanya”
”Kenapa?”
”Karena dia bekerja di luar negeri, pulang kemari hanya sebulan sekali. Dan kalaupun pulang waktunya pastilah habis untuk keluarga dan aktivitasnya yang lain”
”OH ya?” Vivian heran. ”Kerja dimana dia?”
”kamu tidak perlu tau siapa dan diamana dia bekrja”
”Aku tidak memaksa. Tapi maksudmu keluarga....”Vivian menggantungkan kalimatnya.
”ya, dia sudah berkeluarga, punya anak dan istri”
”Oh...” bibir Vivian melongo, ia tidak bisa menutupi keterkejutannya.
”Itulah yang kusesali, mengapa aku sampai harus jatuh cinta padanya.”
”Hm...apa kamu sudah tahu dari awal kalau dia berkeluarga?”
”Ya, aku tahu”
”dan kamu masih mencintainya juga?”
”Aku sudah mencoba untuk melupakannya Vi, setidaknya mencukupkannya sebagai kakak ku saja tapi aku tidak bisa. Aku tidak mampu”
”Apa dia sering memenuhi kebutuhanmu?”
”Aku tidak pernah meminta”
”Mungkin karena itu kamu mempertahankan dia”
”Semuanya bukan semata-mata karena uang Vi, aku menyayanginya setulus hatiku. Aku tidak pernah mengharapkan apa apa dari hubungan ini. Tidak pernah. Mungkin kamu berfikir dengan uang yang diberinya dia bisa membeliku, kamu salah Vi, dia tidak pernah menyentuhku sekalipun. Dia sangat menghormatiku dan menerimaku apa adanya” suara Sulung terdengar datar sekali, ia merasa tersinggung dengan ucapan Vivian yang terakhir. Selanjutnya ia memilih diam dan menatap pada kedalaman air sungai. Ia masih ingat dengan jelas pertemuan mereka terakhir dengan Rifan diawal april yang lalu ditempat ini. Bahkan sudah setahun lebih hubungan mereka, Rifan tidak pernah sekalipun memegang tangannya.
Sulung membuka pesan yang masuk ke hand phonenya, dari Rifan. Isinya berupa ucapan selamat ulang tahun yang sangat sederhana sekali.
”Selamat hari jadi anak manis, tambah sholehah ya..”
Hanya itu isinya. Bukankah sangat sederhana?
”7 Mei....hari ini 7 Mei...hari ulang tahun ku...” Sulung mengingat-ingat sesuatu...”Bukankah hari ini aku berjanji akan menunggu kak Rifan di tepi sungai ini? Mengapa aku malah mengajak Vivian ketempat ini. Kenapa aku sampai lupa pada janjiku sendiri?” Sulung merutuki diri.
Sementara Vivian menatapnya dengan seribu pertanyaan yang tak berani diungkapannya. Ia merasa menyesal dengan pertanyaan terahirnya tadi. Tapi ia tidak berani mengusik Sulung kembali.
Benar saja, belum selesai Sulung merutuki diri ia telah melihat sosok Rifan di kejauhan sana, dengan menenteng sebuah tas pancingnya. Wajahnya begitu berseri dan bersih. Sebaliknya Sulung merasa detakan jantungnya menjadi makin kuat dan tidak menentu. Apa yang harus ia katakan pada Vivian bila laki-laki itu menyapanya. Apakah ia harus mengatakan sekali lagi itulah lelaki yang dicintainya? Belum lagi hatinya tenang ia harus dikagetkan dengan kejutan yang lebih dahsyat lagi.
”Papa...” Pekik Vivian memanggil ayahnya yang tidak lain adalah Rifan.
”Papa...” desis Sulung lemas, ototnya serasa remuk dan jatuh tercecer ke tanah. ”Vivian memanggil kak Rifan dengan sebutan papa...”
”Pa...kenalkan ini teman dekat Vivian namanya Sulung ...”
Rifan dan Sulung hanya saling diam setelah sesat bersalaman dengan kaku. Betapa Sulung ingin berlari dari sana, menjauhi ayah dan anak itu. Betapa ia tak dapat melukiskan apa yang dirasakannya. Sakit, perih dan perasaan bersalah.
”Mungkin benar tak seharusnya aku mencintai laki-laki yang sudah berkeluarga bila akhirnya begini...” batinnya pilu.
Sulung tak bisa menahan airmatanya untuk tidak jatuh. Usai sudah perjalanan cintanya. Tinggallah Vivian yan terheran-heran mengapa Sulung menangis. Dengan susah payah Sulung mencoba berbicara dan...
”Aku pulang Vi....” hanya aitu yang terucap dari bibirnya.

(Terinspirasi dari status YM seseorang yang kulihat beberapa hari yang lalu)


Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)