Sabtu, 09 Desember 2006

Nanda

Arivia tersenyum-senyum membaca pesan yang masuk ke hand phonenya.
“Kemeja…dst rahasia agar tetap dalam “cinta”.”
Sesaat buku dan pulpennya ia letakkan, menggeser bantal dari perutnya dan duduk. Membaca ulang pesan yang masuk beberapa detik yang lalu. Salah sendiri, sedang dirumah Tuhan mesti lapor ke Bunnda, batinnya. Cintanya pake tanda kutip lagi.
“Nggak apa-apa, Nanda kan pake mobil. Nanti Bunnda tungguin di tangga deh…ntar Bunnda call aja.” Lagi-lagi Arivia terkikik membaca pesan yang dikirimnya kepada Nanda. Ia tak bisa membayangkan seperti apa reaksi Nanda ketika ia menanyakan baju dan celana warna apa yang dia pakai. “Bunnda di rumah Tuhan juga nih.” Katanya melalui sms.

Perutnya terasa sakit karena tadi bergesekan dengan lantai. Ia meringis tapi juga sambil menahan tawa, ia tak tega sebenarnya tapi ia pun tak bisa menahan diri untuk mengusili Nandanya itu. Inilah kesempatan baik untuk membuatnya panic, pikir Arivia.
Nanda, entah berapa usia laki-laki itu, entah siapa sebenarnya dia, entah dimana tinggalnya, entah apa perkerjaannya, dan beribu entah lainnya yang berseliweran dikepala Arivia. Baginya sudah cukup mengenalinya sebagai Nanda saja, dan ia berstatus sebagai Bunnda dari laki-laki yang ia yakin pantas sebagai pamannya.
Arivia menekan nomor Nanda. Ditolak dan sesaat kemudian no nya sudah tidak aktif. Arivia tersenyum geli.

“Curang, hand phonenya dimatikan.” Kirimnya melalui short message service
“Wah…Nanda lari cepat-cepat nih, nggak apa-apa Bunnda sudah terwakilkan pada ‘menara Tuhan’ jejak kaki kita juga pasti bersentuhan diantara ribuan langkah dirumah Tuhan.”
“Hahahahah…Bunnda kok gitu….bikin Nanda takut.”

Balasnya beruntun. Arivia tersenyum lagi, keinginan untuk buang air kecil terpaksa ditahannya.
Membayangkan ‘lompat’ seperti apakah yang dimaksud oleh Nandanya? Lompat dari anak tangga pertama langsung ke anak tangga terakhir, atau lompat masuk ke mobilnya atau terlompat secara reflek dari duduknya ketika hp nya berdering?

Ah, seperti apakah ketakutan yang dikatakan laki-laki itu? Berdetakkah jantungnya seratus kali lebih cepat dari biasa? Berkeringat dinginkah dia? Arivia benar-benar geli membayangkan kalau semua itu benar terjadi. Jahatkah dia? Telah membuat Nandanya ketakutan seperti itu? Jawabannya singkat saja, Arivia hanya ingin menjaring ide untuk menulis. Maka jadilah cerita ini. Meski tak sesempurna cerita yang lain.

Entah sudah berapa banyak orang-orang yang dikenal Arivia melalui dunia maya ini dan tak terhitung pula yang telah melakukan kopi darat dengannya. Mulai dari yang biasa-biasa saja sampai yang luar biasa, mulai yang sebaya dengannya sampai sudah puluhan tahun. Mulai yang sopan, alim, santun, sampai yang badung, nakal, dan setengah ‘gila’. Ada yang datang kerumahnya, ada yang ditemuinya ditempat lain ada juga yang diluar kota. Semuanya mempunyai keasyikan dan ke unikan tersendiri bagi Arivia. Dan semua itu menjadi luar biasa mana kala inspirasinya untuk menulis terilhami dari mereka.

Namun tidak dengan Nanda, sejak awal mengenalnya ia memang tak berniat untuk bertemu, niat itu semakin dikukuhkan dengan perjanjian-perjanjian yang telah mereka sepakati berdua. Ini pula yang membuat Nanda unik dibamdingkan dengan teman-temannya yang lain dari dunia maya. Karenanya Arivia tentu saja tidak akan melakukan hal-hal bodoh seperti diam-diam menemui Nanda di rumah Tuhan atau berusaha mencari tahu siapa dia. Mang gue pikirin, teriak hatinya kuat-kuat.

Ia membiarkan semuanya seperti air yang mengalir, kadang lambat, kadang deras, kadang mengalir tersendat-sendat tapi air tak pernah minta naik keatas. Merekapun tak pernah ingin bertemu, biar saja Tuhan yang mengatur.
Arivia kembali meletakkan bantal keperutnya, menulis sambil tidur adalah kebiasannya, padahal bukan Cuma tangannya yang lelah tapi juga dada dan lehernya.

@@@

Dilain waktu Nanda yang satu ini bisa juga membuatnya terkejut-kejut, bahkan sampai cemas.
“Dada Nanda nut-nut, takut gejala sesuatu.” Pesan singkat itu ia terima kemarin siang. Arivia tengah makan siang bersama teman-temannya ketika itu. Tanpa sengaja mereka bertemu di mesjid lalu dilanjutkan dengan makan siang bersama.
“Aduh, bukan sakit jantung kan? Kalau kangen sama Bunnda sih tidak apa-apa.” Arivia setengah serius menanggapinya.
“Reaksinya dua Bunda, kaget dengan kunci mobil dan mengunjungi rumah Tuhan.”

Kali ini Arivia benar-benar kehilangan selera makan, ia meletakkan sendok, membersihkan mulutnya terakhir ia minum es teh untuk melancarkan kerongkongannya. Soal mengunjungi rumah Tuhan tadi dia yang memulai, dan kalau terjadi apa-apa dengan Nanda berarti dialah yang harus bertanggung jawab. Ia memutuskan menghubunginya, mendengar suaranya yang masih bisa tertawa membuat Arivia lega.

Ketika menerima sms tersebut ia serta merta teringat kepada almarhum Firman, temannya yang juga tidak pernah ia lihat wajahnya seperti apa. Meninggal dalam kecelakaan pesawat Mandala tahun yang lalu. Arivia sendiri tau beberapa hari setelah itu karena ada ada teman firman yang berbaik hati memberi tahunya. Arivia menagis ketika itu, ia kehilangan. Teringat seminggu yang lalu Firman berjanji akan datang kerumahnya tapi harus ditunda karena ia ada keperluan lain.

Apakah kali ini dia akan mengalami hal yang sama? Lalu siapa yang akan memberi tahu kepadanya? Ah, Arivia menjadi sangat cemas dan ketakutan. Ia merasa belum siap kalu tiba-tiba Nandanya menghilang begitu saja. Tanpa pernah mengatakan good bye kepadanya. Arivia tak bisa senyum lagi ketika itu.

Arivia tak ingin menangis lagi untuk orang-orang yang tidak dikenalnya, ia sudah cukup dengan semua itu. Takut kehilangan, sayang, rindu adalah perasaan-perasaan abstrak yang datang kapan saja dan kepada siapa aja. Tak peduli kenal ataupun tidak. Arivia taku sekali, takut seperti bait-bait dalam lagunya Evie Tamala menangisku karena rindu, sediku karena rindu. Tapi sering kali ia dipaksa untuk itu.

Sejenak suasana berubah melankolik. Ia tak tergelak-gelak lagi membaca pesan dari Nanda. Ia tak menulis lagi sambil tidur. Sejenak ia tertegun, alangkah berwarnanya hidup ini.
“Nanda sayang, dadanya ngga nut-nut lagi kan?” Arivia menjadi cemas, jangan-jangan gara-gara keisengannya anak orang jadi sakit lagi dadanya.
Arivia tak berani membayangkan seperti apa reaksi Nandanya kalau tau bahwa ia dikadalin begitu. Marahkah dia? Merahkan mukanya? Lompat-lompat kah dia? Yang ia tahu ia cukup sering membuatnya harus mempraktekkan kesabarannya diatas standar rata-rata untuk orang lain.
“Kalau mau jadi anak Bunnda ya harus siap dong…” ia membela diri.
“Hampir tadi, jika Bunnda menangkap Nanda, sekarang aman. Ngga nut-nut lagi, Cuma mata yang kedip kedip. Capek.”
Hhh…syukurlah…Arivia bernapas lega. Ia juga capek, capek ketawa capek menulis. Arivia ingin tidur…..
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)