Selasa, 17 Juli 2007

Saat Cinta Kehilangan Warna

"Hidup Akan Lebih Terasa Bermakna
Bila Kita Memberi Tempat dan Ruang Kepada Sesuatu Secara Proporsional"

Cinta seringkali berakhir dengan duka dan air mata. Cut Miranda (20) mengalami itu. Didepan polisi yang memeriksanya gadis itu sempat pingsan selama 30 menit setelah mendengarkan lagu pop melankolik yang dipopulerkan oleh group banda Naff yang bertajuk “Kau masih kekasih ku” dan “Akhirnya ku menemukan mu”

Bait-bait indah dalam lagu tersebut bukan hanya indah dan menyentuh kalbu, tetapi juga mampu menggetarkan hati siapapun yang mendengarnya, termasuk Cut Miranda yang tengah dirundung duka karena kehilangan kekasih tercintanya, Toni (36). Ia kembali terkenang pada almarhum yang tewas ditangannya sendiri.

Prosesi pingsannya Cut saat menjalani pemeriksaan memang sangat menggugah siapapun yang menyaksikannya, sebab, ia pingsan bukan karena lelah ataupun takut karena telah melakukan kesalahan besar yang menyebabkan hilangnya satu nyawa manusia. Tapi lain daripada itu, ia tengah terhipnotis oleh kedalaman cintanya sendiri pada almarhum Toni. Dan saat polisi penyidik itu mengatakan “coba renungi lagu itu” maka yang terdengar diruang imajinasinya adalah “Coba hadirkan kembali wajah kekasih mu.”

Ketulusan dan kedalaman cinta Cut bisa dikatakan telah kehilangan makna, sebab pada akhirnya ia harus menelan pil pahit yang berujud kekecewaan berulang kali dalam hidupnya untuk hal yang sama. Pertama, ia kecewa saat tahu bahwa laki-laki yang dicintainya telah mempunyai istri dan tiga orang anak. Tentu rasa kecewanya akan berbeda bila ia sudah mengetahui hal itu sedari awal meskipun ia tetap nekat menjalin hubungan dengan laki-laki yang telah beristri tersebut. Dengan konsekwensi “suatu saat aku (dia) akan meninggalkannya (aku)”.

Kedua, ia harus kecewa yang teramat sangat saat lelaki yang sangat dicintainya itu tewas ditangannya sendiri secara tidak wajar. Lelaki yang berprofesi sebagai satpam di bank BTPN Lhokseumawe itu tertembak saat rebutan pistol dengan Cut. Adalah kenyataan paling pahit saat menyadari orang yang kita cintai telah tiada untuk selamanya. Kekecewaan lainnya tentu saja hal yang paling berharga dalam dirinya telah ia persembahkan kepada Toni sebagai ekspresi kecintaannya yang besar tadi. Dan ini, tentu saja ia hanya berani mengakuinya dalam hati saja. Semuanya atas nama cinta, maka ia pun rela memberikan kegadisannya pada laki-laki itu.

Kegenitan Berfikir


Ada apa dengan cinta? Itulah yang terpikir dibenak saya saat mengikuti cerita demi cerita tentang kasus Cut Miranda di surat kabar. Berkali-kali membaca Koran, membaca cerita, nonton film, cinta selalu dikarakterkan sebagai duka dan airmata dan juga seks. Tak lengkap rasanya jatuh cinta tanpa ada caci maki dari orang tua/keluarga dari salah satu pasangannya, penderitaan, perbedaan kasta, cinta terlarang, hingga akhirnya perjuangan untuk membebaskan cinta dari belenggu itu sangat panjang dan rumit. Beruntung bila berujung manis, karena tak sedikit yang berakhir dengan kenyataan sebaliknya. Cut adalah salah satu pelakon itu.

Namun, terlepas dari semua itu ada semacam “kegenitan berfikir” bagi sebagian orang dalam memaknai cinta. Bahwa cinta adalah sex, cinta adalah boleh melakukan apa saja termasuk melanggar adat dan istiadat serta norma agama. Cinta adalah melabrak hukum, cinta tanpa aturan, setiap yang jatuh cinta harus mengenyahkan akal sehat dan logika. Konteks cinta menjadi kabur dan kehilangan makna, ia hanya berkutat pada persoalan percintaan antara laki-laki dan perempuan saja. Padahal secara harfiah arti cinta tidaklah sesempit itu.

Mana yang cinta? Mana yang nafsu? Saya yakin akan sulit sekali membedakannya. Sebab kedua hal tersebut memang saling berdampingan. Mencintai tanpa nafsu akan terasa hambar, sebab tidak munculnya rasa memiliki yang dalam. Nafsu, tentu saja tidak hanya berkonotasi negative, tetapi juga keinginan untuk melindungi, untuk membuat orang yang kita cintai bahagia, untuk memenuhi setiap kebutuhannya. Namun mengikuti nafsu tanpa perlu menyertakan cinta adalah hal yang biasa. Dan kenyataannya inilah yang sering terjadi pada banyak orang.

Bila dimasa-masa awal cinta selalu diidentikkan dengan duka dan air mata, termasuk perbedaan status social dan kasta, maka di era sekarang cinta bisa disejajarkan dengan kedudukan seks, perselingkuhan dan bisa dimanfaatkan untuk hal-hal tertentu.

Imajinasi Yang Salah

Ya, kesalahan imajilah yang menyebabkan semua itu kehilangan definisi. Cinta yang semula diartikan sebagai wujud kasih sayang dan proses penyempurnaan dari wujud silaturrahmi seiring dengan perubahan zaman dan perbedaan culture menjadi sesuatu yang sangat sempit; hanya sebatas hubungan laki-laki dan perempuan saja. Lebih daripada itu kesalahan imaji ini akan menyebabkan seseorang akan melakukan apa yang ia fikirkan dalam prilaku kesehariannya.

Cut yang terlalu mengagungkan cinta, maka ia akan begitu saja rela menyerahkan kegadisannya pada Toni. Meskipun ia tahu bahwa laki-laki itu sudah beristri dan punya anak. Ia yang telah memenuhi ruang pikiranya bahwa Toni adalah miliknya, maka tanpa rasa bersalah ia menyuruh Toni untuk menceraikan istrinya agar ia bisa memilikinya dengan utuh. Nafsu telah mendikte prilakunya, maka mengunjungi tempat tinggal Toni secara diam-diam adalah bentuk lain dari tantangan mencintai untuk menciptakan sensasi yang luar biasa.

Para pelaku cinta sepertinya sedang lupa, bahwa cinta juga milik bumi yang senantiasa setia memeluk dunia. Milik para rumput yang selalu berusaha untuk hijau, milik waktu yang membawa kita kedunia lain. (Ihan)


Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)