Jumat, 24 Oktober 2008

Ketika AKu Berani Bilang, Aku Mencintai Mu

Bertrand Russel dalam sebuah pepatahnya mengatakan "Orang yang takut jatuh cinta berarti takut hidup, sedangkan orang yang takut hidup berarti sudah mati sepertiganya". Bukan karena ingin menuruti kata Bertrand, tapi aku memang harus meneruskan hidup agar aku dapat mengerti hakikat hidup yang sebenarnya; untuk mencintai dan dicintai.

Untuk itulah aku belajar mencintai, dengan cara yang dewasa tentu saja, agar aku bisa menerima segala keadaan dan kondisi. Termasuk ketika harus menyaksikan hatiku patah berkeping-keping lalu kubangun lagi menjadi cinta. Belajar untuk tidak terlalu senang ketika cinta itu datang seperti yang diinginkan oleh hati dan perasaanku. Karena, dari caraku mencintai-lah aku belajar tentang kenyataan hidup yang harus dijalani.

Ketika aku berani bilang, bahwa Aku mencintai Mu. Pada saat itulah aku telah mengetahui sesuatu, sesuatu yang akan berakhir jika waktunya tiba. Tetapi bukankah bagi yang selalu mencintai dan mengasihi waktu adalah keabadian? Itulah sebabnya namamu selalu terpatri, dan kini menjadi prasasti dalam ingat dan hatiku. Tetapi aku tak menjadikanmu Tuhan.

Aku mencintaimu dengan pikiran, karena itu aku bisa benar-benar mencintaimu dengan utuh sekalipun jasadmu sering entah dimana. Karena aku tidak ingin dikalahkan oleh pikiranku sendiri. Karena itulah aku sering mengatakan bahwa cinta itu tak ubahnya seperti purnama, yang meski hujan, badai, dan salju menutupnya, ia tetap ada ditempatnya. Ia tetap hadir sebagai wujud konsistensinya terhadap alam. Sebab ia tak bisa berpaling dari waktu.

Dan keterpautan hati adalah hal utama dalam mencintai dengan cara seperti ini, walaupun sesekali jasad tetap saling merindui untuk sekedar mendengar detak jantung. Atau mengukur suhu nafas kerinduan, atau sekedar merasai keringat yang menetes di pelipismu. Semua itu adalah pengorbanan, penundaan untuk sesuatu yang dinanti-nantikan, hingga kita benar-benar siap bila waktunya tiba.

Ketika Aku mengatakan bahwa aku mencintai Mu, aku melakukannya dengan sadar. Sehingga aku tahu bahwa aku mempunyai tujuan yang jelas dengan mencintaimu. Aku tidak ingin membuat sebagian hidupku menjadi neraka dengan kehadiranmu, karena itu aku mengolahnya menjadi puisi dan cerita. Lalu kuterbangkan kelangit biru dengan istilah yang ragam rupa.

Bila akhirnya kita sama-sama merasa nyeri dan sakit, sama-sama menelan kekecewaan, percayalah, ini hanya satu tangga proses diri menuju kedewasaan yang sebenarnya. Bahwa sebenarnya diri kita telah sama-sama berpunya.


Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

1 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)