Sabtu, 17 Februari 2007

Musik Kematian

rasanya baru kemarin mengoek setelah sebelumnya menjalani diksar selama sembilan bulan di perut ibu untuk kemudian dilahirkan kedunia yang penuh hiruk pikuk ini. tidak terasa baru menjerit dua kali, balik kiri kanan dua kali sudah hampir seperempat abad hidup didunia ini, masih ingin mencicipi nasi pisang dan air kelapa muda, masih ingin diberi beras dan air garam dikepala setiap kali ada yang menjenguk, masih ingin ditimang-timang, di nina boboin, di shalawatkan, masih ingin semua ritual-ritual pada masa awal-awal lahir ke dunia....

tapi semua itu hanya cerita dua puluh satu tahun silam, cerita hari ini tentu berbeda dengan yang kemarin, yang kemarin berbeda dengan yang kemarinnya lagi, yang kemarinnya lagi berbeda dengan yang kemarinnya lagi begitu seterusnya hingga suatu hari ... aku terbangun dari mimpi buruk! jantung berdetak serasa hampir copot dan keringat jagung berserakan diseluruh badan. lama aku terpekur, ini bukan cuma sekedar mimpi buruk, tapi ini kehidupan nyata yang lebih buruk dari mimpi buruk sekali pun.

kehidupan buruk yang mengintai kemana pun aku melangkah, mengikuti ke setiap lorong, kesetiap gang hingga ke kamar tidur, mencekik ku, membenam kan ku kebantal sampai aku kesulitan bernafas lalu ia mentertawakan ku, suaranya yang terkikik menyeramkan nyaris membuat aku mati dalam kamar yang gelap, sendiri, terkapar dan tak berdaya.

rasa takut, gelisah, kengerian, tak ada yang tau seperti apa rasa semua itu, ketakutan ku berbeda, kengerian ku berbeda, kegelisahan ku berbeda. lalu dari hari ke hari aku meuncul dengan karakter yang berbeda-beda, dengan sikap dan jiwa yang berbeda-beda, aku hanya tak tahu lagi bagaimana mengekspresikan rasa takut dan kengerian itu, saat ingin menangis, saat ingin menjerit, saat ingin berteriak tapi semuanya tercekat diujung lidah, terkurung dalam kamar yang gelap, aku tak berani, tak berani melakukan itu semua karena takut si pengintai mengetahui keberadaan ku.

aku harus bagaimana? tanya ku suatu malam, aku merendam diri dengan air yang nyaris menenggelam kan ku, aku tak bisa bernapas, aku tersedak-sedak, tapi aku tak bisa menjerit, sedangkan pengintai itu terus mengetuk-ngetuk pintu rumah ku. meneriaku ku dari luar. hingga aku tak sadar dengan segudang ketakutan membuncah didada, dengan lampu yang hidup mati ulah si pengintai, dan paginya, saat aku sedang duduk, menerawangi sumber ketakutan ini, dia muncul dengan wajah sedingin salju dihadapan. dengan suara patah-patah mengatakan ini dan itu.
bukan, bukan begitu maksudku. tapi percuma, aku tak punya lidah yang bisa menterjemahkan semua rasa ketidak berdayaan ku. aku tak punya tangan sekedar bisa mengurut luka di dada yang kian menggunung. semuanya telah melebur bersama gelap dan pekat. mendung, senyum yang terbalur dengan kebohongan rasa kerinduan yang dalam. aku tidak tahu lagi. ingin rasanya meminta kembali menjadi janin dan hidup nyaman di perut ibu.
kadang aku berlari, jauh dan jauh sekali, tetapi kemudian aku kelelahan dan terkapar di ujung jalan kehidupan ku. kalau ada kematian yang indah aku hanya ingin kan itu. mainkan aku musik kematian dan tahlilan orang-orang berdoa.
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)