Sabtu, 25 November 2006

Alien dan Steek

Kuperhatikan bungkusan-bungkusan mie instant yang berserakan dikamarku, lebih kurang ada 6 bungkus dengan berbagai warna. Ada merah, kuning, hijau, seperti lagu pelangi-pelangi saja. Rasanyapun beraneka macam, ada yang rasa soto, ayam bawang sampai rasa sambal goreng yang ada ekstra terasinya.

Aku tersenyum kecut, sore tadi dengan sisa uang yang cuma delapan ribu lagi kubelikan sebungkus biscuit dan sebotol air mineral untuk stok makanan beberapa hari ini. Menyedihkan sekali mengingat sudah beberapa hari aku belum merasakan bagaimana rasanya nasi yang enak. Memang tidak seberapa bila dibandingkan dengan korban-korban perang di Libanon, Irak dan Palestina sana. Uangku tinggal dua ribu perak tok! Cukuplah itu untuk ongkos angkot berangkat ke kantor besok pagi.

“Hi Aline, kok bengong?”
Aku mendongak, si Steward rupanya, pria kebangsaan Amerika yang bekerja disini. Bahasa indonesianya masih patah-patah dan membuat geli siapapun yang mendengarnya. Pun begitu dia tidak malu atau canggung mengucapkannya. Seperti tadi, ditelingaku nyaris terdengar “Hi Aline, kok begok?” aku dongkol mendengarnya.

“Hi Stik.” Jawabku berusaha tersenyum. Jujur, aku sedang ingin sendiri tapi dengan suasana kantor yang ramai seperti ini rasanya hampir tidak mungkin bisa menyendiri dengan tenang. Kalau tidak si A pastilah si B yang merecoki, tapi syaratnya ya ngga boleh marah. Namanya juga sama teman.

“Aku dipanggil lagi Stik, kau ingin memakanku?” Steward mengedip nakal. Anak satu itu memang hoby sekali ngebayol dan membuat kelucuan. Dia tak pernah marah kalau aku memanggilnya stik atau steek, makanan dari daging yang diberi bumbu dan terasa manis itu. Atau sesekali aku memanggilnya si rabbit, itu kalau aku teringat akan stewart, kelinci ku yang mati di tabrak tukang ojek beberapa bulan lalu.

“Nama kamu sama dengan nama kelinci ku.”
Ucapku suatu hari saat kami turun ke lapangan untuk memberikan pengobatan kepada masyarakat dampingan kami.

“Kamu boleh panggil aku apa saja, tapi kamu jangan marah kalau aku panggil alien heheh….” Laki-laki jangkung itu tertawa senang karena berhasil mendapatkan plesetan yang pas untuk namaku. Aku cuma mendengus tak ambil pusing.

Dibandingkan teman-teman Indonesia yang lain aku memang kurang peduli dengan si stik itu. Entah kenapa, sejak kehadirannya beberapa bulan yang lalu menggantikan pak Cristophe aku agak kurang sreg dengannya. Hal itu memang tidak pernah aku perlihatkan kepada siapapun dan berusaha untuk bersikap wajar didepannya. Tapi ledekan-ledekan kecilku seperti memanggilnya rabbit dan stik bukanlah ledekan biasa, tapi bentuk lain dari rasa tidak sukaku kepada orang asing itu. Kepada semua orang bule di kantor ini tentunya.

“Kalau makan kamu aku bisa kenyang sampe setahun, dan uangku tidak akan habis untuk beli makanan. Tapi, apa mau kamu aku kecapi, aku bakar dan aku jadikan lauk makan siang?”
“hehehe…kalau kamu yang beri kecap sendiri, bakar sendiri aku mau, tapi bakarnya harus pake arang ya?” Si rabbit itu makin tampak lucu dengan banyolannya.
“Oh ya,kamu sudah lunch baby?” Sok ramah pekik ku dalam hati.
“I’m fasting.” Jawabku pendek. Beginilah caraku menyiasati titik-titik kritis ketika uangku ludes sebelum akhir bulan. Sudah beberapa hari ini aku pun terpaksa mondok dikantor karena tidak ada uang untuk transport. Tiga hari lagi aku gajian dan sudah bisa pulang ke kontrakan lagi. Dan tentunya bisa bernapas lega karena tidak sering-sering melihat wajah si stik.
“Untuk apa puasa ini kan bukan bulan puasa?” Steward memandangku bingung dan mengharapkan jawaban yang memuaska.
Dasar cerewet, rutukku dalam hati.
“ Membayar puasa yang tertinggal di bulan puasa kemarin.”
“Oh…” Stik mengangguk-ngangguk, tapi aku yakin dia sama sekali tak mengerti dengan jawabanku.

Steward pun meninggalkanku setelah permisi untuk makan siang. Aku menggangguk tanpa mengalihkan pandanganku dari layar computer. Aku tengah menyelesaikan catatan kecilku untuk ku postingkan ke rumah maya ku. Ketika steward sudah sampai dipintu dia melihatku dan aku melihatnya, dia melambaikan tangannya dan tersenyum. Tiba-tiba saja rasa bersalah menyelimuti ku. Aku telah memperlakukannya tak adil, dia baik padaku sementara aku sangat dingin padanya.

“Astaghfirullah..maafkan aku ya Allah…padahal aku sedang berpuasa. Tapi kok dongkol terus dari tadi.” Batin ku sambil terus melanjutkan ketikan.

***

Ku teliti dengan seksama uang yang ada didalam buku agendaku, sembari mengingat-ngingat kapan aku menyelipkan uang ini disana. Rasanya setelah lebaran ini aku belum pernah mengisi atau membuka agendaku sama sekali. Terus darimana uang seratus ribu ini muncul? Atau jangan-jangan ini adalah hasil dari doaku kemarin-kemarin yang di dengar oleh Allah. Aku heran dan bingung, sekaligus tak yakin dengan apa yang aku lihat.
“Hi Alien?”
“Hi juga kelinci.”
“Kamu lagi sibuk?”
“Tidak terlalu.”
“Bisa temani aku?”
“Kemana?”
“Aku mau kelapangan, dan Cuma mau ditemani sama kamu saja.”
Betingkah.
“Sama yang lain saja.”
“Kamu mau aku pecat?” Si bule yang rambutnya di cat hitam itu terpingkal-pingkal. Aku sewot dan mencibirnya, membuatnya semakin merasa senang dan menang. Dia Cuma bercanda, tapi melihatnya sebagai pemimpin tertinggi disini aku tak bisa berkutik. Khawatir juga kalau dia benar-benar marah dengan ku dia bisa saja memecatku.

Aku menutup tas cepat-cepat dan bersiap-siap untuk turun kelapangan, tak lupa ku bawa topi dan juga jaket. Hari-hari terakhir ini panasnya luar biasa dan berdebu.
Aku sebenarnya jengah melihat pemandangan seperti ini terus-menerus, setiap turun ke lapangan masyarakat menyambut si kelinci itu dengan sangat istimewa. Memperlakukannya bak dewa yang turun dari langit. Alasan mereka mungkin bisa diterima karena mereka sudah ditolong dan dibantu.

“Kami Cuma ingin menunjukkan rasa terimakasih kami dek. Karena sudah ditolong dan dibantu ” Ucap seorang bapak-bapak ketika aku bilang biasa-biasa saja menyambut steward, dia itu manusia biasa kayak kita jadi ngga usah berlebihan. Bedanya kulitnya saja yang putih sedangkan kita coklat. Si bapak malah mesem-mesem, pertemuan berikutnya dia malah menyediakan penganan kecil berikut kopi hasil racikan mereka sendiri. Steward tentu saja senang mendapat perlakuan seperti itu.

“Terimakasih sih terimakasih…tapi biasa aja lah pak.” Jawabku dengan bercanda.
Tapi yang aneh teman-teman yang lain yang sama-sama aktivis juga begitu, mengganggap bule-bule itu layaknya orang nomor satu yang harus diistimewakan. Padahal yang istimewa dan utama itu Cuma orang beriman saja. Tak ayal, untuk itu mereka juga ikut-ikutan mengecat rambut jadi warna putih atau merah. Dasar aneh! Belakangan malah abg-abg semakin banyak yang berprilaku aneh begitu, sok ke bule-bule an.

Kesal ku bertambah ketika suatu hari diam-diam aku mendengar obrolan si Stewart dengan Kathrine di kantor. Waktu itu kantor sedang sepi, orang-orang sudah pada pulang, beberapa teman yang nginap dikantor sedang pergi. Yang ada cuma aku, Steward dan Kathrine yang berasal dari inggris.

“Orang-orang disini aneh.” Kata si kathrine
“Aneh bagaimana?” Kali ini si stik itu benar-benar tampak bloon
“Lihat saja mereka, rambutnya di cat jadi kuning, jadi merah. Ngga pakai jelbab, padahal mereka muslim.”

Ugh…aku geram sekali mendengarnya, orang-orang bule itu hobi gossip juga rupanya. Tapi…yang mereka omongin memang bener. Bahkan diantara kami ada yang merokok. Memalukan sekali!
Sejak itu aku jadi lebih dingin lagi pada mereka, mereka itu baiknya didepan saja kalau dibelakang juga pada ngomongin untuk orang-orang kita. Nyelekit lagi ngomongnya.

***

“Hei….bengong aja kerjaannya. Laporannya harus siap minggu depan tuh.”
Laporan lagi laporan lagi. Itu artinya mulai sore ini aku harus siap-siap untuk berkutat dengan setumpuk kwitansi-kwitansi dan membuat laporan keuangan tiga bulan terakhir. Pekerjaan yang membosankan. Tapi mengingat posisiku di biro keuangan mau tak mau harus dikerjakan sebaik mungkin. Untuk itulah mereka memberi ku gaji disini dan memberiku berbagai fasilitas untuk memudahkan perkerjaanku.

“Iya,”
“Kamu sedang memikirkan sesuatu ya?” Tanya Steward dalam perjalanan pulang.
“Enggak, aku capek aja.” Jawabku sekenanya. Padahal benarnya aku sedang mikir, perlengkapan sehari-hariku sudah habis, sedangkan uang sedikitpun tidak ada. Mau pakai uang yang terselip di buku tadi aku ragu karena tidak yakin uang itu milikku. Ah…aku jadi pusing sendiri.
“Kamu bohong.”
“Ah sok tahu kamu stik.” Aku agak kesal.
“Jelek-jelek begini aku psikolog alien, jadi aku bisa baca pikiran kamu.”
“Hebat dong kalau gitu.” Aku makin tidak suka dengan cara bicaranya, sok tahu, sok hebat. Ugh…andai saja dia bukan bos ku pasti sudah ku labrak.
“Kamu pasti mikirin uang dibuku kamu kan?”
Aku mendongak. Dia tersenyum penuh arti.
“Uang itu aku yang letakkan disana, maaf…aku tidak bermaksud apa-apa. Aku Cuma mau Bantu kamu yang sedang dalam kesulitan.” Ucapnya lagi
“Kalau mau Bantu jangan segitu. Sekalian saja tanggung biaya hidupku seumur hidup.” Aku mkin sewot, malu dan tersinggung bercampur satu. Entah darimana si kelinci itu bisa tau aku sedang dalam kesulitan.
“Tidak sengaja aku buka blog kamu kemarin.”
Aku tersentak dan tidak menduga, yah…kupikir dikantor itu tidak ada yang tahu perihal rumah mayaku itu. Tapi nyatanya….
“Aku juga turut berduka atas musibah-musibah yang dialami keluargamu. Aku bisa rasakan kalau itu yang mengalami aku. Sedikit banyak aku tahu apa yang ada dalam pikiran kamu. Aku mohon, anggaplah aku sebagai teman dan saudaramu, bukan sebagai musuh walau kita berbeda keyakinan.”

Aku menunduk. Sama sekali tidak menduga apa yang tengah di bicarakan si stik. Paling-paling dia hanya iba dan pura-pura baik. Dasar…
“Kamu ngawur stik. Apa maksud mu untuk menyelipkan uang seratus ribu itu di buku ku? Sikap mu membuat ku tersinggung.” Aku benar-benar tersinggung jadinya.
“Maaf Aline, aku tidk bermaksud membuat mu tersinggung. Tapi sungguh, aku ingin menolong mu. Aku ingin membantu mu.”
“Tapi bukan begitu caranya.” Suaraku agak ku tekan. Keberadaan sopir didepan tidak membuatku risih karena aku memakai bahasanya si stik. Pak Rahmat, sopir yang baik itu Cuma bisa terheran-heran dengan apa yang kami bicarakan.
“Aku tahu, tapi aku merasa kamu akan lebih tersinggung lagi kalau aku tiba-tiba kasih uang ke kamu.”
“Entahlah. Aku memang butuh uang tapi….aku tidak bisa mentolerir sikap mu Steward.”
Muka ku memerah, stik juga kelihatannya agak tegang. Tahulah sekarang aku kenapa tadi dia memintaku turun kelapangan, padahal dia tahu aku sedang menyelesaikan laporan keuangan yang bikin runyam kepala.

Aku tak peduli lagi dengan apa yang dikatakan si rabbit tengik itu. Sepanjang perjalanan sampai tiba dikantor aku diam. Entah berapa puluh kali kata maaf yang dikatakan oleh Steward dan aku tak peduli. Aku marah dan sangat tersinggung. Harga diriku rasanya seperti terinjak-injak dengan uang seratus ribu itu.

***

Lama aku terpekur, mengulangi kejadian tadi siang. Aku benar-benar sudah kelewatan pada stik. Padahal niatnya tulus dan baik ingin membantuku. Terlalu tinggi kah egoku ya Tuhan? Sampai aku tidak bisa melihat kebaikan yang disodorkan oleh orang lain? Sebaliknya aku malah mengganggp itu sebagai penghinaan bagi diriku.

“Aline?”
“Stik. Ngapain kamu disini?” Entah sudah sejak kapan dia ada disitu.
“Kamu mikirin yang tadi siang?”
“Aku minta maaf stik, aku terlalu egois, padahal aku memang butuh tapi egoku mengalahkan logika ku.”
“No problem. Aku cari kamu kemana-mana tapi rupanya disini.”
“Untuk apa mencari ku?”
“Untuk menunjukkan ini.”
“Foto siapa ini?”
“Foto anak dan istriku, dia mirip sekali dengan mu Aline. Tapi mereka sudah tidak ada lagi, meninggal sewaktu kecelakaan tahun lalu.”
“Aku turut berduka. Tapi apa maksud mu menunjukkan itu pada ku?”
“Aku Cuma mau bilang, sejak pertama kali melihat mu aku sudah menemukan kehidupan ku yang baru.” Wajah Stik tiba-tiba berubah serius.
yang baik akan selalu terlihat baik walaupun segala macam cara dilakukan untuk mencari keburukannya. Begitulah aku melihat si kelinci bule itu.

Rumah Hilman
14:23 wib
24/11/06
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)