Minggu, 04 Februari 2007

"Takut Menikah, apakah Perlu?"

kegelisahan menjelang masa-masa pernikahan memang hal yang lazim bagi setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, hanya saja setiap orang berbeda dalam menyikapi kegelisahan itu, ada yang santai, tenang tapi ia terus belajar, ada juga yang mondar-mandir, grasak-grusuk atau tiet tuet tetapi ia tidak mencari tahu akan hal-hal yang menyebabkannya gelisah. duduk bertopang dagu sambil terus menceracau "takut menikah....."

tulisan ini muncul disela-sela berdiskusi dengan seorang teman, sudah dua minggu terakhir ini diskusi seputar persoalan pra wedding hingga masa-masa dalam pernikahan sampai masa setelah itu rupanya belum mencapai titik temu yang menurut teman saya itu "pas", saya pun sibuk mutar otak, mencari kalimat-kalimat yang ringan untuk menjelaskannya, agar yang terkesan "serem" itu kelihatan biasa-biasa saja. mendengarkan curhatnya memang terbayang jelas ketakutan dan kegelisahannya yang tidak dibuat-buat. saya maklum, karena sayapun sering mengalami hal serupa, tapi mungkin saya tergolong yang tiet tuet tetapi suka bertanya kepada "guru".

memberi saran tentang masalah ini memang tidak bisa sembarangan, apalagi yang dibahas mengenai hadist-hadis dan dalil al Quran...salah-salah nanti malah jadi kacau. saya sendiripun secara real belum pernah mempraktekkannya, "jadi sebaiknya uni banyak baca buku aja lagi deh..." saran saya ketika diskusi mulai hampir mendidih. walaupun begitu, apa yang saya tahu, apa yang saya pahami sudah maksimal saya jabarkan, inilah salah satu manfatnya sering berinteraksi dengan orang dewasa, saya belajar dari mereka walaupun mereka tidak pernah mengajarkannya secara langsung. melalui obrolan-obrolan yang kesannya sangat biasa itulah saya belajar banyak hal, seperti misalnya bagaimana cara menghadapi laki-laki, bagaimana mempelakukan mereka, bagaimana bersikap didepan mereka dan apa yang harus dilakukan agar mereka "lunak", ini sih bagi laki-laki yang hatinya seperti batu. setiap kita punya kelemahan, maka kita harus pintar-pintar mencari titik lemah itu agar bisa "mengendalikannya", mengendalikan tidak sama dengan menunggangi ingat itu, sama seperti di pimpin yang tidak sama dengan didikte oleh suami.

kalau yang satu api maka jadilah kita seperti air, dan kalau suami kita batu jadilah kita tanah liat, ini bukanlah bentuk lain dari ketidak berdayaan perempuan/istri menghadapi suaminya, tapi dari banyak kasus yang saya lihat, banyak yang akhirnya bercerai karena dua-duanya memilih menjadi tokoh antagonis. maka belajarlah menjadi orang yang lapang hati dan mau menerima kekurangan orang lain dengan catatan tak lupa mengkoreksinya dan menasehatinya agar ia menjadi liontin yang bagus, kalau bagus dilihat orang kan suami/istri kita juga, yang senang siapa?

suami dan istri seyogyanya memang menjadi partner/mitra dalam sebuah keluarga agar komunikasi bisa berjalan dengan lancar, tapi...watak dan sikap orang kan berbeda-beda, tidak semuanya "melek" ada juga yang punya watak kasar dan otoriter dan ini menjadi persoalan ketika dia harus menjadi Qawwam dalam keluarga. sebaliknya, perempuan juga tidak semuanya penurut dan lembut, ada yang pembangkang, ada yang keras walaupun terselubung, dan saya sepertinya termasuk yang "kreuh dalam seunaloep" alias yang terselubung ini, dan ini sah-sah saja.

menghadapi suami otoriter inilah yang sangat ditakuti oleh teman saya itu "posisi wanita ga ada bagusnya, maju ga rela mundur dilarang" katanya ketika berbicara seputar poligami. hm...saya sempat menghela napas sampai disini, diam beberapa saat dan tidak tahu harus berkata dan akhirnya saya sarankan agar beliau banyak membaca buku lagi. siapapun perempuan, termasuk saya jika ditanya apakah rela suaminya menikah lagi sudah pasti jawabannya tidak "tapi bukan lantas karena itu kita jadi ingkar pada ketentuan Tuhan kan?" tanya saya. bagaimanapun, poligami adalah sesuatu yang "halal" dan kita tidak bisa untuk tidak menerima itu, tetapi dalam kehidupan nyata semua orang memerangi poligami seperti sedang berjihad fisabilillah saja. kalau teman saya itu dekat sudah saya pinjami beliau buku "poligami yang disenangi wanita", isinya bagus dan penjelasannya logis. bagi yang penentang poligami, bagus buku ini biar wawasannya bertambah sedikit dan tidak tutup telinga kalau sudah ngomong soal poligami.

dalam banyak hal istri memang kerap "dipaksa" mengikuti kehendak suami dan selalu "patuh" ini merupakan tindakan yang salah tetapi selaku yang di qawwam tadi istri sering tidak boleh banyak bersuara apa lagi mengeluarkan pendapat, kehadirannya seolah-olah hanya sebagai pelengkap, seperti taburan coklat diatas bolu. ada atau tidaknya sama sekali tidak berpengaruh terhadap rasa, akibatnya istri jadi mati kreatifitasnya, jadi penurut tidak tentu arah dan banyak yang jadi seperti bukan dirinya sendiri lagi, padahal dulu ketika kuliah dia seorang aktivis kampus yang cukup berani dalam menyuarakan aspirasinya. lalu kemana semua itu setelah menikah? hanyut bersama air sabun kah? atau hilang bersama asap dapur? atau jangan-jangan tersimpan dibawah kasur.

saya sendiri bukannya tidak paham bagaimana dan apa yang harus dilakukan seorang istri kepada suaminya, tapi hormat kepada suami saya fikir bukan semata-mata terpatok pada ucapan "cut bang..." lalu setelah itu keluar kata makian yang berekor sampai ke meja makan, bukankah memanggil suami juga bisa dengan namanya saja? dan ini bukan berarti tidak hormat pada suami, tapi ini memang agak sensitif bagi sebagian orang, karena itu komunikasi dua arah sangat diperlukan agar tidak tejadi kesenjangan dan salah paham. karena bukan sedikit dari laki-laki yang meskipun sekolah sudah sampai keluar negeri masih enggan melepas pemikiran feodalnya. istri itu harus begini, begitu, sudah ada dalam daftar kepalanya.

makanya, "carilah suami yang "melek" agar bisa menjadi partner hidup yang tidak membosankan" pesan saya diakhir pembicaraan, karena menikah sekali untuk seumur hidup, dan berkeluarga bukanlah percobaan di lab yang kalau gagal bisa diulangi kembali. menikah adalah menggenapkan setengah dien dan tinggal menyempurnakannya dengan amalan yang lain, bukan dengan menikah justru mengantar kita ke neraka.

dan satu hal yang penting, jangan terlalu jauh memikirkan ketakutan-ketakutan yang tidak beralasan, "rumahku surgaku" begitu kata pepatah arab, maka pintar-pintarlah mengatur suasana dalam rumah tangga agar selalu menjadi surga, surga istri ada dibawah telapak kaki suami bukan? itu yang harus senantiasa diingat perempuan karena itu carilah keridhoan suami agar bisa memasuki surga dari pintu nama saja dan bagi para suami ingat "surga" suami ada pada istrinya jadi pintar-pintarlah menyenangkan istri agar selalu mendapat "surga".

ah...akhirnya selesai juga tulisan ini, selesai chatt selesai pula "laporannya"....tapi sudah ada pesanan tulisan nih untuk nanti malam....semoga yang dipesan itu hasilnya maksimal.
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)