Kamis, 26 Juli 2007

Meretas Jalan Menuju Jingga Bagian II


Langit diatas bumi Banda Aceh tampak berkerlipan, bintang gemintang membentuk garis-garis yang unik, bulan muncul dengan sangat indahnya, disampingnya lingkaran agak kebiruan menghiasi, selayaknya seperti pagar yang melingkari tanaman hias yang paling indah. Atau mungkin seperti anak gadis yang dilingkari keimanan dari ganasnya alur kehidupan.

Ku ayunkan kaki untuk terus melangkah, menyusuri jalan dan masuk ke sebuah warung kopi langganan ku. Aku suka menyebut tempat ini sebagai warung, walaupun diplank namanya tertulis Café Kita dengan ukuran yang besar. Hingar bingar musik langsung menyambut kedatangan ku. Suara gelak tawa dan riuh tamu-tamu membuatku sengaja mengambil tempat dibelakang. Café ini terdiri dari dua ruang utama, dibagian depan dan bagian belakang yang digunakan sebagai lesehan, disinilah biasanya aku sering menghabiskan waktu sampai berjam-jam bila tidak ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Duduk menikmati secangkir espresso yang kental dan nikmat dengan padanan pisang goreng keju adalah menu favorit ku bila berkunjung ketempat ini. Tak ayal, karena terlalu seringnya aku berkunjung ketempat ini, pelayannya tak perlu lagi bertanya aku memesan makanan atau minuman apa. Mereka akan langsung menyodorkan ku dengan kedua jenis makanan tadi.

Kembali aku menyeruput minuman ku, sembari itu pandangan ku masih belum beranjak memandangi seorang laki-laki yang duduk disudut ruangan. Wajahnya tidak terlalu putih tapi menurutku ia cukup pandai merawat dirinya, terbukti dari kulit wajahnya yang bersih dan mulus. Tak ada sebutirpun jerawat menghiasi pipinya yang bulat. Kami saling beradu pandang sesaat, aku tak sempat lagi membuang pandangan ku. Hati ku sedikit tak enak karena ketahuan memandanginya secara diam-diam. Tapi apa peduli ku, hati ku tak cukup gembira untuk terus memperhatikan laki-laki itu.

Pisang goreng renyah itu hanya tinggal dua potong lagi didepan ku, sementara laki-laki dipojokan sana belum juga ada tanda-tanda untuk segera pergi. Ia sepertinya sedang menunggu seseorang, tetapi tidak ada tanda-tanda keresahan, padahal sudah sangat lama ia berada ditempat ini. Barangkali jauh sebelum aku tiba. Atau sama seperti diriku, ia tengah menyepi dari berbagai persoalan hati yang tak kunjung reda.

Aku menghela napas, dan sekali lagi kami beradu pandang. Aku mencoba menarik segaris senyum dan laki-laki itu membalas senyum ku. Senyumnya begitu indah dan menawan. Hati ku sedikit bergetar.

“Kamu sendirian?”

Laki-laki itu tiba-tiba sudah berada didepan ku. Aku terhenyak.

“I…iya…” jawab ku terbata. Sama sekali tidak menyangka dengan kehadirannya. “Silahkan duduk,” Lanjut ku lagi melihatnya masih berdiri.

Laki-laki itu menurut, ia duduk didepan ku. Wajahnya tampak bersahabat.

“Kenalkan saya Juan.” Ia mengulurkan tangannya dan menjabat tangan ku dengan hangat.

“Saya Jingga,”

Diam-diam aku meneliti raut wajahnya, entah dimana, tapi aku seperti pernah melihat wajah itu. Alisnya yang tebal, sorot matanya yang tajam, semua itu seperti aku kenal. Tapi dimana?

“Kamu sepertinya sedang tak bergembira, ada sesuatu yang sedang mengganjal hati mu?” tanyanya lagi, dan lagi-lagi membuat ku terhenyak.

Aku tak menjawab, sebaliknya malah membuang pandangan keluar ruangan, memandangi langit yang penuh dengan kerlipan bintang dan pijar bulan yang indah menyala. Wajah Zal seperti hadir disana, menyenyumi hati ku yang gelisah.

“Tidak ada, aku hanya sedang ingin makan pisang goreng ini lagi, tapi perut ku sudah kenyang.” Jawab ku seadanya.

Laki-laki yang mengaku bernama Juan itu hanya diam, memandangi ku seolah seperti menyelidik. Membuat ku agak nervous dan jadi salah tingkah. Aku sedang tidak ingin dipandangi seperti itu.

“Atau kamu sedang menanti seseorang?” tanyanya kemudian.

Aku masih diam. Tidak ada yang perlu dijawab, apalagi soal penantian. Sesungguhnya setiap malam bagi ku adalah penantian. Penantian yang tidak pasti dan tidak menantu. Aku lelah dan bosan dengan semua itu. Tapi apakah aku perlu menceritakannya pada lelaki yang baru ku kenal ini? kalau pun ia tahu, toh tidak akan ada yang bisa ia lakukan untuk ku selain memberi nasehat. Jangan begini, jangan begitu, dan aku sudah bosan dengan jutaan atau mungkin juga trilyunan kata tidak yang ku terima saban harinya sepanjang usia ku.

“Oke ngga apa-apa kalau kamu belum mau cerita, tapi ku harap kamu tidak keberatan berteman dengan ku. Jangan khawatir saya tidak berniat jahat, dan ku pikir kamu cukup besar untuk menentukan diri mu sendiri.”

Aku mendongak, membalas tatapan matanya yang tajam dan bersinar, segaris senyumannya membuat gelisah dan gunda dihati ku menghilang. Laki-laki ini ada benarnya juga.

“Saya seperti pernah melihat Abang.” Kata ku singkat.

“Oh ya? Dimana?”

“Nggak tahu, saya lupa, tapi…wajah abang sangat familiar sekali dimata ku.”

“Ya sudah, jangan dipikirkan, apa dan siapa kita biarlah diri kita yang tahu, yang penting kita berteman.”

“Okay”

Diam-diam aku mengamati wajah Juan dengan teliti, hati ini seperti ditarik dengan magnit untuk terus memandanginya sambil diiringi dengan obrolan-obrolan kecil yang ringan. Juan banyak bercerita tentang dirinya, tentang pekerjaannya dan tentang kehidupannya sehari-hari. Sementara aku hanya bercerita tentang pekerjaan ku sehari-hari, aku belum berani menceritakan latar kehidupanku lebih jauh lagi. Apalagi pada Juan yang baru ku kenal.

“Jingga senang berteman dengan abang. Ngomong dengan abang enak dan nyambung..”

“Kamu juga menyenangkan, setidaknya untuk anak sekecil kamu, kamu sudah hebat bisa mengikuti pola pikir ku. Kata sebagian orang cara berfikir ku aneh, atau mungkin juga mereka yang aneh heheh…”

Juan tertawa. Aku juga. Yah, ku akui memang beberapa tema yang diangkatnya lumayan berat dan terdengar janggal. Tapi ku pikir itu adalah bagian dari ekspresi berfikirnya sebagai seorang yang diberi akal dan pikiran oleh Allah.

“Aku tidak terlalu suka formalitas, jadi setiap berkenalan dengan orang aku tidak telalu menghiraukan latar belakangnya, siapa dia dan apa pekerjaannya, bagi ku baik buruknya seseorang tidak ditentukan oleh semua itu.”

“Ya, aku suka cara berfikir mu. Moderat.”

“Sudahlah, jangan terkungkung dengan istilah-istilah itu, kita adalah seperti apa yang kita pikirkan, sepakat?”

“Oke, sepakat Jingga.”

Makin lama ngobrol dengan Juan terasa semakin menyenangkan, ia cukup fleksibel dan mempunyai wawasan yang luas. Selain itu aku juga kagum dengan sosoknya yang tenang dan penuh percaya diri. Dalam beberapa hal ia mempunyai kemiripan dengan Zal, caranya berbicara, tertawanya, selorohannya. Ah…Zal lagi Zal lagi.

Tapi sayang waktu di Hp ku sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Padahal aku masih ingin berlama-lama dengannya. Aku harus segera pulang karena besok harus pergi pagi-pagi sekali. Aku berpamitan pulang pada Juan, tapi diluar dugaan ku ia menawarkan untuk mengantar ku pulang. Aku berusaha menolak. Tapi Juan memaksaku dengan alasan sudah terlalu malam. Akhirnya ku terima juga tawarannya. Kami berpisah setelah ia memaksa ku sekali lagi memberikan kartu nama ku padanya.

Bersambung…

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)