Rabu, 12 Desember 2007

Mengapa Esai Saya Gak Jadi Juara?

Mengapa Esai Saya Gak Jadi Juara?

Mengapa Esai Saya Gak Jadi Juara?

Oleh Mukhlis A. Hamid

Judul di atas mestilah merupakan pertanyaan utama yang akan Anda tanyakan pada dewan juri, panitia, atau orang lain saat Anda membaca pengumuman dari panitia tentang hasil akhir sebuah lomba. Ini terjadi karena semua orang ingin karya yang dikirimkan dalam sebuah lomba menjadi pilihan dewan juri. Apalagi ada hadiah yang lumayan menanti Anda bila terpilih sebagai juara. Namanya juga usaha. Hehehe..

Sebenarnya, jadi juara atau tidak dalam sebuah even lomba menulis jangan membuat Anda terlalu senang, terlalu sedih, atau berbangga diri. Pengalaman menjadi juara sebelumnya tidak menjadi ukuran yang utama bagi dewan juri dalam penentuan juara sebuah lomba. Apalagi dalam lomba yang mengangkat issu khusus, seperti yang diadakan ETESP ADB baru-baru ini. Kekhususan itu antara lain dapat dilihat pada bentuk tulisan (esai), tema (rekonstruksi), zona (Provinsi NAD). Karenanya, pemahaman awal tentang ragam dan fokus pembahasan akan sangat membantu Anda untuk menjadi salah satu di antara salah sekian calon juara dalam lomba ini.

Esai: Makhluk apakah ini?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 1995), kata esai dimaknakan sebagai “karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi penulisnya”. Dengan demikian, sebuah esai idealnya:

  1. Berbentuk prosa, tetapi bukan prosa fiksi, bukan pula puisi;
  2. Fokus pada/membahas satu masalah tertentu;
  3. Tidak terlalu berat, tidak terlalu njelimet;
  4. Bersifat personal, tetapi tidak subjektif

Esai selanjutnya terbagi lagi atas beberapa genre atau ragam, yaitu esai deskriptif, ekspositif, argumentatif, dan persuasif. Esai deskriptif merupakan ragam esai yang dimaksudkan untuk memberikan deskripsi, gambaran, terhadap suatu objek tertentu, dari sudut pandang/ruang tertentu (spasial) sehingga objek yang digambarkan seolah-olah hadir di pelupuk mata pembaca; sehingga pembaca seakan melihat benda atau objek tersebut secara langsung. Esai ekspositif merupakan ragam esai yang dimaksudkan untuk menjelaskan, mengekspose, merinci suatu konsep, proses, cara kerja, cara membuat sesuatu sehingga pembaca memahami, mengerti, dapat membuat, atau melakukan sesuatu secara benar. Esai argumentatif merupakan esai yang dimaksudkan untuk menjelaskan suatu gagasan, konsep, dengan data, contoh, bukti yang sahih sehingga pembaca yakin, bersetuju dengan pendapat atau pandangan penulis. Terakhir, esai persuasif merupakan ragam esai yang membahas suatu dengan dukungan data, contoh, dan bukti tertentu sehingga pembaca yakin dan melakukan tindakan tertentu sesuai dengan keinginan penulis. Esai yang terakhir ini cenderung provokatif atau komersial.

Sesuai dengan isi leaflet, edaran, ataupun kain rentang yang diedarkan Tjute, lomba penulisan esai kali ini lebih dimaksudkan untuk membuat evalusi atau refleksi terhadap program rekonstruksi dan rehabilitasi di Aceh pascatragedi smong/ie beuna (tsunami), baik yang dilakukan oleh ADB, BRR, ataupun oleh NGO/INGO lain dalam rentang waktu tiga tahun terakhir. Karenanya, esai yang diperlombakan kali ini lebih bersifat argumentatif, bukan ekspositif, bukan deskriptif, apalagi naratif.

Esai Argumentatif: Macam Mana Pula Ni?

Esai argumentatif sebenarnya tak beda jauh dengan esai-esai yang lain. Dari segi struktur, esai ini terdiri atas bagian pembuka/pendahuluan, bagian pembahasan/isi, bagian penutup, dan bagian pelengkap. Bagian pembuka lazimnya diisi dengan uraian singkat tentang latar belakang persoalan yang mau ditulis, tujuan penulisan, ataupun hal lain yang mampu mengantar pembaca pada persoalan pokok yang akan dikembangkan pada bagian pembahasan/isi. Bagian isi lazimnya diisi dengan dasar teori, data/fakta/contoh kasus, dan analisis atau pandangan penulis terhadap hal yang dibahas. Bagian penutup lazimnya berisi simpulan, saran, rekomendasi penulis terhadap persoalan yang dibahas. Selanjutnya, bagian pelengkap berisi daftar rujukan, biodata penulis, lampiran, dan lain-lain yang dianggap perlu oleh penulis.

Itu sebabnya dalam lomba ini dewan juri menggunakan beberapa indikator utama dalam penentuan peringkat (calon) juara, yaitu:

  1. Kesesuaian topik/judul tulisan dengan tema lomba;
  2. Keterbatasan/kefokusan judul;
  3. Kesesuaian format/struktur tulisan;
  4. Kesesuaian dan ketuntasan pembahasan dengan judul/topik;
  5. Keabsahan data/fakta/referensi/rujukan;
  6. Kelogisan analisis;
  7. Kelogisan simpulan dan rekomendasi;
  8. Kemengaliran tulisan; dan
  9. Kebaikan dan kebenaran bahasa.

Jumat, 07 Desember 2007

Bagaimana Mengatakannya, Aku Sayang Ayah

Bagaimana Mengatakannya, Aku Sayang Ayah
sekali-kali dalam menulis baru kali ini aku ingin menceritakan tentang mimpi yang kualami semalam, dalam ruang gelap sebuah suara memanggil...menyayat...terasa begitu sakit dan memilukan, adalah suara ayah...dan aku segera berlari, menyusul suara itu, ayah terlihat begitu lemah, tidur tak berdaya dan terus memanggil nama ku, anak perempuannya yang aku tahu dia sangat menyayangi ku. aku memeluknya dan menangis tersedu-sedu, memeluknya kuat sekali dan tak ingin melepasnya hingga akhirnya aku terjaga.

mimpi yang tidak menyenangkan karena hari ini kembali aku harus mengingatnya, bahkan menuliskannya disini. yang semalam memanglah mimpi, tapi yang sebenarnya terjadi pun begitu, ayah kesakitan dan terus berusaha bertahan dengan segala ketegarannya, tak ingin menampakkan bahwa ia teramat sakit didepan anak-anaknya, terutama aku, yang terjadi semalam adalah yang ku lakukan beberapa waktu lalu, saat tiba-tiba ibu menelefonku dan menyuruhku pulang. "Kondisi ayah sangat memprihatikan, kalau pekerjaan mu bisa ditunda pulanglah sebentar mengengok ayah..." kata itu, sore itu menjelang magrib. suaranya serak, menahan tangis, begitu juga aku, diam tanpa dapat melanjutkan kata-kata. "Nanti malam aku pulang, bu." jawab ku sambil terus menyapu air mata.

segera saja ku selesaikan pekerjaan ku, agar besok pagi teman ku yang lain bisa menyerahkan berkas itu kepada klien. setelah magrib langsung aku pulang kerumah dan berkemas-kemas dan segera menuju terminal diantar oleh seorang teman. sepanjang perjalanan aku terus menangis dan tak bisa menghentikan laju air yang mengalir dari kelopak mata hingga bengkak. mau tidur rasanya sangat sulit karena terus terfikir akan kondisi ayah.

paginya setelah sampai dirumah aku masuk ke kamar ayah, segera ku peluk dan aku menangis terisak-isak, ayah memandang ku, tatapannya menyiratkan banyak hal, mengingatkanku pada saat lebaran sebulan yang lalu, aku mencium kakinya sambil menangis pula, satu hal yang belum pernah ku lakukan selama ini. biasanya aku hanya mencium tangannya saja. begitu pula saat aku akan kembali ke banda aceh beberapa hari berikutnya, ayah mengantarkan ku sampai ke terminal, saat itu beliau masih sanggup menyetir mobil dan membawa motor, sebelum berangkat ia berpesan, agar aku berhati-hati dan bersungguh-sungguh, "ayah tidak lagi sehat sekarang..." katanya singkat. tapi aku tahu maksudnya, secara tidak langsung ia ingin mengatakan bahwa ayah mungkin tidak lagi bisa menyenangkan kalian dengan banyak hal seperti selama ini, kalian harus mandiri jika sewaktu-waktu ayah sudah tidak ada, kalian harus selalu hidup sederhana, dan satu hal yang ingin sekali ia tegaskan pada ku agar aku bisa meneruskan apa yang sudah dirintisnya, aku tahu itu, tapi aku tidak dapat melakukannya karena aku punya dunia sendiri dan jiwa yang berbeda. kepada ibu sering aku katakan itu.

tiga hari dirumah, ayah pergi berobat dengan ditemani oleh paman, aku menunggunya sampai esok hari tapi ternyata ayah harus menginap, ku tunggu lagi sampai esoknya tapi ternyata ayah belum pulang juga dan harus menunggu dua hari lagi. karena pekerjaan, aku memutuskan segera kembali ke banda aceh, dengan hati yang pias dan jiwa yang tak tegar. tapi berusaha ku sembunyikan semua itu dari ibu, dari adik-adik ku, dari teman, dari semuanya.

aku sering menangis, terutama bila sedang sendirian, aku takut kehilangan, takut ayah terlalu cepat pergi dari kami semua padahal masih banyak hal yang ingin aku tunjukkan kepada ayah. aku ingin menelepon kerumah, tapi tidak berani, takut mendengar ibu menangis karena itu ku tahan hati ku agar tidak menghubunginya. hati ku selalu bergetar bila teringat ayah, walaupun bila bersama kami jarang sekali berkomunikasi, kami mempunyai karakter yang hampir mirip, tidak banyak omong, menunjukkan kasih sayang dengan cara yang berbeda dari yang dilakukan orang-orang, tidak melalui candaan, tidak melalui kata-kata, entah dengan apa....hanya kami sendiri yang tau.

tak ada yang tahu isi hati ku, tak ada yang tahu aku terluka, tak ada yang tahu aku menangis...tak ada yang tahu...