Rabu, 21 Februari 2007

Gubernur Pake Bahasa Apa?

tulisan sederhana ini muncul begitu saja saat tiba-tiba saya terkenang pada beberapa kejadian dimasa silam, sekitar tahun 1999, setelah DOM dicabut setahun sebelumnya. orang-orang gerakan saat itu sudah mulai berani muncul ketengah-tengah komunitas masyarakat, tidak tanggung-tanggung lengkap dengan paculan senjata AK - 47 nya. peristiwa itu tentu saja akan terlupakan begitu saja bila tida ada kejadian menarik yang sangat mengesanan dihati yang mau tidak mau harus diingat. karena apa yang terjadi setelahnya adalah rentetan dari apa yang terjadi saat itu. hingga pada suatu siang, dua orang gerakan datang kerumah dengan wajah sangar dan menakutkan, lengkap dengan senjata dibalik mantel panjangnya. saat itulah sesuatu yang mengesanan itu terjadi, saya yang seharihari terbiasa memakai bahasa nasional kena marah lantaran cakap bahasa nasional dengan adik didepan mereka. lucunya saya sadar mereka ureung nanggroe saat setelah dimarahi, lalu dengan jantung berdebar dan ketakutan saya minta maaf "peumeuah long...." kata saya dengan logat kacau pada waktu itu.

sekitar dua tahun setelah itu hal yang sama terjadi pada adik saya tetapi oleh orang gerakan yang berbeda, sejak sat itu anak-anak yang tadinya gemar berbahasaindonesia menjadi takut hingga pada akhirnya banyak yang lupa dan tidak mau lagi berbicara dalam bahasa nasional.

beranjak dari dua kejadian itulah tiba-tiba terlintas dipikiran saya, bahasa apakah yang dipakai oleh gubernur terpilih dalam menjalankan tugas kesehariannya? mengingat irwandi adalah seorang pentolan GAM.

tapibila memperhatikan petikan sumpah IRwandi ketika dikukuhkan menjadi gubernur Aceh oleh endagri pada tanggal 8 februari lalu sepertinya itu akan termasuk menyalahi aturan bila ia memakai bahasa Aceh dalam tugastugas kepemerintahannya. bahkan seulaweut prang sabi yang dulu menjadi simbol perjuangan mereka tidak dishalawatan ketika pelantikan. apakah ini berarti seuah perjuangan akan dengan begitu mudah dilupakan saat sudah berhadapan dengan kekuasaan? bukan ingin menghakimi siapapun, tapi mengingat yang dulu-dulu, rasanya mereka anti sekali dengan segala hal yang berbau Indonesia.

pun begitu selaku rakyat yang hanya bisa menonton penguasa dimenara gading sana sudah sepatutnya kita berdoa agar halhal sepele seperti persoalan bahasa dan atirbut dikesampingan agar prioritas utamanya tercapai; yaitu menyejahteraan rakyat. karena punca konflik sejatinya adalah rakyat yang tidak sejahtera sehingga muncullah perlawanan kepada para penguasa.

tapi selama ini, yang sering terjadi dan kita saksikan adalah sebaliknya, yang prioritas diabaikan sedangkan yang sepele tadi dibesar-besarkan. sehingga ketika urusan sepele ini selesai, persoalan utama tadi menjadi semakin kuat mengakar. tidak heran jika pada akhirnya label negara miskin dan negara korup terpaksa disandarkan pada bahu negeri ini. rakyat yang miskin semakin melarat sedangkan para penguasa ogah keluar dari ruangan ber AC karena takut kena panas sinar matahari, lalu dimana fungsi mereka sebagai pelayan rakyat? sudah terbalik, seharusnya pelayan yang melayani tuan tapi sekarang tuan melayani pelaya.
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)