Sabtu, 13 September 2008

Melukis Angin

Aku menggeliat bangun, dengan sedikit rutukan dan kesal di hati sebab berkali-kali namaku dipanggil setengah berteriak. Terbetik keinginan untuk pura-pura tidak mendengar sehingga aku bisa meneruskan tidur ini, rasa kantuk yang sangat masih menyerangku. Tadi aku baru bisa memejamkan mata menjelang pukul dua, dan sekarang belum lagi pukul empat aku sudah dibangunkan pula untuk sahur.
Namun mengingat jerihnya yang telah bersusah payah membangunkan, tak jadi aku tarik selimut. Tak tega rasanya membayangkan perempuan itu tergopoh-gopoh menyiapkan nasi dan lauk untukku, padahal aku ini bukanlah siapa-siapanya. Dan mau tak mau akhirnya bangun juga aku. Setelah mencuci muka baru ke dapur untuk membantunya menyiapkan makanan untuk kami berdua.
“Mau teh, kopi atau susu?” tanyanya belum lagi aku sempat melakukan apa-apa. “Hei, mau teh, kopi atau susu?” tanyanya lagi melihat aku tak menjawab.
“Susu aja, Kak.” Jawabku merasa tak enak. Ia membuatkan aku segelas Milo panas.
Ia tampak terengah-engah menahan berat badannya yang terus bertambah, setiap hari semakin membuncit pula perutnya yang memang sudah gendut itu. Ia tampak lebih pendek sekarang, apalagi dengan baju tidur tanpa lengan berbahan kaos yang menempel di tubuhnya, aku geli membayangkan perut buncitnya yang terbungkus seperti lepat itu. Tapi tak pernah aku katakan itu padanya, takut ia tersinggung dan terluka, maka bila itu terjadi akan semakin sempurnalah penderitaan hidupnya.
“Tambah lagi nasinya Ros, jangan malu-malu nanti kamu lapar.” Katanya berulang-ulang sampai aku bosan mengangguk dan akhirnya tak menjawab sama sekali.
Namanya Hanifa, usianya belum lagi mencapai kepala tiga, tapi melihat kondisinya sekarang ia terlihat seperti perempuan tiga puluh limaan saja. Rambutnya kusut masai dan mukanya pucat lesi seperti bulan kesiangan dan sabit pula, alangkat tak enaknya untuk dipandang. Apalagi dengan ocehan yang tak pernah berhenti dari mulutnya, ia persis seperti burung Beo yang sedang belajar bicara, mengatakan semua yang ia rasai tanpa sedikitpun menyembunyikannya. Dari kicaunyalah aku tahu asal-usulnya, darimana ia sebelumnya, bekerja dimana, dan mengapa akhirnya ia bisa tinggal seatap rumah denganku yang masih lajang.
Belakangan aku tahu bahwa demang kontrakan ini menyuruhnya untuk segera pindah. Ia merasa dibohongi dan kecolongan karena telah membiarkan perempuan yang teah bersuami tinggal di kontrakannya. Hanifa tak memberitahu yang sebenarnya bahwa ia telah bersuami dan hamil. Ultimatum itu membuat Hanifa bertambah tertekan dan uring-uringan. Ia sering marah dan mencibir pemilik kontrakan dengan kata-kata sinis dan kasar bahkan terkadang dengan makian. Aku jengah mendengarnya, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Menanggapi perbuatannya aku diam saja, tak ingin turut campur dan tak ingin melibatkan diri dengan apa yang sedang dialaminya.
Tetapi aku juga tahu kalau Hanifa tak betah tinggal di kost-kostan ini, ia merasa terkungkung seorang diri dalam kamar kontrakan yang kecil. Yang semuanya bertumpuk disana mulai dari tv, tempat air, tempat menanak nasi, belum lagi lemari dan kasurnya. Sering aku mendengarnya merengek-rengek pada suaminya melalui telepon agar mereka mencari rumah yang layak untuknya, tapi sampai sekarang agaknya belum ada karena Hanifa masih saja menetapi rumah ini sekalipun sudah ada peringatan dari empunya rumah. Hanifa sering menyebut kost-kostan ini sebagai kandang kambing, dan ia tak layak untuk menempatinya. Bila ia menyebut begitu aku sering menggerutu dalam hati berarti kambinglah Hanifa sebab ia penghuni disini.
Tapi, dengan keadaannya yang sekarang tak tega juga rasanya aku terus berdiam diri. Namun untuk melakukan sesuatu agar bebannya menjadi ringan tak tahu juga apa yang mesti aku lakukan.
“Kenapa handphonenya tidak diangkat?” tanyaku melihat Hanifa tak peduli dengan telepon genggamnya yang terus berbunyi.
“Malas.” Jawabnya singkat.
“Malas kenapa?” tanyaku lagi.
“Saya merasa tidak perlu mengangkat telepon ini, Ros.”
“Tapi itukan telepon dari suami kakak, bagaimana kalau ada sesuatu yang penting?”
“Penting apanya? Mana ada yang penting sih buat saya Ros. Yang ada Cuma kecurigaan dan tuduhan yang mulai bosan saya dengar.” Jawab Hanifa dengan geram, sorot matanya yang tajam menyiratkan kesedihan dan luka yang amat.
“Tuduhan?” aku tidak mengerti dengan maksudnya.
“Setiap kali suami saya menelepon selalu saja ia menyangka kalau saya berselingkuh, coba kamu pikir Ros, apa ada laki-laki yang tertarik pada perempuan bunting seperti saya ini? Kalaupun ada pastilah laki-laki itu sudah melakukan kesalahan pada perempuan itu, seperti yang dulu saya alami.” Ucapnya penuh sesal.
Hanifa mulai bertutur, menceritakan liku kehidupannya untuk yang kesekian kali. Jemu aku mendengarnya, tapi tentu saja lebih jemu ia yang mengalami semua kisah itu. Dalam hati aku tak membenarkan, tidak pula menyalahkannya. Semua yang dialami Hanifa dan suaminya hanya kesilapan, keterbuaian dalam paduan kasih sehingg membuat mereka lupa diri. Hanifa lupa menanyakan perihal latar belakang orang yang dikasihinya sebab ia terlalu percaya dan cinta, sementara laki-laki yang kini menjadi suaminya lupa bila ia sudah beranak istri dan masih mencari kesenangan diluar itu. Sekarang, bukan kesenangan yang mereka dapat melainkan petaka yang terus tumbuh dan besar sama seperti janin yang terus berkembang dalam perut Hanifa.
“Masa depan saya sudah hancur Ros.” Hanifa termenung. “Saya ini memang tidak terlalu pintar, tetapi mengapa menjadi sangat bodoh sehingga tak pernah menanyakan tentang status suami saya. Sudah beristrikan dia atau masih sendiri. Sekarang, setelah dia menjadi suami saya maka sahlah dia mengatur hidup saya. Pekerjaan saya hilang karena dia menyuruh saya berhenti. Dia yang menanggung seluruh biaya hidup saya tetapi sebagai gantinya lihatlah kehidupan saya sekarang Ros, tak ubahnya seperti burung dalam sangkar. Terpenjara dalam kamar pengap ini tanpa ada kasih sayang, padahal pada saat begini saya sangat mengharapkan dukungan dari suami yang telah membuat saya hamil diluar keinginan saya. Bukan Cuma saya, bayi ini juga membutuhkan kehangatan dari ayahnya.” Hanifah terlihat pasrah.
Aku menghela napas, rasa kasihan menjadi berlipat-lipat melihat genangan air mata di pelupuk mata Hanifa. Tentu bukan sedikit beban perasaan yang ia rasakan, tekanan jiwa yang berat, kenyataan hidup yang tidak diharapkan telah membuatnya terkungkung dalam jeruji bernama istri.
***
Bayangan tentang Hanifa kembali menjelma saat aku melihat sesosok perempuan hamil bertubuh tambun disebuah pusat perbelanjaan. Jalannya kepayahan karena membawa barang belanjaan yang banyak. Ditambah lagi dengan menopang perut buncitnya yang terbalut kaus ketat. Bahkan untuk bernapas saja ia sepertinya sulit. Aku menghela napas, membayangkan betapa repotnya perempuan itu. Sekaligus jengkel kepada lelaki yang berjalan disebelahnya, seolah rela melihat istrinya kerepotan tanpa merasa bersalah. Dasar laki-laki egois, pekikku dalam hati dengan sebal.
Semakin lama sosok itu semakin dekat. Caranya berjalan dan gerakan tubuhnya semakin kukenali dan betapa terkejutnya aku saat mengetahui bahwa perempuan itu ternyata Hanifa. Aku berdiri untk memastikan kalau aku tak salah lihat. Benar dia adalah Hanifa. Tetapi siapa lelaki itu? Laki-laki itu bukanlah suami Hanifa, bukan juga saudaranya karena Hanifa hanya seorang diri disini. Aku tergugu memikirkan lelaki mana yang mau menemani perempuan bunting yang bukan istrinya seperti yang pernah dikatakan Hanifa. Aku tak peduli bila saat ini sudah berpikir negatif tentang mereka.
Tetapi kemudian aku sadar, bahwa ini bukanlah urusanku. Aku tak berhak turut campur dan menghakimi Hanifa. Namun belum sempat aku beranjak Hanifa sudah melihatku. Mata kami saling bersitatap. Aku memandangnya dengan penuh rasa ingin tahu, siapa laki-laki yang menemani Hanifa berbelanja malam-malam begini. Padahal baru semalam Hanifa mengatakan kalau ia tak akan keluar rumah tanpa suaminya. Hal itu dilakukannya untuk menjaga amaran suaminya. Sebagai sikap hormat seorang istri atas suaminya. Tetapi sekarang? Ia ada disini dengan laki-laki yang tak jauh beda dengan usia suaminya. Rasanya pantas bila aku mempertanyakannya.
Berbeda denganku, Hanifa terlihat kikuk dan salah tingkah saat tahu aku memandangnya. Ia tak mengeluarkan sepatah katapun hinggar akhirnya aku berinisiatif berbasa-basi lalu pergi meninggalkannya yang masih termangu. Jelas terlihat raut mukanya tegang dan pucat. Sedangkan lai-laki disebelahnya memandangku kami dengan mimik heran yang aneh.
Hidup ini memang aneh, tidak bisa ditebak apalagi dipastikan. Persis seperti melukis angin yang kemudian hilang tanpa bekas. Begitu juga dengan suami Hanifa, entah darimana dia tahu kalau Hanifa pernah keluar bersama laki-laki. Sama seperti anehnya Hanifa yang tetap mencintai suaminya meski seluruh tubuhnya melebam.(*)

bilik hati
13/09/08
lepas tengah malam
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)