Jumat, 21 Juli 2006

"Tanyaku pada (para) Ibu"

ibu, harus seperti itukah yang dialami oleh perempuan? dikhianati dan terus dikhianati oleh laki-laki? pun begitu, kau tetap tersenyum ibu, menyembunyikan gurat sedih dan lukamu demi kami, anak-anak mu, demi menjaga keutuhan keluarga, agar kami anak-anak mu tidak tercerai berai dan tahu tempat pulang. ibu, segini umurku mengapa telah begitu akrab sekali dengan yang namanya pengkhianatan, dengan perselingkuhan. bahkan sejak aku kecil, mungkin kelas dua es de waktu itu aku telah mendengar hal serupa itu tetapi aku belum tahu kalau itu namanya perselingkuhan. pulang terakhir kemarin ibu menceritakan padaku kalau si pulan telah begini, dan pulan kali ini si ini yang begitu....ibu...haruskan hidup ini begitu?


ibu, apa sebenarnya arti pernikahan dan sebuah keluarga jika akhirnya harus seperti itu. apa setiap suami merasa harus menyakiti hati istrinya ibu? apa ia lupa kalau istrinya telah melahirkan anak-anaknya dan merawatnya dengan baik, apa ia juga lupa kalau istri selalu mendoakannya dan selalu mendoakannya, tetapi mengapa juga masih dibalas dengan penghianatan. ibu, aku tidak bisa menuliskannya dengan baik. aku sedih, aku terluka, aku marah menyaksikan ibu-ibu diperlakukan tidak adil oleh laki-laki yang tak lain adalah suami mereka.


ibu, apakah sudah tidak ada lagi laki-laki yang bisa menghormati perempuan dan senantiasa berterimakasih atas apa yang dilakukan seorang istri kepadanya? mengapa kemudian ia memberikan kehangatannya pada orang lain, lupakah dia sudah ertahun-tahun istrinyalah yang menaruh nasi kepiring makannya? mencuci pakaiannya dan mendoakannya. mengapa ibu...


ibu, salahkah jika sesekali telintas dibenakku aku benci laki-laki, aku muak dengan mereka. apa salah itu ibu? tetapi aku tidak bisa menyalahkan semuanya kan bu? aku tahu masih ada satu atau dua orang lagi yang tidak seperti itu. tapi siapa mereka ibu? ah, lagi-lagi merasa mual perut ku membayangkan apa yang dilakukan oleh mereka itu bu, mestinya lagu kemesraan itu tidak pernah ada saja, karena kemesraan itu tidak ada yang utuh, hanya sebagai pelengkap kehidupan saja diawal-awal pernikahan. selebihnya hanyalah kebekuan. hampir saja aku kembali menangis ketika mendengar apa yang kau cerritakan padaku kemarin menjelang siang, segitu kejamkah laki-laki itu ibu?



ibu, maaf kalau aku telah terlanjur mengatakan semua ini, bukan karena akutidak membutuhkan mereka, tetapi denganmelihat dan mendengar sepertinya mereka mengajariku untuk itu. mereka sendiri yang minta dikatakan begitu, tetapi tidak semua.
bu, sekali lagi aku ingin bertanya, apa setiap fase pernikahan harus mengalami hal yang seperti itu?
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)