Rabu, 16 Agustus 2006

"Berlayar ke pulau hati"

I am sailing
I am sailing,
home again cross the sea
I am sailing stormy water to be near you to be free
I am flying I am flying,
like a bird cross the sky
I am flying passing hihg clouds to be with you to be free can you hear me,
can you hear me through the dark night far away
I am dying forever trying to be with you who can say We are sailing We are sailing,
home again cross the sea We are sailing stormy waters To be near you to be free, oh love,
to be near you to be free
***
Aku pernah naik kapal layar dan sekarangpun masih berada dalam kapal layar itu.
Sejarah naiknya aku ke kapal layar ini tidaklah biasa. Tidak sebagaimana lazimnya orang-orang berlayar. Mencari agen perjalanan, membeli tiket, ke pelabuhan mencari kapalnya, naik lalu mencari kamar (atau hanya tempat duduk, bila naik kapal kecil untuk perjalanan yang singkat) lalu berlayar. Tidak, aku tidak seperti itu. Naiknya aku ke kapal layar ini adalah suatu kebetulan. Lebih tepatnya karena rasa iba alias kasihan sang pemilik kapal padaku. Saat itu, karena sesuatu sebab, aku sedang terapung-apung di tengah lautan. Lalu, ada sebuah kapal layar lewat. Berhenti sebentar, menurunkan tangga dan mempersilahkan aku untuk naik. Jadi, selamatlah diriku.
Pemilik kapal layar ini adalah seorang perempuan cantik dan luar biasa baiknya. Ia menyediakan salah satu kamarnya yang bagus sekali untukku. Di dalamnya ada tempat tidur yang empuk, pengatur udara yang bisa di set menjadi panas atau dingin sesuai keinginan kita. Ada pesawat televisi berikut kasur yang empuk di depannya untuk menonton sambil tiduran, beberapa lukisan, lemari pendingin yang penuh dengan makanan. Yang lebih penting dari semua itu, ada satu set komputer yang lengkap dengan jaringan internetnya!
Tidak kalah dengan kamar yang disediakan, sang pemilik kapal yang cantik jelita ini setiap saat mengunjungiku. Hanya sekedar menanyakan keadaanku sudah baikan atau belum (maklum baru ditolong dari tengah laut), atau meminumkan obat, atau menyuapi makan. Tidak jarang pula ia membawakan cerita-cerita yang amat menarik atau sekedar dongeng pengantar tidur yang lucu.
Kelembutan hatinya dan keramahan tutur katanya sungguh membuat hati siapapun akan terbuai. Tanpa kusadari, di hatiku mulai tumbuh rasa kagum, rasa terima kasih yang besar, rasa ingin selalu berada di dekatnya dan bermacam-macam rasa lainnya yang kalau disebut dengan satu kata adalah, cinta!
Gayung bersambut! Matanya mengatakan hal yang sama. Dan ketika dimintakan ketegasan padanya, bibirnyapun mengucapkan hal yang tidak berbeda. Kapal layar yang penuh cinta inipun bertambah kencang melaju di tengah langit yang biru dan timpalan kepak sayap burung camar yang sedang terbang.
Sang pemilik kapal masih tetap mengunjungiku di kamar ini. Tidak untuk meminumkan obat lagi, karena dilihatnya aku sudah sangat sehat. Tetapi tetap mengalunkan berbagai cerita atau untuk menatapkan matanya yang indah padaku. Disamping itu, ia mengajariku membuat sesuatu di jaringan internetnya, sesuatu yang disebutnya dengan ‘rumah maya’. Aku baru tahu juga, ternyata ia seorang guru yang sangat pandai. Dalam waktu singkat saja, aku langsung dapat membuat rumah mayaku, yang menurut ukuranku cukup indah. Tapi bukan hanya rumah maya yang indah itu saja yang berkesan. Kenangan bagaimana ia mengajariku, itulah yang lebih tak terlupakan. Suatu waktu, karena sangat seriusnya ia memberi petunjuk, tanpa disadarinya ia terpaksa mendekatkan mukanya ke wajahku sehingga aku dapat merasakan hembusan nafasnya menampar pipiku. Seumur hidupku, walau hanya beberapa saat, itulah saat yang kurasakan paling indah. Aku berharap itu adalah mimpi dalam tidurku. Dalam tidurku yang panjang, dalam tidurku yang sangat panjang atau kalau mungkin, dalam tidurku yang tak akan terbangun. Karena aku tidak ingin mimpi itu berakhir.
Tapi setelah itu, sang pemilik kapal makin jarang menunjungiku. Kalaupun lewat dan bertemu, ia hanya memberikan seulas senyum atau hanya melambaikan tangan dari jauh. Terakhir, ia mengatakan, bahwa ia berlayar di kapal ini dengan seseorang yang ia sebut kekasih, yang tentunya tinggal dikamar lain yang jauh lebih indah, lebih besar dan pasti lebih dekat posisinya dengan kamar sang pemilik. Oops! Sadarlah aku. Sekarang aku sering duduk memandang lepas di buritan. Kapal layar ini jalannya semakin lambat. Beberapa layarnya sudah tidak mengembang. Layar mesra sudah tidak ada lagi, beberapa layar cintanya juga sudah digulung. Di sini, diburitan ini dulu aku sangat mengagumi sebuah layar yang kalau ia terkembang, sangat indah dipandang. Layar itu bertulisan ‘my soul’. Sekarang yang layar itupun sudah diturunkan.
Ah, tahulah aku, berarti aku harus segera bersiap-siap. Bila layar cinta terakhir sudah tidak berkibar lagi, maka kapal ini akan segera berhenti. Dan tanpa sang pemilik kapal memberitahupun aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan. Aku harus turun dan mempersilahkan mereka melanjutkan perjalanan. Aku sangat bahagia tidak harus turun atau ditinggalkan di tengah laut. Karena bila itu terjadi, aku akan sangat sedih. Karena tidak punya kesempatan untuk mengucapkan terima kasih dan salam perpisahan dan mendengar ucapan standar dari pengeras suara bila penumpang kapal turun ‘thanks very much for have take a sailing with us, have a nice day and don’t forget to take a joint with this boat when you have a plan to get a sailing again, bla bla bla….., and thank you.’
Aku sangat bahagia telah diperkenankan ikut dalam sebuah pelayaran yang sangat menyenangkan, yang tak terlupakan, yang semuanya telah tersalin lengkap dalam catatan harianku.
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)