Jumat, 26 September 2008

Berkaca Dari Sang Imam

Berkaca Dari Sang Imam

Berkaca Dari Sang Imam

oleh Ihan Sunrise Selasa, 23 Sep 2008 16:01

Imam Hasan Al-Bashri adalah seorang ulama terkemuka di kota Basrah, Irak. Beliau dikenal sebagai ulama yang berjiwa besar dan mengamalkan apa yang beliau ajarkan. beliau juga ulama yang kharismatik, dekat dengan rakyat kecil dan dicintai oleh rakyat.

Beliau mempunyai seorang tetangga nasrani. Tetangganya itu memiliki kamar kecil untuk kencing diloteng di atas rumahnya. Atap rumah keduanya bersambung menjadi satu. Sehingga air kencing tetangganya itu merembes dan menetes ke kamar Imam Hasan Al-Basri. Namun beliau sabar dan tidak mempermasalahkan hal tersebut. beliau menyuruh isterinya untuk menadahi air kencing tersebut agar tidak mengalir kemana-mana.

Selama dua puluh tahun hal itu berlangsung dan Imam tidak pernah menceritakan hal tersebut kepada siapapun. Beliau ingin benar-benar mengamalkan sabda Rasulullah SAW.
"Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka muliakanlah tetangganya."
Suatu hari Imam sakit dan tetangga nasraninya menjenguk beliau kerumah. Ia merasa aneh melihat ada air menetes dari kamar sang Imam. Ia pun memperhatikan dengan seksama dan tahulah dia dari mana sumber air tersebut yang ternyata air kencing mereka. Dan yang membuatnya heran mengapa Imam tidak pernah mengatakan hal tersebut kepadanya.

"Imam, sejak kapan Engkau bersabar atas tetesan air kencing kami?" tanyanya.
Imam tidak menjawab karena takut si tetangga merasa tidak enak. Namun...
"Imam, kalau Engkau tidak mengatakan, maka kami akan menjadi tidak enak hati." Desaknya "Sejak duapuluh tahun yang lalu." jawab Imam dengan suara parau.
"kenapa tidak memberi tahu ku?"
"Nabi kami mengajarkan untuk memuliakan tetanggA. beliau bersabda siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka muliakanlah tetangganya."
seketika itu si tetangga lansung mengucapkan dua kalimat syahadat. ia dan keluarganya masuk Islam.

Beberapa hari yang lalu ketika masuk ke kamar mandi tidak sengaja melihat ke got, kaget juga melihat tempe dan tahu berserakan di sana, setelah di teliti ternyata tempe dan tahu itu berasal dari tetangga sebelah, yah, got kami memang satu saluran dengan tetangga sebelah. yang terpikir saat itu adalah menutup saluran got tetangga, agar sampah tidak bisa lewat. kejadian serupa terjadi lebih kurang satu tahun yang lalu, ketika rumah sebelah dihuni oleh tetangga yang lama. bukan cuma tempe dan tahu atau sisa makanan saja yang berserakan di got, tapi juga kemasan deterjen, dan sampah-sampah rumah tangga yang kecil lainnya. melihat itu terus-terusan terjadi kami pun mengambil inisiatif, menutup saluran got dengan papan bekas sehingga yang bisa lewat cuma air saja. kami tidak pernah mengatakan langsung karena takut tetangga kami marah. sesekali kami menggerutu dengan kejadian itu.

Lain si tetangga lain lagi tentang orang-orang yang biasa nongkrong di warung sebelah. kalau sedang ramai-ramainya mereka duduk sampai kedepan pintu rumah kami. membuat kami agak jengah juga, kalau mau keluar rumah harus bilang "misi...mas, pak, bang, om..." biar ngga di bilang ngga tahu sopan santun, atau minimal tersenyum lah. yang menjadi persoalan bukan itu sebenarnya, melainkan jejak yang mereka tinggalkan. di rumah kami ada pohon jambu besar yang kalau sehari saja tidak di sapu jangan tanya banyak nya daun yang rontok seperti apa, konon lagi di tambah dengan kulit dan bungkus kacang yang berserakan. belum lagi puntung rokok yang bertebaran di mana-mana, kalau ada angin kencang dan pintu rumah terbuka maka sampah-sampah itu akan denan cepatnya berpindah tempat, masuk kedalam rumah. kadang-kadang kalau penghuni rumah sedang sibuk semua, dengan berat hati sampah itu dibiarkan sampai beberapa hari tak dibersihkan.

Emosi dan suasana hati seseorang sering berubah-ubah, orang-orang sering menyebutnya dengan mood. ada kalanya ketika pikiran sedang kalut, emosi tengah labil, masalah belum selesai yang baik disampaikan orang bisa jadi tidak baik di telinga kita. sering sekali kita tidak bisa menjalankan sunnah-sunnah rasul seperti memperlakukan tetangga dengan baik, apalagi teman dan orang yang tidak kita kenal. secara langsung maupun tidak langsung, sadar atau tidak sering sekali kita menyakiti orang lain, baik secara disengaja maupun tidak. baik itu orang yang kita kenal ataupun yang tidak kita kenal. baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

Pernahkah kita berfikir sesering apa kita membuat orang lain sakit hati dan kesal dengan perlakuan kita? seberapa sering kita membuat orang lain berdosa karena kekesalannya kepada kita lantas memaksanya untuk menggerutu bahkan mungkin memaki. hanya karena tulisan kita yang sembrono dan ngawur misalnya, atau karena menelpon bukan pada waktu yang tepat.
pernahkah juga kita berfikir ingin menyenangkan orang lain walau kita tidak pernah mengenalnya? membuatnya merasa terhibur dengan apa yang bisa kita tulis atau sampaikan secara tidak langsung? yang membuatnya lega dengan mengenal kita sebagai teman maya yang jauh dan entah di mana.

Catatan kecil ini hanya sebagai refleksi diri, bahwa sebagian besar kita tidak hanya berinteraksi dengan dunia nyata saja tapi juga dalam dunia maya. semakin sering berinteraksi maka seharusnya semakin seringlah kita merenung, apakah saya sudah memperlakukan tetangga saya dengan baik? teman-teman saya dengan baik? wallahu'alam.

http://eramuslim.com/oase-iman/berkaca-dari-sang-imam.htm

For My Soul

For My Soul

Bilik Hati, 01: 52 - 02:55 am
11 September 2008
Kepada Yang Tercinta:

Seseorang yang pantas kusebut Jiwaku

Kau teman baik yang tak pernah ada, teman bercerita yang tak jelas rupa, kepadamu aku pantas bertutur kata, patut menceritakan tentang sebenar rasa yang kokoh bercokol dalam lumbung hati. Sebab kau tak akan mencibir bila ini kesilapan, tak pula memuji bila ini ketulusan.

Mengapa sedih, duka, lara, bermuara pada yang satu, bening air mata laluannya. Dan juga bahagia, rasa senang, keharuan, juga air mata huluannya. Sehingga sukar untuk dibedakan kapan sebenarnya hati merasa sedih, kapan hati merasa senang. Atau sebaliknya perumpamaan, tumpah air mata ini untuk duka atau untuk keharuan?

Aku berterimakasih kepada alam yang telah bersahabat denganku, kepada angin yang telah turut ambil kisah dalam percintaan ini. Kepada bulan dan matahari yang mau menjadi perumpamaan untuk kisah-kisah terdahulu. Aku berterimakasih kepada waktu yang telah mempertemukanku pada seseorang, seseorang yang tidak terlalu bijak dan tidak terlalu baik, sehingga banyak pula yang tidak teralu baik yang kudapatkan. Seseorang yang telah memberikan kisah dalam catatan keseharianku, menorehkan warna sekalipun tidak sesempurna pelangi. Seseorang yang kadang kala diluar kesengajaannya mengirimkan kabut dalam diriku dan menyublim menjadi bulir-bulir air mata kerinduan yang teramat sangat, aku menangis setiap kali mengingat bahwa aku masih mencintai lelaki itu. Lelaki bertajuk seseorang.

Lelaki dengan gelak tawa yang masih sama, dengan senda gurau yang belum berubah, yang telah menjadi inspirasi hampir seperempat umurku. Dia, seseorang bertajuk lelaki yang benar-benar kucintai dengan jiwa. Dan karena itu ia sering lalu lalang tanpa permisi begitu saja. Ia pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal dan datang tanpa mengatakan selamat datang, ia datang begitu saja melalui pertalian sebagai oase ditengah kerinduan yang hampir kerontang. Ia selalu datang tepat waktu, karena itulah aku memanggilnya jiwaku.

Lelaki jiwaku, terlalu banyak nama yang kusematkan untukmu, bukan untuk memujamu berlebihan, bukan pula karena aku terlalu pintar memberi nama, tapi semua itu terjadi begitu saja, tanpa sempat aku berfikir pantaskan kau menyandang nama itu.

Seseorang yang bertajuk laki-laki, yang kucintai dengan sepenuh jiwa dan segenap sadar, dia adalah dirimu, yang tengah membaca tulisan ini sebagai hadiah kecil untuk mengantarmu memasuki usia tertentu. Yang kubawa kemanapun aku pergi, kau selalu dihati, bahkan kepada Tuhanpun aku belum sanggup begitu.

Aku berdiri diambang pintu hatimu, mengantarmu memasuki ruang usia yang baru, tanpa kecupan dan pelukan, sebab itu telah terjadi pada malam-malam sebelum itu melalui pertalian kita yang hangat dan senang. Aku terbisu mengenang masa yang terlewat, tergagap untuk mengatakan betapa masa itu tak merubah sedikitpun apa yang melekat di hati, tersipu ketika kembali harus memanggilmu cinta dan kecupan yang bertubi-tubi sekalipun melalui pertalian.

Aku senang bisa memanggilmu sebagai jiwaku, itu adalah siratan atas suratan yang kita sudah tahu apa yang akan terjadi. Aku berdoa untukmu, aku berpuisi untukmu, sebagai pengiring memasuki hari-hari baru diawal usiamu yang baru ini. Begitulah cara aku mencintai, bergitulah cara aku memberi, begitulah cara aku menjaga sehingga kau tetap pantas untuk selalu dikasihi dan bersemayam di hati.

Bila puisi ini terlalu panjang, maka ini bukan puisi tetapi isi hati, dan tidak ada isi hati yang singkat dan pendek, Kekasih Jiwaku...terimakasih telah memberi kesempatan untuk mencintaimu dengan sepenuh hati, terimakasih telah memberi izin untuk menyayangimu dengan segenap rasa dan asa. Terimakasih untuk hadiah yang tak pernah kering yang kau berikan, untuk selalu bisa merinduimu tanpa berlapis.

selamat hari jadi, peluk dan cium yang lama untukmu

your beloved


Kepada Ridwan H. Mukhtar*

Kepada Ridwan H. Mukhtar*

Kepada Ridwan H. Mukhtar

Lelaki penuh kejutan

Yang hidup dengan kekuatan jiwa dan tulisan

Dikirim melalui getar-getar angin yang bergelombang dan bermagnet

Sehingga jelas bumi tempatnya berpijak seolah ada di depan mata

Ia mengobarkan semangat

Layaknya kisah yang ia tulis dalam Hikayat Tari Guel

Itulah yang membuatnya hidup dan terus ada

Meliuk-liuk bagai gerak tarian dalam hikayat tersebut

Mengirim percakapan-percakapan magis

Yang terus terngiang-ngiang dalam keterkejutanku, ketidak percayaan

Membuatku ingin kembali ke sore itu, saat ia mengenalkan putri kecilnya

Namanya Azizah, katanya waktu itu

Sungguh, ini perdebatan batin yang luar biasa

Ketika semalam aku masih mengenangnya

Sore ini ada pesan yang meliuk-liuk dari lelaki penuh kejutan

5 – 10 Agustus 2008




pernah dimuat di Harian Aceh Independen

Elegi Dua Hati

Elegi Dua Hati

Elegi Dua Hati

Tuhan,

Jika Kau berikan manusia dua hati

Apa mereka bisa mencintai dua hati yang berlainan?

Apa ada jaminan hati mereka tak bercabang lagi

Menjadi tiga, empat dan seterusnya?

Tuhan,

Seperti apakah ketulusan?

Seperti apakah kesetiaan?

Seperti apakah ...

Tuhan ...

Lamdingin, 30-01 Oktober 07

09:17 am

Rendezfous

Rendezfous

Rendezfous

Pada pertemuan sehabis magrib

Langit yang masih basah dan tempias yang belum kering

Aku seperti pernah melihat laki-laki itu

Samar-samar bagai kelebat bayang

Yang jelas kami sama-sama tergelak

Saat ia mengatakan

Ternyata kamu seorang perempuan

Iya,

Dia menyapaku sebagai laki-laki beberapa hari lalu

Ia perkenalkan aku dengan Cordelia-nya

Padanya aku ucapkan selamat

Karena telah berikan aku inspirasi

Untuk memulai puisi ini

Lamdingin, 30 Sep. 07

10:02 pm

Lakon Diri

Lakon Diri

Lakon Diri

Aku sendiri yakin

Tidak ada kesedihan yang kekal

Begitu juga dengan kesenangan

Hargailan nafsu

Karena darisanalah hidup terus berlanjut

Genggamlah matahari

Yang kau namai jiwa

Hiduplah dengan itu

Serupa air yang terus mencari muara

Tak pernah berhenti

Tak pernah merasa lelah

Aku selalu menyemangati diri

Dengan segudang cinta yang kupunya

Dengan sejuta kasih sayang yang ku terima

Kadang juga dengan nafsu yang ku miliki

Adakah hidup ini lebih indah selain dari mimpi-mimpi?

Lamdingin, 29 Sep. 07

08:10 pm

Lelah

Lelah

Lelah

Sekuat apakah dunia mendikte manusia?

Seperti gurita yang mencengkeram mangsanya kah?

Lalu menghisap darahnya hingga tak bersisa

Dan saat itu baru tersadar, bahwa dunia adalah pendaya

Untuk apalagi

Cinta telah pergi

Rindu telah menyublim

Dongkol, marah, hati tak lagi bisa bersuara

Sebab pertemuan-pertemuan penting telah memenjarakan kebebasan

Rapat, meeting, rapat, meeting....

Begitu seterusnya

O9:50 pm

07, Banda Aceh

Selasa, 25 September 2007

For my little sister

For my little sister

For my little sister

Terbayang kembali tawa mu yang sumringah

Dan jeritan mu yang melengking

Kaki kecil mu yang saban waktu mengayuh sepeda

Tak jemu ke sekolah dan mengaji

Saat kau duduk mesra dengan si kuning*

Tangan mu membelai kepalanya

Kaki mu berayun menjulur

Menatap cakrawala hidup yang membentang

Temani saja dulu ibu,

Nanti kalau saatnya tiba

Kau akan rasakan betapa indahnya dunia

Penuh warna-warni, penuh pelangi, tempat berpetualang yang dahsyat

Adik kecil ku yang selalu membuat rindu

Kita adalah anak jaman yang lahir pada waktu tak mudah

Penuh desingan peluru, carut marutnya hidup

Hingga titik api yang kita sadari telah ada dalam rumah kita

Siapa yang akan memadamkannya?

Ibu saja seorang takkan bisa

Kita adalah pembuka dan penutup

Pengawal dan peng-akhiran

Mari ciptakan dunia lain bagi mimpi-mimpi kita

Hingga tak rugi waktu menempa kita

*Kucing peliharaan di rumah kami

09:39 pm

07, Banda Aceh

Selasa, 25 September 2007

Kepada Tuan Han’s

Kepada Tuan Han’s

Kepada Tuan Han’s

Siapa bilang aku tak perhatikan kamu

Memang,

Aku tidak pernah uluk salam, dan tidak ketuk pintu

Juga tidak tinggalkan jejak

Tapi apakah sebegitu parahnya ingin lupakan ku?

Aku perhatikan semuanya

Pigura yang bergantung didinding rumah

Halaman yang semakin hijau dan asri

Dan juga ruang tamu yang semakin ramai

Aku tak mengerti sandi-sandi itu

Jadi, biarkan saja aku menepi

07, Banda Aceh

Selasa, 25 September 2007

08:01:08 pm

Untuk Zal

Untuk Zal
Untuk Zoel!
Esok genap empat puluh tahun usia mu
Aku mengatakannya usia yang matang dan dewasa
Telah ku persiapkan jauh-jauh hari
Sepotong surat cinta dan sebait puisi pengantar
Prakata untuk yang lebih panjang, kata ku waktu itu
Bacalah dengan senyuman
Simpanlah dalam hati saja
Jangan biarkan orang tahu Zoel
Bahwa aku meminta mu menjadi sesuatu
Selalu saja hati ku berdebar
Setiap kali inisial nama mu ku sebut, atau ku tuliskan
Selalu saja berkabut, dan gerimis
Setiap kali mengingat kau bernama Zoel!

Selasa, 25 September 2007

07:44:50 pm


Obrolan Subuh

Proses selalu ada masa habisnya
Entah berakhir dengan kesuksesan, bisa pula dengan kegagalan
Kau mencuci otak ku dengan kecemburuan-kecemburuan baru
Melahirkan seribu padang bunga di subuh yang basah
Memberikan keyakinan bahwa hidup adalah kumpulan pelangi
Warna-warni bagi yang mencintai dan dicintai
Lamdingin, 29 Sep. 07
08:04 pm

Kepada matahari dan bulan

Matahari,
Mengertikah kau arti kegelisahan ini
Aku hanya takut mendung akan terus memeluk mu
Dan aku kehilangan hangat mu seperti subuh 29 september itu
Aku melihat cahaya bergerai diwajah mu
Menggelantung seruling-seruling merdu
Berdendang indah di telingaku
Menggelitik urat-urat saraf
Purnama,
Aku hanya ingin menatap mu dari atas pasir berkilau itu
Memandang hitam mata mu dengan seribu gejolak
Mendekap dan biarkan cahaya membasuh jiwa kita
Ini bukan kegelisahan biasa
Yang bisa diterjemahkan dengan kata
Ini bukan ketakutan biasa
Yang bisa diterjemahkan dengan gigilan

Lamdingin, 2007-10-01
09:48 am

Minggu, 14 September 2008

Bila Aku Memanggilmu Cinta

Bila Aku Memanggilmu Cinta
bila aku memanggilmu dengan Cinta...
itu, bukanlah sesuatu yang berlebihan
tapi memang begitulah adanya

kamu yang menghadirkan matahari dalam jiwa ku
kamu yang mengajarkan tentang telaga di mata ku
kamu yang mengatakan ada kesejukan dalam hidup yang suam
maka, berlebihankah bila aku memanggilmu sebagai Cinta?

bila aku memanggilmu dengan Cinta...
itu, karena aku benar-benar mencintaimu
karena aku benar-benar belajar cinta dari cara mu mencintaiku

bila aku memanggilmu dengan Cinta...
itu bukan pura-pura
karena aku akan selalu menangis
bila mengingat mu semakin jauh
semakin jarang bisa memanggilmu sebagai Cinta...

bila aku memanggilmu dengan Cinta...
percayalah...aku benar-benar mencintai Mu...


19 mei 2008
pkl 09.16 PM

Dia Bukan Nyonya

Dia Bukan Nyonya
ini cerita tentang perkawinan, yang kata banyak orang mereka 'menyesal' setelah menikah. menyesal karena terlambat menikah, yang belum pernah menikah tentu saja tidak akan pernah menyesal, karena mereka tidak tahu bagaimana rasanya dunia perkawinan itu.

tetapi yang ini adalah sebenarnya penyesalan, karena faktanya setelah menikah tidak seperti yang ada dibenaknya dulu, tak ada suami 24 jam yang menemaninya setiap saat kapan saja ia butuhkan, sangat bertolak belakang saat masih pacaran dulu. tak ada tempat untuk bersandar ketika lelah mendera, tak ada tangan yang akan mengurut tengkuk ketika sang istri menderita morning sickness setiap harinya. betul-betul merana sebab semua harus diuruskan sendiri, memasak, membersihkan rumah, menyapu, membeli beras, membayar listrik, membayar rekening air, sampai ribut dengan tetangga juga harus dilakoni seorang diri.

tersiksa, jelas sangat merana sebab semua urusan keluarga harus diurus seorang diri, tetapi yang paling parah adalah siksaan batin karena terus menerus menahan rindu dan kesal yang bercokol dihati. ingin marah kepada siapa? sebab sang suami tak pernah ada didekatnya, seminggu sekali bertandang menemuinya sudahlah lebih dari cukup daripada tidak ada sama sekali. datang lepas tengah malam dan sebelum subuh sudah pergi meninggalkan dirinya. pantaslah kalau ia berkeluh dan terkeluar kata ia hanya singgahan. singgahan sang suami yang kebetulan ada urusan bisnis di kota ini, singgahan sang suami ketika sedang 'kepepet' ingin disuplai energi batin. ia merana, karena ia tidak bisa selalu mencharge energi batinnya kapanpun ia mau.

lebih tersiksa lagi ketika sang jabang bayi mulai menendang-nendang perutnya, ia mulai sering kepayahan dan tersengal-sengal bila bekerja berat. dan itu tandanya sematan barunya sebagai ibu akan segera datang, dan suaminya akan bergelar ayah. penantian yang mendebarkan, sekaligus menegangkan, akankah sang anak akan menjadi protestan kepada ayahnya seperti halnya yang sering dilakukan sang ibu?

dunia perkawinan memang impian, harapan dan angan-angan semua orang, sebab disana dua jiwa akan menyatu, dua raga akan sama-sama mengayuh biduk mengurus rumah tangga. sama-sama menanggung susah dan senang, kaya dan miskin, terkenal dan termarginal, semuanya harus dilakoni berdua, itulah idealnya sebuah perkawinan. tetapi bila sebaliknya? yang ada justru sebaliknya, yang satu senang yang satu susah, yang satu bahagia yang satu menderita, yang satu terkenal yang satu tersisih dan terbuang, inilah sebenarnya penyesalan bagi mereka yang sudah menikah, ketika nasih sudah menjadi bubur, saat masalah tak bisa lagi dilerai dan ketika waktu serasa menikamnya dari belakang.

ini cerita tentang seorang perempuan yang kurang lebih sama seperti gambaran diatas, saban hari ia mengurung diri dalam kamar sempit yang pengap, kurang pencahayaan matahari dan penuh dengan barang-barang. ia tidur sepanjang waktu dan sedikit sekali keluar rumah, waktunya dihabiskan untuk nonton tiv dan mendengar musik, seiring dengan itu semakin tumbuh pula janin kecil yang terlindung dalam rahimnya.

ia kesepian, ia menderita, ia merana, fisik dan jiwa. tetapi ia tak punya teman untuk berbagi resah itu, tak punya tempat yang layak untuk diajak senasib sepenanggungan. sebenarnya ia punya suami, tapi tak lebih sebagai teman bergaduh sepanjang malam sampai menjelang subuh. bertengkar mungkin cara mereka mengungkapkan kasih sayang, saling marah barangkali cara mereka mengekspresikan diri untuk bilang I luv U, dengan marah berarti aku masih sayang dengan kamu, dengan marah berarti aku masih peduli dengan kamu, dengan marah... kamu tetap akan menjadi istriku karena tidak mungkin anak dalam kandunganmu lahir tanpa ayah.

ancaman yang ampuh agaknya, sebab si perempuan tak bisa berkutik bila sudah menyentuh soal anak yang akan dilahirkan. karena itu, iapun rela memeram diri dalam kamar ukuran 2x3 itu sehari suntuk. dengan tetangga sudah tak enak lagi untuk bertegur sapa sebab sudah beberapa kali bersitegang masalah air, masalah listrik, tali jemuran, sampah dan segala macamnya. ia sering menggerutu, perihal suaminya yang kadang tak mengangkat telepon darinya, atau yang menyuruhnya telepon jam segini jam segini, padahal sebagai istri dia ingin 24 jam milik suaminya adalah miliknya juga.

menggerutu sudah pasti, tapi lagi-lagi ia mati kutu karena kelalaiannya sendiri.
ia cinta, sangat cinta kepada suaminya, tetapi ia lalai sampai salah memilih suami. tidak dapat disalahkan secara sepihak sebab laki perempuan sama gila bila sudah berbicara soal cinta. begitu juga mereka, cinta mereka pincang sebab ada yang terluka dan terkhianati. cinta mereka cacat sebab ada yang tidak terkasihi sebagaimana mestinya, cinta mereka buta sebab mereka tak pandai melihat mana yang hak mereka dan bukan, cinta mereka tuli sebab tak mendengar takdir berkata. cinta mereka....hancur lebur oleh nafsu.


cerita ini tentang perempuan muda yang mati karir karena kungkungan suaminya, ia menderita karena ternyata ia tak sepintar yang ia duga, ia shock berat karena ternyata ia ditipu hidup-hidup oleh seseorang yang telah menyebutnya istri. ia menjadi pelengkap atas kebahagiaan orang lain, tetapi menderita jiwanya. ia menjadi bayang-bayang selamanya karena statusnya yang tidak sah secara hukum negara.

dia ingin menjadi Nyonya atas suaminya, tetapi terlambat dan ia hanya puas dengan sebutan Nyonya Simpanan. bila ada orang yang menanyakan itu maka dengan marah ia akan menunjuk-nunjuk surat nikahnya yang selembar, yang berwarna putih dan di tik manual. berbeda dengan kebiasaan, berwarna hijau. dan orang-orang terheran-heran dengan itu tetapi tak berani mengatakan apapun didepannya.

dia, perempuan manis yang malang. (*)

Sabtu, 13 September 2008

Kepada Ayah di Surga

Kepada Ayah di Surga
Kepada Yang Ku Rindu
Ayah,
Di Surga

assalammualaikum wr wb

Ayah...
Aku datang menyapamu, kali ini bukan dengan doa seperti biasa tetapi dengan kata-kata yang ingin kuceritakan langsung kepadamu. aku yakin, kau mendengar dan melihat gelisahku dari surga. melihat betapa rindunya aku kepadamu.

Ayah...
aku ingin bercerita sedikit kepadamu,
tentang suasana rumah kita, suasana kampung halaman kita, semuanya ayah...juga tentang kesombongan orang-orang yang senang melihat orang lain terluka dan sengsara.

Aku sedih Ayah, selalu menangis setiap kali mengingatmu, mengenang perjuanganmu mendidik kami adalah kekuatan terbesar untukku dan adik-adik, kau mengajarkan kami kemandirian, kerja keras, karena itulah kami tetap bisa hidup meski ayah sudah tiada. aku semakin sedih bila berada di rumah kita, rumah terasa sepi meski sebenarnya selalu ramai seperti biasa tatkala engkau masih ada. teman-temanmu masih sering mengunjungi rumah kita ayah, mereka makan, atau kadang tidur melepas lelah, mereka masih menganggap rumah kita seperti rumahnya sendiri meskipun ayah sudah tidak ada. tidak ada kecanggungan, meski aku sering diam menanggapi mereka, aku memang tak seramah ayah dulu, tapi mereka juga tak takut kepadaku.

aku tak percaya kalau ayah sudah hampir sepuluh bulan pergi meninggalkan kami semua, sampai aku benar-benar tidak menemukan ayah saat menjejakkan kaki ketika pulang ke rumah menjelang makmeugang yang lalu. tak ada lagi tangan yang bisa ku ciumi seperti biasa saat aku pulang ke rumah, dan tak ada yang mengantarku ke terminal, aku sedih sekali ayah, menangis mengingat itu sebab yang mengantarku ketika itu adalah orang kepercayaan ayah yang sampai sekarang masih setia kepada keluarga kita.

dia mengurus apa yang dulu pernah ayah rintis seperti kepunyaannya sendiri, tak pernah mengeluh, tak pernah bosan, dia menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kami sekarang.

ayah...
kau baik-baik saja kan di surga?
sebentar lagi lebaran, aku takut menghadapi hari itu, bukan karena apa, tapi karena ayah tidak ada lagi ditengah-tengah kami sekarang. rasanya tidak siap berlebaran tanpa ayah.
ayah...dulu, beberapa tahun yang lalu aku pernah menulis cerita dengan judul "Berlebaran Tanpa Ayah".

cerita itu tentang bang Madli teman ayah yang meninggal karena oknum aparat, sekarang aku teringat lagi akan cerita itu, aku terkenang, apa yang dulu pernah dirasa oleh anak-anak bang Madli kini kami rasakan juga. saat pulang kemarin Diah bilang, kalau dia sudah ditakdirkan harus kehilangan ayah pada usia yang sangat muda. aku tidak sanggup mendengar kata-kata itu ayah, beban rasanya. semua permintaan diah tak sanggup ko tolak. karena ayah sangat memanjakannya dulu. dia sering bilang, dulu semasa ayah ada hampir setiap malam ayah membawanya makan nasi goreng atau nasi lemak kesukaannya. diah sangat kehilangan, tapi ia tak bisa membahasakannya.

ayah,
ada satu hal lagi yang ingin aku sampaikan, Rizal sudah menjalankan apa yang ayah wasiatkan dengan baik, dia ada di Labuhan Haji sekarang, mondok menjadi santri di Dayah Darul Ihsan milik seorang Waled yang aku lupa namanya siapa. tapi dia terlalu jauh dengan kami ayah, ibu sedih karena itu, tapi juga tidak bisa berbuat apa-apa untuk melarangnya agar jangan terlalu jauh merantau.

aku tak kuat menahan tangis ayah, malam selarut ini kerinduan untukmu semakin tak karuan, malam-malam seperti inilah aku sangat ingatkan akan ayah. sering aku terisak dan tersedu bila menuliskan semua tentang ayah.

ayah, ini bulan puasa, seharusnya tak boleh ceritakan keburukan orang tapi aku ingin sekali bercerita, tentang seorang haji di kampung kita yang kaya raya, yang menyumpahi agar apa yang dulu ayah rintis menjadi tidak ada. dia inginkan kita hancur ayah. tapi Allah masih sayang kepada kami, terutama kepada diah yang kecil, rejeki untuk kami masih ada dan orang-orang yang bersama kita juga masih ada kemudahan rejeki.

Ayah...
aku tak akan lupa berdoa, aku ingin kelak kita berkumpul bersama di Surga. ayah akan selalu hidup dan semakin dekat di hatiku

anak perempuanmu

23:51 pm
13 Sept 2008

Melukis Angin

Melukis Angin
Aku menggeliat bangun, dengan sedikit rutukan dan kesal di hati sebab berkali-kali namaku dipanggil setengah berteriak. Terbetik keinginan untuk pura-pura tidak mendengar sehingga aku bisa meneruskan tidur ini, rasa kantuk yang sangat masih menyerangku. Tadi aku baru bisa memejamkan mata menjelang pukul dua, dan sekarang belum lagi pukul empat aku sudah dibangunkan pula untuk sahur.
Namun mengingat jerihnya yang telah bersusah payah membangunkan, tak jadi aku tarik selimut. Tak tega rasanya membayangkan perempuan itu tergopoh-gopoh menyiapkan nasi dan lauk untukku, padahal aku ini bukanlah siapa-siapanya. Dan mau tak mau akhirnya bangun juga aku. Setelah mencuci muka baru ke dapur untuk membantunya menyiapkan makanan untuk kami berdua.
“Mau teh, kopi atau susu?” tanyanya belum lagi aku sempat melakukan apa-apa. “Hei, mau teh, kopi atau susu?” tanyanya lagi melihat aku tak menjawab.
“Susu aja, Kak.” Jawabku merasa tak enak. Ia membuatkan aku segelas Milo panas.
Ia tampak terengah-engah menahan berat badannya yang terus bertambah, setiap hari semakin membuncit pula perutnya yang memang sudah gendut itu. Ia tampak lebih pendek sekarang, apalagi dengan baju tidur tanpa lengan berbahan kaos yang menempel di tubuhnya, aku geli membayangkan perut buncitnya yang terbungkus seperti lepat itu. Tapi tak pernah aku katakan itu padanya, takut ia tersinggung dan terluka, maka bila itu terjadi akan semakin sempurnalah penderitaan hidupnya.
“Tambah lagi nasinya Ros, jangan malu-malu nanti kamu lapar.” Katanya berulang-ulang sampai aku bosan mengangguk dan akhirnya tak menjawab sama sekali.
Namanya Hanifa, usianya belum lagi mencapai kepala tiga, tapi melihat kondisinya sekarang ia terlihat seperti perempuan tiga puluh limaan saja. Rambutnya kusut masai dan mukanya pucat lesi seperti bulan kesiangan dan sabit pula, alangkat tak enaknya untuk dipandang. Apalagi dengan ocehan yang tak pernah berhenti dari mulutnya, ia persis seperti burung Beo yang sedang belajar bicara, mengatakan semua yang ia rasai tanpa sedikitpun menyembunyikannya. Dari kicaunyalah aku tahu asal-usulnya, darimana ia sebelumnya, bekerja dimana, dan mengapa akhirnya ia bisa tinggal seatap rumah denganku yang masih lajang.
Belakangan aku tahu bahwa demang kontrakan ini menyuruhnya untuk segera pindah. Ia merasa dibohongi dan kecolongan karena telah membiarkan perempuan yang teah bersuami tinggal di kontrakannya. Hanifa tak memberitahu yang sebenarnya bahwa ia telah bersuami dan hamil. Ultimatum itu membuat Hanifa bertambah tertekan dan uring-uringan. Ia sering marah dan mencibir pemilik kontrakan dengan kata-kata sinis dan kasar bahkan terkadang dengan makian. Aku jengah mendengarnya, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Menanggapi perbuatannya aku diam saja, tak ingin turut campur dan tak ingin melibatkan diri dengan apa yang sedang dialaminya.
Tetapi aku juga tahu kalau Hanifa tak betah tinggal di kost-kostan ini, ia merasa terkungkung seorang diri dalam kamar kontrakan yang kecil. Yang semuanya bertumpuk disana mulai dari tv, tempat air, tempat menanak nasi, belum lagi lemari dan kasurnya. Sering aku mendengarnya merengek-rengek pada suaminya melalui telepon agar mereka mencari rumah yang layak untuknya, tapi sampai sekarang agaknya belum ada karena Hanifa masih saja menetapi rumah ini sekalipun sudah ada peringatan dari empunya rumah. Hanifa sering menyebut kost-kostan ini sebagai kandang kambing, dan ia tak layak untuk menempatinya. Bila ia menyebut begitu aku sering menggerutu dalam hati berarti kambinglah Hanifa sebab ia penghuni disini.
Tapi, dengan keadaannya yang sekarang tak tega juga rasanya aku terus berdiam diri. Namun untuk melakukan sesuatu agar bebannya menjadi ringan tak tahu juga apa yang mesti aku lakukan.
“Kenapa handphonenya tidak diangkat?” tanyaku melihat Hanifa tak peduli dengan telepon genggamnya yang terus berbunyi.
“Malas.” Jawabnya singkat.
“Malas kenapa?” tanyaku lagi.
“Saya merasa tidak perlu mengangkat telepon ini, Ros.”
“Tapi itukan telepon dari suami kakak, bagaimana kalau ada sesuatu yang penting?”
“Penting apanya? Mana ada yang penting sih buat saya Ros. Yang ada Cuma kecurigaan dan tuduhan yang mulai bosan saya dengar.” Jawab Hanifa dengan geram, sorot matanya yang tajam menyiratkan kesedihan dan luka yang amat.
“Tuduhan?” aku tidak mengerti dengan maksudnya.
“Setiap kali suami saya menelepon selalu saja ia menyangka kalau saya berselingkuh, coba kamu pikir Ros, apa ada laki-laki yang tertarik pada perempuan bunting seperti saya ini? Kalaupun ada pastilah laki-laki itu sudah melakukan kesalahan pada perempuan itu, seperti yang dulu saya alami.” Ucapnya penuh sesal.
Hanifa mulai bertutur, menceritakan liku kehidupannya untuk yang kesekian kali. Jemu aku mendengarnya, tapi tentu saja lebih jemu ia yang mengalami semua kisah itu. Dalam hati aku tak membenarkan, tidak pula menyalahkannya. Semua yang dialami Hanifa dan suaminya hanya kesilapan, keterbuaian dalam paduan kasih sehingg membuat mereka lupa diri. Hanifa lupa menanyakan perihal latar belakang orang yang dikasihinya sebab ia terlalu percaya dan cinta, sementara laki-laki yang kini menjadi suaminya lupa bila ia sudah beranak istri dan masih mencari kesenangan diluar itu. Sekarang, bukan kesenangan yang mereka dapat melainkan petaka yang terus tumbuh dan besar sama seperti janin yang terus berkembang dalam perut Hanifa.
“Masa depan saya sudah hancur Ros.” Hanifa termenung. “Saya ini memang tidak terlalu pintar, tetapi mengapa menjadi sangat bodoh sehingga tak pernah menanyakan tentang status suami saya. Sudah beristrikan dia atau masih sendiri. Sekarang, setelah dia menjadi suami saya maka sahlah dia mengatur hidup saya. Pekerjaan saya hilang karena dia menyuruh saya berhenti. Dia yang menanggung seluruh biaya hidup saya tetapi sebagai gantinya lihatlah kehidupan saya sekarang Ros, tak ubahnya seperti burung dalam sangkar. Terpenjara dalam kamar pengap ini tanpa ada kasih sayang, padahal pada saat begini saya sangat mengharapkan dukungan dari suami yang telah membuat saya hamil diluar keinginan saya. Bukan Cuma saya, bayi ini juga membutuhkan kehangatan dari ayahnya.” Hanifah terlihat pasrah.
Aku menghela napas, rasa kasihan menjadi berlipat-lipat melihat genangan air mata di pelupuk mata Hanifa. Tentu bukan sedikit beban perasaan yang ia rasakan, tekanan jiwa yang berat, kenyataan hidup yang tidak diharapkan telah membuatnya terkungkung dalam jeruji bernama istri.
***
Bayangan tentang Hanifa kembali menjelma saat aku melihat sesosok perempuan hamil bertubuh tambun disebuah pusat perbelanjaan. Jalannya kepayahan karena membawa barang belanjaan yang banyak. Ditambah lagi dengan menopang perut buncitnya yang terbalut kaus ketat. Bahkan untuk bernapas saja ia sepertinya sulit. Aku menghela napas, membayangkan betapa repotnya perempuan itu. Sekaligus jengkel kepada lelaki yang berjalan disebelahnya, seolah rela melihat istrinya kerepotan tanpa merasa bersalah. Dasar laki-laki egois, pekikku dalam hati dengan sebal.
Semakin lama sosok itu semakin dekat. Caranya berjalan dan gerakan tubuhnya semakin kukenali dan betapa terkejutnya aku saat mengetahui bahwa perempuan itu ternyata Hanifa. Aku berdiri untk memastikan kalau aku tak salah lihat. Benar dia adalah Hanifa. Tetapi siapa lelaki itu? Laki-laki itu bukanlah suami Hanifa, bukan juga saudaranya karena Hanifa hanya seorang diri disini. Aku tergugu memikirkan lelaki mana yang mau menemani perempuan bunting yang bukan istrinya seperti yang pernah dikatakan Hanifa. Aku tak peduli bila saat ini sudah berpikir negatif tentang mereka.
Tetapi kemudian aku sadar, bahwa ini bukanlah urusanku. Aku tak berhak turut campur dan menghakimi Hanifa. Namun belum sempat aku beranjak Hanifa sudah melihatku. Mata kami saling bersitatap. Aku memandangnya dengan penuh rasa ingin tahu, siapa laki-laki yang menemani Hanifa berbelanja malam-malam begini. Padahal baru semalam Hanifa mengatakan kalau ia tak akan keluar rumah tanpa suaminya. Hal itu dilakukannya untuk menjaga amaran suaminya. Sebagai sikap hormat seorang istri atas suaminya. Tetapi sekarang? Ia ada disini dengan laki-laki yang tak jauh beda dengan usia suaminya. Rasanya pantas bila aku mempertanyakannya.
Berbeda denganku, Hanifa terlihat kikuk dan salah tingkah saat tahu aku memandangnya. Ia tak mengeluarkan sepatah katapun hinggar akhirnya aku berinisiatif berbasa-basi lalu pergi meninggalkannya yang masih termangu. Jelas terlihat raut mukanya tegang dan pucat. Sedangkan lai-laki disebelahnya memandangku kami dengan mimik heran yang aneh.
Hidup ini memang aneh, tidak bisa ditebak apalagi dipastikan. Persis seperti melukis angin yang kemudian hilang tanpa bekas. Begitu juga dengan suami Hanifa, entah darimana dia tahu kalau Hanifa pernah keluar bersama laki-laki. Sama seperti anehnya Hanifa yang tetap mencintai suaminya meski seluruh tubuhnya melebam.(*)

bilik hati
13/09/08
lepas tengah malam