Sabtu, 16 September 2006

"Mertua"

Kepalaku rasanya mau pecah, gimana enggak, orang tua mau datang bukannya malah senang, maksudku begini, senang sih senang, sanat senang malah tapi aku tidak tahu kalau akan begini jadinya. Sejak sore tadi muka istriku di tekuk terus, aku tak bilang kalau ia tidak menyukai orang tua ku, tapi aku yang sekarang jadi tidak enak. Uang sepeserpun tidak ada ditangan, bahkan tadi sore istriku ngutang ke tetangga sebelah untuk membeli beberapa keperluan untuk menyambut kedatangan mertuanya. Pagi-pagi ia sudah bersih-bersih dan beres-beres rumah. Kamar sudah disiapkan, spreinya sudah diganti dengan yang baru, ia juga telah membeli selembar ambal Palembang untuk menyambut mertuanya yang tak lain adalah ibuku.
aku lebih-lebih tidak enak kepada mertuaku, meskipun mereka ngga bilang tapi aku bisa menangkap rasa kecut dari raut wajah mereka. Apalagi kalau bukan soal uang yang telah kuhabiskan sebanyak tujuh juta-an untuk membiayai ibuku dan tiga orang saudaraku yang datang dari Palembang kemari. Semua tiket pesawat aku yang tanggung, juga termasuk akomodasi mereka selama di Medan, dasar manja. Pesawat delay sebentar saja mereka harus istirahat di hotel. Memangnya ngga bisa tunggu di bandara aja. Huh…aku kesal sekali mendengar semua ini. Tapi apa boleh buat, sesekali orang tua datang menjenguk anaknya dirantau orang, wajarlah kalau aku berusaha untuk menyenangkan mereka. Tapi yang aku ngga habis pikir, mengapa untuk bawa oleh-oleh kemari mereka juga harus minta uang pada ku. Katanya mau jenguk cucunya, tapi sedikitpun ngga mau mengeluarkan biaya. Padahal mereka bukanlah orang tak punya, hanya aku saja yang paling miskin diantara kakak-kakak ku yang lainnya. Sudah miskin, tinggal di rantau orang lagi. Walhasil belum ada sepetak tanahpun yang kupunya, tinggal juga masih di pondok mertua indah. Beruntung, mertuaku baik dan mau menerima keadaanku apa adanya. Inilah yang membuatku merasa malu dan tak enak hati pada mereka.
Untuk mereka jarang sekali aku bisa ngasih, tapi untuk orang tuaku sekali datang habis sampai berjuta-juta. Belum lagi biaya bawaan mereka. Beli ikan sungai dari sana saja sudah satu juta. Mereka tidak doyan ikan laut jadi harus bawa bekal darisana, padahal disini kan banyak ikan mujair dan bandeng. Huh…
Aku masih belum berani menyapa istriku, ia tidur membelakangi ku. Kugerakkan tanganku pelan-pelan untuk menyentuh punggungnya tapi tidak berani. Ia masih marah. Salahku sendiri. Tadi aku keceplosan ngomong didepan tamu. Aku mengatainya pelit karena Cuma sepiring kue yang ia keluarkan untuk temanku, padahal aku sendiri tahu kue itu ia persiapkan untuk menjamu ibu ku nanti. Yang membuatnya marah karena aku mengatakan itu didepan temanku tadi, terang saja ia marah karena malu. Padahal teman itu hampir setiap hari datang kerumah, sebenarnya tidak dijamu pun tidak apa-apa.
Aku tahu kesalnya makin bertambah ketika rombongan keluargaku tidak mau makan malam dengan alasan sudah makan ketika akan berangkat tadi. Jangankan istriku, aku juga geram. Membayangkannya pontang-panting seharian ini sudah membuatku tidak tega, apalagi ditambah dengan recokan anakku yang masih kecil. Sampai-sampai tadi dia absen mengajar.
“De…maafin abang ya?” pinta ku memberanikan diri. “Abang ngaku salah, tadi abang keceplosan ngomong, maafin ya…”
“De…ngomong dong, mau maki-maki-in abang juga boleh. Abang ngga bakalan marah, tapi please….jangan diem begini, jangan ditekuk mukanya.”
Ah…istriku, dia sampai memotong rambutnya menjadi sangat pendek gara-gara ngga sanggup mikir lagi. Dia sama pusingnya denganku. Memikirkan darimana mendapatkan uang untuk mereka selama disini, kan tidakmungkin mereka duduk dirumah aja, pasti aka nada jalan-jalan, belanja….dan biaya semua dari aku. Huh…!!! Terima gaji masih lama lagi. Pusing….
“De….” Aku menggoyangkan bahunya.
Hhh….istriku sudah lelap. Percumah deh ngoceh dari tadi, Cuma angin yang dengerin.
$$$
“Ini namanya apa ya?” Tanya ibu ku pada istriku. Ia menunjukkan masakan khas aceh, asam keueng.
“Ini namanya asam keueng, Bu” jawab istriku dengan senyum. Aku bersyukur ia sudah tidak ngambek lagi. Dia sudah kembali riang lagi. “Cobain ya….”
“Iya”
Ibu ku mengambil sedikit dan mencicipi. Ah, tiba-tiba ia tersedak dan terbatuk-batuk. Sampai mengeluarkan air mata. Aku jadi kasian melihatnya, begitu juga istriku, ia buru-buru menyapu-nyapu pundaknya agar menjadi lega.
“Kok rasanya aneh begini, kecut, pedas lagi…”
Aduh ibu….seketika wajah istriku berubah. Aku meliriknya dan cepat-cepat membuang pandangan saat ia memelototiku. Aku jadi geli. “Ibu tidak mau, ikan sungai saja…”. Hhh…ibu sama sekali tidak berperasaan, apa tidak bisa bilang dengan cara yang lebih halus. Namanya juga asam pedas, ya asam, ya pedas. Kalau manis dan pahit bukan asam keueng namanya.
Sementara ketiga saudara ku yang lain saling melirik, aku perhatikan saja gelagat mereka. Semuanya merasa bersalah atas sikap ibu barusan. Jadilah makan siang hari ini berlalu dengan biasa-biasa saja, banyak yang diam. Aku sendiri menjadi tidak berselera untuk makan.
“Maafin ibu ya de?”
“hm…ngga ada yang salah kok sama ibu, kan memang bener masakannya asam dan pedas”.
“Iya tapi kan memang begitu rasanya…”
“Udah lah…ngga usah diributin. Sekarang mendingan abgn cepat mandi dan beres-beres, kita mau ajak ibu jalan-jalan. De tunggu setengah jam lagi, kalau telat de tinggalin.”
“Iya deh iya….”
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)