Minggu, 22 Juli 2007

Meretas Jalan Menuju JIngga Bagian I


Dihati ku yang setengah beku ini, telah terlanjur terukir namanya, terukir dengan pahatan-pahatan terindah selama waktu aku mencintai seseorang dalam hidupku. Dicat dengan pelitur-pelitur kerinduan yang takkan pernah terkelupas hingga ujung usiaku. Namanya tetap disini. Dihati ku. Zal!

Bilapun suatu hari nanti Tuhan mentakdirkan ku hidup bersama laki-laki lain, aku sendiri tak yakin apakah nama yang telah terpahat indah itu bisa luntur atau mengabur. Ataukah kenangan yang telah terlukiskan itu bisa dihilangkan dengan tiner kehidupan yang lain. Yang pasti, aku takkan pernah bisa memotongi kuku-kuku Zal seperti yang pernah ku katakan pada nya, atau menjadi makmum dibelakangnya saat kami sholat berjamaah, lebih daripada itu takkan pernah ada keceriaan dari halaman belakang rumah kami, atau rebutan buku dari pustaka mini yang ada dirumah kami seperti yang pernah kami mimpikan bersama. Semua itu hanya mimpi dan akan menjadi mimpi selamanya.

Sebab Tuhan hanya mentakdirkan kami saling menyayangi, saling mengasihi, merindui, mungkin juga mencintai tapi bukan untuk memiliki satu sama lainnya.

***

Sudah pukul dua malam lebih seperempat, tetapi belum sedikitpun rasa kantuk menghinggapi kedua mata ku. Bisa jadi karena pengaruh kopi yang kuminum sore tadi, bisa juga karena aku tengah menunggu sesuatu. Yah, sesuatu yang ku tunggu dimalam hari yang tengah menjadi rutinitas ku selama dua tahun lebih. Menanti-nanti jika saja ditengah malam buta ini akan ada satu panggilan ataupun pesan yang masuk ke hand phone ku. Sepatah dua patah kata cinta dari seorang lelaki yang ku panggil kekasih seperti yang ia kirimkan pada malam-malam yang telah lalu.

Aku akan sangat girang jika itu benar terjadi, tersenyum-senyum sendiri, bahkan saking girangnya kadang aku sampai mencium kata-katanya yang tertera dilayar Hp. Membaca berulang-ulang kalimat yang ia sampaikan. Lalu setelah itu aku tertidur dengan hati damai dan lega, bibirku tersenyum, hati ku menabur bunga ke seluruh pelataran hati ku, tak lupa ku sampaikan isyarat pada malam agar ia kembali menyampaikan salam rindu ku pada kekasih yang jauh disana. Agar ia tahu aku selalu mencintai nya, dengan kondisi apapun.

Tapi bila itu tidak terjadi, maka seperti sekarang lah aku. Hanya bisa memandangi namanya yang tersimpan di phone book ku. Mata ku berkaca-kaca menahan kecewa dan marah, sekaligus kerinduan yang membuncah dalam jiwa, hati ku bergejolak, meletup-letup seperti magma yang akan menyembul dari balik kawah gunung merapi. Aku meradang, tangis ku semakin menjadi-jadi, isak tangis ku berkolaborasi dengan suara hujan yang turun melahirkan gemericik diatas bebatuan. Bantal-bantal diatas tempat tidur menjadi pelampiasan ku, mengganggapnya serupa dengan Zal hingga aku memukulnya berkali-kali.

"Biar abang saja yang menghubungi kamu bila ada kesempatan, kamu harus janji untuk tidak pernah menghubungi abang ya?"
"Jingga janji..."

Pesannya yang satu ini akan selalu ku ingat sampai kapan pun, tak pernah sekalipun aku berniat untuk melanggar perjanjian itu. Kalaupun sekali waktu aku terlanjur menghubunginya tak lain adalah karena rasa rindu yang tak sanggup ku bendung lagi. Rasa rindu yang berlebihan yang kadang hampir mengejawantahkan akal sehat ku sendiri. Itupun dengan harap-harap cemas yang sampai membuat ku berkeringat. Ketakutan-ketakutan kecil yang membuat ku gemetar saat menekan dial di hand phone ku. Dilengkapi dengan letupan-letupan kecil dalam hati yang beriak menanti-nanti suara siapa yang menjawab diseberang sana, suara khas bariton nya kah atau suara nyaring milik perempuan.

Aku bangkit dari tempat tidur, berjalan beberapa langkah menuju saklar lampu yang terletak didekat pintu. Beberapa detik kemudian lampu neon yang menggantung diatas plafon menyala. Ku pandangi seluruh tubuh ku didepan cermin besar yang terletak berseberangan dengan tempat tidur. Aku sengaja mengaturnya demikian, supaya bila aku bangun tidur aku langsung dapat melihat tubuh ku yang utuh.

Tubuh ku terlihat lebih kurus, berat badan ku memang turun lima kilo, tapi tetap saja masih terlihat berisi untuk postur tubuh ku yang tidak terlalu tinggi ini. Sisa-sisa air mata masih berbekas dipipi ku. Mata ku sembab dan basah. Kepala ku agak berdenyut dan pusing.

Kembali aku melirik benda mungil yang tergeletak diranjang, untuk kesekian kalinya aku berharap ia berdering malam ini. Berharap kekasih ku menyampaikan sesuatu kepada ku. Seperti yang ia janjikan tadi siang saat aku menghubunginya. Entah sudah berapa banyak rindu yang tertimbun dalam relung jiwa ku, bermain-main dengan cinta yang semakin hari semakin besar, semakin aku menyadari diantara kami terbentang jarak, semakin bibit cinta itu tumbuh menjadi besar dan tinggi. Melewati sekat-sekat waktu yang pernah aku tancapkan sebelumnya. Saat pertama sekali kami mendeklarasikan cinta dihati masing-masing.

"Aku hanya akan mencintai abang sampai batas waktu tertentu, yang pada waktu itu nanti, hubungan kita akan kembali seperti semula, aku sebagai adik mu dan abang sebagai abang ku. Tak lebih dari itu. Tak boleh lagi ada perasan lain selain itu." Kata ku suatu hari, pada waktu-waktu yang telah lalu saat kami tengah membicarakan tentang status hubungan kami. Dan itu memang tekad ku. Tak akan menikahinya dan tak mau dinikahi oleh nya. Aku akan mencari laki-laki lain yang akan memainkan peran berikutnya dalam kehidupan ku. Saat itu aku berpikir, melupakannya jika waktu itu telah tiba adalah sesuatu yang amat mudah, aku tak pernah berfikir cinta ku akan sebesar ini pada nya.

Tapi saat aku merasakan batas waktu itu telah cukup, justru saat itulah aku merasakan puncak mencintainya dengan teramat sangat. Aku tak bisa menggambarkan sebesar apa cinta ku pada nya. Dalam beberapa hal terkadang aku menyadari, terlalu berlebihan memperlakukannya bagai raja dihati ku, sementara pada saat yang bersamaan aku yakin puncak cintanya bukan untuk ku. Tapi untuk yang lain. Tapi entah mengapa aku merasa harus mengikuti pesan-pesannya, membeli pakaian seperti warna yang disukainya, membuatkan sesuatu seperti yang dimauinya.

"Dan memang aku tidak pernah berharap apapun dari hubungan ini bang, aku hanya ingin memastikan abang sayang dan cinta pada ku. itu sudah cukup." kata ku suatu sore.
"Abang selalu sayang sama kamu Jingga, kamu adalah adik yang paling abang sayangi, dan juga...abang cintai."


Itu sudah cukup bagi ku. Aku tak ingin lagi mendengar apapun setelah itu. Hanya itu yang paling berharga bagiku, kamu menyayangi ku.

Air mata ku kembali jatuh mengingat semua itu. Terbayang kembali obrolan-obrolan kami yang riang, tawanya yang nyaring, nasihat-nasihatnya yang bijak, kata-katanya yang romantis dan penuh pesona. Kemana semua itu? Kemana ia sudah dua bulan ini? Tak pernah kah ada sedetik pun waktu untuk menghubungi ku? Mengapa ia diam, mengapa ia bisu, apakah ia sudah lupa pada ku? Pada Jingga kecil yang telah berani jatuh cinta pada laki-laki yang dua kali lipat diatas usianya? Apakah ia sudah lupa pada pekik kecil ku ditelinganya berkali-kali, aku rindu, aku cinta, dan aku sayang pada nya?

ku hempaskan tubuh ku kembali ke ranjang, dengan tangan gemetar ku coba untuk menekan nomornya. Tapi belumpun tersambung aku sudah menekan tanda end di keypad.

"Aku harus kuat. Aku harus bisa!"

Ucap ku berkali-kali dalam hati. Akan ku jaga janji ku sekuat aku bisa. Apakah termasuk dengan menyakiti perasaan sendiri seperti ini? Bukan kah tadi siang Zal berjanji akan menelepon ku malam ini? Lalu apa salahnya bila aku mengingatkannya, mungkin ia terlupa, mungkin ia tertidur, mungkin ia sedang bersama temannya, atau mungkin pula...Zal hanya berbohong. Ia hanya ingin menyenangkan hati ku, membuat ku tersenyum sebentar lalu kembali menangis seperti ini.

Maka kembali benda mungil itu tergeletak disamping ku. Dengan malas ku tarik selimutku hingga sebatas dada. Dengan kemarahan yang merajai hati masih sempat ku lirik namanya yang tergambar besar dikertas ukuran A2. Ku coba hibur diri ku dengan menghadirkan semua hal yang indah-indah saat bersama Zal.

Sebenarnya aku tahu bila saat ini Zal belum bisa menghubungi ku, masih banyak kerikil-kerikil kecil yang aku ataupun Zal lalui untuk sekedar mengirimkan pesan kepada ku. Tapi rindu yang besar ini, siapa yang bisa menahannya untuk tidak berubah menjadi tangisan yang besar? Aku nyaris seperti ikan yang terhempas ke darat, terengah-engah dan terkapar tak berdaya. Jika saja Zal tahu....



bersambung...



Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)