Selasa, 20 Februari 2007

Jari Jari Tangan Istri Ku

“tangan mu indah sekali dik,” ucapku suatu malam, saat itu kami tengah makan malam berdua disebuah cafĂ©. Kami sengaja mengambil tempat agak dipojokan agar lebih leluasa dan tidak menjadi perhatian orang-orang, sebaliknya kamilah yang menjadi leluasa untuk memperhatikan orang lain. Kebetulan malam itu agak sepi karena bertepatan dengan minggu malam, anak-anak muda tidak banyak berdatangan karena besoknya mereka harus sekolah dan mungkin malam ini harus menyiapkan tugas yang diberikan gurunya di sekolah.

“aku selalu bernafsu setiap kali melihat tangan mu dengan kuku-kuku yang indah terawatt.” Kata ku lagi melihat tidak ada respon apapun dari istriku. Sesungguhnya ini bukanlah kali pertama aku berkata begitu didepan istriku, sangat sering bahkan dan tak peduli dimanapun berada.

“sudah, sudah, makan saja dulu.” Jawabnya agak tersipu malu, aku tersenyum tipis melihatnya.

Mata ku masih belum beralih dari jari-jari tangannya yang lentik, aku justru menatapnya dengan semakin liar. Melihatnya merobek-robek ayam bakar dengan kedua tangannya. Ibu hari dan telunjuknya mencengkeram dengan kuat sedangt iga jari lainnya melengkung mengikuti kedua jari tadi dengan sangat indahnya. Sebuah pemandangan yang amat sangat menyenangkan untuk dinikmati.

“entah aku bisa mencintaimu atau tidak jika saja Tuhan tidak memberi mu tangan sebagus itu,” kali ini aku juga bicara jujur. Dan memang tidak ada gunanya berbohong kepada istri sendiri. Ku piker istriku masih tidak perduli, tapi rupanya tidak. Air mukanya seketika berubah, ia meletakkan ayam bakarnya dan menatapku seolah-olah meminta penegasan dari apa yang barusan aku katakan.

Ada kesedihan yang tiba-tiba menggantung diwajahnya, aku memaklumi perubahannya yang tiba-tiba itu. “tapi syukurlah jari-jari indah seperti itutidak dimiliki oleh perempuan lain,” sambungku cepat berharap selera makannya tidak hilang.

“lalu kalau seandainya besok tangan ku terpotong dan jari-jari ku hilang?” tanyanya dengan mimic wajah serius. Ada kekhawatiran dan kecemasan.

“itu persoalan lain, lanjutkan saja makannya”

Begitulah, tampaknya memang berlebihan kalau aku mengatakan asal muasal jatuh cinta kepada istriku karena terpesona pada jemarinya yang lentik dan indah. Saat itu, beberapa tahun lalu pertama kali aku melihatnya tengah mengetik sebuah artikel di rental computer. Lalu kuberanikan diri menanyai namanya dan meminta nomor teleponnya dan jadilah dia istriku sampai sekarang.

Barangkali ia berfikir kalau aku jatuh cinta karena terpesona pada wajahnya yang hitam manis, atau pada tutur katanya yang lembut dan sopan, atau pada sikapnya yang kadang agak grasak-grusuk itu. Itu memang benar, tapi datangnya jauh setelah aku menikahinya, setelah aku punya banyak waktu untuk memperhatikannya. Bahwa selain punya tangan bagus dan cantik istriku juga memiliki wajah hitam manis yang enak dipandang, punya tutur kata yang lembut dan menenangkan. Tapi yang selalu membuatku mabuk adalah jari-jemarinya yang lentik dan indah terawat itu. Barangkali karena aku tidak pernah memuji parasnya itulah suatu hari istriku memberanikan dir bertanya pada ku.

“apa yang membuat abang jatuh cinta kepadaku sehingga mau menikahi ku?” tanyanya suatu pagi.

Seketika saat itu aku melihat kejari-jarinya yang tengah mengaduk kopi, aku agak bingung juga mendapat pertanyaan seperti itu sepagi ini. Kalau aku jawab jujur bisa dipastikan dia akan salah paham nantinya.

“mau jawaban jujur atau jawaban bohong nih…”

“idih, abang ini gimana sih, ya jawaban jujur dong.” Saat itu aku mendapatkan bagian lain dari dirinya selain tangan indah dan wajah manis, yaitu senyum yang menawan.

“karena jari-kemari mu yang indah dik”

Ia tertegun mendengar jawaban ku,

“tidak ada yang lain?” tanyanya tanpa kedip

Aku menggeleng.

“benarkah?” ia tampak belum yakin.

Aku mengangguk lagi, ia tersenum sambil menyerahkan kopi kepada ku, tapis enyumnya agak getir dan hambar. Barangkali karena dipaksakan. Dan obrolan tentang asal muasal cinta pagi itu berhenti sampai disitu saja. Aku pun tidak pernah menyinggung-nyinggung lagi soal itu.

Hingga suatu hari aku melihat istri ku tengah menggosok-gosok kukunya dengan alat seperti gabus berbentuk persegi panjang pipih, aku hanya memperhatikannya saja dari jauh, benda apa itu piker ku. Tapi karena penasaran akhirnya aku mendekat.

“kenapa kukunya?”

“biar tetap cantik, biar abang terus mencintaiku” jawabnya datar tanpa senyum

Oohh…istriku, ia sepertinya sedang ingin berunjuk rasa kepada ku, menyampaikan sikap protesnya dengan cara seperti itu. Aku jadi geli mendengarnya. Tapi memang setelah ia melakukan ritual itu kukunya menjadi lebih cantik dan mengkilat, biasanya ia hanya membersihkan dengan jeruk nipis saja agar kukunya selalu bersih.

“Bagaimana?” tanyanya sambil memperlihatkan kedua tangannya kepada ku.

“cantik,” jwabku seraya menarik tangannya untuk ku kecu “cccuuuuppp…..”

“kenapa” aku bertanya saat melihat ia menjadi murung, bukankah seharusnya senang mendapat pujian dari suami tercinta dengan bonus kecupan ditangan?

“sedemikian buruk kah wajah ku sehingga abang tidak pernah menciumnya?” ucapnya pelan dan sendu.

Masya Allah…jauh sekali yang dipikirkan oleh istri ku, aku tersentak dibuatnya. Tapi dengan cepat aku segera mengkalkulasikan antara mencium tangannya dengan mencium keningnya, yah, mencium tangannya jauh lebih banyak, tak tehitung. Tapi…aku sama sekali tidak menduga kalau istriku akan berfikir hingga keayat itu.

“bukan begitu saying…” aku menjadi sulit menjelaskan kepadanya

“lalu apa?” suaranya bergetar tapi ia tidak menangis. Ini lah satu hal lagi yang kusukai dari istriku, tidak cengeng. Bahkan dalam beberapa hal ia tampak lebih maskulin dari diriku seperti hoby mengebutnya atau cara dia membenarkan listrik dirumah ini. Tapi semua itu tertutupi dengan kelembutan dan kelentikan jari jemarinya yang indah tadi.

Tangannya tetap lembut walaupun sehari-hari ia berkutat dengan cucian dan bumbu rempah, tutur katanya senantiasa terjaga meskipun ia bisa saja memaki ku dan aku tidak akan marah.

“begini, dulu, asal muasal abang mencintai mu memang karena tangan mu itu. Itu karena sedikit sekali waktu yang ku punyai untuk bisa bersama mu, sehingga setiap kali kita bertemu yang menjadi perhatianku adalah tangan mu. Tapi setelah kita menikah, setelah abang punya banyak waktu bersama mu, abang banyak menemukan yang lain lagi dari dirimu dik. Hingga akhirnya aku mencintai mu dengan stok cinta yang berlimpah-limpah.” Urai ku panjang lebar

“apa itu?”

Ah, istriku, ia meman sangat pandai berpura-pura. Sebenarnya ia sudah tahu apa maksud dan tujuan perkataan ku tapi ia ingin aku mengatakannya dengan jelas.

“adik punya wajah yang manis, ealau tidak seperti bulan tapi selalu ada bintang bergantung disana. Dan tidak pernah hilang meskipun saat kau marah. Adik punya senyum yang manis, memang tidak semanis senyumnya Desi Ratnasari, tapi cukup ampuh untuk menjadi penenang bagi suami mu yang sering dilanda gelisah ini,” aku memperhatikan wajah istri ku lagi, mulai bersinar kembali.

“kamu punya suara yang merdu sekalipun tengah berteriak menyoraki tim sepak bola jagoan mu.”

“heheheh…abang udah deh, jangan merayu terus, nanti aku bisa berteriak lebih keras lagi.” Tawanya begitu lepas

“berteriaklah ditelinga abang”

“aw…aw…” teriaknya riang, aku tertawa]

Istriku, kadang aku merasa Tuhan telah tidak adil kepadanya, karena untuk perempuan sesempurna dia hanya diberikan seorang suami yang cacat. Laki-laki yang hanya mempunyai sebelah kaki dan terus bergantung pada kaki palsu.

10:36 pm

19/02/07

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)