Minggu, 21 Desember 2008

Yang Terlupakan*

Yang Terlupakan*

Seperti biasa, pagi itu Nek Limah bersiap-siap untuk melakukan rutinitasnya, ia mengunci semua pintu, menutup jendela lalu keluar dengan sebuah ember hitam ditangan kanannya. Selembar kain panjang yang sudah pudar melingkar menutupi urat-urat lehernya yang menonjol, songkok hitam yang sudah bertahi lalat menutupi rambut-rambutnya yang memutih, dan sebagiannya kelihatan. Untungnya songkok tersebut berwarna hitam sehingga tahi lalatnya tidak kelihatan.

Nek Limah meletakkan kunci rumahnya diatas toek-toek yang dicat dengan dua warna; merah dan putih. Namun sudah terkelupas disana-sini dan hanya tinggal bekasnya saja, maklum itu peninggalan beberapa tahun yang lalu. Kendatipun Nek Limah tidak mengunci rumahnya bisa dipastikan tidak ada pencuri yang masuk kerumahnya karena tidak ada barang berharga apapun dirumah yang layak disebut gubuk.

Dengan agak tertatih dan sedikit bungkuk Nek Limah segera berjalan menuju kearah barat, tujuannya tidak lain adalah kebun melinjo milik Haji Banta yang terkenal kaya dan mempunyai kebun melinjo yang luas. Disanalah sehari-hari Nek Limah menghabiskan waktunya dengan bekerja sebagai pemilih buah-buah melinjo yang rontok untuk kemudian dikumpulkan dan dijadikan sebagai kerupuk melinjo atau emping.

Karena matanya yang sudah agak rabun Nek Limah tidak bisa maksimal melakukan pekerjaannya, ia sering tertinggal dengan teman-temannya yang lain karena buah-buah melinjo itu sering tersusup dibawah-bawah daun yang kering. Pun begitu perempuan tua itu tidak pantang menyerah. Ia terus mengumpulkan biji-biji melinjo yang merah dan ranum dan sore harinya ia membawa pulang satu ember biji melinjo, atas hasil jerih payahnya itu ia dibayar sepuluh ribu oleh Haji Banta, tapi ia sering mendapat bonus dan tambahan dari pengusaha kampung itu. Dari uang itulah ia memenuhi kebutuhannya sehari-hari, membeli beras, ikan asin atau telur sebagai lauk makan.

Ho neu meujak Nek?” tanya Hamid tetangganya saat berpapasan diujung jurong dengan Nek Limah.

Lon neuk jak u lampoh Haji Banta” jawabnya sambil membernarkan lilitan kain di lehernya.

“Hari ini tidak usah bekerja saja Nek, nonton tipi saja kita,”

“Apa? Nggak dengar saya”

“Nggak usah kerja hari ini Nek, nonton tipi aja kita, udah damai hari ini”

Hana meuphom, kajak keudeh

Hamid tertawa melihat Nek Limah yang menyuruhnya pergi, perempuan setua dia mana ngeh kalau sudah berbicara soal yang begituan pikirnya. Ia pun pergi meninggalkan Nek Limah.

“Ya sudah saya pamit dulu Nek.”

“Ya, bilang sama istrimu agar nanti sore mengambil telur asin pesanannya kerumah saya”

Kajeut

Nek Limah pun berlalu meneruskan perjalanannya menuju ke kebun Haji Banta, saat matahari tepat berada ditengah-tengah kepalanya ia pulang karena tadi lupa membawa minum, kerongkongannya terasa kering dan panas karena haus. Keringat memenuhi dahi dan bagian lain tubuh tuanya, ia mengipas-ngipas dengan kain panjangnya.

“Ada apa rame-rame?” tanyanya saat ia membeli sayur diwarung, laki-laki dan perempuan ramai berkumpul disana. Berkerumun menatap ke kotak kecil 21 inc berwarna. Tak ketinggalan anak kecil hingga bayi ada disana.

Ka damai Nek,” ucap seorang

“Damai apa?” Nek Limah bertanya kepada pemilik warung.

“Orang GAM dengan TNI, mereka hari ini sedang teken MOU”

“Awak GAM nyoe?”

Seketika perempuan itu terkenang pada masa dua puluh tahun silam, saat ia bertugas sebagai tukang masak orang-orang gerakan yang pada saat itu masih disebut GPK. Nek Limah sendiri sampai sekarang tidak tahu apa kepanjangan GPK yang dia tau dari dulu adalah mencari kayu bakar dan memasak untuk mereka, dan berkali-kali ikut berlari saat markas mereka terendus aparat.

Meskipun sekarang ia sudah tua dan jarang berhubungan dengan dunia luar tetapi saat nama GAM disebut ia langsung connect. Rasanya tidak ada yang tidak langsung nyambung saat nama itu disebut.

“Itu apa? Kok rame sekali?” tanyanya lagi menunjuk ke tv.

“Itu di Banda Aceh Nek, di depan mesjid Raya, orang-orang datang kesana untuk menyaksikan penandatangan MOU yang saya bilang tadi. GAM dan TNI”

“GPK ya?” ia masih dengan pertanyaan yang sama

“Iya Nek, sekarang sudah damai ngga ada perang lagi” si pemilik warung masih sabar menjelaskan.

“O ya Allah…Allahu Akbar!!! Allahu Akbar!!! Allahu Akbar!!!” Nek Limah bersujud syukur agak kepayahan ditanah. Air matanya mengalir dipipi tuanya yang berkerut.

Geu that peudeh hudep yoeh watee nyan hai aneuk” ucapnya terbata sambil menyeka air matanya. Napasnya turun naik sehabis bersujud ditanah.

“Lari kesana kemari, kadang lapar kadang kenyang…” sambungnya

“Kadang ada yang sampai tiga hari berturut-turut kami cuma makan buah ubi, minum air sungai…pokoknya tidak bisa diceritakan bagaimana sakit dan pedihnya. Saya kehilangan suami, sekarang sudah tua anak pun tidak ada….” Ia kembali menangis. Perempuan tua itu mengenang hari-harinya yang pahit pada masa itu.

Kaboeh caplie rayeuk siribe…saya mau pulang” ucapnya kemudian setelah agak tenang. Si pemilik warung mengangguk, ia sudah kehilangan kata-kata dan ikut meneteskan air mata mendengarkan cerita Nek Limah.

Semua yang ada disitu merasa terharu dengan cerita perempuan tua itu, siapapun tahu di desa Meunasah Mawoe ini kalau dulunya Nek Limah termasuk salah satu gerilyawan perempuan, walaupun ia hanya seorang tukang masak. Dan sebuah perjuangan tentu saja tidak akan berjalan tanpa orang-orang seperti Nek Limah.

@@@

“Dengar-dengar orang seperti Nek Limah akan mendapat uang dari orang-orang GAM”

“Duit apa?”

“Ya duit…karena dulu mereka sudah menjadi bagian dari orang GAM”

“Ah, masak sih”

“Iya,”

“Wah, enak sekali Nek Limah, tidak perlu bekerja lagi.”

Nek Limah tidak menyahut apapun, ia hanya mendengarkan saja apa yang dibicarakan oleh teman-temannya. Ia tak mau ambil pusing dengan semua itu, apalagi hanya kabar angin, kalau dapat ya diambil tidak ya sudah. Yang penting banginya setiap hari sudah bisa mendapatkan sepuluh ribu dari hasil kerjanya sebagai pemilih buah melinjo ini. Jangan berharap yang muluk-muluk, begitulah pikirnya.

Tapi hari ini Nek Limah mulai berani sedikit berharap, siang tadi seorang anak muda datang kerumahnya untuk mendata namanya agar ia bisa memperoleh dana reintegrasi alakadarnya. Tapi sehari, seminggu, sebulan, uang yang dijanjikan itu pun tidak kunjung ia terima.

Pun saat menjelang lebaran, saat orang-orang eks gerakan mendapat sie makmeugang Nek Limah cukup berpuas diri dengan seekor ayam kampung yang selama ini dipeliharanya. Ia tidak pernah mendapat apa-apa.

Ia tak protes, dan cukup sadar dirinya dahulu hanyalah seorang tukang masak biasa yang tidak memanggul senjata. Saat para lelaki berlari dengan mengusung senapan ia justru berlari dengan periuk dan belanga menggantung dileher. Dengan dentingan sendok dan pisau dalam kelenditnya.

Hari ini, kembali seperti biasa Nek Limah menenteng ember hitamnya, dengan songkok hitam yang penuh tahi lalat menutupi rambut putihnya. Ia berjalan tertatih menuju kekebun milik Haji Banta disebelah barat.

10:03 pm

14/02/07


*Tulisan ini sudah pernah di muat di koran Aceh Independen edisi Ahad, 21 Desember 2008

Senin, 15 Desember 2008

Yusnidar Tak Berhenti Belajar

Yusnidar Tak Berhenti Belajar
Bingung! Itulah ekspresi yang tersurat dari mimik wajah Yusnidar. Matanya lurus menatap ke layar LCD yang terbentang beberapa meter di hadapannya. Sesekali ia membaca modul yang diberikan panitia kepadanya. Kadang kepalanya mengangguk-ngangguk, berusaha mencBingung! Itulah ekspresi yang tersurat dari mimik wajah Yusnidar. Matanya lurus menatap ke layar LCD yang terbentang beberapa meter di hadapannya. Sesekali ia membaca modul yang diberikan panitia kepadanya. Kadang kepalanya mengangguk-ngangguk, berusaha mencerna setiap informasi yang disampaikan oleh pembicara.

Jumat, 28 November 2008, Yusnidar bersama puluhan peserta lainnya sedang mengikuti “Workshop Singkat Mengenal Photoshop” yang diselenggarakan oleh Tjute Event Organizer di Kafe Ummy Malaya, Jl. P. Nyak Makam No. 40, Lampineung Banda Aceh.

Pelatihan ini ditujukan bagi mereka yang sudah mengerti minimal program dasar komputer seperti Microsoft office. Tetapi tidak menutup kemungkinan bagi mereka yang memang berminat namun masih sangat awam dengan aplikasi computer. Maka, Yusnidar adalah salah satu dari pengecualian tersebut. Meski tidak mempunyai laptop seperti peserta lainnya, dan meski ia buta dengan perkembangan teknologi tersebut.

Perempuan berusia 29 tahun tersebut tetap mengikuti pelatihan dengan bersemangat. Ia menyimak setiap kata yang disampaikan oleh Maimun Yulif, selaku pembicara yang sehari-hari bekerja sebagai Arranger pada Discover Studio, Lambhuk. Yusnidar juga mencatat setiap informasi yang menurutnya penting.

Yusnidar, adalah salah seorang guru honorer yang sudah mengabdi selama tiga tahun pada Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Montasik, Aceh Besar. Sehari-harinya ia mengajar mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI), sesuai dengan jalur pendidikan yang ia tempuh selama menjadi mahasiswa pada program GPAI di Fakultas Tarbiyah, UNMUHA tahun 2003 lalu.

Karena profesinya itulah, Yusnidar menjadi bersemangat mengikuti worksop berdurasi tiga jam tersebut. Karena peminatnya banyak maka jadwal latihan dibagi menjadi tiga kelompok dengan hari yang berbeda. Terhitung sejak Jumat (28/11) dan berakhir pada Minggu (30/11). “Saya seorang guru, makanya saya harus terus belajar,” sebutnya dengan mata berbinar saat ditanya apa yang memotivasinya untuk mengikuti kegiatan tersebut.

Menurut Yusnidar, menjadi guru berarti mengambil keputusan untuk selalu belajar.
Seorang guru, menurutnya harus pandai-pandai menyerap setiap informasi yang ada untuk mengembangkan diri mereka. Sehingga mereka bisa menselaraskan antara ilmu yang diterima di bangku kuliah dengan ilmu yang mereka terima dari jalur non formal. Dengan cara itu mereka selaku tenaga pendidik akan dengan mudah mengikuti perkembangan dan kemajuan yang dinamis.Bingung! Itulah ekspresi yang tersurat dari mimik wajah Yusnidar. Matanya lurus menatap ke layar LCD yang terbentang beberapa meter di hadapannya. Sesekali ia membaca modul yang diberikan panitia kepadanya. Kadang kepalanya mengangguk-ngangguk, berusaha mencerna setiap informasi yang disampaikan oleh pembicara.

Jumat, 28 November 2008, Yusnidar bersama puluhan peserta lainnya sedang mengikuti “Workshop Singkat Mengenal Photoshop” yang diselenggarakan oleh Tjute Event Organizer di Kafe Ummy Malaya, Jl. P. Nyak Makam No. 40, Lampineung Banda Aceh.

Pelatihan ini ditujukan bagi mereka yang sudah mengerti minimal program dasar komputer seperti Microsoft office. Tetapi tidak menutup kemungkinan bagi mereka yang memang berminat namun masih sangat awam dengan aplikasi computer. Maka, Yusnidar adalah salah satu dari pengecualian tersebut. Meski tidak mempunyai laptop seperti peserta lainnya, dan meski ia buta dengan perkembangan teknologi tersebut.

Perempuan berusia 29 tahun tersebut tetap mengikuti pelatihan dengan bersemangat. Ia menyimak setiap kata yang disampaikan oleh Maimun Yulif, selaku pembicara yang sehari-hari bekerja sebagai Arranger pada Discover Studio, Lambhuk. Yusnidar juga mencatat setiap informasi yang menurutnya penting.

Yusnidar, adalah salah seorang guru honorer yang sudah mengabdi selama tiga tahun pada Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Montasik, Aceh Besar. Sehari-harinya ia mengajar mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI), sesuai dengan jalur pendidikan yang ia tempuh selama menjadi mahasiswa pada program GPAI di Fakultas Tarbiyah, UNMUHA tahun 2003 lalu.

Karena profesinya itulah, Yusnidar menjadi bersemangat mengikuti worksop berdurasi tiga jam tersebut. Karena peminatnya banyak maka jadwal latihan dibagi menjadi tiga kelompok dengan hari yang berbeda. Terhitung sejak Jumat (28/11) dan berakhir pada Minggu (30/11). “Saya seorang guru, makanya saya harus terus belajar,” sebutnya dengan mata berbinar saat ditanya apa yang memotivasinya untuk mengikuti kegiatan tersebut.

Menurut Yusnidar, menjadi guru berarti mengambil keputusan untuk selalu belajar.
Seorang guru, menurutnya harus pandai-pandai menyerap setiap informasi yang ada untuk mengembangkan diri mereka. Sehingga mereka bisa menselaraskan antara ilmu yang diterima di bangku kuliah dengan ilmu yang mereka terima dari jalur non formal. Dengan cara itu mereka selaku tenaga pendidik akan dengan mudah mengikuti perkembangan dan kemajuan yang dinamis. “Karena itu saya sangat bersemangat mengikuti pelatihan ini, walaupun saya tidak mengerti dan bingung. Tapi saya senang.” lirihnya polos.
Bingung! Itulah ekspresi yang tersurat dari mimik wajah Yusnidar. Matanya lurus menatap ke layar LCD yang terbentang beberapa meter di hadapannya. Sesekali ia membaca modul yang diberikan panitia kepadanya. Kadang kepalanya mengangguk-ngangguk, berusaha mencerna setiap informasi yang disampaikan oleh pembicara.

Jumat, 28 November 2008, Yusnidar bersama puluhan peserta lainnya sedang mengikuti “Workshop Singkat Mengenal Photoshop” yang diselenggarakan oleh Tjute Event Organizer di Kafe Ummy Malaya, Jl. P. Nyak Makam No. 40, Lampineung Banda Aceh.

Pelatihan ini ditujukan bagi mereka yang sudah mengerti minimal program dasar komputer seperti Microsoft office. Tetapi tidak menutup kemungkinan bagi mereka yang memang berminat namun masih sangat awam dengan aplikasi computer. Maka, Yusnidar adalah salah satu dari pengecualian tersebut. Meski tidak mempunyai laptop seperti peserta lainnya, dan meski ia buta dengan perkembangan teknologi tersebut.

Perempuan berusia 29 tahun tersebut tetap mengikuti pelatihan dengan bersemangat. Ia menyimak setiap kata yang disampaikan oleh Maimun Yulif, selaku pembicara yang sehari-hari bekerja sebagai Arranger pada Discover Studio, Lambhuk. Yusnidar juga mencatat setiap informasi yang menurutnya penting.

Yusnidar, adalah salah seorang guru honorer yang sudah mengabdi selama tiga tahun pada Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Montasik, Aceh Besar. Sehari-harinya ia mengajar mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI), sesuai dengan jalur pendidikan yang ia tempuh selama menjadi mahasiswa pada program GPAI di Fakultas Tarbiyah, UNMUHA tahun 2003 lalu.

Karena profesinya itulah, Yusnidar menjadi bersemangat mengikuti worksop berdurasi tiga jam tersebut. Karena peminatnya banyak maka jadwal latihan dibagi menjadi tiga kelompok dengan hari yang berbeda. Terhitung sejak Jumat (28/11) dan berakhir pada Minggu (30/11). “Saya seorang guru, makanya saya harus terus belajar,” sebutnya dengan mata berbinar saat ditanya apa yang memotivasinya untuk mengikuti kegiatan tersebut.

Menurut Yusnidar, menjadi guru berarti mengambil keputusan untuk selalu belajar.
Seorang guru, menurutnya harus pandai-pandai menyerap setiap informasi yang ada untuk mengembangkan diri mereka. Sehingga mereka bisa menselaraskan antara ilmu yang diterima di bangku kuliah dengan ilmu yang mereka terima dari jalur non formal. Dengan cara itu mereka selaku tenaga pendidik akan dengan mudah mengikuti perkembangan dan kemajuan yang dinamis. “Karena itu saya sangat bersemangat mengikuti pelatihan ini, walaupun saya tidak mengerti dan bingung. Tapi saya senang.” lirihnya polos.


Ibu satu anak ini juga menyesalkan beberapa sikap teman seprofesinya yang mengikuti berbagai kegiatan hanya untuk mendapatkan sertifikat. Bagi guru, adanya program sertifikasi merupakan salah satu cara untuk menaiki jenjang karir mereka. Tetapi bagi Yusnidar itu menjadi tidak penting bila ia tidak mendapatkan nilai tambah apapun dari kegiatan yang ia ikuti.

Yusnidar merupakan salah satu potret guru kebanyakan di negeri ini. Di mana perbekalan mereka untuk menjadi tenaga pendidik yang professional belumlah memadai. Apalagi dengan kondisi sekarang yang sudah menerapkan sistem pendidikan berbasis kompetensi. hhhh

Ibu satu anak ini juga menyesalkan beberapa sikap teman seprofesinya yang mengikuti berbagai kegiatan hanya untuk mendapatkan sertifikat. Bagi guru, adanya program sertifikasi merupakan salah satu cara untuk menaiki jenjang karir mereka. Tetapi bagi Yusnidar itu menjadi tidak penting bila ia tidak mendapatkan nilai tambah apapun dari kegiatan yang ia ikuti.

Yusnidar merupakan salah satu potret guru kebanyakan di negeri ini. Di mana perbekalan mereka untuk menjadi tenaga pendidik yang professional belumlah memadai. Apalagi dengan kondisi sekarang yang sudah menerapkan sistem pendidikan berbasis kompetensi. “Karena itu saya sangat bersemangat mengikuti pelatihan ini, walaupun saya tidak mengerti dan bingung. Tapi saya senang.” lirihnya polos.


Ibu satu anak ini juga menyesalkan beberapa sikap teman seprofesinya yang mengikuti berbagai kegiatan hanya untuk mendapatkan sertifikat. Bagi guru, adanya program sertifikasi merupakan salah satu cara untuk menaiki jenjang karir mereka. Tetapi bagi Yusnidar itu menjadi tidak penting bila ia tidak mendapatkan nilai tambah apapun dari kegiatan yang ia ikuti.

Yusnidar merupakan salah satu potret guru kebanyakan di negeri ini. Di mana perbekalan mereka untuk menjadi tenaga pendidik yang professional belumlah memadai. Apalagi dengan kondisi sekarang yang sudah menerapkan sistem pendidikan berbasis kompetensi. erna setiap informasi yang disampaikan oleh pembicara.

Jumat, 28 November 2008, Yusnidar bersama puluhan peserta lainnya sedang mengikuti “Workshop Singkat Mengenal Photoshop” yang diselenggarakan oleh Tjute Event Organizer di Kafe Ummy Malaya, Jl. P. Nyak Makam No. 40, Lampineung Banda Aceh.

Pelatihan ini ditujukan bagi mereka yang sudah mengerti minimal program dasar komputer seperti Microsoft office. Tetapi tidak menutup kemungkinan bagi mereka yang memang berminat namun masih sangat awam dengan aplikasi computer. Maka, Yusnidar adalah salah satu dari pengecualian tersebut. Meski tidak mempunyai laptop seperti peserta lainnya, dan meski ia buta dengan perkembangan teknologi tersebut.

Perempuan berusia 29 tahun tersebut tetap mengikuti pelatihan dengan bersemangat. Ia menyimak setiap kata yang disampaikan oleh Maimun Yulif, selaku pembicara yang sehari-hari bekerja sebagai Arranger pada Discover Studio, Lambhuk. Yusnidar juga mencatat setiap informasi yang menurutnya penting.

Yusnidar, adalah salah seorang guru honorer yang sudah mengabdi selama tiga tahun pada Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Montasik, Aceh Besar. Sehari-harinya ia mengajar mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI), sesuai dengan jalur pendidikan yang ia tempuh selama menjadi mahasiswa pada program GPAI di Fakultas Tarbiyah, UNMUHA tahun 2003 lalu.

Karena profesinya itulah, Yusnidar menjadi bersemangat mengikuti worksop berdurasi tiga jam tersebut. Karena peminatnya banyak maka jadwal latihan dibagi menjadi tiga kelompok dengan hari yang berbeda. Terhitung sejak Jumat (28/11) dan berakhir pada Minggu (30/11). “Saya seorang guru, makanya saya harus terus belajar,” sebutnya dengan mata berbinar saat ditanya apa yang memotivasinya untuk mengikuti kegiatan tersebut.

Menurut Yusnidar, menjadi guru berarti mengambil keputusan untuk selalu belajar.
Seorang guru, menurutnya harus pandai-pandai menyerap setiap informasi yang ada untuk mengembangkan diri mereka. Sehingga mereka bisa menselaraskan antara ilmu yang diterima di bangku kuliah dengan ilmu yang mereka terima dari jalur non formal. Dengan cara itu mereka selaku tenaga pendidik akan dengan mudah mengikuti perkembangan dan kemajuan yang dinamis. “Karena itu saya sangat bersemangat mengikuti pelatihan ini, walaupun saya tidak mengerti dan bingung. Tapi saya senang.” lirihnya polos.


Ibu satu anak ini juga menyesalkan beberapa sikap teman seprofesinya yang mengikuti berbagai kegiatan hanya untuk mendapatkan sertifikat. Bagi guru, adanya program sertifikasi merupakan salah satu cara untuk menaiki jenjang karir mereka. Tetapi bagi Yusnidar itu menjadi tidak penting bila ia tidak mendapatkan nilai tambah apapun dari kegiatan yang ia ikuti.

Yusnidar merupakan salah satu potret guru kebanyakan di negeri ini. Di mana perbekalan mereka untuk menjadi tenaga pendidik yang professional belumlah memadai. Apalagi dengan kondisi sekarang yang sudah menerapkan sistem pendidikan berbasis kompetensi.

http://www.tgj.co.id/detilberita.php?id=1196

Rabu, 03 Desember 2008

Ayahku Sayang

Ayahku Sayang

Ayah sayang…


Siang itu aku mengantarmu, tanpa memeluk dan mencium wajahmu seperti yang dilakukan oleh orang-orang dan Ijal, adik lelakiku. Aku mengintipmu dari balik jendela mobil yang akan membawamu ke barat negeri ini. Setelah mempersiapkan semua keperluan ayah dan ibu, waktu itu aku banyak merenung. Kupaksa bibirku tersenyum, kupaksa tegar hatiku. Tak ingin gambarkan takut dan luka hati ini. Hati kecilku berbisik ketika itu, mungkin siang itu adalah pandangan terakhir mata kita ayah, aku, anak perempuanmu, dan kau, ayah yang kubanggakan.


Aku berdoa, terus menerus, hingga mobil yang membawamu hilang dari pandangan. Dan jerit dalam hati kian lebar. Ketakutan menganga Yah, merajai ruang hatiku yang sempit. Semoga di barat negeri ini ada penawar atas deritamu. Semoga sakitmu cepat berakhir, Yah.


Kutinggalkan rumah nenek, tempat sebulan terakhir ayah menetap. Ini pula yang sering kutangisi, sakitmu membuatmu jauh dari rumah. Aku tahu kau begitu rindu pada rumah yang telah kau bangun dengan keringatmu. Tempat kita berkumpul menghabiskan suka dan duka, susah senang. Ayah, kau tahu, aku sudah menyiapkan kamarmu dengan baik, membeli sprei baru berwarna merah hati, memasang gorden baru dengan warna yang sama, bahkan aku berniat mengecat ulang kamarmu, Yah. Sebagai kejutan ketika ayah pulang dari rumah sakit setelah lebaran tahun lalu.

Kembali kutelan kecewa, sakit ayah tak kumengerti. Bingung! Mengapa ayah tak boleh pulang ke rumah sendiri? Mengapa ayah bisa kian parah bila ada di rumah. Aku tak mengerti, ada apa di rumah kita.


Ayah sayang

Ini adalah hari menunggu yang pertama,

Belum ada kabar apa yang dilakukan orang-orang di sana untuk menyembuhkan ayah. Dan aku semakin takut Yah…sangat. Aku menangis dalam diam.

Tetapi tangisku pecah, ketika menjelang pukul sepuluh pagi, Ijal menyuruhku untuk kembali membereskan kamar ayah. Aku bertanya mengapa, dan untuk apa? Kamar ayah sudah rapi, sudah wangi, aku sengaja membeli pengharum ruangan yang menurutku paling wangi. Lalu kusemprotkan setiap hari ke kamar ayah.

Ayah akan dibawa pulang. Kata ijal, yang kutangkap dengan makna lain. Maka, kamar adalah pilihanku ketika itu. Aku tak bisa menangis dengan teriakan. Maka air mata mengalir adalah luka paling perih ketika itu. Tapi, itupun tak lama, Yah.


Kau telah mengajariku ketegaran, dan hidup tanpa air mata. Karena itu aku tak menangis terlalu lama, Yah. Aku ke luar, membereskan rumah kita. Mengangkut kursi ke kamar belakang. Menggelar tikar. Orang-orang mulai datang. Menunggu kepulangan ayah. Aku menanti dengan gelisah. Lara yang kembali nganga dalam keguguan.


16 Januari 2008

Ayah sayang…

Lama sekali engkau datang.

Meulaboh – Idi Rayeuk bukanlah jarak yang dekat. Aku tahu itu, apalagi aku tahu mobil ambulans itu tentu tak akan membawamu dengan sembarangan. Mereka pasti akan sangat hati-hati sekali. Hatiku teriris Yah, membayangkan wajah ibu, dan wajah Diah, adik perempuanku yang mengiringmu sepanjang perjalanan. Air mata mereka mungkin telah kering, seperti keringnya ketakutan selama ini. Yang hancur berkeping-keping. Karena masing-masing telah bergelar menjadi status yang baru.


Ya Allah…

Menjelang pukul 10 malam ayah tiba. Tapi mesjid sudah dahulu ayah singgahi. Dan orang-orang menshalatkan ayah di sana. Aku mencium kening ayah dengan takzim, dengan air mata yang kutahan agar tak jatuh pada dahimu yang memerah. Begitu sempurnanya luka malam itu, Yah. Aku seperti mendengar rumah kita menangis jerit. Terisak pilu karena kehilanganmu. Rumah kita hampir tak muat, menahan orang yang ingin bersimpuh untukmu.


17 Januari

Aku seperti melihat bayangmu ayah, senja hari ketika matahari memerah di langit Tuhan.

Kau berdiri di pintu tengah, aku melihatmu dengan jelas. Tapi hanya sesaat, karena setelah itu aku lebih memilih tidur, badanku menghangat.

Ayah sayang…

Pun ketika pada malam-malam berikutnya kau sering datang dalam mimpiku, itu tak lebih sebagai petunjuk. Kau menuntunku, untuk tetap bekerja keras, mengajariku tentang tugas dan tanggung jawab. Aku ingat sekali, ketika aku bermimpi, ayah memberikan kemudi itu padaku. Padahal ayah kan tahu aku tidak bisa menyetir. Tapi itulah petunjuk, yang ayah kirimkan untukku.


Ayah sayang…

Kau tak pernah mengajariku berdendam, maka kulapangkan hatiku untuk memberi maaf pada pemberi luka untuk hidupmu, hidup ibu, hidup kami.

21:46 pm

03 dec 2008

Minggu, 30 November 2008

Untuk Mak dan Ayah

Untuk Mak dan Ayah

Mak!

Mak bekerja seperti ayah

Menawar harga, menimbang lelah

Bila malam ia sering tak tidur

Memikirkan hujan yang tak juga reda

Bila begitu terus

Maka matahari yang sebenarnya akan redup

Senyumnya!

Maka redup pulalah senyumku

Senyum adikku

Tapi Mak bekerja seperti ayah

Mengulum jerih dan perih dengan senyum

Membungkus luka dan lara dengan kerja keras

Mak seperti ayah!

Hingga aku merasa seperti masih punya ayah

03:19 pm

On sun, 30 nov 08



Kangen!

Aku punya cara sendiri untuk mengangeni ayah

Yaitu dengan meninggalkan rumah buatan ayah

Lalu sesekali aku pulang

Ketika lebaran atau ketika kenduri untuk ayah

Dengan begitu ayah selalu menemuiku

Dalam mimpi yang nyaris nyata

Kadang berturut-turut

Dengan begitu aku tak perlu berbagi kangen

Pada ibuku, pada adik perempuanku, pada adik lelakiku

Ayah! Aku anak perempuanmu, ingin berterimakasih

Telah kau ajarkan aku kemandirian

Dengan diammu

Dengan katamu yang sepatah sepatah, dulu

Sekarang, melalui mimpi-mimpi

Ayah semakin muda! Semakin gagah!

03:28 pm

On sun, 30 nov 2008




Mimpi!

Aku menjadi pemimpi

Sehari setelah ayah pergi

Aku bermimpi bukan untuk diriku

Tetapi untuk ibu,

Untuk adik lelakiku

Untuk adik perempuanku

Mimpiku makin menggebu-gebu

Telah kutulis lebih dari seratus mimpi

Lima tahun yang akan datang

Akan kupersembahkan kepada ibu

Ibu, aku telah menjalankan wasiat ayah

Yang hadir dalam mimpiku

Sehari setelah ayah pergi

03:35 pm

On sun, 30 nov 2008

Nama Yang Menjadi Prasasti*

Nama Yang Menjadi Prasasti*
Di telinga istrinya, dulu berpuluh-puluh tahun yang lalu setelah ia menikahi Syaheera. Laki-laki itu pernah berjanji, berbisik mesra: aku akan selalu mencintaimu. Akan selalu setia padamu. Lalu ia membisikkan kata-kata tersebut pada sebelah telinganya yang lain. Perempuan itu tersenyum senang. Hatinya bagai dihinggapi seribu Marpho Amattonte. Tubuhnya bergetar ketika lelaki yang sangat dicintai menyentuh kedua pundaknya. Lalu merengkuhnya dalam pelukan yang panjang dan damai.

Tetapi sekarang, setelah ia merasa umurnya tak lagi panjang. Laki-laki itu baru menyadari bahwa ia telah menjadi pengkhianat sejati. Ia telah melanggar janjinya sendiri. Celakanya, ia baru menyadari semua itu sekarang. Ketika ia sudah tidak sanggup lagi untuk berdiri, lalu memeluk Syaheera dan berkata: aku akan selalu mencintaimu. Akan selalu setia padamu.

Lelaki itu terdiam dalam tidurnya. Ranjang termahal yang dulu ia beli beberapa bulan setelah menikah telah menopangnya selama puluhan tahun tanpa pernah mengeluh. Tempat tidur itu tidak pernah marah, memaki ataupun mengadu, padahal ia tahu sepanjang tahun-tahun yang lalu laki-laki ini sering memikirkan perempuan lain ketika menjelang tidurnya. Ia telah menggrafir sebuah nama selain nama istrinya dan membiarkannya bersemayam di hatinya.

Pun sekarang, ketika laki-laki itu sering menangis diam-diam karena teringat pada perempuan yang bukan istrinya itu. Tempat tidur ini tidak pernah menyalahkan atau menghujat. Walaupun ingin sekali ia memberitahukan semua itu kepada Syaheera. Tetapi ia hanya bisa diam dan diam. Sebab Tuhan sudah mentakdirkannya sebagai makhluk mati.

Laki-laki itu terbaring gelisah. Hatinya bergemuruh hebat mengenang perempuan kekasihnya itu. Belahan jiwanya yang lain. Kemanakah dia sekarang. Tidak tahukah dia kalau laki-lakinya kini terbaring lemah tanpa daya. Tak berdaya menahan benih-benih penyakit yang telah menjadi orok dalam setiap rongga tubuhnya. Bukan hanya satu. Oh…mengapa laki-laki itu terbit kembali rindunya sekarang. Setelah berpuluh-puluh tahun mereka tidak pernah bertemu. Tidak pernah bertukar email ataupun short messege service.

Ah, hatinya teriris mengingat perempuan itu akhirnya memilih menikah dengan laki-laki lain. Setelah merengek-rengek ijin darinya. Dan dengan berat hati ia member ijin ketika itu. Walaupun ada ketidak relaan untuk melepas kekasihnya tetapi ia harus bisa. Karena jauh sebelum ia merasa kesakitan seperti ini telah dahulu berkali-kali ia membuat perempuan itu sakit. Melukai hatinya, mengirisnya dengan sikapnya, mengerat-ngerat hatinya dengan kabar istri dan anaknya. Ah, mengapa baru kali ini lelaki itu mengerti tentang kecemburuan dan sakit yang dirasakan perempuan itu. Beginikah? Dan perempuan itu kembali menggadaikan dirinya dengan menikahi laki-laki lain.

Laki-laki itu menyeka air mata yang meleleh di pipinya. Sejenak tangannya turun meraba pipinya, hidung, lalu naik ke matanya. Dan turun lagi ke dagu, bibir. Berkali-kali dan ia menemukan banyak keriput disana. Ia tak muda lagi, tidak segagah dulu. Apakah perempuan itu masih mencintainya bila nanti ia melihatnya. Tetapi kapan? Ia menjadi ragu. Setelah 23 tahun yang lalu, apakah cinta gadis ini masih belum berubah untuknya? Seperti yang sering diucapkannya. Ah, lagi-lagi mengapa ia berharap kesempurnan dari orang lain. Sedangkan ia tak pernah memberinya kesempurnaan apapun untuk perempuan itu. Yang usianya terpaut 19 tahun dengannya.

“Aku takkan pernah bisa menjadi suamimu.” Ucapnya dulu, ketika suatu hari mereka bertemu.
“Aku juga tidak pernah berharap banyak untuk itu.” Perempuan itu menjawab lirih. Laki-laki itu tahu ia berbohong. Matanya tidak bisa menutupi itu. Ia menunduk, berperang melawan gejolak hatinya.
“Lalu?”
“Aku hanya ingin mencintaimu. Mengukir namamu lalu mengubahnya menjadi prasasti. Dan suatu saat, kelak bila kita diperkenankan bertemu kembali. Kamu masih melihat prasasti itu senantiasa menggantung di mataku.” Perempuan itu berujar.
Betapa lirih ucapannya. Hanyut dalam kebekuan dan kesunyian yang tercipta dalam keheningan. Laki-laki itu bagai terbang. Terbuai indah dengan ketulusan dan kebesaran cinta gadisnya. Ia ingin bergerak, menyentuh dan memeluknya. Tetapi rasa bahagia yang telah memakunya seperti pualam membuatnya berubah seperti arca. Hingga gadis itu pergi. Hilang bersama angin, ia masih di tempatnya. Termangu meresapi setiap kalimat yang dikirim kepadanya berapa saat yang lalu.
Itu adalah masa 17 tahun silam. Dan sekarang ia makin sukar untuk menenangkan jiwanya. Betapa ia sangat ingin melihat gantungan prasasti dimata perempuan itu. Masih adakah? Atau cerita pada masa itu hanya untuk membuat ia senang semata. Kelebat perempuan itu menjelma bagai angin, masuk dalam relung jiwanya.
***
Segera laki-laki itu memejamkan matanya ketika terdengar pintu kamar berderit. Syaheera datang dengan segelas juice wortel di tangannya. Istrinya yang tak pernah kekeringan sumber cinta. Yang tak pernah bosan melayannya dengan kualitas cinta nomor satu di dunia. Bahkan mampu mengalahkan cinta Juliet kepada Romeo.
Pelan perempuan itu menyentuh dahinya. Lalu dikecupnya dengan lembut. Ia sangat beruntung bias mencintai lelaki sekharismatik suaminya. Hidupnya selalu basah dengan cinta dan kasih sayang. Kemesraan selalu membalut hidup mereka. Mengantar mereka pada pasangan paling romantis dan membuat siapa saja akan cemburu. Dan…tentu saja perempuan itu.

Lelaki itu masih terbaring dengan mata terpejam. Sesungguhnya ia sedang tidak tidur. Ia hanya merasakan saja ketika tangan lembut istrinya memijit kepalanya. Ia menikmati semua itu dengan jiwa yang melayang, memeluk bayang perempuannya. Ia semakin ingin bertemu. Ingin mencari kebenaran tentang prasasti itu. Tapi bagaimana caranya? Tidak mungkin ia akan melakukan perjalanan seperti dulu. Menempuh jarak 15 jam lamanya hanya untuk menenangkan riak di hatinya.

Tiba-tiba terbersit sesuati di benaknya. Bagaimana kalau perempuan itu saja yang menemuinya. Maukah dia? Tapi bagaimana dengan suaminya, apakah ia mengijinkan? Lalu anak-anaknya? Ternyata semua itu tidak semudah yang ia pikirkan. Dan…apakah istrinya juga mengijinkan ia bertemu dengan perempuan lain? Apakah ia tidak akan curiga nanti. Pasti aka nada pertanyaan apa, siapa mengapa dan….. laki-laki itu menjadi pening.
***

Hari ini hari ke sepuluh ia bergulat dengan alam pikirnya. Antara istri dan kekasihnya saling bertabrakan dalam selongsong jiwanya. Setelah begitu lama tidak bertemu dirinya tidak yakin apakah ia masih pantas dipanggil kekasih. Tiba-tiba kematian yang telah ia persiapkan ini menjadi ingin diubahnya. Ia tidak ingin mati sebelum bertemu dengan perempuan itu. Berkali-kali dalam doanya ia meminta kepada Tuhan agar umurnya dipanjangkan beberapa waktu lagi. Dalam setiap doa Rabithahnya ia terus mengingat nama perempuan itu agar jiwanya bergetar. Dan mereka dipertemukan oleh kekuatan doa itu.

“Kenapa Abang sangat gelisah?” Tanya istrinya, berpuluh tahun menyelami jiwa lelaki itu telah membuatnya sangat hafal dengan perangainya. Kesedihan dan kebahagiaannya tidak akan bertukar tempat dalam ingatannya. Tetapi mengapa ia gelisah, itu yang terus mengganggu pikirannya beberapa hari ini. Laki-laki itu masih diam, larut dalam pikiran rumitnya. Apakah ia harus berterus terang, atau berbohong .
“Abang?” Syaheera menyentuh lengan suaminya.
“Ya,…” Jawabnya lemah, antara ingin meneruskan dan tidak.
“Sudah beberapa hari ini abang terlihat gelisah, ada apa? Apakah aku sudah tidak pantas lagi untuk abang jadikan tempat berbagi rasa?” Tanyanya berterus terang.
“Bukan, bukan begitu, jangan berfikir macam-macam. Abang hanya khawatirkan kamu dan anak-anak. Bagaimana bila Abang sudah tidak ada nanti…” jawab lelaki itu berusaha menutupi gelisahnya.

Berbohong adalah pilihan untuk keadaan serumit ini. Tapi sayang, istrinya sudah cukup mafhum dengan tabiat suaminya. Ia tahu, ada yang disembunyikan oleh suaminya.
“Kalau soal aku dan anak-anak, abang tidak perlu khawatir. Semua yang hidup akan mati, dan kita semua sedang mempersiapkan diri untuk itu bukan? Agar kelak di surga kita bisa berkumpul kembali, Menjemput keabadian.” Jawab istrinya bijak ” Tapi adakah yang lain, yang aku tidak ketahui?” Tanyanya lagi dengan lembut dan hati-hati.
Laki-laki itu menatap istrinya, dalam. Sedalam samudra Hindia yang dulu pernah ia arungi ketika menjadi salah satu atlit olah raga air. Adakah istrinya menyimpan sesuatu tentang dirinya? Ia bingung berkali-kali bagaimana harus bersikap. Diambilnya tangan istrinya. Diciumnya lalu diletakkan diatas dadanya.

“Aku ingin bertemu seseorang sebelum kematian menjemputku,” akhirnya ia berkata. Berterus terang.
“Dengan siapa? Indra, Haris, Maimun….?” Syaheera menyebut satu persatu nama teman dekat suaminya. Tapi lelaki itu masih menggeleng. Membuat ketidak mengertian Syaheera semakin besar.
“Lalu siapa?” perempuan itu heran dengan gelengan yang lemah itu.
“Serunai”
“Serunai!” Ia terkaget, Serunai…. Ia mengingat-ingat. Selama ini tidak ada kerabat atau teman mereka yang bernama serunai. Siapa dia? Syaheera menebak-nebak. Tapi… ya, akhirnya ia tahu di mana pernah melihat nama Serunai. Di buku yang sering dibaca suaminya.
“Serunai penulis terkanal itu?” Tanyanya setelah yakin.
“Iya, Abang ingin sekali bertemu”
“Apakah abang sangat mengidolakan dia? Kenapa tidak minta bertemu dengan Andrea Hirata, atau Kang Abik, atau…. Cak Nun mungkin, mereka semua kan idola abang juga” seingatnya nama Serunai tidak pernah disebut-sebut suaminya sebagai tokoh idola sastranya. Tetapi kenapa dengan dia justru suaminya ingin betemu. Tapi…. Syaheera mengingat-ngingat. Buku yang ditulis oleh perempuan itu memang mendominasi koleksi buku-bukunya.

Ah, ia merasa ada yang aneh dengan suaminya, siapa Serunai? Ia tidak perlu menjawab. Tapi ada apa dengan Serunai, dan suaminya? Itu yang ia herankan, ia merasa sesuatu yang aneh merambati alam pikiranya tak perlu dipertanyakan lagi, siapapun akan jatuh cinta padanya. Begitu ia menyimpulkan.

***

Serunai mengatakan sebuah alamat kepada sopir taksi. Tidak sulit karena ia telah mengingat alamat itu berpuluh-puluh tahun yang lalu, yang ia pikirkan sekarang justru bagaimana bisa segera sampai ke sana secepatnya, ia tidak ingin terlambat sedikitpun tidak, maka, kegelisahan adalah teman paling sempurna dalam perjalanannya.
Setelah 17 tahun, bagaimana ia masih bisa sepeduli ini, merasakan takut kehilangan orang itu, ia terbayang akan sebuah suara yang meneleponnya semalam. Suara yang sama gelisahnya dengan dirinya, suara yang menyiratkan tidak ingin kehilangan orang yang amat dicintai, dan untuk itu ia akan melakukan apapun, karena itulah Serunai ada di sini.

Terpaku ia menatap bel yang terletak di sisi sebelah kiri pintu. Antara iya dan tidak, diliputi keraguan. Benarkah kehadirannya memang diinginkan? Tapi kalaupun iya, kehadirannya tentu tidak bisa menjadi obat bagi ajal yang dekat. Ia bergidik memikirkan itu, Ia tidak ingin terlambat sedetikpun dan …. Pintu terbuka.
Seroang perempan meyambutnya, berdiri anggun dengan raut muka yan susah ditebak, Serunai terpaku ditempatnya berdiri. Berharap perempuan itu mengatakan sesuatu kepadanya tapi kata sepertinya memang telah hilang ditelan antara campuran rasa marah dan bersalah, takdirkah ini? Pun ketika Tuhan mengirimnya ke kota ini 3 hari yang lalu untuk sebuah seminar sastra. Apakah Tuhan memang sudah men settingnya agar ia bisa bertemu dengan lelaki itu? Tapi dimana dia? Serunai masih di tempatnya. Dan perempuan itu masih menatapnya tanpa tanya.

Apa ini? Seperti mimpi. Mereka seperti terjerembab oleh parasaaan masing-masing, terasa berat untuk memulai sesuatu dengan kata-kata. Hingga akhrinya hanya isyarat yang membuat Serunai berani melangkah masuk. Mengikuti perempuan anggun tadi menuju kamar dimana laki-laki itu berbaring, lemah, hanya matanya yang terlihat bercahaya.

Serunai terbeliak, inikah lelaki gagahnya dulu? Cintanya yang telah membawa sengah jiwanya terbang. Betapa ….betapa ingin ia mengurangi beban itu, semuanya, tetapi kediaman telah membuat mereka hanyut dalam perasaan. Hening, hanya degub jantung satu sama lainnya saling bersahut-sahutan. Hening yang panjang, yang berubah menjadi leguhan dan tangis saat pelan-pelan ia menyaksikan bibir lelaki itu tersungging ke arahnya. Sementara di atas kepalanya ia melihat malaikat mengapung-ngapung seperti kapas.


2 November 2008
dipersembahkan kepada Z
Marpho Amattonte; kupu-kupu


* Cerpen ini sudah pernah dimuat di Koran Aceh Independen, edisi Ahad, 30 November 2008

Minggu, 09 November 2008

Jari Jari Istriku*



“Tanganmu indah sekali, Dik,” ucapku suatu malam.

Saat itu kami tengah makan malam berdua di sebuah kafé. Kami sengaja mengambil tempat agak di pojokan agar lebih leluasa dan tidak menjadi perhatian orang-orang. Sebaliknya kamilah yang menjadi leluasa untuk memperhatikan orang lain. 

Kebetulan malam itu agak sepi karena bertepatan dengan Minggu malam, anak-anak muda tidak banyak berdatangan karena besoknya mereka harus sekolah dan mungkin malam ini harus menyiapkan tugas yang diberikan gurunya di sekolah.

“Aku selalu bernafsu setiap kali melihat tanganmu dengan kuku-kuku yang indah terawat.” Kata ku lagi melihat tidak ada respons apapun dari istriku. Sesungguhnya ini bukanlah kali pertama aku berkata begitu di depan istriku, sangat sering bahkan dan tak peduli di mana pun berada.

“Sudah, sudah, makan saja dulu.” Jawabnya agak tersipu malu.

Aku tersenyum tipis melihatnya.

Mataku masih belum beralih dari jari-jari tangannya yang lentik, aku justru menatapnya dengan semakin liar. Melihatnya merobek-robek ayam bakar dengan kedua tangannya. Ibu jari dan telunjuknya mencengkeram dengan kuat sedang tiga jari lainnya melengkung mengikuti kedua jari tadi dengan sangat indahnya. Sebuah pemandangan yang amat sangat menyenangkan untuk dinikmati.

“Entah aku bisa mencintaimu atau tidak jika saja Tuhan tidak memberimu tangan sebagus itu,” kali ini aku juga bicara jujur. 

Dan memang tidak ada gunanya berbohong kepada istri sendiri. Kupikir istriku masih tidak perduli, tapi rupanya tidak. Air mukanya seketika berubah, ia meletakkan ayam bakarnya dan menatapku seolah-olah meminta penegasan dari apa yang barusan aku katakan.

Ada kesedihan yang tiba-tiba menggantung di wajahnya, aku memaklumi perubahannya yang tiba-tiba itu. “Tapi syukurlah jari-jari indah seperti itu tidak dimiliki oleh perempuan lain,” sambungku cepat berharap selera makannya tidak hilang.

“Lalu kalau seandainya besok tanganku terpotong dan jari-jariku hilang?” tanyanya dengan mimik wajah serius. Ada kekhawatiran dan kecemasan.

“Itu persoalan lain, lanjutkan saja makannya.”

Begitulah, tampaknya memang berlebihan kalau aku mengatakan asal muasal jatuh cinta kepada istriku karena terpesona pada jemarinya yang lentik dan indah. Saat itu, beberapa tahun lalu pertama kali aku melihatnya tengah mengetik sebuah artikel di rental komputer. Lalu kuberanikan diri menanyai namanya dan meminta nomor teleponnya dan jadilah dia istriku sampai sekarang.

Barangkali ia berpikir kalau aku jatuh cinta karena terpesona pada wajahnya yang hitam manis, atau pada tutur katanya yang lembut dan sopan, atau pada sikapnya yang kadang agak grasak-grusuk itu. Itu memang benar, tapi datangnya jauh setelah aku menikahinya, setelah aku punya banyak waktu untuk memerhatikannya. 

Bahwa selain punya tangan bagus dan cantik istriku juga memiliki wajah hitam manis yang enak dipandang, punya tutur kata yang lembut dan menenangkan. Tapi yang selalu membuatku mabuk adalah jari-jemarinya yang lentik dan indah terawat itu. Barangkali karena aku tidak pernah memuji parasnya itulah suatu hari istriku memberanikan diri bertanya pada ku.

“Apa yang membuat abang jatuh cinta kepadaku sehingga mau menikahi ku?” tanyanya suatu pagi.

Seketika saat itu aku melihat ke jari-jarinya yang tengah mengaduk kopi. Aku agak bingung juga mendapat pertanyaan seperti itu sepagi ini. Kalau aku jawab jujur bisa dipastikan dia akan salah paham nantinya.

“Mau jawaban jujur atau jawaban bohong nih…”

“Idih, Abang ini gimana sih, ya jawaban jujur dong.” Saat itu aku mendapatkan bagian lain dari dirinya selain tangan indah dan wajah manis, yaitu senyum yang menawan.

“Karena jari-jemarimu yang indah, Dik.”

Ia tertegun mendengar jawabanku.

“Tidak ada yang lain?” Tanyanya tanpa kedip.

Aku menggeleng.

“Benarkah?” Ia tampak belum yakin.

Aku mengangguk lagi. Ia tersenyum sambil menyerahkan kopi kepadaku, tapi senyumnya agak getir dan hambar. Barangkali karena dipaksakan. Dan obrolan tentang asal muasal cinta pagi itu berhenti sampai di situ saja. Aku pun tidak pernah menyinggung-nyinggung lagi soal itu.

Hingga suatu hari aku melihat istriku tengah menggosok-gosok kukunya dengan alat seperti gabus berbentuk persegi panjang pipih, aku hanya memperhatikannya saja dari jauh. Benda apa itu, pikirku. Tapi karena penasaran akhirnya aku mendekat.

“Kenapa kukunya?”

“Biar tetap cantik, biar Abang terus mencintaiku,” jawabnya datar tanpa senyum.

Oohh…istriku, ia sepertinya sedang ingin berunjuk rasa kepadaku. Menyampaikan sikap protesnya dengan cara seperti itu. Aku jadi geli mendengarnya. Tapi memang setelah ia melakukan ritual itu kukunya menjadi lebih cantik dan mengkilat, biasanya ia hanya membersihkan dengan jeruk nipis saja agar kukunya selalu bersih.

“Bagaimana?” tanyanya sambil memperlihatkan kedua tangannya kepadaku.

“Cantik,” jawabku seraya menarik tangannya untuk kukecup. “Cccuuuuppp…..”

“Kenapa?” Aku bertanya saat melihat ia menjadi murung, bukankah seharusnya senang mendapat 
pujian dari suami tercinta dengan bonus kecupan di tangan?

“Sedemikian burukkah wajahku sehingga Abang tidak pernah menciumnya?” ucapnya pelan dan sendu.

Masya Allah…jauh sekali yang dipikirkan oleh istriku, aku tersentak dibuatnya. Tapi dengan cepat aku segera mengkalkulasikan antara mencium tangannya dengan mencium keningnya, yah, mencium tangannya jauh lebih banyak, tak terhitung. Tapi…aku sama sekali tidak menduga kalau istriku akan berpikir hingga keayat itu.

“Bukan begitu, Sayang…” aku menjadi sulit menjelaskan kepadanya.

“Lalu apa?” suaranya bergetar tapi ia tidak menangis. 

Inilah satu hal lagi yang kusukai dari istriku, tidak cengeng. Bahkan dalam beberapa hal ia tampak lebih maskulin dari diriku seperti hobi mengebut atau cara dia membenarkan listrik di rumah ini. Tapi semua itu tertutupi dengan kelembutan dan kelentikan jari jemarinya yang indah tadi.

Tangannya tetap lembut walaupun sehari-hari ia berkutat dengan cucian dan bumbu rempah, tutur katanya senantiasa terjaga meskipun ia bisa saja memakiku dan aku tidak akan marah.

“Begini, dulu, asal muasal Abang mencintaimu memang karena tanganmu itu. Itu karena sedikit sekali waktu yang kupunyai untuk bisa bersamamu, sehingga setiap kali kita bertemu yang menjadi perhatianku adalah tanganmu. Tapi setelah kita menikah, setelah Abang punya banyak waktu bersamamu, Abang banyak menemukan yang lain lagi dari dirimu, Dik. Hingga akhirnya aku mencintaimu dengan stok cinta yang berlimpah-limpah.” Uraiku panjang lebar.

“Apa itu?”

Ah, istriku, ia memang sangat pandai berpura-pura. Sebenarnya ia sudah tahu apa maksud dan tujuan perkataanku tapi ia ingin aku mengatakannya dengan jelas.

“Adik punya wajah yang manis, walau tidak seperti bulan tapi selalu ada bintang bergantung di sana. Dan tidak pernah hilang meskipun saat kau marah. Adik punya senyum yang manis, memang tidak semanis senyumnya Desi Ratnasari, tapi cukup ampuh untuk menjadi penenang bagi suamimu yang sering dilanda gelisah ini,” aku memperhatikan wajah istriku lagi, mulai bersinar kembali.

“Kamu punya suara yang merdu sekalipun tengah berteriak menyoraki tim sepak bola jagoan mu.”

“Heheheh…Abang udah deh, jangan merayu terus, nanti aku bisa berteriak lebih keras lagi.” Tawanya begitu lepas

“Berteriaklah di telinga Abang.”

“Aw…aw…” teriaknya riang, aku tertawa.

Istriku, kadang aku merasa Tuhan telah tidak adil kepadanya, karena untuk perempuan sesempurna dia hanya diberikan seorang suami yang cacat. Laki-laki yang hanya mempunyai sebelah kaki dan terus bergantung pada kaki palsu.[]

Cerpen ini pernah dimuat di Aceh Independen edisi Ahad, 9 Nov 2008

Selasa, 28 Oktober 2008

Catatan Rindu Jilid Pertama

Catatan Rindu Jilid Pertama
Mengapa Selalu Bulan??

mengapa selalu bulan, kata ku waktu itu, sabtu malam yang basah. mengalirkan air-air bening dari kelopak mata yang sembab. mengapa selalu bulan yang pertama kali ku pandang saat hati ini rindu? adakah bayang mu disana? adakah senyummu menggantung disana? adakah kehangatan mu kau titip kan disana? meski mata mengatup karena aliran air yang berat.

ku langkah kan kaki menuju ranjang kecil, ku bentangkan kembali catatan-catatan usang tentang kita. semuanya menceritakan tentang kemesraan dan sedikit air mata. air mata bahagia, kesedihan, dan juga air mata kemarahan.

bahwa malam itu, dengan kesadaran penuh, dengan susah payah ku katakan, bahwa semuanya harus berhenti sampai disini. waktu yang telah kusepakati dengan hati ku sendiri. waktu beberapa tahun silam, saat kita baru menanam benih dari pohon bernama cinta.

hanya berselang beberapa saat, bibir ini kembali tersenyum, menyenangkan hati bahwa tidak ada yang perlu ditangisi, waktunya telah tiba, semuanya sudah berakhir, hanya tinggal untaian tali tanpa warna gading saja sekarang.

tapi malam itu memang berbeda dengn malam-malam berikutnya, hati ini selalu bergetar setiap kali menyebut nama kecil mu, mata ini seperti dikomando untuk mengeluarkan air beningnya setiap kali membaca ulang cerita-cerita kita.

dan selanjutnya, engkau menjelma menjadi matahari dan bulan, matahari yang kembali memekarkan rindu ku, bulan yang selalu menemani ku berkisah ketika malam....
aku tak pernah berhenti merindui mu....
kekasih ku yang tak biasa...


04-21-2007, 06:38 PM

Sabda Cinta

Sabda Cinta
cinta,
ku tahu ia tak seputih kapas
tidak juga seperti noda
tapi kau bisa membuatnya lebih pekat dari noda
kau juga bisa membuatnya lebih putih dari kapas
suci, murni, bersih

cinta,
tak seindah yang kau bayangkan
tapi kau bisa membuatnya menjadi sangat indah
cinta juga tidak seburuk yang kau byangkan
tapi kamu sendiri yang menjadikannya lebih buruk

karena cinta alam ini ada
karena cinta aku terlahir
karena cinta kau dan aku bertemu
karena cinta pula kau dan aku berpisah


aku mau
kau tak persempit makna cinta
cinta itu seluas samudrasedalam lautan
setinggi awan
sekuat perasaan kita untuk saling memahami
setulus nurani kita


11-24-2006, 01:28 PM

Dialog Menjelang Malam

Dialog Menjelang Malam
dari jauh ia kembali bercerita
aku jatuh cinta tapi entah kepada siapa
aku rindu kepada anak dan istriku yang jauh
bahkan aku menangis sekarang
maafkan aku bila terlalu cengeng
tidak!
laki-laki bukan robot yang haram menangis
menangislah
dan berceritalah pada laut
walau tak bisa menjawab
ku yakin dia akan mendengar jeritan mu


11-19-2006, 10:20 AM

"Pohon, Perahu layar, Burung dan Tanah"

"Pohon, Perahu layar, Burung dan Tanah"
pohon

aku adalah pohon
yang sangat tergantung pada bibit, tanah, air, dan matahari juga pupuk
kadang aku kurus,
tatkala aku kekurangan nutrisi dan kurang perawatan
kekuranan air juga bisa membuatku layu
aku menjadi tidak sanggup melawan kencangnya angin karena tubuhku yang lemas
aku
adalah pohon
yang ingin tumbuh subur dan besar
hijau
berbuah lebat sehingga menjadi peristirahatan burung-burung
berkicau dan mereka bahagia


perahu layar

aku juga sebuah perahu yang tengah berlayar dilautan luas
aku bisa menyaksikan matahari terbit
indah
tapi tak urung aku berhadapan dengan badai
ombak yang besar
dan karang yang menjulang
yang kadang kadang tidak terlihat oleh mata
hampir saja aku menabraknya
lalu orang orang menjerit dan aku tersadar
aku sedang melamun



burung

aku burung kecil
yang selau ingin terbang dengan keterbatasan sayapku
dengan keterbatasan daya jangkau ku
mencari satu dua biji bijian
sebagi bekal kubawa pulang nanti
kadang aku harus berebut dengan elang besar atau rajawali yang buas
lalu aku mengepakkan sayapku kembali
mencari dahan kecil dengan buah yang lebat
aku beristirahat sebentar
lalu terbang lagi
mencari peristirahatan hati


tanah

sejujurnya
aku ingin menjadi tanah saja
tanah becek atau tanah kering sama saja
biar yang lain memangdang ku hina
asalkan aku terus humus
agar pohon pohon tumbuh subur diatasku
manusia manusia bisa menanam padi dan sayur
sungai sungai mengalir diatasku
sungguh,
aku tidak ingin menjadi matahari yang menatapnya saja harus dari kejauhan
biarlah aku seprti air yang sejuk mengalir
dan seperti tanah yang selalu dipijak
tetapi semua membutuhkanku


09-07-2006, 04:05 PM

Terjemahan Kehidupan

Terjemahan Kehidupan
apa yang kurasakan saat ini
adakah yang bisa melukiskannya
pertautan demi pertautan yang melahirkan gejolak dan rasa
membuatku membumbung tinggi
sejenak mengarungi nirwana dan keindahan mega mega
mengantar ku pada rasa yang tidak terperi
mengantar ku pada kesempuranaan rasa

memeluk rindu dan cinta
dalam bayang bayang diri yang
tak pernah sempurna
tapi cinta menjadikanku begitu sempurna
menjadikanku begitu berarti
menjadikan setiap debaran debaran menjadi sangat bermakna
dan langkah langkah kaki adalah gumpalan gumpalan kebahagiaan


entahlah
aku tidak ingin menterjemahkan semuanya
biar waktu pelan pelan yang mengabarkannya padaku
dia akan menceritakan mulai dari A
hingga Z
setiap kata
setiap bait
setiap teriakan
dan setia tangisan
karena dari sanalah semua kelengkapan itu bermuara


biarlah terulang ulang kembali
karena warna kehidupan memang tidak selalu sama
ada hitam dan putih
ada merah dan hijau
ada warna warna yang kadang melahirkan seribu tanya
serahkan pada waktu
karena waktu tidak pernah salah menterjemahkan warna kehidupan


09-07-2006, 04:03 PM

Rindukah itu?

Rindukah itu?
hei, rindukah itu yang mencabik-cabik perasaan?
yang mengoyak-ngoyak logika
yang menyeret-nyeret hati

hei, rindukah itu
yang mengerat-ngerat jasad
yang mencincang-cincang batin

hei, rindukah itu
yang mampu mengalahkan logika
yang bisa membutakan mata
yang mampu mengelabui akal

apakah itu rindu?
yang menyerupai Scylla*
yang tumpah berserakan tak tentu arah
yang mengalir dan terus mengalir tak mau berhenti

ah, itulah rindu rupanya

*Scylla: dewi yang berubah wujud menjadi monster dalam mitologi yunani, yang meneror pelaut diselat messina


09-02-2006, 09:18 AM

Dua Jiwa Yang Bertarung

Dua Jiwa Yang Bertarung
Aku perhatikan kau dalam diam
Ada yang bertarung disebalik ke-kekaranmu
Tak juga ingin kau tunjukkan kelemahanmu
Kecuali kecil-kecil selingan katamu

Akalmu hampir saja lepuh
Naluriku berhasil menjeling itu

Bukan aku senang
Sebab aku juga rasakan gejolak itu
Tapi betullah dugaku
Semua bisa saja terbalik
Kepala dan kaki
Kaki dan kepala

28/10/08
19:17 pm

Jumat, 24 Oktober 2008

Ketika AKu Berani Bilang, Aku Mencintai Mu

Ketika AKu Berani Bilang, Aku Mencintai Mu
Bertrand Russel dalam sebuah pepatahnya mengatakan "Orang yang takut jatuh cinta berarti takut hidup, sedangkan orang yang takut hidup berarti sudah mati sepertiganya". Bukan karena ingin menuruti kata Bertrand, tapi aku memang harus meneruskan hidup agar aku dapat mengerti hakikat hidup yang sebenarnya; untuk mencintai dan dicintai.

Untuk itulah aku belajar mencintai, dengan cara yang dewasa tentu saja, agar aku bisa menerima segala keadaan dan kondisi. Termasuk ketika harus menyaksikan hatiku patah berkeping-keping lalu kubangun lagi menjadi cinta. Belajar untuk tidak terlalu senang ketika cinta itu datang seperti yang diinginkan oleh hati dan perasaanku. Karena, dari caraku mencintai-lah aku belajar tentang kenyataan hidup yang harus dijalani.

Ketika aku berani bilang, bahwa Aku mencintai Mu. Pada saat itulah aku telah mengetahui sesuatu, sesuatu yang akan berakhir jika waktunya tiba. Tetapi bukankah bagi yang selalu mencintai dan mengasihi waktu adalah keabadian? Itulah sebabnya namamu selalu terpatri, dan kini menjadi prasasti dalam ingat dan hatiku. Tetapi aku tak menjadikanmu Tuhan.

Aku mencintaimu dengan pikiran, karena itu aku bisa benar-benar mencintaimu dengan utuh sekalipun jasadmu sering entah dimana. Karena aku tidak ingin dikalahkan oleh pikiranku sendiri. Karena itulah aku sering mengatakan bahwa cinta itu tak ubahnya seperti purnama, yang meski hujan, badai, dan salju menutupnya, ia tetap ada ditempatnya. Ia tetap hadir sebagai wujud konsistensinya terhadap alam. Sebab ia tak bisa berpaling dari waktu.

Dan keterpautan hati adalah hal utama dalam mencintai dengan cara seperti ini, walaupun sesekali jasad tetap saling merindui untuk sekedar mendengar detak jantung. Atau mengukur suhu nafas kerinduan, atau sekedar merasai keringat yang menetes di pelipismu. Semua itu adalah pengorbanan, penundaan untuk sesuatu yang dinanti-nantikan, hingga kita benar-benar siap bila waktunya tiba.

Ketika Aku mengatakan bahwa aku mencintai Mu, aku melakukannya dengan sadar. Sehingga aku tahu bahwa aku mempunyai tujuan yang jelas dengan mencintaimu. Aku tidak ingin membuat sebagian hidupku menjadi neraka dengan kehadiranmu, karena itu aku mengolahnya menjadi puisi dan cerita. Lalu kuterbangkan kelangit biru dengan istilah yang ragam rupa.

Bila akhirnya kita sama-sama merasa nyeri dan sakit, sama-sama menelan kekecewaan, percayalah, ini hanya satu tangga proses diri menuju kedewasaan yang sebenarnya. Bahwa sebenarnya diri kita telah sama-sama berpunya.


Selasa, 21 Oktober 2008

Sebab Kata Adalah Doa

Sebab Kata Adalah Doa
Meski kesal dan sakit hati saya mencoba menahannya untuk tidak menggerutu, karena sadar bahwa sepenuhnya ini adalah kesalahan saya. Dengan mencoba bersikap tenang saya berusaha untuk tidak menuruti apa yang diminta oleh petugas Polisi Lalulintas yang pagi itu sedang mengadakan sweeping. Tetapi karena kesalahan ini begitu telak sayapun tidak dapat mengelak, Akibatnya saya harus mengeluarkan uang seratus lima puluh ribu rupiah untuk kesalahan saya itu. Dan juga kekonyolan, karena berani mengendarai sepeda motor tanpa SIM dan STNK.

Ini pelajaran penting buat saya, bahkan jauh lebih penting dari nominal yang saya keluarkan tanpa kerelaan untuk sebuah keteledoran seperti itu. Saya merasa ini adalah teguran dari Allah kepada saya, karena pagi tadi saya sudah membohongi seseorang. Tentu saja ketika berbohong pagi tadi saya tidak sempat berfikir akan secepat ini 'hukuman' yang saya terima.

Pagi tadi ketika saya akan berangkat kerja seorang teman datang ke rumah, karena kamar saya ada di lantai dua dia hanya duduk di tangga saja. kondisinya yang sedang hamil membuatnya kelelahan untuk naik ke atas. dia tampak kepayahan, tapi memang begitulah orang hamil lazimnya.

setelah berbasa basi sebentar dia mengatakan maksud kedatangannya, ia bermaksud untuk meminjam uang sebesar dua ratus ribu rupiah pada saya. Dia tidak berani mengatakan kepada suaminya yang baru datang dari luar kota kemarin bahwa dia sudah tidak punya uang. Dia juga sudah mencoba meminjam kepada tetangga sebelah tetapi ia tidak memperoleh pinjaman karena tetangga tersebut tidak mempunyai uang.

Uang di dompet saya tinggal tiga ratus ribu rupiah, kalau saya berikan untuknya dua ratus ribu berarti tinggal seratus ribu, dan itu hanya cukup untuk beberapa hari saja. Lalu bagaimana dengan hari-hari berikutnya, karena dia tidak bisa memberikan kepastian kapan akan membayar pinjaman tersebut. Pun demikian, ia berjanji akan langsung membayar uang tersebut bila tetangga yang meminjam uang padanya sudah melunasi hutanganya. Masalahnya, dia sendiri tidak tahu kapan tetangganya akan membayar hutang tersebut walaupun sudah pernah ditagih. Saya berfikir, alasan apa yang akan saya katakan untuk tidak mengabulkan permintaannya.

Tiba-tiba sesuatu terbersit di pikiran saya dan mengatakan kepadanya bahwa uang saya tinggal seratus ribu rupiah karena sudah habis dipakai untuk membayar biaya balik nama mobil sekaligus dengan pajaknya. Dan uang itu akan dipakai untuk membayar listrik dan air. Tentang pajak mobil itu memang benar tetapi uangnya bukanlah dari saya. Melainkan dari ibu. Tapi entah mengapa harus alasan itu yang saya berikan waktu itu.

Ternyata kata-kata saya menjadi mukjizat, setelah saya menyerahkan uang tilang kepada Petugas saya baru teringat kalau uang saya benar-benar tinggal seratus ribu rupiah di dompet. Dan uang yang sudah saya keluarkan itu memang tidak akan pernah kembali. Ketika itu saya teringat, kalau saja uang itu saya pinjamkan kepada teman saya, tentu uang saya tidak hangus begitu saja. Lebih dari itu pasti Allah akan memberikan pahala kepada saya karena sudah meringankan beban teman. Tapi penyesalan memang selalu datang terlambat Dan saya sadar kalau Allah telah menegur saya melalui alasan yang sama.

Minggu, 19 Oktober 2008

Lelaki Lelaki Tikus*


Sore yang memikat, langit-langit merah menggiring senja, diikuti rintik-rintik hujan gerimis setengah basah. Keduanya terlihat begitu kompak dan akur. Tak ada tanda-tanda saling berebut, baik matahari maupun hujan. Dari kekompakan keduanya lahirlah segaris pelangi yang melengkung indah dilangit sebelah barat sana. Melengkapi kesyahduan senja itu. Memuat siapapun yang melihat pasti berdecak kagum atas maha karya Tuhan yang dahsyat ini.

Namun tidak begitu halnya dengan Sheila, gadis itu justru ingin segera menyudahi sore itu agar bisa lekas pulang. Bukan karena dia tidak suka hujan gerimis, bukan juga karena dia membenci pelangi. Musik yang mengalun lembut pun sama sekali tidak bisa memaksanya untuk duduk lebih lama lagi ditempat itu. Camellia-nya Ebiet G. Ade yang menjadi lagu favorite nya sejak dulu terdengar biasa-biasa saja.

Kopi ginseng yang ia pesan tadi sudah dingin, masih tersisa setengahnya tapi ia tak berniat menghabiskan minumannya. Ia menjadi tak berselera. Kehangatan yang sempat ia bayangkan justru menjadi dingin dan beku, lebih dingin dari sore ini. Yang ada dalam hatinya adalah bagaimana ia bisa segera sampai kerumah lalu tidur sepuasnya. Sesekali ia melirik si tikus yang duduk disebelahnya, membuatnya semakin jengah dan ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Menembus hujan matahari. Tapi yang dilihat sepertinya tidak merasakan apa-apa, ia seperti tidak sadar kalau dirinya telah menjadi gunjingan hati Sheila. Justru ia duduk santai sambil menikmati kopinya dan pisang goreng keju yang mereka pesan tadi dengan nyaman. Ia tidak risih atau kikuk dengan Sheila yang jelas-jelas tidak bersahabat. Dia memang laki-laki yang tidak memiliki sensitifitas.

“Kalau ngga ada yang dibicarain lagi aku mau pulang.” Suara Sheila memecah kebisuan mereka.

Eben menyeruput lagi kopinya hingga habis.

“Bahkan kita belum membicarakan soal kerjaan, kok mau pulang?” jawab Eben enteng.

Sheila meradang. Plin-plan sekali laki-laki itu, padahal tadi dia sendiri yang bilang urusan kantor ya dikantor bukan disini tempatnya. Dan sekarang dia bilang begitu. Dua hari yang lalu dia mengundangnya ke café ini untuk membicarakan soal pekerjaan, katanya bosan kalau melulu diruangan. Sekali-kali cari suasana santai.

“Mau kamu apa sih Ben?” Sheila menatapnya dingin. Eben tersenyum.

“Kita duduk dan ngobrol, ngga usah buru-buru pulang. Dirumah pun mau ngapain.”

Eben berusaha memegang tangan Sheila tapi dengan cepat Sheila menarik tangannya. Ia tak menyerah dan mencoba sekali lagi namun kalah cepat dengan gerakan Sheila. Ia pun berhenti.

“Dasar laki-laki tikus.” Pekik Sheila dalam hati.

Dalam hati ia menyesal telah menerima tawaran Eben untuk bertemu di café ini. Bukan itu saja, dia juga menyesal telah bekerjasama dengan lembaga yang dipegang oleh Eben. Tapi sekali-kali membicarakan urusan kantor diluar tidak masalah. Ia pun jarang sekali punya waktu untuk bersantai-santai. Jadi tak ada salahnya menerima tawaran Eben dua hari yang lalu. Tapi ia tentu saja tidak menduga kalau reaksi Eben akan seperti ini, walaupun sedikit banyak dia sudah dengar tentang Eben. Apalagi dia sebagai mitra harusnya Eben bisa bersikap professional. Tapi dasar tikus! Lagi-lagi Sheila mengerang dalam hati.

Tapi tikus yang satu ini bukanlah tikus biasa. Kalau yang lain diibaratkan dengan tikus rumah maka Eben adalah tikus cerurut, tikus hutan yang liar dan rakus yang bisa saja memakan tikus-tikus rumah.

Sheila tidak habis pikir bagaimana mungkin semakin lama semakin bertambah saja laki-laki yang harus ia masukkan dalam kelompok tikus. Bukan Cuma menyebalkan tapi juga menjijikkan. Begitulah Eben, genit, liar dan serakah. Rasanya tak cukup dengan itu menggambarkannya sebagai tikus, dia suka memanipulasi anggaran proyek, suka mark-up dan suka main dengan staff nya, beruntung ia punya tampang lumayan. Tapi kali ini Sheila benar-benar membuatnya tidak berkutik.

Ah, tiba-tiba saja ia jadi teringat Fikar, laki-laki santun yang dengan berat hati harus ia jadikan tikus juga.

***

Sheila hampir saja tertidur ketika mendengar suara pintu depan diketuk. Ia bangun dan memakai kimononya, sekilas ia melirik jam, pukul sepuluh kurang. Ia menebak-nebak siapa yang datang kerumahnya malam-malam begini.

“Fikar, kok tumben malam-malam datang kerumah?” Sheila membetulkan kerah bajunya yang berantakan.

“Ada yang harus aku ambil dari mu.”

“Apa?”

“Boleh aku masuk dulu?”

“Oh pasti. Masuk dan duduklah dulu.”

Sheila meninggalkan Fikar dan segera masuk kekamarnya untuk mengambil sesuatu setelah Fikar menjelaskan maksud dari kedatangannya. Note book nya Fikar ketinggalan dirumah ibunya karena itu dia harus mengambil data di komputernya . karena laporan triwulanan proyek pengadaan perahu untuk nelayan harus diselesaikan malam ini dan dikirim ke Jakarta besok pagi-pagi. Tidak banyak, hanya tinggal beberapa lembar lagi karena 90% nya sudah seelsai dan sudah di print out oleh Fikar.

“Nih, cari sendiri.” Sheila menyerahkan lap top nya kepada Fikar. Tanpa dikomando Fikar langsung mencari-cari file yang dimaksudnya. Sedangkan Sheila membaca majalah, sebenarnya ia mengantuk sekali tapi meninggalkan Fikar sendirian tidak enak.

Sedang diluar sana langit mulai tampak tidak bersahabat, gumpalan-gumpalan hitam mulai memadati arus lalu lintas dicakrawala. Sebentar lagi gumpalan itu pasti akan berubah menjadi rintik-rintik hujan yang lebat dan deras. Bintang-bintang mulai tinggal satu-satu sedang bulan sejak tadi sudah meredup.

Angin bertiup tidak mau kalahnya, ia sepertinya juga ingin menunjukkan kekuatannya pada langit. Bahwa ia bisa meniup daun-daun, bahwa ia bisa menerbangkan sampah-sampah, bahwa ia bisa menggoyangkan nyiur-nyiur, bahwa ia bisa meluruhkan putik-putik jambu dan menjatuhkannya keatap rumah. Dan membuat bising serta memekakkan telinga. Tidak lama berselang hujan pun turun dan akhirnya tumpah menggasak bumi. Tanah-tanah menjadi becek, binatang-binatang malam menjadi kalang kabut.

Namun Sheila yang tengah terlelap sama sekali tidak mendengar suara klotek-klotek yang dituimbulkan oleh putik-putik jambu tadi. Apalagi suara angin dan hujan, ia benar-benar lelap dan terkapar.

Tapi tidak dengan Fikar, dalam ketakutannya ia tampak makin takut ketika ia sadar telah terkurung dirumah Sheila. Mau pulang menerobos hujan itu tidak mungkin, sebab hujan terlalu lebat dan angin kencang, sebab malam terlalu pekat untuk ditembus begitu saja. Dia pun tidak bawa mantel hujan. Jantungnya berdetak tidak karuan. Cemas, takut, dan entah apalagi. Dalam keresahan itu terpaksa ia telan sendiri mana kala Sheila masih terbuai dengan alam tidurnya.

Detak jantungnya semakin tak berirama, mana kala ia melihat kerah baju Sheila tersingkap. Dia tidak memakai pakaian dalam. Darahnya berdesir hebat, adrenalinnya melonjak-lonjak tak mampu ia kendalikan.

Diam-diam ia mencoba memperhatikan Sheila, tampak anggun dan mempesona, bahkan dalam tidurnya pikir Fikar. Sheila tidaklah begitu cantik, wajanya biasa-biasa saja, kulitnya berwarna agak sedikit coklat. Tingginya hanya sekitar 158 cm. Tapi ia punya sepasang mata yang hitam dan tajam, alisnya lebat dan rapi. Pembawaannya selalu tenang dan berwibawa, pengetahuannya luas, Sheila cerdas dan romantis. Yang terakhir ini tentu saja Fikar tahu dari puisi-puisi dan tulisan Sheila yang sering ia baca di site nya.

Dalam hati kecilnya sesungguhnya ia mengagumi Sheila, dan berharap Sheila mau menjadi istrinya. Tapi ia tahu diri, pokoknya jangan macam-macam kalau tidak mau dipecat tanpa alasan oleh Sheila.

Lama Fikar memandangi Sheila, sejenak ia termangu. Angannya melayang begitu jauh, terbang mengitari langit-langit yang berserakan hujan, mandi bersama, basah berdua, lalu duduk diatas bulan dengan kaki bergelantungan kebawah. Menjuntai-juntai…

“Maafkan aku Sheila…” Fikar menunduk dalam-dalam. Dia tak berani menatap wajah perempuan disampingnya. Hatinya semakin risau dan takut. Perasaan bersalah, berdosa, menyesal berbaur dalam relung hatinya. Semuanya terjadi begitu cepat, tanpa ia maupun Sheila sadari bagaiman semua itu bisa terjadi hingga akhirnya mereka tak berdaya.

Sheila memandang Fikar tak berkedip. Hatinya berkecamuk. Kepalanya semakin terasa pening. Mengapa harus Fikar teriaknya berkali-kali. Laki-laki yang ia kagumi sekaligus hormati. Ia kagum akrena pembawannya yang matang dan bijaksana, dalam bekerjapun Fikar selalu sungguh-sungguh dan tekun, karena itu dia selalu mempercayakan setiap ada proyek baru kepada Fikar.

Fikar tidaklah seperti Eben atau Lindan, yang suka menggerogot sana menggerogot sini. Seperti tikus-tikus busuk yang ada dirumahnya dahulu. Yang suka menggigit spreinya, menggigit buku-buknya, mencuri makanan dan terkahir melarikan dua buah celana dalam kesayangannya. Itulah puncak kemarahannya kepada hewan itu yang tidak bisa ia maafkan. Dan akhirnya ia memutuskan untuk pindah. Itulah yang mendasari mengapa laki-laki yang dibencinya disamakan dengan tikus, tapi apakah Fikar harus juga?

Ia memang mengagumi Fikar, sesekali ia merinduinya. Tapi tidak lebih dari itu. Bukan untuk semua ini. Karenanya dengan berat hati ia harus menyebutnya sebagai tikus.

“Sheila?” Fikar terdengar memelas. “aku tidak bermaksud menyakitimu.”

Lalu apa? Jawab Sheila dalam hati. Ia pun meninggalkan laki-laki itu sendiri dan masuk ke kamar mandi. Ia menangis disana.

***

Sheila memandang Eben tajam, kali ini kesabarannya ada di titik kritis. Ia benar-benar tidak bisa mentolerir sikap Eben yang suka menjawil seenaknya, memegang tangannya, bahkan kalau ia tidak hati-hati pahanya pun bisa jadi sasarannya.

“Minggir! Aku mau pulang.”

“Sebentar lagi dong…”

“Kita udah satu jam lebih disini dan tidak ada yang penting yang kita bicarain, waktu ku ngga banyak apalagi untuk duduk seperti tikus macam kamu.” Akhirnya keluar juga kata-kata itu.

“Apa maksud mu?” Eben kelihatannya tersinggung.

“Pertanyaan bodoh! Harusnya sebelum kau Tanya mengapa kau fikir dulu.” Sheila pun pergi setelah meletakkan uang lima puluhan ribu diatas meja. Dalam ketersinggungannya Eben melirik uang itu. Pupil matanya melebar, bibirnya tersungging.

Tapi ia masih terheran-heran dengan keberingasan dan kekasaran Sheila yang mendadak. Padahal selama ini ia tahu Sheila sebagai perempuan yang lembut dan bersahaja. Eben termangu-mangu sambil menatap punggung Sheila yang makin menjauh.

Bilik hati

29/11/06

21:19


Tulisan ini sudah pernah dimuat di Aceh Independen, edisi Ahad, 19 Oktober 2008