Jumat, 09 Februari 2007

Rumput Menangis

Lihatlah! Rumput rumput menangis!
Mana mungkin! Mana mungkin ada rumput yang bisa mengeluarkan air mata. Bukan hanya rumput tapi juga daun-daun, pepohonan. Itulah yang ku saksikan sepanjang perjalanan ketempat ini. Melewati bukit, menyusuri jalan berkelok, bergerak terus ke selatan dan sampailah aku ke bekas rumah ku yang dulu, rumah tempat dimana aku dilahirkan dan dibesarkan.

“Lihat! Rumput-rumput itu kembali menangis!” entah suara darimana itu.
Mengangguk-ngangguk pertanda ia sedang berduka. Sitelur bundar raksasa mulai bergerak ke barat, sebentar lai akan senja, dan malam.
“Berhenti menangis jika tak ingin melihat rumput-rumput itu menangis” suara-suara lain itu semakin jelas.
“aku tak ingin berhenti menangis!” sahut ku memandang keseluruh mata angin.
“Harus bisa!” bisiknya lagi ditelinga ku
“Kau kejam!” teriak ku
“Bukan kah yang kejam adalah orang tuamu?”
“Kau juga sama kejamnya dengan mereka!” aku menjerit, menututp kedua telinga ku dan kubiarkan air mata ku menetesi rumput-rumput liar itu. Aku benci bisikan-bisikan itu, benci suara-suara mengiang itu.
“Kau harus lupakan Haning!”
“Jangan jadi anak durhaka!”
“Lupakan Haning!!!”
“Lupakan Haning!!!”

Suara-suara lain itu semakin mengejarku, seperti memerangkapku dalam kediktatoran orang tua, menjebak ku dalam situasi sulit dan tak berdaya seperti ini.

“Berhentilah menggangguku!” teriak ku lagi

Tangisku makin besar, aku berteriak, mencabuti rumput-rumput menangis itu, meninju-ninju dinding beton hingga tangan ku luka dan memerah. Perihnya tidaklah seberapa bila dibandingkan dengan luka yang menganga dihatiku, dengan kesedihan yang sedang ku rasa sekarang. Dengan apa yang telah ditorehkan orang tua pada anak gadisnya.

Andai aku punya seorang teman yang benar-benar bisa memahami ku saat ini, tentulah aku tidak merasa sesedih ini, tidak adan merasa sangat sendiri seperti ini, tidak terlalu luka, tapi aku tidak punya, nenek, paman, ibu, semuanya menjadi tidak seperti dulu, telah berpihak kepada ayah, menyuruhku meninggalkan Haning. Dengan alasan yang sama sekali tidak ku mengerti, tidak masuk akal.

Jika saja, jika saja aku tidak mengembalikan angka-angka suci itu kepada pemiliknya tadi siang, jika saja aku tak menghapusnya kemarin malam di phone book ku, barangkali aku masih bisa sekedar mengatakan aku sedang terluka sekarang, yah…hanya dia satu-satunya teman yang tidak menyalahkan ku ketika tahu aku merokok, hanya dia yang memahami mengapa kadang-kadang aku menganggap semua lelaki itu tikus, hanya dia…hanya dia juga yang ku kembalikan nomor kontaknya. Sedang aku tak pernah mengingatnya.

Dan aku tak pernah tahu sore ini akan menjadi seperti ini, sama tak tahunya kenapa aku harus mengembalikan angka-angka itu kepada pemiliknya.

Baru siang tadi aku merasakan sedikit kesenangan, bertemu dengan haning, lalu membicarakan sedikit soal pernikahan. Dan malam ini aku akan kehilangan segalanya. Tidak adakah yang mencoba mengerti sedikit keadaanku? Salahkan aku jatuh cinta pada haning? Salahkah aku menginginkannya agar menjadi imam bagi ku?

“Salah besar kau mencintai Haning!”
“Tapi kenapa ayah? Apa yang salah dengan Haning?”
“Karena dia orang melayu!”
“Hanya karena itu saja?”
“Iya! Sekali ayah bilang tidak maka tidak! Lupakan keinginan mu untuk menikah dengan laki-laki itu!”
“Bu…” aku berharap agar ibu bisa membelaku ketika itu
“Sebaiknya dengarkan kata-kata ayah mu”
“Tapi apa yang salah dengan melayu? Dari keluarga kita banyak kan bu yang menikah campur, lalu kenapa Hani tidak boleh?”
“Tidak semua hal harus kamu ketahui Hani”
“Nek…?” aku mencari perlindungan kepada nenek, mudah-mudahan dia bisa membantuku mengatasi situasi ini.

Nenek menggeleng, pertanda ia tak bisa melakukan apa-apa untuk cucu perempuannya ini. Semakin pecahlah perasaan ku. Semakin berkabut mataku.
Ada yang tidak ku mengerti dengan semua orang dirumah ini. Aku seperti tidak pernah mengenal mereka. Aku menjadi asing.

“Tapi Hani berhak tahu kan…” aku memandang semua orang. Semua diam. Tak ada yang menjawab. Aku melirik adik kecil ku, ia mengintip dari balik pintu kamar, matanya tampak berkaca-kaca.

Aku bergegas masuk ke kamar. lalu mengunci pintu rapat-rapat.
“Diah…” panggil ku
Air mata ku tumpah. Ku peluk kuat-kuat adik kecilku dengan harapan ia bisa memberikan sedikit ketegaran kepada ku.
“Kakak…” suaranya tercekat. Aku tidak bis berkata apa-apa lagi.
“Kalau tidak ada yang mendengar kata-kata ku silahkan keluar dari rumah ini!” suara ayah seperti petir saja ditelinga ku. Sebegitu murkanya kah dia? Aku memperkuat pelukan ku.
"Hani…buka pintunya” suara Nenek memanggil. Tapi aku tidak peduli. Toh semua tidak ada yang peduli dengan ku.
“Kakak…Diah takut”
“Nggak usah takut”
“Kakak…orang melayu itu apa sih?”

Oh Tuhan…anda saja aku punya teman saat ini, akan ku mintai tolong agar ia menjelaskan kepada adik kecilku apa itu orang melayu, pertanyaan yang begitu polos. Aku hanya bisa menatapnya dalam diam.

“Apa yang salah pada Haning?”
“Apa yang salah dengan ke melayuan-nya?”
“Bukankah istri paman juga ada yang melayu? Kenapa aku tidak boleh?”

Pikiran ku berkecamuk. Hatiku hancur menjadi serpihan-serpihan berdarah. Andai saja aku tidak tergesa-gesa menceritakan kebahagiaan ku kepada ibu, barangkali untuk besok dan lusa aku masih bisa berhayal sedikit lagi tentang cinta yang indah. Tapi toh semuanya sudah terjadi, aku telah di cap sebagai pendosa karena mencintai lelaki melayu. Ah…andai saja ku tak terburu-buru. Ku pikir mereka akan senang dengan kabar yang ku sampaikan tapi ternyata yang terjadi adalah sebaliknya.

Kenapa semua ini terjadi pada ku? Dulu, aku pernah mencintai laki-laki tapi karena sadar aku tidak bisa memilikinya maka dengan berat aku meninggalkannya. Dan setelah itu aku harus berjuang tertatih-tatih agar bisa mencintai Haning seperti aku mencintai lelaki-ku yang dulu.

Dan sekarang, setelah aku berhasil mencintai Haning justru keluarga yang menolaknya dengan alasan yang kabur seperti kabut. Tak adakah sedikit keadilan dariorang tua kepada anak-anak mereka? Ah, kalau begitu anak bukanlah anak panah yang melesat dari busurnya tetapi anak kunci yang sampai kapan pun tak terlepas dari ke otoriteran orang tua.

“Lihat! Rumput-rumput itu semakin kuat menangisn”
“lupakan Haning dan berhenti menangis”
Aku benci suara-suara liar itu. Aku benci bisikan-bisikan itu
“Enyahlah dan jangan ganggu aku lagi” aku berteriak. Tapi kepada siapa?
Aku pernah belajar mencintai bukan untuk memiliki. Tapai apakah itu harus terulang kedua kali? Apakah harus mengalah demi keortodokan orang tua? Lalu menggadaikan perasaan hingga rambut menjadi putih?

Diatas batu ini aku duduk dan menangis, menangisi ketidak berdayaan seorang anak juga kisah hidup. Baru sekali ini aku merasakan bisa mencintai secara utuh, baru kemarin aku mengatakan bahwa mencintai Haning adalah penyerahan jiwa, aku benar-benar mencintainya dengan jiwa ku. Tapi sore ini orang-orang mengatakan mencintai Haning adalah kesalahan.

“Kakak…udah malam”

Oh…!
Aku hampir saja terlupa, ada adik kecil bersama ku. Kalau bukan karena dia mungkin aku akan terus disini. Menyaksikan rumput-rumput menangis. Daun-daun yang bercahaya dan malam-malam yang berkabut.

“Kakak, orang melayu itu apa sih?”

Siapa teman yang bisa ku mintai tolong untuk menjelaskan kepada adik kecilku. Apa yang aia pikirkan tentang melayu hingga ia bertanya sampai dua kali?

“Orang melayu sama seperti kita, punya hati dan perasaan”
“Diah ngga ngerti…”

Sama tidak mengertinya seperti aku, seperti kakaknya…seperti perempuan yang ditakdirkan mencintai Haning kemudian tidak mendapat restu…seperti seorang teman yang mengembalikan angka-angka milik temannya dan setelah itu ia ingin berbagi dengan nya. Semuanya adalah ketidak mengertian.

Diatas batu ini aku duduk dan menangis, meneteskan air mata ku pada rumput-rumput dan bebatuan…meluruhkan jiwaku pada angin dan kabut.

09/02/07
Belajarlah mencintai dengan keihklasan
aku hampir lupa, sebagian besar kisah ini adalah nyata

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)