Jumat, 27 Juli 2007

Meretas Jalan Menuju Jingga Bagian VI

Keputusan ku sudah bulat. Aku akan memilih Juan dengan atau tanpa sepengetahuan Zal. Aku juga merasa tak perlu meminta ijin darinya untuk itu. Aku adalah diriku sendiri, bukan milik Zal atau siapapun. Aku ingin jadi jiwa yang merdeka. Bebas untuk memilih siapapun yang akan menjadi teman dalam hidupku. Sudah sebulan lebih aku mempertimbangkan keputusan ini, dan aku tak ingin mendengar apapun lagi. Bahkan untuk mencari tahu keberadaan Zal. Aku akan menikah dengan Juan.

Tapi kemana Juan? Sudah sebulan ini ia tidak menghubungi ku. Tidak pernah mengirimkan kabar untuk ku. Dia kembali raib, hilang. Entah kemana. Mengapa ia selalu begitu? Hilang saat aku menginginkan ia ada didekatku. Apa Juan hanya ingin mempermainkan perasaan ku saja? Membuat ku kembali terkatung-katung dengan kondisi seperti ini?

Aku tak berani memberi tahukan semua ini pada orang tua ku, beberapa waktu yang lalu saat ku beri tahu Juan akan datang melamar ibu tampaknya keberatan setelah tahu Juan duda. Lebih-lebih dengan usia kami yang terpaut jauh. Konon lagi jika ia tahu sudah sebulan ini Juan kehilangan jejaknya. Itu akan semakin menambah sangkaan negatifnya pada laki-laki itu. Sementara ayah tak jauh beda dengan ibu, ia masih saja sibuk menjodohkan ku dengan anak temannya yang pemalas itu. Yang suka memamerkan kebesaran dan harta orang tuanya. Mengingat Yunas benar-benar membuat ku mual.

Tiba-tiba saja aku jadi teringat Aliya, kekasihnya bang Firman yang dulu pernah bertemu dengan ku di kafe. Entah mengapa aku jadi ingin bertemu dengannya. Barangkali hanya dialah yang bisa ku ajak berbicara dari hati kehati. Sedikit banyak kami punya persamaan, sama-sama mencintai laki-laki beristri.

“Aku bingung sekali saat ini Al,” kata ku mengawali kegalauan hati ku saat bertemu dengan Aliya dirumanya.

Aliya tidak seperti yang aku kira, dia baik dan pengertian. Usianya terpaut lima tahun dengan ku. Aku menyesal telah berprasangka buruk kepadanya dulu. Dalam beberapa hal dia memang terlihat lugu dan polos. Tapi perhatiannya tulus. Wajar saja bila bang Firman menyukainya.

“Aku sudah putuskan untuk menerima Juan, tapi dia malah hilang dan seperti menjauh dari ku. Aku benar-benar seperti perahu yang kehilangan arah. Zal dan Juan sama saja.”

“Kadang-kadang aku seperti tak terima takdir, mengapa terus menerus terjebak pada situasi seperti ini.”

“Keputusan mu sudah baik Jingga. Sekarang yang perlu kamu fikirkan adalah orang tua mu, bukan Juan. Aku yakin Juan akan datang lagi, bukan kah dia selalu begitu? Hilang dan pergi.”

“Iya, tapi…bagaimana tidak resah begini Al. kalau tiba-tiba dia tidak pernah kembali lagi itu kan sangat konyol. Orang tua ku pasti akan langsung mengatakanku banyak hal, tak pintar mencari calon suami lah, sukanya dengan duda lah….aku pusing memikirkan mereka. Syukurnya aku jauh dari mereka.”

“Yang kamu alami jauh lebih baik dari pada yang aku alami Jingga. Aku tidak ingin kamu sampai mengalami seperti apa yang aku alami, Juan kelihatannya baik.”

“Darimana kamu tahu Juan baik?”

“Dari cerita mu.”

“Oh. Sebentar…mama menelepon ku.”

“Ya Ma, ada apa?”

Ada yang ingin mama bicarakan dengan kamu, jadi mama harap kamu bisa segera pulang ke rumah.”

“Mama Jingga sedang banyak sekali pekerjaan di kantor. Tidak bisa pulang besok atau lusa.”

“Mama tidak mau tahu, kalau dipecat disitu kan masih bisa bekerja ditempat lain lagi.”

“Mama ini sangat egois. Selalu saja begitu.”

“Pokoknya kamu harus sampai besok dirumah. Titik!”

Tut. Saluran telepon terputus. Aku merandek. Mama ku benar-benar sangat otoriter.

“Mereka sama sekali tidak tolerir dengan kemauan ku kali ini Al.”

Aliya hanya tersenyum. Hambar. Ada kesedihan terpancar dimatanya.

“Oh ya, tadi sepertinya ada yang ingin kamu bicarakan. Kalau boleh tahu soal apa?”

“Firman.”

“Ya, kenapa dengan dia? Apa dia menyakiti mu?”

Aliya lagi-lagi diam, membuat ku tak mengerti apa yang sebenarnya tengah terjadi padanya.

“Ayolah, bukan kah aku juga sudah bercerita banyak pada mu tentang masalah pribadi ku?”

“Aku hamil Jingga.”

“Apa?! Sama siapa?”

“Firman.”

“Firman?!!!” mata ku mendelik. Tak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan oleh Aliya. Aliya mengangguk lemah. Ia terlihat sangat terluka dan kecewa.

“Lalu? Kamu sudah bicarakan dengan Firman?”

“Itulah Ngga…”

“Itulah bagaimana?” aku jadi tak sabaran dan menjadi kesal mendengar semua itu. Bagaimana mungkin Firman yang ku kenal baik dan sopan itu mampu berbuat kurang ajar begitu. Ingin rasanya ku tendang tubuhnya hingga jatuh.

“Firman tidak mengakui kalau anak yang ku kandung ini anak nya.”

“Apa?”

Aku benar-benar kaget. Apakah Firman sejahat itu?

“Dia bilang dia tidak mungkin menikahiku, hubunganku selama ini hanya pelampiasan atas sikap istrinya saja padanya. Dan kami tidak pernah bertemu lagi sejak sebulan terakhir ini, sejak aku menceritakan perihal keadaan ku pada nya.”

Aliya mulai menangis, ia terlihat sangat tersiksa sekali dengan kejadian yang menimpa dirinya. Aku mengumpat-ngumpat dalam hati. Tak bisa menerima perlakuan Firman pada Aliya.

Aku mencoba menghubungi Firman begitu sampai dirumah, tidak aktif. Ku tekan nomornya yang satu lagi. Sepertinya ia sengaja membangun jarak antara dirinya dan ALiya.

“Abang bajingan,” umpat ku begitu tersambung

“Eh, ada apa ini? Kok teriak-teriak begitu?”

“Apa yang abang lakukan pada ALiya?”

“Oh, kamu sudah ketemu dengannya rupanya? Bicara apa saja dia?”

Aku semakin meradang mendengar jawaban Firman yang seenaknya begitu. Apa ia pikir perempuan hanya pemuas nafsunya saja.

“Mengapa abang tega melakukan semua itu pada Aliya? Abang memanfaatkan dia.”

“Salah dia sendiri, waktu abang minta diberikan.”

Ah! Aku benar-benar marah. Bukan hanya kepada Firman tapi kepada semua laki-laki. Zal dan juga Juan. Juga laki-laki lainnya yang pernah aku kenal dan berprilaku sama seperti Firman. Tidak ada yang tulus pada mereka. Perasaan perempuan hanya boneka bagi mereka.

“Jingga, apa kamu fikir ada laki-laki yang rela menceraikan istrinya dan menikahi perempuan lain? Jumlahnya hanya satu persen, dan asal kamu tahu, laki-laki yang sudah menikah dan menjalin hubungan dengan perempuan lain tak lain hanya untuk bersenang-senang.”

Aku benar-benar tidak tahu menjawab apa. Tapi tidak semua laki-laki seperti yang ia tuduhkan pada ku. Zal salah satunya. Walaupun kami saling mencintai, dan peluang untuk melakukan perbuatan tidak senonoh itu ada tapi kami tidak pernah melakukannya. Kami pernah bertemu, pernah berdiam diri dalam satu ruangan tertutup bersama-sama tapi tak ada setitik niat pun untuk melakukan itu sekalipun dihati kami masing-masing keinginan itu tetap ada. Tapi Firman…

Aku kembali menangis, kali ini bukan karena sedih memikirkan diriku tapi memikirkan apa yang dialami Aliya dan perempuan-perempuan lainnya yang bertemu manusia-manusia seperti Firman. Aku kesal, ingin berteriak, memaki.

Sebuah pesan masuk membuat tangisku terhenti sejenak. Aku tidak tahu siapa yang mengirimkan pesan tersebut, dan mengapa ia memintaku datang ke kafe Kita malam ini pukul sembilan. Di meja no 10 lantai dua.

Kafe Kita, lantai dua nomor sepuluh. Siapa orang yang mengundang ku disana? Dan mengapa harus dilantai dua? Mengapa harus nomor sepuluh? Aku bertanya-tanya pada diri ku sendiri. Segera aku melirik jam, sudah pukul tuju lebih seperempat. Itu hartinya hanya tersisa waktu 45 menit lagi untuk segera sampai kesana.

Orang itu seperti tahu saja kalau aku sedang ada waktu luang. Tapi bagaimana dengan mata ku yang sembab ini? Ah masa bodoh.

Aku naik kelantai dua kafe ini dengan hati yang bergetar, tangan ku sedikit gemetar, aku tak mau menebak-nebak. Aku hanya berkeyakinan bahwa orang itu pasti sangat ingin bertemu dengan ku dan tidak berniat mempermain kan ku. Itu saja. Tapi…mengapa orang itu tahu aku menyukai suasana kafe ini?

Meja nomor sepuluh masih kosong. Tidak ada tanda-tanda ada orang disana. Mejanya bersih, tidak ada pesanan minuman maupun bekas makanan. Aku melihat kesekeliling, sepi. Setelah memastikan tidak ada orang yang ku kenal aku pun duduk disana. Lima menit lagi tepat pukul delapan, barangkali cukup untuk menetralisir geletar-geletar dihati ini.

Tepat pukul delapan sesosok laki-laki muncul, aku jelas sangat mengenalnya. Ia terlihat sangat segar, berbeda sekali dengan ku yang kelelahan dan sembab karena habis menangis. Ia mengenakan kemeja lengan pendek kotak-kotak berwarna biru, dipadu dengan celana jeans warna senada. Hati ku berteriak senang. Sekaligus haru yang dalam.

“Maafkan abang yang telah hilang selama ini. Mulai sekarang abang janji tidak akan pernah hilang lagi dari kamu sayang.” Juan mengatakan itu dengan tulus. Aku hanya bisa tersenyum.

“Benar kah?”

“Iya,”

“Tapi…”

“Tapi kenapa?”

“Kita sepertinya akan ada sedikit tantangan.”

“Soal?”

“Orang tua ku”

“Aku sudah menemui mereka, sudah meyakinkan mereka.”

“Tapi sore tadi baru saja mama meminta ku untuk pulang untuk membicarakan kembali masalah ini.”

“Iya memang benar, tapi untuk menentukan hari pernikahan kita.”

“Benar kah?”

“Iya sayang.”

“Oh….aku senang sekali. Ku pikir abang tidak pernah kembali lagi dalam hidup ku.” Aku pura-pura merajuk.

“Abang ada pekerjaan, dan abang harap kamu bisa mengerti kondisi abang yang satu ini.”

“Bagaimana kalau nanti aku kesepian” goda ku sedikit nakal

“Kamu ini bisa saja menggoda abang…”

“Sepertinya aku mulai jatuh cinta beneran sama abang.”

“Abang akan selalu buat kamu jatuh cinta.”

“Benar kah?”

“Iya.”

Bersambung…

Meretas Jalan Menuju Jingga Bagian V

Juan banyak bercerita tentang keluarganya yang dulu, anaknya berusia lima tahun sekarang dan diasuh oleh mantan istrinya. Mereka sekarang berada di Lhokseumawe dan mantan istrinya juga sudah menikah lagi sekarang. Dimatanya tak ada kemarahan apalagi dendam saat menceritakan perihal istrinya yang menurutnya suka menghambur-hamburkan uang dan tidak setia. Diam-diam tanpa sepengetahuan Juan ia menjalin hubungan gelap dengan laki-laki lain. Namun, sepintar-pintarnya tupai melompat sekali waktu akan jatuh juga. Begitulah, mantan istrinya yang bernama Rada ketahuan berselingkuh. Namun yang lebih menyakitkan ia berselingkuh dengan teman Juan sendiri.

Diam-diam aku menaruh simpati pada laki-laki itu. Dengan berbagai kesibukannya yang padat harusnya ia mempunyai seorang istri yang bisa mengerti kondisi dan keadaannya. Bisa menjadi penyemangat bagi hari-harinya yang sibuk. Bukan lantas menambah bebanya dengan hal-hal yang tidak perlu. Tapi, siapapun Rada aku tak berhak mengomentari apapun tentangnya. Dia adalah masa lalu Juan, dan tak ada kaitannya dengan ku.

Entah mengapa aku ingin sekali hadir sebagai penyemangat bagi Juan, melakukan tugas-tugas seperti yang dilakukan ibu kepada ayah dirumah. Membuatkan segelas kopi sebelum ia berangkat kerja, menyiapkan air hangat saat ia pulang kemalaman, atau sekedar memijit pundaknya yang kelelahan.

Aku menatap mata Juan dalam-dalam. Kerinduan jelas tak bisa ku sembunyikan didepannya. Juan tersenyum, memamerkan sederet giginya yang indah.

“Karena itulah aku memutuskan untuk bercerai darinya, ia hanya mencintai harta ku saja. Bukan aku.”

“Dari segi apa dia tidak mencintai abang? Apa kurangnya abang? Tampan, kaya, baik.”

“ Sudahlah, lupakan dia. Kamu bersedia kan jadi istri ku Jingga? Aku akui usia ku barangkali sedikit agak tua untuk mu. Tapi aku yakin, kamu akan jadi teman hidup yang menyenangkan bagi ku. Kamu periang, ngobrol sama kamu enak dan nyambung.”

“Aku perlu berfikir, beri aku waktu ya?”

“Berapa lama?”

“Jingga tidak tahu Bang.” Suara ku tiba-tiba berubah. Bayang Zal melayang-layang tepat dipelupuk mata ku, membuat ku kian samar memandangi Juan yang mengharapkan jawaban ku.

Suasana hati ku sangat kacau. Aku ingin mengakui semua kemelut hati ku pada Juan, tapi tidak berani. Pada saat yang bersamaan aku juga belum sanggup hidup tanpa Zal.

“Abang mau minum apa?” Tanya ku berbasa-basi, berharap ketegangan hati ku mereda. Aku tidak ingin Juan tahu kegalauan ini.

“Terserah kamu,”

“Sebentar, Jingga buatkan minuman dulu ya.”

Aku pamit ke dapur, membuat minuman adalah alasan yang ku gunakan agar bisa terhindar sesaat dari Juan. Air mata ku sudah tak dapat ku bendung lagi. Hati ku menjadi sumbat dan membuat ku tersengal. Di dapur aku menangis sepuas-puasnya. Mata ku nanar menatap langit-langit dapur yang putih. Adakah Zal tahu isi hati ku yang sebenarnya? Aku sangat mencintainya, aku teramat sangat menyayanginya dan itu membuatku sangat sulit menentukan hal-hal seperti ini dalam hidupku.

Aku masih ingat setahun yang lalu, Zal marah besar saat tahu aku punya hubungan sesaat dengan seorang laki-laki. Ia tak bisa terima diperlakukan begitu. Ia tak mau aku punya laki-laki lain selain dirinya.

“Kamu yang mengatakan kalau kamu adalah kekasih abang, tapi mengapa kamu sampai begitu dibelakang abang?” tanyanya ketika itu.

Aku hanya diam, tak menjawab tepatnya tidak tahu menjawab apa. Ku akui aku memang salah dan aku sudah minta maaf.

“Abang tidak mau kejadian seperti ini terulang kembali. Abang tidak suka kamu menjalin hubungan dengan laki-laki lain. Abang cemburu. Abang mau kamu tetap setia pada abang”

Mungkin itulah kata hati Zal yang paling dalam, yang ia katakan saat ia sedang marah. Diam-diam aku menyesali perbuatan ku dan berjanji untuk tidak mengulangnya kembali. Tapi sekarang? Saat Juan hadir dalam kehidupan ku yang lain, apakah aku harus meminta persetujuan dari Zal, sementara ia sendiri tidak bisa memberikan kepastian kepada ku.

Apakah aku harus merasa berdosa dan sebersalah ini untuk mengatakan bahwa aku juga menyukai Juan? Meskipun aku tahu cinta itu belum terlalu tulus seperti cinta ku pada Zal. Cinta ku pada Juan masih sebatas karena ia punya banyak kemiripan dengan Zal, tapi aku yakin bila aku menjalani semua itu dengan serius aku akan berhasil melakukannya dengan tulus.

Kemana aku bertanya disaat-saat seperti ini. Kepada siapa aku bercerita tentang Zal dan Juan? Pernah sekali waktu aku mencoba membagi gundahku tentang Zal pada seorang teman, belum selesai aku bercerita dia sudah memvonis ku sebagai perempuan tidak baik. Apakah jatuh cinta itu salah? Apakah mencintai laki-laki yang sudah beristri itu dosa? Sedang aku tak pernah berharap lebih dari itu.

“Jingga…kamu menangis?”

Suara Juan membuat ku tersentak. Buru-buru ku hapus air mata ku. Aku mencoba tersenyum tapi terasa hambar dan kaku. Aku baru sadar bila air yang ku janjikan tadi sama sekali belum ku buat. Aku jadi serba salah didepan Juan.

Ada apa? Ceritalah pada abang.”

Bagaimana aku memulainya? Bagaimana aku mengatakannya? Aku tidak sanggup. Aku terlalu takut, untuk kemudian dikatakan perempuan tidak baik. Perebut suami orang, pengacau rumah tangga orang. Perusak aturan dan norma. Aku tak berani menghadapi kenyataan itu. Apalagi oleh Juan.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba melonggarkan sedikit ruang di hati ku. Ku beranikan diri untuk menatap mata Juan yang bersinar. Tatapan teduhnya membuat ku sedikit tenang dan nyaman. Terlebih saat ia merebahkan ku dalam pelukannya yang hangat. Tangannya yang lebar membelai kepala ku dengan lembut, mengusap air mata di pipi ku.

“Aku boleh bercerita tentang keadaan ku yang sebenarnya?”

“Apa abang pernah melarang mu?”

“Aku takut abang akan meninggalkan ku setelah aku menceritakan yang sebenarnya.”

“Apa kamu menilai abang seburuk itu Jingga?”

Aku menggeleng.

“Lalu, kenapa kamu berfikiran begitu secepat ini?”

“Aku hanya takut bang.”

“Ceritakanlah, agar ketakutan mu bisa hilang, semoga saja ada jalan keluar dari ketakutan yang kamu katakan itu.”

“Sebenarnya…saat ini aku masih mencintai seseorang, usianya sebaya dengan abang. Dia sudah menikah dan berkeluarga, dan itu adalah kenyataan yang tak mengenakkan untuk ku. Aku kesakitan setiap kali hati ku membentuk getaran rindu terhadapnya. Aku hanya bisa menangis setiap kali teringat padanya, seperti sekarang ini…” ujarku setelah lama diam.

“Sejak bertemu abang, sedikit-sedikit aku mulai bisa melupakannya. Tapi sekarang aku benar-benar bingung bang. Aku seperti tidak bisa membuat keputusan untuk diri ku sendiri. Jiwa ku sudah terikat, walaupun aku tahu aku berhak untuk tidak mempertahankannya.”

Juan masih membimbingku dalam pelukannya, ia tak berkomentar suatu apapun. Aku juga tidak tahu seperti apa ekspresi wajahnya karena aku hanya bisa meringkuk dalam dadanya yang bidang. Aroma tubuhnya membuat ku benar-benar nyaman dan merasa aman.

“Tapi dilain sisi aku juga tidak bisa membohongi perasaan ku, aku sayang pada abang. Aku ingin mengisi hari-hari abang seperti halnya abang mengisi hari-hari ku.”

Aku memajamkan mata, cemas menunggu-nunggu kata apa yang akan diucapkan Juan. Marahkah dia atau tidak.

“Apa kamu ingin terus menerus terjebak dalam situasi begitu sayang?” tanyanya kemudian. Secepat kilat aku menggeleng.

“Lalu, apa keinginan mu sekarang?”

“Aku hanya perlu seseorang yang bisa membantu ku keluar dari situasi ini.”

“Kamu sudah yakin abang orang yang kamu perlukan itu?”

Aku mengangguk. Juan tak menjawab. Semua yang diucapkan oleh Juan terdengar seperti angin pagi yang menyegarkan rongga-rongga jiwa ku. Aku merasa tenang. Aku bahagia bisa didekatnya. Aku memeluk Juan dengan erat.

“Aku tidak mau abang hilang lagi dalam kehidupanku.”

Bersambung…

Meretas Jalan Menuju Jingga Bagian IV

Suatu malam di kafe Kita, aku sedang menikmati secangkir espresso dan sepiring pisang goreng keju yang sudah disiapkan oleh salah satu pelayannya. Kali ini aku duduk dimeja yang bersebelahan dengan kolam, tetapi masih diruangan belakang. Malam ini suasana kafe sangat ramai karena kebetulan malam minggu. Semua pengunjung yang hadir tampak berpasangan, hanya aku saja barangkali yang mau nongkrong disini sendirian. Sudah itu berlama-lama pula. Aku tersenyum sendiri, mentertawakan ketak pedulianku atas apa yang sedang terjadi pada diri ku.

Dari kejauhan aku melihat seorang laki-laki paruh baya masuk, disampingnya seorang perempuan muda mengikuti langkahnya. Perempuan itu sepertinya tak jauh beda usia dengan ku. Hati ku serasa mendidih menyaksikan itu, sebab aku sangat mengenali laki-laki itu.

Ditengah hiruk pikuk keramaian dan suara hingar binger musik aku melangkah menuju ke meja tempat laki-laki dan perempuan tadi duduk. Firman, laki-laki itu agak terkejut melihatku muncul begitu saja didepannya. Didepan perempuan itu aku tetap memasang senyum, sekalipun dengan senyum yang masam dan hambar.

“Sebentar Al, aku mau ngomong dengan Jingga dulu, dia ini teman kerja ku.” Kata Firman berpamitan pada gadis itu. Perempuan itu mengangguk, hal yang sama ia lakukan pada ku.

Setelah ku paksa akhirnya Firman mengakui kalau perempuan itu adalah kekasihnya. Namanya Aliya. Aku agak marah ketika dengan santai Firman menjawab bahwa ia mencintai perempuan itu dan perempuan itu juga mencintainya.

“Abang ini sudah gila, abang sudah punya istri dan anak. Mengapa harus main belakang seperti itu?” kata ku berang

Aku memang sudah menganggap Firman seperti abang ku sendiri. Karenanya aku merasa berhak menasehatinya untuk hal ini. Karena aku juga mengenali istri dan anak-anaknya.

“Kamu kan tahu kakak seperti apa Jingga. Kalau abang pulang kerjanya hanya marah-marah saja, kalau abang ajak pergi alasannya sibuk karena ia lelah bekerja, abang butuh suasana segar dan kakak mu itu tidak bisa menghadirkan suasana itu dirumah. Dia lebih senang mengurusi bunga-bunganya ketimbang abang.” Suara Firman terdengar pias.

Ku akui memang, kak Alaya istrinya bang Firman memang seperti itu. Dia tipe perempuan yang cuek, ia hanya berfikir apa yang telah menjadi miliknya pasti akan selamanya menjadi miliknya. Mungkin selama ini ia tak pernah menduga bila bang Firman bisa saja mencari selah untuk bisa keluar dari ketidak peduliannya sebagai istri kepada suaminya.

“Alya juga sangat mencintai abang.”

“Tapi sampai kapan abang akan terus-terusan begini?”

“Abang tidak tahu,”

“Tapi…nama mereka hampir sama ya?”

“Mungkin abang berjodoh dengannya heheh…oke sayang, abang kesana dulu ya? Kasihan Aliya, capek nungguin abang.”

Aku hanya mengangguk. Mengamati punggung Firman hingga ia kembali ketempat duduknya semula. Aku tak berani mengkritiknya terlalu jauh, itu ruang pribadi Firman. Karena tanpa sepengetahuannya aku juga begitu, mencintai laki-laki yang sudah beristri dan punya anak. Bedanya aku hanya pernah bertemu sekali dengan Zal. Setelah itu aku kembali pada hari-hari ku yang sepi, dan Zal pada keluarganya yang ceria dan penuh cinta. Aku tak pernah mengusik keberadaan Zal dan keluarganya, sementara Firman aku yakin setiap saat waktu senggangnya akan ia habiskan dengan Aliya karena mereka tinggal disatu kota yang saman.

Tapi aku kasihan juga pada Alya, apa yang dia alami pasti tidak akan berbeda jauh dengan ku. Kalau aku mampu mensiasati kerinduan dan rasa sepi ku. Apakah Aliya sanggup? Kulihat sepertinya ia masih belum sedewasa usianya, ia terlihat sangat lugu dan polos. Tapi apa peduli ku? Toh didunia ini kita bisa melakukan semua hal yang kita sukai, terlepas itu benar atau tidak. Yang penting harus siap menanggung semua konsekwensinya.

“Tapi cinta sejati ku hanya untuk Kakak, Jingga.” Ucap Firman tadi sebelum meninggalkan ku. Syukurlah, aku sedikit lega mendengar itu.

Tapi tetap saja aku tidak terima perlakuan Firman kepada istrinya. Tapi mengapa aku juga melakukan itu kepada Sonya, istri Zal. Bukankah seharusnya bila aku mencintainya aku harus sanggup melepasnya dengan alasan apapun? Aku sudah pernah mencoba itu, tapi hati ku belum sanggup. Dan sebulan masa jeda itu membuat ku sangat tersiksa hingga akhirnya aku menjalin kembali hubungan dengan Zal.

Aku kembali diam, menyusuri jalan kehidupanku dari awal hingga akhir, mengenang kembali saat-saat bertemu dengan Zal, menjelujur kembali bagaimana aku dan dia saling jatuh cinta. Saling mengisi hari-hari dan merias hati kami dengan cerita-cerita yang indah. Konflik-konflik kecil yang membuat perasaan kami semakin dalam dan sulit dibendung. Dan tanpa sadar setitik bening jatuh dipipi ku. Air mata yang jatuh ekspresi dari seribu rasa yang berkecamuk dihati, marah atas sikap Firman kepada istrinya, kecewa pada Juan yang sampai hari ini menghilang dan tak ada kabar, dan juga rindu yang membuncah kepada Zal.

Apakah aku tak layak mencintai? Tak layak memiliki? Tak layak mempunyai tambatan hati yang benar-benar bisa membuatku jatuh cinta seperti yang dilakukan Zal pada ku? Jawabannya hanya ada pada kecipak air dikolam, yang jatuh menetes dari mulut bambun yang dikikir meruncing.

“Apa kabar sayang?”

“Abang?! Sejak kapan disitu?”

“Dari tadi abang perhatikan kamu melamun saja. Mikirin apa?”

“Jawab dulu pertanyaan ku.”

“Biarkan abang duduk dulu.”

Juan. Laki-laki ini semakin aneh saja kurasa. Ia hadir tanpa disangka-sangka. Disaat aku sangat ingin bertemu dengannya ia menghilang dan tak ketahuan dimana rimbanya. Saat aku sedang ingin melupakannya Ia justru hadir dan ada.

“Kamu penasaran dengan abang?” tanyanya seolah mengerti isi hati ku

“Terus terang iya”

“Tapi kamu suka kan?”

“Abang pasti sudah sangat tahu aku bagaimana”

Juan tersenyum, wajahnya yang bersih membuatku tak ingin mengalihkan pandangan sedetikpun. Hati ku benar-benar tak karuan kali ini. Jauh didalam sana aku ingin sekali bilang jangan pergi lagi pada nya. Jangan menghilang lagi dan sering-seringlah memberi kabar kepada ku. Tapi apa itu perlu? Jangan-jangan Juan malah akan mentertawa kan ku nanti.

“Maafkan abang, selama ini abang sangat sibuk. Tidak punya waktu untuk menghubungi kamu. Pukul delapan malam tadi abang baru sampai, dan langsung ketempat ini, berharap kamu ada disini. Feeling abang ternyata benar.”

“Abang tidak pernah bercerita tentang keluarga.”

“Umur abang saja kamu tidak tahu kan?”

“Iya, berapa usia abang?”

Juan hanya tersenyum, ia tidak menjawab. Sebaliknya malah menyodorkan pertanyaan menyangkut dengan itu pada ku.

“Menurut mu berapa?”

“Tiga puluhan mungkin.” Aku menebak. Sungguh sulit sekali menerka umurnya.

Juan lagi-lagi tersenyum.

“Itu tidak penting bagi kamu, yang penting kita jalani saja pertemanan kita apa adanya.”

Apa yang aku pikirkan benar. Juan hanya menganggap ini pertemanan biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Sementara aku…

“Abang sudah menikah?” Tanya ku akhirnya

“Apa itu juga penting untuk mu sayang?”

“Ya, sangat penting. Agar aku bisa menyesuaikan diri. Agar aku tidak salah langkah.”

“Maksud kamu?”

Juan menatap ku tajam, bola mata hitamnya membuatku sering tak bisa tidur. Laki-laki ini memang cerdas, belakangan aku tahu dia seorang pengusaha sukses. Tapi aku tahu itu dari pencarian ku sendiri, sekarang sedikit-sedikit aku mulai bisa meraba kehidpannya. Saat dia sedang menceritakan sesuatu tentang pekerjaannya, sampai pengalamannya mengunjungi satu kota demi kota dan Negara lainnya, pengalamannya sangat banyak. Karena itu dia menjadi teman ngobrol yang mengasyikkan. Aku beruntung mengenalnya. Dan, tentu saja lebih beruntung lagi perempuan yang menjadi istrinya, bila benar ia sudah menikah. Entah bagaimana awalnya tiba-tiba aroma kecemburuan menyusup dalam relung jiwa ku. Getar-getar aneh itu semakin hadir nyata.

Apakah ini yang dinamakan dengan cinta?

“Kalau abang sudah menikah aku kan harus jaga sikap, ngga boleh ngomong asal bunyi. Begitu lho…”

“Oh…itu, santai saja,”

“Santai bagaimana?”

“Karena kamu serius abang juga serius. Kamu mau tahu tentang abang yang sebenarnya?”

Aku mengangguk.

“Abang pernah menikah. Lima tahun yang lalu, tapi kami bercerai karena tidak mempunyai kecocokan. Sejak itu abang tidak pernah lagi berhubungan dengan perempuan hingga akhirnya abang melihat kamu di acara Pertemuan Saudagar Aceh Serantau beberapa bulan yang lalu.”

Yah, aku baru ingat sekarang. Aku melihatnya di acara besar itu. Benarlah jika aku merasa pernah melihatnya sebelumnya. Ketika itu aku sedang meliput disana.

“Dan tidak disangka, kita bertemu lagi ditempat ini. Bagi abang ini adalah hal yang tidak biasa, dan abang tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.”

“Maksud abang?” aku memandanginya serius. Ada binar dipijar matanya yang terlihat lelah.

“Kamu mau jadi istri abang?”

“Apa? Istri?”

Aku sama sekali tidak bisa menyembunyikan kekagetan ku. Juan mengangguk. Sementara itu mata elangnya menancap dimata ku dalam-dalam. Membuat ku semakin tak kuasa membalasnya.

“Usia kita pasti sangat jauh berbeda.”

“Apa menurut mu itu jadi kendala?”

“Tidak.”

“Apa kamu tidak menyukai abang?”

“Aku menyukai abang. Bahka sejak pertama kali melihat abang.” Jawab ku jujur. Entah mengapa, kali ini bagai dihipnotis, aku tidak bisa berbohong.

Aku memang menyukai Juan, tapi menjadi istrinya? Terlebih statusnya sebagai duda beranak satu. Apa kata keluarga ku nanti? Jingga menikah dengan duda. Apa komentar teman-teman dikantor saat tahu Jingga menjalin hubungan dengan laki-laki yang usianya terpaut jauh dengan ku.

Aku masih bertanya-tanya, perempuan seperti apakah yang dulu dinikahi Juan hingga mereka tak punya kecocokan. Dalam diam aku merasakan tangan Juan yang hangat menyentuh tangan ku. Mencoba meyakinkan ku dengan pandangan matanya yang sarat kerinduan dan cinta.

“Abang hanya tidak ingin kamu tersiksa dengan kondisi begini,”

Bayangan Zal hadir, seolah untuk mempertegas keyakinanku bahwa sampai detik ini belum ada yang bisa menggantikan kedudukan Zal dihati ku. Tapi sampai kapan aku sanggup bertahan dengan kondisi seperti itu? Sementara didepanku bayangan laki-laki serupa Zal telah ada. Aku hanya berharap dia adalah laki-laki yang dikirimkan Tuhan kepada ku.

Bersambung…

Meretas Jalan Menuju Jingga Bagian III

Sejak pertemuan di kafé dikawasan Lamprit sebulan yang lalu aku dan Juan sering berhubungan melalui telepon. Hari-hari ku menjadi lebih menyenangkan lagi, kami menjadi lebih dekat. Aku bisa melampiaskan semua kegundahan hati ku pada laki-laki itu. Terus terang sekian tahun menjalin hubungan dengan Zal membuat ku capek, membuat hati ku lelah karena aku seperti sedang menunggu buah Ara hanyut dari gunung. Dan itu artinya aku harus menunggu hujan besar yang akan mengalirkannya ke hulu. Tapi kapan hujan besar itu datang? Aku sendiri tidak pernah tahu.

Diantara kelelahan dan kesakitan itu aku mendapati Zal tetap menyayangi ku dan mencintaiku dengan segala kekurangan dan keterbatasannya. Dan itu membuat cinta ku semakin bertambah besar terhadapnya. Aku semakin hanyut dan gila pada perasaan ku yang tak terbendung. Hanya Zal yang tahu sebesar dan sedalam apa cinta ku pada nya. Karena aku tidak pernah menyembunyikan perasaan dan isi hati ku kepada nya.

Disaat aku sangat menginginkan Zal hadir di dekat ku, Juan muncul dengan banyak kesamaan. Membuat ku sedikit lupa pada Zal, namun disisi yang lain kerinduanku terhadap Zal semakin menjadi-jadi. Namun…diam-diam aku berharap agar Juan selalu hadir dalam kehidupan ku. Selama hubungan pertemanan ini aku merasa nyaman berkomunikasi dengan nya, aku bisa mengekspresikan diri ku apa adanya tanpa perlu menutupi apapun. Hanya satu yang Juan tidak tahu, bahwa aku menyimpan cinta untuk seorang laki-laki, Zal.

Ku sulut sebatang rokok yang dari tadi tergeletak diranjang, asap putihnya mengepul, sebagiannya masuk menggelitik kerongkongan ku dan saluran pernapasan ku, lalu menyembul keluar melalui hidung. Aku sangat menikmati setiap hembusannya yang keluar dari mulut ku. Aku bukanlah perokok berat, hanya sesekali waktu saja bila aku menginginkannya. Disaat malam buta seperti sekarang ini, malam begitu dingin karena diluar sana hujan tengah turun begitu lebatnya. Membuat lorong-lorong menjadi becek dan tergenang, got-got meluap dan memunculkan aroma busuk yang kental dan menusuk hidung.

Sementara itu, gejolak didalam diriku meletup-letup seperti magma yang akan disemburkan gunung merapi, membuat ku hanya bisa meringkuk memeluk lutut disudut ranjang. Mata ku menerawang, memandangi nama Zal yang besar didinding kamar. Pikiranku sedikit menjadi liar. Dengan sebatang atau dua batang rokok ini ku harap yang menggebu-gebu itu bisa normal kembali.

Entah mengapa saat ini bukan hanya Zal yang berputar-putar dibenakku, tapi juga Juan. Laki-laki yang baru ku kenal sebulan yang lalu, tetapi cukup untuk membuat aku menyukainya. Tiba-tiba saj aku jadi sangat ingin bertemu dengannya, mengobrol apa saja yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan. Agar hati ku benar-benar rileks.

Juan…kembali aku memikirkannya, rasa penasaran ku kepadanya semakin besar dan menjadi-jadi. Dimana aku pernah melihatnya?

Dengan sedikit berdebar aku meraih hand phone dan menekan nomor ponselnya seperti yang tertera di kartu namanya. Selama sebulan ini hanya Juan yang rutin menghubungi ku, sedangkan aku sekalipun tak pernah menghubungi ataupun mengirimkan pesan untuknya. Entahlah, aku merasa bersalah setiap kali melakukan interaksi tak biasa dengan laki-laki selain Zal. Aku merasa seperti mengkhianati cinta ku sendiri.

Tapi…apakah Zal merasa begitu terhadap ku? Aku tidak pernah tahu, dan tidak mau tahu. Karena, walaupun ia begitu tetap tidak artinya bagi ku, jauh sebelum aku hadir dalam kehidupannya ia sudah mempunyai dunia sendiri. Sayang dan cinta Zal memang aku butuhkan, tapi mengharapkannya bisa bersama ku adalah mimpi. Mimpi besar yang tidak pernah terwujud. Dan aku tak peduli apakah Zal peduli atau tidak pada ku.

“Halo” kata ku begitu saluran telepon tersambung

“Ya, Halo juga. Sayang apa kabar?

“Baik, abang apa kabar?”

“Baik juga. Tumben nih telfon abang. Ada apa?”

“Kepingin ngobrol saja.”

“Abang masih dijalan, nanti abang telepon kamu ya? Sedang nyetir nih, ntar nabrak trotoar lagi heheh…”

“Okay kalau begitu, aku tunggu.”

Aku menunggu Juan menghubungi ku hingga larut malam, nyatanya sampai pagi tidak sekalipun nada dering di hand phone ku berbunyi. Aku menjadi semakin gelisah, jangan-jangan Juan benar menabrak trotoar, apalagi semalam hujan lebat, bisa saja itu membuatnya susah melihat ruas jalan dan mengakibatkan dia menabrak tiang listrik atau tembok. Berbagai macam kemungkinan berseliweran dibenakku.

Hingga matahari setinggi dhuha aku masih menunggu kabar darinya, tapi satu pesanpun belum ada yang masuk. Aku mencoba menghubunginya, masuk. Tapi tidak ada yang mengangkatnya. Ku coba kirim pesan menananyakan kepastian kabarnya, tidak ada balasan. Aku jadi semakin cemas, sekaligus kesal.

Keinginanku untuk bertemu dengannya hilang sudah. Mengalir bersama air hujan menuju lorong-lorong rendah dan berkelok. Sebatang rokok kretek kembali menjadi teman setelah sarapan pagi ini. Aku tahu itu tidak baik, tapi disaat-saat sepi seperti ini kepulan asap putihnya kerap kali menjadi mainan bibir yang menyenangkan. Mengamai gelembung-gelembung pintalan asapnya tak ubahnya seperti menyaksikan mainan puzzle yang menegangkan dan membuat senang. Membuatku lupa pada apa yang seharunya tak boleh ku pikirkan saat itu.

Masih dengan kecemasan yang besar ku coba redial nomor Juan, tersambung tapi tetap saja tidak ada yang mengangkat. Ku coba sekali lagi, kali ini tak lupa dengan selipan basmalah sebagai pengantarnya.

“Halo”

“Abang apa kabar?”

“Pak Juan sedang meeting.

“Ini siapa?”

“Saya Romi, anak buahnya,”

“Pak Juannya ada dimana sekarang?”

“Sedang di Bandung”

“Terimakasih kalau begitu,”

Aku menghela napas berat, kekesalanku semakin bertumpuk-tumpuk. Aku semakin tidak mengerti dengan dirinya, semalam ia masih berada di Banda Aceh, pagi ini sudah berada diluar kota. Mengapa Juan tidak pernah bercerita tentang ini kepada ku? Mengapa ia tidak memberi tahu ku?

Aku bangkit dan menyeruput susu coklat yang tersisa digelas sampai habis. Jarum jam di dinding sudah berada tepat di pukul sepuluh pagi. Aku harus bersiap-siap untuk beraktivitas. Juan dan Zal sama saja, sama-sama membuat ku bisa mengagumi mereka tapi juga sama-sama membuatku sakit dan gila. Hidup ini terlalu banyak warna, akankah aku bisa selalu menjaga agar hati ku selalu biru?

Bersambung…

Kamis, 26 Juli 2007

Meretas Jalan Menuju Jingga Bagian II


Langit diatas bumi Banda Aceh tampak berkerlipan, bintang gemintang membentuk garis-garis yang unik, bulan muncul dengan sangat indahnya, disampingnya lingkaran agak kebiruan menghiasi, selayaknya seperti pagar yang melingkari tanaman hias yang paling indah. Atau mungkin seperti anak gadis yang dilingkari keimanan dari ganasnya alur kehidupan.

Ku ayunkan kaki untuk terus melangkah, menyusuri jalan dan masuk ke sebuah warung kopi langganan ku. Aku suka menyebut tempat ini sebagai warung, walaupun diplank namanya tertulis Café Kita dengan ukuran yang besar. Hingar bingar musik langsung menyambut kedatangan ku. Suara gelak tawa dan riuh tamu-tamu membuatku sengaja mengambil tempat dibelakang. Café ini terdiri dari dua ruang utama, dibagian depan dan bagian belakang yang digunakan sebagai lesehan, disinilah biasanya aku sering menghabiskan waktu sampai berjam-jam bila tidak ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Duduk menikmati secangkir espresso yang kental dan nikmat dengan padanan pisang goreng keju adalah menu favorit ku bila berkunjung ketempat ini. Tak ayal, karena terlalu seringnya aku berkunjung ketempat ini, pelayannya tak perlu lagi bertanya aku memesan makanan atau minuman apa. Mereka akan langsung menyodorkan ku dengan kedua jenis makanan tadi.

Kembali aku menyeruput minuman ku, sembari itu pandangan ku masih belum beranjak memandangi seorang laki-laki yang duduk disudut ruangan. Wajahnya tidak terlalu putih tapi menurutku ia cukup pandai merawat dirinya, terbukti dari kulit wajahnya yang bersih dan mulus. Tak ada sebutirpun jerawat menghiasi pipinya yang bulat. Kami saling beradu pandang sesaat, aku tak sempat lagi membuang pandangan ku. Hati ku sedikit tak enak karena ketahuan memandanginya secara diam-diam. Tapi apa peduli ku, hati ku tak cukup gembira untuk terus memperhatikan laki-laki itu.

Pisang goreng renyah itu hanya tinggal dua potong lagi didepan ku, sementara laki-laki dipojokan sana belum juga ada tanda-tanda untuk segera pergi. Ia sepertinya sedang menunggu seseorang, tetapi tidak ada tanda-tanda keresahan, padahal sudah sangat lama ia berada ditempat ini. Barangkali jauh sebelum aku tiba. Atau sama seperti diriku, ia tengah menyepi dari berbagai persoalan hati yang tak kunjung reda.

Aku menghela napas, dan sekali lagi kami beradu pandang. Aku mencoba menarik segaris senyum dan laki-laki itu membalas senyum ku. Senyumnya begitu indah dan menawan. Hati ku sedikit bergetar.

“Kamu sendirian?”

Laki-laki itu tiba-tiba sudah berada didepan ku. Aku terhenyak.

“I…iya…” jawab ku terbata. Sama sekali tidak menyangka dengan kehadirannya. “Silahkan duduk,” Lanjut ku lagi melihatnya masih berdiri.

Laki-laki itu menurut, ia duduk didepan ku. Wajahnya tampak bersahabat.

“Kenalkan saya Juan.” Ia mengulurkan tangannya dan menjabat tangan ku dengan hangat.

“Saya Jingga,”

Diam-diam aku meneliti raut wajahnya, entah dimana, tapi aku seperti pernah melihat wajah itu. Alisnya yang tebal, sorot matanya yang tajam, semua itu seperti aku kenal. Tapi dimana?

“Kamu sepertinya sedang tak bergembira, ada sesuatu yang sedang mengganjal hati mu?” tanyanya lagi, dan lagi-lagi membuat ku terhenyak.

Aku tak menjawab, sebaliknya malah membuang pandangan keluar ruangan, memandangi langit yang penuh dengan kerlipan bintang dan pijar bulan yang indah menyala. Wajah Zal seperti hadir disana, menyenyumi hati ku yang gelisah.

“Tidak ada, aku hanya sedang ingin makan pisang goreng ini lagi, tapi perut ku sudah kenyang.” Jawab ku seadanya.

Laki-laki yang mengaku bernama Juan itu hanya diam, memandangi ku seolah seperti menyelidik. Membuat ku agak nervous dan jadi salah tingkah. Aku sedang tidak ingin dipandangi seperti itu.

“Atau kamu sedang menanti seseorang?” tanyanya kemudian.

Aku masih diam. Tidak ada yang perlu dijawab, apalagi soal penantian. Sesungguhnya setiap malam bagi ku adalah penantian. Penantian yang tidak pasti dan tidak menantu. Aku lelah dan bosan dengan semua itu. Tapi apakah aku perlu menceritakannya pada lelaki yang baru ku kenal ini? kalau pun ia tahu, toh tidak akan ada yang bisa ia lakukan untuk ku selain memberi nasehat. Jangan begini, jangan begitu, dan aku sudah bosan dengan jutaan atau mungkin juga trilyunan kata tidak yang ku terima saban harinya sepanjang usia ku.

“Oke ngga apa-apa kalau kamu belum mau cerita, tapi ku harap kamu tidak keberatan berteman dengan ku. Jangan khawatir saya tidak berniat jahat, dan ku pikir kamu cukup besar untuk menentukan diri mu sendiri.”

Aku mendongak, membalas tatapan matanya yang tajam dan bersinar, segaris senyumannya membuat gelisah dan gunda dihati ku menghilang. Laki-laki ini ada benarnya juga.

“Saya seperti pernah melihat Abang.” Kata ku singkat.

“Oh ya? Dimana?”

“Nggak tahu, saya lupa, tapi…wajah abang sangat familiar sekali dimata ku.”

“Ya sudah, jangan dipikirkan, apa dan siapa kita biarlah diri kita yang tahu, yang penting kita berteman.”

“Okay”

Diam-diam aku mengamati wajah Juan dengan teliti, hati ini seperti ditarik dengan magnit untuk terus memandanginya sambil diiringi dengan obrolan-obrolan kecil yang ringan. Juan banyak bercerita tentang dirinya, tentang pekerjaannya dan tentang kehidupannya sehari-hari. Sementara aku hanya bercerita tentang pekerjaan ku sehari-hari, aku belum berani menceritakan latar kehidupanku lebih jauh lagi. Apalagi pada Juan yang baru ku kenal.

“Jingga senang berteman dengan abang. Ngomong dengan abang enak dan nyambung..”

“Kamu juga menyenangkan, setidaknya untuk anak sekecil kamu, kamu sudah hebat bisa mengikuti pola pikir ku. Kata sebagian orang cara berfikir ku aneh, atau mungkin juga mereka yang aneh heheh…”

Juan tertawa. Aku juga. Yah, ku akui memang beberapa tema yang diangkatnya lumayan berat dan terdengar janggal. Tapi ku pikir itu adalah bagian dari ekspresi berfikirnya sebagai seorang yang diberi akal dan pikiran oleh Allah.

“Aku tidak terlalu suka formalitas, jadi setiap berkenalan dengan orang aku tidak telalu menghiraukan latar belakangnya, siapa dia dan apa pekerjaannya, bagi ku baik buruknya seseorang tidak ditentukan oleh semua itu.”

“Ya, aku suka cara berfikir mu. Moderat.”

“Sudahlah, jangan terkungkung dengan istilah-istilah itu, kita adalah seperti apa yang kita pikirkan, sepakat?”

“Oke, sepakat Jingga.”

Makin lama ngobrol dengan Juan terasa semakin menyenangkan, ia cukup fleksibel dan mempunyai wawasan yang luas. Selain itu aku juga kagum dengan sosoknya yang tenang dan penuh percaya diri. Dalam beberapa hal ia mempunyai kemiripan dengan Zal, caranya berbicara, tertawanya, selorohannya. Ah…Zal lagi Zal lagi.

Tapi sayang waktu di Hp ku sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Padahal aku masih ingin berlama-lama dengannya. Aku harus segera pulang karena besok harus pergi pagi-pagi sekali. Aku berpamitan pulang pada Juan, tapi diluar dugaan ku ia menawarkan untuk mengantar ku pulang. Aku berusaha menolak. Tapi Juan memaksaku dengan alasan sudah terlalu malam. Akhirnya ku terima juga tawarannya. Kami berpisah setelah ia memaksa ku sekali lagi memberikan kartu nama ku padanya.

Bersambung…

Yang "Mendung" di Hari Anak Nasional 2007

Yang "Mendung" di Hari Anak Nasional 2007
"Tersenyumlah Kalian....Meski Kegetiran Tak Dapat Kau Sembunyikan"

Adalah Putra Alfredo (15) dan adiknya Jaka Saputra (13), disaat teman-teman sebayanya tengah asyik merayakan peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli 2007 yang lalu, kedua kakak beradik ini justru sedang asyik mengais-ngais gundukan sampah disekitar Taman Sari Banda Aceh. Botol-botol bekas air mineral mereka kumpulkan didalam karung besar untuk kemudian ditukarkan dengan uang kepada para penadah barang-barang bekas.

Ketika satu demi satu perlombaan diikuti oleh ratusan anak dari wilayah Banda Aceh dan Aceh besar, kedua bocah tersebut hanya bisa mengamati dari jauh. Niat hati ingin bergabung bersuka ria, tetapi saat menyadari mereka adalah kumpulan yang “terbuang” niat itupun hilang. Alfredo dan Jaka menggulung senyumnya bersama bibir karung yang kehitaman. Menguap bersama rintik-rintik hujan yang turun dari langit. “Kami malu Kak, ngga berani gabung dengan anak-anak itu,” ucap Jaka saat ditanyai oleh Crah (23/7).

Senyum tetap mengembang dibibir mereka, senyum yang lepas namun tetap saja hawa kecemburuan terpancar jelas dari sorot mata keduanya. Keinginan untuk bermain seperti teman-teman sebayanya membuat mereka harus berfikir seribu kali lagi untuk mengikutinya. Baying wajah adik-adik dan orang tuanya dikampung halaman menjadi alasan utama mengapa mereka tetap memilih memunguti botol-botol bekas air mineral.

Raut wajah penuh debu, jari-jemari yang kotor, kuku yang kehitaman, serta tubuh yang lelah dan pakaian yang tidak layak pakai membuat mereka terlihat berbeda dari ratusan anak lainnya yang terlihat rapi, bersih, dan wangi. Ditangan mereka menggantung karung besar yang berisi barang-barang bekas, sementara anak yang lain menenteng berbagai jenis makanan dan mainan, senyum Jaka dan Alfredo tertambat pada garis kehidupan yang getir.

Saat diatas panggung utama panitia mendeklarasikan Aliansi Lembaga Perlindungan Anak, kepada wartawan Crah kedua anak ini justru tengah menceritakan kepiasan hidupnya. Sesungguhnya ia baru satu minggu menginjakkan kaki di Serambi Mekkah ini, menyusul abangnya, Satrio yang sudah berada setahun disini. Seolah tak ingin ketinggalan kereta mereka langsung mendeklarasikan diri sebagai pemungut barang-barang bekas. Hasil dari menjual barang-barang tersebut akan dikirimkan kepada orang tua mereka yang saat ini berada di Sumatera Utara, tepatnya di Desa Sawit Sebrang, Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Keperihan hidup bukan hanya sekali ini saja mereka alami, pada tahun 2000 lalu saat konflik sedang bergejolak dinegeri ini keluarganya terpaksa pindah ke Sumatera Utara sampai sekarang. Ironisnya disana mereka tidak mempunyai pekerjaan tetap sehingga kesulitan membiayai kebutuhan hidup sehari-hari. Hidup dengan kondisi rumah yang sangat memprihatinkan, sementara kebutuhan hidup sangat besar, Jaka masih mempunya tiga adik lagi yang masih kecil-kecil. Kondisi ini tentu saja membuat kondisi keluarga mereka menjadi tidak beraturan.

Jaka dan Alfredo terpaksa putus sekolah, kenyataan yang tak pernah diharapkan oleh anak manapun. Padahal, satu dari tigapuluh satu hak anak yang tengah diperjuangkan adalah hak untuk mendapatkan pendidikan, selain tentu saja hak untuk hidup layak, hak untuk dilindungi dan sebagainya. “Kami ingin sekali sekolah, tapi ya gimana Kak, nggak ada biaya, bayar uang sekolah kan mahal.” Tutur Alfredo mengutarakan kegundahan hatinya. Alfredo sedikit lebih beruntung, ia berhasil menamatkan hingga bangku sekolah pertama, sedangkan Jaka hanya bisa mengenyam sampai tamat sekolah dasar.

Dengan pekerjaan barunya di Banda Aceh ini, kedua kakak beradik ini mampu mengumpulkan hingga lima puluh ribu rupiah perharinya, semuanya tergantung dari kerja keras dan banyaknya botol minuman yang mereka kumpulkan. Dari uang itulah mereka hidup, dan menghidupi keluarganya.

Anak-anak tersebut juga menceritakan perihal teman-temannya yang juga berprofesi sebagai pengumpul barang-barang bekas, padahal orang tuanya terbilang mampu, mereka ada yang pegawai negeri dan tentara. Anak-anak itu sebagiannya dikoordinir oleh preman setempat, setengah dari hasil yang mereka dapatkan harus diserahkan kepada preman tersebut.

Cerita Alfredo dan Jaka membuktikan bahwa eksploitasi anak masih berlangsung ditengah-tengah kita, lebih daripada itu, juga membuktikan bahwa masih ada sebagian orang tua yang tak peduli pada perkembangan anak-anaknya sehingga semakin memperbesar celah dan melebarnya eksploitasi anak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Dipenghujung obrolan, saat Crah menanyakan apakah mereka tahu bahwa tanggal 23 Juli adalah tanggal keramat bagi mereka? Serentak kedua anak-anak tersebut menjawab tahu tetapi saat ditanya apa harapan mereka kedepan keduanya sempat terdiam sesaat. Mata kecil mereka memandang iri kepada teman-temannya yang tengah berlarian ditaman. “Kami tidak punya harapan, Kak.” Jawab Alfredo sambil tertawa kecil. Sedangkan Jaka masih mempunyai harapan meskipun harapan itu adalah bagaimana hari ini ia bisa memperoleh botol bekas sebanyak-banyaknya.

Akankah kita masih menemukan hal serupa pada perayaan yang sama pada tahun-tahun berikutnya? Sebelum berpisah, dengan sedikit khawatir mereka berpesan agar cerita tentang mereka jangan sampai ke kampung halamannya. “Kami malu Kak, apalagi kalau orang kampung kami tahu, mereka suka menghina kami, apalagi kalau tahu kami kerjanya begini (pengumpul barang bekas-red).” Ujar keduanya lirih. (Ihan)

Minggu, 22 Juli 2007

Meretas Jalan Menuju JIngga Bagian I


Dihati ku yang setengah beku ini, telah terlanjur terukir namanya, terukir dengan pahatan-pahatan terindah selama waktu aku mencintai seseorang dalam hidupku. Dicat dengan pelitur-pelitur kerinduan yang takkan pernah terkelupas hingga ujung usiaku. Namanya tetap disini. Dihati ku. Zal!

Bilapun suatu hari nanti Tuhan mentakdirkan ku hidup bersama laki-laki lain, aku sendiri tak yakin apakah nama yang telah terpahat indah itu bisa luntur atau mengabur. Ataukah kenangan yang telah terlukiskan itu bisa dihilangkan dengan tiner kehidupan yang lain. Yang pasti, aku takkan pernah bisa memotongi kuku-kuku Zal seperti yang pernah ku katakan pada nya, atau menjadi makmum dibelakangnya saat kami sholat berjamaah, lebih daripada itu takkan pernah ada keceriaan dari halaman belakang rumah kami, atau rebutan buku dari pustaka mini yang ada dirumah kami seperti yang pernah kami mimpikan bersama. Semua itu hanya mimpi dan akan menjadi mimpi selamanya.

Sebab Tuhan hanya mentakdirkan kami saling menyayangi, saling mengasihi, merindui, mungkin juga mencintai tapi bukan untuk memiliki satu sama lainnya.

***

Sudah pukul dua malam lebih seperempat, tetapi belum sedikitpun rasa kantuk menghinggapi kedua mata ku. Bisa jadi karena pengaruh kopi yang kuminum sore tadi, bisa juga karena aku tengah menunggu sesuatu. Yah, sesuatu yang ku tunggu dimalam hari yang tengah menjadi rutinitas ku selama dua tahun lebih. Menanti-nanti jika saja ditengah malam buta ini akan ada satu panggilan ataupun pesan yang masuk ke hand phone ku. Sepatah dua patah kata cinta dari seorang lelaki yang ku panggil kekasih seperti yang ia kirimkan pada malam-malam yang telah lalu.

Aku akan sangat girang jika itu benar terjadi, tersenyum-senyum sendiri, bahkan saking girangnya kadang aku sampai mencium kata-katanya yang tertera dilayar Hp. Membaca berulang-ulang kalimat yang ia sampaikan. Lalu setelah itu aku tertidur dengan hati damai dan lega, bibirku tersenyum, hati ku menabur bunga ke seluruh pelataran hati ku, tak lupa ku sampaikan isyarat pada malam agar ia kembali menyampaikan salam rindu ku pada kekasih yang jauh disana. Agar ia tahu aku selalu mencintai nya, dengan kondisi apapun.

Tapi bila itu tidak terjadi, maka seperti sekarang lah aku. Hanya bisa memandangi namanya yang tersimpan di phone book ku. Mata ku berkaca-kaca menahan kecewa dan marah, sekaligus kerinduan yang membuncah dalam jiwa, hati ku bergejolak, meletup-letup seperti magma yang akan menyembul dari balik kawah gunung merapi. Aku meradang, tangis ku semakin menjadi-jadi, isak tangis ku berkolaborasi dengan suara hujan yang turun melahirkan gemericik diatas bebatuan. Bantal-bantal diatas tempat tidur menjadi pelampiasan ku, mengganggapnya serupa dengan Zal hingga aku memukulnya berkali-kali.

"Biar abang saja yang menghubungi kamu bila ada kesempatan, kamu harus janji untuk tidak pernah menghubungi abang ya?"
"Jingga janji..."

Pesannya yang satu ini akan selalu ku ingat sampai kapan pun, tak pernah sekalipun aku berniat untuk melanggar perjanjian itu. Kalaupun sekali waktu aku terlanjur menghubunginya tak lain adalah karena rasa rindu yang tak sanggup ku bendung lagi. Rasa rindu yang berlebihan yang kadang hampir mengejawantahkan akal sehat ku sendiri. Itupun dengan harap-harap cemas yang sampai membuat ku berkeringat. Ketakutan-ketakutan kecil yang membuat ku gemetar saat menekan dial di hand phone ku. Dilengkapi dengan letupan-letupan kecil dalam hati yang beriak menanti-nanti suara siapa yang menjawab diseberang sana, suara khas bariton nya kah atau suara nyaring milik perempuan.

Aku bangkit dari tempat tidur, berjalan beberapa langkah menuju saklar lampu yang terletak didekat pintu. Beberapa detik kemudian lampu neon yang menggantung diatas plafon menyala. Ku pandangi seluruh tubuh ku didepan cermin besar yang terletak berseberangan dengan tempat tidur. Aku sengaja mengaturnya demikian, supaya bila aku bangun tidur aku langsung dapat melihat tubuh ku yang utuh.

Tubuh ku terlihat lebih kurus, berat badan ku memang turun lima kilo, tapi tetap saja masih terlihat berisi untuk postur tubuh ku yang tidak terlalu tinggi ini. Sisa-sisa air mata masih berbekas dipipi ku. Mata ku sembab dan basah. Kepala ku agak berdenyut dan pusing.

Kembali aku melirik benda mungil yang tergeletak diranjang, untuk kesekian kalinya aku berharap ia berdering malam ini. Berharap kekasih ku menyampaikan sesuatu kepada ku. Seperti yang ia janjikan tadi siang saat aku menghubunginya. Entah sudah berapa banyak rindu yang tertimbun dalam relung jiwa ku, bermain-main dengan cinta yang semakin hari semakin besar, semakin aku menyadari diantara kami terbentang jarak, semakin bibit cinta itu tumbuh menjadi besar dan tinggi. Melewati sekat-sekat waktu yang pernah aku tancapkan sebelumnya. Saat pertama sekali kami mendeklarasikan cinta dihati masing-masing.

"Aku hanya akan mencintai abang sampai batas waktu tertentu, yang pada waktu itu nanti, hubungan kita akan kembali seperti semula, aku sebagai adik mu dan abang sebagai abang ku. Tak lebih dari itu. Tak boleh lagi ada perasan lain selain itu." Kata ku suatu hari, pada waktu-waktu yang telah lalu saat kami tengah membicarakan tentang status hubungan kami. Dan itu memang tekad ku. Tak akan menikahinya dan tak mau dinikahi oleh nya. Aku akan mencari laki-laki lain yang akan memainkan peran berikutnya dalam kehidupan ku. Saat itu aku berpikir, melupakannya jika waktu itu telah tiba adalah sesuatu yang amat mudah, aku tak pernah berfikir cinta ku akan sebesar ini pada nya.

Tapi saat aku merasakan batas waktu itu telah cukup, justru saat itulah aku merasakan puncak mencintainya dengan teramat sangat. Aku tak bisa menggambarkan sebesar apa cinta ku pada nya. Dalam beberapa hal terkadang aku menyadari, terlalu berlebihan memperlakukannya bagai raja dihati ku, sementara pada saat yang bersamaan aku yakin puncak cintanya bukan untuk ku. Tapi untuk yang lain. Tapi entah mengapa aku merasa harus mengikuti pesan-pesannya, membeli pakaian seperti warna yang disukainya, membuatkan sesuatu seperti yang dimauinya.

"Dan memang aku tidak pernah berharap apapun dari hubungan ini bang, aku hanya ingin memastikan abang sayang dan cinta pada ku. itu sudah cukup." kata ku suatu sore.
"Abang selalu sayang sama kamu Jingga, kamu adalah adik yang paling abang sayangi, dan juga...abang cintai."


Itu sudah cukup bagi ku. Aku tak ingin lagi mendengar apapun setelah itu. Hanya itu yang paling berharga bagiku, kamu menyayangi ku.

Air mata ku kembali jatuh mengingat semua itu. Terbayang kembali obrolan-obrolan kami yang riang, tawanya yang nyaring, nasihat-nasihatnya yang bijak, kata-katanya yang romantis dan penuh pesona. Kemana semua itu? Kemana ia sudah dua bulan ini? Tak pernah kah ada sedetik pun waktu untuk menghubungi ku? Mengapa ia diam, mengapa ia bisu, apakah ia sudah lupa pada ku? Pada Jingga kecil yang telah berani jatuh cinta pada laki-laki yang dua kali lipat diatas usianya? Apakah ia sudah lupa pada pekik kecil ku ditelinganya berkali-kali, aku rindu, aku cinta, dan aku sayang pada nya?

ku hempaskan tubuh ku kembali ke ranjang, dengan tangan gemetar ku coba untuk menekan nomornya. Tapi belumpun tersambung aku sudah menekan tanda end di keypad.

"Aku harus kuat. Aku harus bisa!"

Ucap ku berkali-kali dalam hati. Akan ku jaga janji ku sekuat aku bisa. Apakah termasuk dengan menyakiti perasaan sendiri seperti ini? Bukan kah tadi siang Zal berjanji akan menelepon ku malam ini? Lalu apa salahnya bila aku mengingatkannya, mungkin ia terlupa, mungkin ia tertidur, mungkin ia sedang bersama temannya, atau mungkin pula...Zal hanya berbohong. Ia hanya ingin menyenangkan hati ku, membuat ku tersenyum sebentar lalu kembali menangis seperti ini.

Maka kembali benda mungil itu tergeletak disamping ku. Dengan malas ku tarik selimutku hingga sebatas dada. Dengan kemarahan yang merajai hati masih sempat ku lirik namanya yang tergambar besar dikertas ukuran A2. Ku coba hibur diri ku dengan menghadirkan semua hal yang indah-indah saat bersama Zal.

Sebenarnya aku tahu bila saat ini Zal belum bisa menghubungi ku, masih banyak kerikil-kerikil kecil yang aku ataupun Zal lalui untuk sekedar mengirimkan pesan kepada ku. Tapi rindu yang besar ini, siapa yang bisa menahannya untuk tidak berubah menjadi tangisan yang besar? Aku nyaris seperti ikan yang terhempas ke darat, terengah-engah dan terkapar tak berdaya. Jika saja Zal tahu....



bersambung...



Sabtu, 21 Juli 2007

Tanya Aku Dulu, Aku Juga Punya Hak

Tanya Aku Dulu, Aku Juga Punya Hak
7 kata keramat yang diusung sebagai tema Peringatan Hari Anak Nasional 2007 ini, kumpulan kata yang mempunyai makna dan arti yang sangat luar biasa, sebagai bentuk apresiasi paling tinggi terhadap hak anak dan kesempatan untuk memberikan ruang berekspresi positif yang tak terbatas kepada mereka. untuk memperoleh cinta dan kasih sayang yang layak dari orang tua, teman, lingkungan, bahkan negara. untuk berkreasi dan melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan dan apa yang mereka kehendaki, untuk menentukan alur kehidupan, menentukan masa depan, memilih orang yang dicintai, memilih untuk berkarya....memilih untuk bertahan.

Tanya Aku Dulu, Aku Juga Punya Hak

Aku bukan sedang ingin menceritakan tentang anak-anak yang tengah berlomba makan kerupuk, ataupun berlomba memancing botol, membawa kelereng dalam sendok, membaca puisi ataupun menari diatas pentas sana. bukan tentang semua itu, karena ditengah keramaian ini aku juga sedang merayakan hari anak ini untuk ku sendiri, sambil memasang foto-foto kegiatan yang telah kami lakukan selama ini, sambil memasang lukisan-lukisan anak didinding, sambil memakan kue yang diberikan panitia, dan terakhir dengan catatan kecil untuk menuliskan sesuatu diatas kertasnya yang putih.

aku, hingga sampai umurku ditelan bumi pun nanti tetaplah aku seorang anak. maka pantaslah bila aku juga ikut menikmati suasana keriaan hari anak ini. sekali dalam umur hidupku, menyadari benar bahwa hari ini adalah hari anak. dimana yang menjadi prioritas setiap orang adalah membuat anak-anak menjadi bahagia, yah entah itu dengan lomba makan kerupuk, lomba memancing botol ataupun mewarnai. tapi aku? dengan apa aku membuat diriku sendiri bahagia? paling tidak untuk hari ini saja.

adalah cinta, karena hanya itu yang membuat ku terus hidup sampai hari ini. cinta yang dikiriman oleh orang-orang melalui cara yang kadang aku sendiri bingung mengapa harus dengan cara itu.

Hari Ini Aku Punya Hak,

memutuskan apa saja tentang hidup ku, memutuskan untuk mencintai siapa dan memilih hidup bersama siapa. memutuskan untuk mengukir nama siapa dan memilih badan yang mana. hati ku sudah memutuskan itu, dan aku tetap mencintainya.

Selasa, 17 Juli 2007

"Curhat"

"Curhat"
"Ada hal yang sampai sekarang tak pernah ku ceritakan pada mu sampai hari ini , Bi. kita memang dekat, tapi bukan berarti semua tentang ku kau harus tahu kan?" kata ku
sebuah perbincangan seru sepertinya akan segera dimulai, sebelumnya tak pernah kita bicara dari hati ke hati dengan sangat dalam seperti sore menjelang magris saat itu. tepatnya aku yang tidak pernah terbuka pada mu, karena memang begitulah aku, lebih senang membicarakan itu disaat aku bahkan barangkali sudah tak mengalami lagi hal itu. seperti saat ini.
kau menatapku dalam dan penuh selidik, "apa yang aku tidak tahu tentang mu?" tanya mu pada ku. aku hanya menunduk. sengaja membuat mu penasaran dan bertanya-tanya. dan dengan usil kau pun menggelitik-gelitikkan paha ku, memaksaku untuk berbuka suara. tapi aku masih belum bergeming. lalu, kembali kau menceritakan kisah mu yang sebagian sudah ku ketahui dan sebagiannya lagi belum. jarak yang jauh, waktu yang terbatas, dan pulsa Hp kita yang sering tersendat-sendat membuat komunikasi kita ikut tersendat pula.
"Pokoknya selama enam bulan terakhir ini sangat banyak kejadian-kejadian yang ku alami, perselisihan ku dengan kakak ipar ku, persoalan cinta ku yang unik dan lucu."
mata mu ku lihat memerah, hal pertama yang kau ceritakan juga membuatku sedikit ingin menangis. tega-teganya kakak ipar mu begitu, pikir ku. kakak ipar mu adalah bibi ipar ku, sebab ia menikah dengan abang mu, paman ku. umurnya sebaya dengan kita, tapi sikap kekanakannya masih juga belum hilang meskipun ia sudah bersuami dan mempunyai anak.
"Menggendong anak saja masih belum bisa," kata-kata itu ku dengar dari bibi yang lain malam kemarin saat aku menginap dirumahnya. kebetulan saat sedang tidur aku terbangun dan mendengar obrolan nenek dan bibi, istri paman ku yang lain. kata-kata tidak enak itu masih ditambah dengan ujung yang lain yang tidak kalah kecut nya. "Percuma saja dia sekolah tinggi, di keperawatan lagi, bila mengurus anak saja tidak bisa, kasian anaknya."
kembali kecerita kita
"Sebenarnya aku sudah lama menjalin hubungan dengan Zal. sudah dua tahun lebih." kata ku tanpa ba bi bu dan tanpa pengantar yang baik
"Kamu lebih parah lagi tuh...!!!" komentar mu setengah serius.
"Tapi jangan bayangkan yang macam-macam, kau kan tahu, aku dimana dan Zal dimana." ralat ku cepat-cepat tak ingin ia berburuk sangka. semua tentang Zal ia memang tahu, satu yang ia tidak tahu bahwa aku dan Zal punya hubungan istimewa.
"Tapi sekarang aku sangat ingin melupakannya, dan aku ingin hidup 'normal'. ingin melupakan bahwa aku pernah mencintai laki-laki beristri dalam hidupku, pernah sangat mencintai seseorang melebihi mencintai diri ku sendiri. tapi, aku sendiri tak yakin untuk itu."
kau tak ada komentar, hanya diam. sama seperti ku kamu juga bingung. meski kau tak katakan tapi sorot mata mu sudah menjelaskan itu.
"Percayalah, aku takkan jahat. cepat atau lambat aku akan meninggalkan dia meski dan dengan tanpa kerelaan yang utuh."
"kau pernah bertemu dengannya?" tanya mu tersenyum geli
"pernah,"
"hm... kalian melakukan apa saja?"
"apa yang terjadi diantara kami, biar aku dan dia saja yang tahu. tak perlu ku ceritakan kepada mu. aku yakin, kau pun akan mengerti mengapa kami melakukan itu."
"itu akan membuat mu lebih tak sanggup melupakan dia,"
"tapi dengan begitu aku telah merasai puncak mencintainya, begitu juga sebaliknya."
"kita sudah sama-sama dewasa, yang penting tahu konsekuensinya. dan satu lagi, siapa itu My Honey?"
"dia orang jauh, malam kemarin aku telah berbicara dengan ibunya. tapi aku juga tidak yakin dengan semua itu..."
"dia terlalu muda untuk mu, ya sudah, jadian saja dengan duda itu...."
"hahahahahhaha....itulah yang tengah ku pikirkan."
"rlgjeogelntlerj254075gndlfkhwehr;k2"
"galrehrg?;typ21yklur422@"