Kamis, 26 Juli 2007

Yang "Mendung" di Hari Anak Nasional 2007

"Tersenyumlah Kalian....Meski Kegetiran Tak Dapat Kau Sembunyikan"

Adalah Putra Alfredo (15) dan adiknya Jaka Saputra (13), disaat teman-teman sebayanya tengah asyik merayakan peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli 2007 yang lalu, kedua kakak beradik ini justru sedang asyik mengais-ngais gundukan sampah disekitar Taman Sari Banda Aceh. Botol-botol bekas air mineral mereka kumpulkan didalam karung besar untuk kemudian ditukarkan dengan uang kepada para penadah barang-barang bekas.

Ketika satu demi satu perlombaan diikuti oleh ratusan anak dari wilayah Banda Aceh dan Aceh besar, kedua bocah tersebut hanya bisa mengamati dari jauh. Niat hati ingin bergabung bersuka ria, tetapi saat menyadari mereka adalah kumpulan yang “terbuang” niat itupun hilang. Alfredo dan Jaka menggulung senyumnya bersama bibir karung yang kehitaman. Menguap bersama rintik-rintik hujan yang turun dari langit. “Kami malu Kak, ngga berani gabung dengan anak-anak itu,” ucap Jaka saat ditanyai oleh Crah (23/7).

Senyum tetap mengembang dibibir mereka, senyum yang lepas namun tetap saja hawa kecemburuan terpancar jelas dari sorot mata keduanya. Keinginan untuk bermain seperti teman-teman sebayanya membuat mereka harus berfikir seribu kali lagi untuk mengikutinya. Baying wajah adik-adik dan orang tuanya dikampung halaman menjadi alasan utama mengapa mereka tetap memilih memunguti botol-botol bekas air mineral.

Raut wajah penuh debu, jari-jemari yang kotor, kuku yang kehitaman, serta tubuh yang lelah dan pakaian yang tidak layak pakai membuat mereka terlihat berbeda dari ratusan anak lainnya yang terlihat rapi, bersih, dan wangi. Ditangan mereka menggantung karung besar yang berisi barang-barang bekas, sementara anak yang lain menenteng berbagai jenis makanan dan mainan, senyum Jaka dan Alfredo tertambat pada garis kehidupan yang getir.

Saat diatas panggung utama panitia mendeklarasikan Aliansi Lembaga Perlindungan Anak, kepada wartawan Crah kedua anak ini justru tengah menceritakan kepiasan hidupnya. Sesungguhnya ia baru satu minggu menginjakkan kaki di Serambi Mekkah ini, menyusul abangnya, Satrio yang sudah berada setahun disini. Seolah tak ingin ketinggalan kereta mereka langsung mendeklarasikan diri sebagai pemungut barang-barang bekas. Hasil dari menjual barang-barang tersebut akan dikirimkan kepada orang tua mereka yang saat ini berada di Sumatera Utara, tepatnya di Desa Sawit Sebrang, Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Keperihan hidup bukan hanya sekali ini saja mereka alami, pada tahun 2000 lalu saat konflik sedang bergejolak dinegeri ini keluarganya terpaksa pindah ke Sumatera Utara sampai sekarang. Ironisnya disana mereka tidak mempunyai pekerjaan tetap sehingga kesulitan membiayai kebutuhan hidup sehari-hari. Hidup dengan kondisi rumah yang sangat memprihatinkan, sementara kebutuhan hidup sangat besar, Jaka masih mempunya tiga adik lagi yang masih kecil-kecil. Kondisi ini tentu saja membuat kondisi keluarga mereka menjadi tidak beraturan.

Jaka dan Alfredo terpaksa putus sekolah, kenyataan yang tak pernah diharapkan oleh anak manapun. Padahal, satu dari tigapuluh satu hak anak yang tengah diperjuangkan adalah hak untuk mendapatkan pendidikan, selain tentu saja hak untuk hidup layak, hak untuk dilindungi dan sebagainya. “Kami ingin sekali sekolah, tapi ya gimana Kak, nggak ada biaya, bayar uang sekolah kan mahal.” Tutur Alfredo mengutarakan kegundahan hatinya. Alfredo sedikit lebih beruntung, ia berhasil menamatkan hingga bangku sekolah pertama, sedangkan Jaka hanya bisa mengenyam sampai tamat sekolah dasar.

Dengan pekerjaan barunya di Banda Aceh ini, kedua kakak beradik ini mampu mengumpulkan hingga lima puluh ribu rupiah perharinya, semuanya tergantung dari kerja keras dan banyaknya botol minuman yang mereka kumpulkan. Dari uang itulah mereka hidup, dan menghidupi keluarganya.

Anak-anak tersebut juga menceritakan perihal teman-temannya yang juga berprofesi sebagai pengumpul barang-barang bekas, padahal orang tuanya terbilang mampu, mereka ada yang pegawai negeri dan tentara. Anak-anak itu sebagiannya dikoordinir oleh preman setempat, setengah dari hasil yang mereka dapatkan harus diserahkan kepada preman tersebut.

Cerita Alfredo dan Jaka membuktikan bahwa eksploitasi anak masih berlangsung ditengah-tengah kita, lebih daripada itu, juga membuktikan bahwa masih ada sebagian orang tua yang tak peduli pada perkembangan anak-anaknya sehingga semakin memperbesar celah dan melebarnya eksploitasi anak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Dipenghujung obrolan, saat Crah menanyakan apakah mereka tahu bahwa tanggal 23 Juli adalah tanggal keramat bagi mereka? Serentak kedua anak-anak tersebut menjawab tahu tetapi saat ditanya apa harapan mereka kedepan keduanya sempat terdiam sesaat. Mata kecil mereka memandang iri kepada teman-temannya yang tengah berlarian ditaman. “Kami tidak punya harapan, Kak.” Jawab Alfredo sambil tertawa kecil. Sedangkan Jaka masih mempunyai harapan meskipun harapan itu adalah bagaimana hari ini ia bisa memperoleh botol bekas sebanyak-banyaknya.

Akankah kita masih menemukan hal serupa pada perayaan yang sama pada tahun-tahun berikutnya? Sebelum berpisah, dengan sedikit khawatir mereka berpesan agar cerita tentang mereka jangan sampai ke kampung halamannya. “Kami malu Kak, apalagi kalau orang kampung kami tahu, mereka suka menghina kami, apalagi kalau tahu kami kerjanya begini (pengumpul barang bekas-red).” Ujar keduanya lirih. (Ihan)

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)