Jumat, 09 Januari 2009

Mahaguru*

Matahari hampir terbenam, ketika perempuan itu tergopoh-gopoh mendekati kiosku. Dari jauh ia mengirimkan isyarat melalui tatapan matanya agar aku menunggunya sejenak. Karena aku mengenalnya maka kuterima isyarat itu dengan senyuman. Aku mengenalnya. Tapi tak tahu siapa namanya. Apa pekerjaannya, di mana ia tinggal. Aku hanya sebatas mengenal wajahnya. Karena ia sering datang tergopoh-gopoh menjelang senja ke kiosku.

“Satu atau dua?” tanyaku begitu ia menghampiri.

“Dua.” Jawabnya sambil membuka tasnya. Lalu mengeluarkan dompet dan menyerahkan empat lembar ribuan kepadaku. Dan dua Koran lokal kini berpindah tagan. Setelah itu ia pergi setelah mengucapkan terimakasih.

Awalnya, - aku tak ingat lagi kapan pertama kali ia membeli Koran di kiosku- ia hanya membeli satu Koran lokal. Itupun yang baru terbit. Namanya belum popular ketika itu. Tapi selalu Koran itu yang ia beli sampai-sampai aku meneliti setiap halamannya apa yang menjadi kelebihan Koran itu. Rasanya tak ada, usianyapun baru beberapa bulan. Beritanya biasa-biasa saja. Lalu apa?

Minggu berikutnya ia kembali datang menjelang magrib. Tergopoh-gopoh. Pada saat aku menawarkan ‘Satu’ dia malah meminta ‘Dua’. Aku senang sebab dagangan koranku laku satu lagi. Begitu setiap Minggunya, menjelang senja, tergopoh-gopoh, perempuan yang tak banyak suara itu cukup bilang ‘Dua’ saja dan aku segera mafhum. Tapi ia hanya datang menjelang senja saja. Untuk membeli Koran hari Minggu. Seingatku ia bahkan tak pernah bertanya “Apakah ada Koran kemarin?”

Karena begitu rutinnya ia membeli Koran di kiosku, nyaris setiap Minggu. Aku selalu meninggalkan Koran untuknya. Supaya dia tidak pulang dengan kecewa. Dan aku, seperti tak ingin membuatnya kecewa. Melihatnya datang tergopoh-gopoh menjelang senja –kadang dengan rok tersingkap dan menampakkan bulu-bulu halus di kakinya- aku tak tega. Koran hari Minggu sepertinya amat berarti baginya.

Hari ini, lagi-lagi ia terlihat terburu-buru. Seperti sudah hafal kedatangannya, bila biasanya aku menutup kios pukul enam maka bila hari Minggu kuperlambat lima belas menit atau sampai dia datang.

“Dua?” tanyaku memamer senyum. Aku senang bisa mendahului katanya.

Tapi perempuan itu tak langsung menjawab.

“Tambah satu.” Katanya beberapa menit kemudia

“Tiga?”

“Iya.”

“Koran apa?”

Ia menyebutkan nama salah satu Koran nasional. Yang oplahnya menjangkau seluruh pelosok Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Mungkin juga Malaysia, Singapura, Asia Tenggara. Bagaimana kalau seluruh dunia?

Setelah menerima Koran dariku ia tak langsung pulang. Satu-satu dibukanya Koran itu. Entah apa yang dicarinya pada lembaran-lembaran lebar itu. Mungkinkah ia memasang iklan? Atau mencari keluarganya yang hilang? Atau mencari lowongan kerja? Tetapi mengapa tidak sampai di rumah saja.

Aku berdiri mematung. Menunggu reaksinya lima atau beberapa menit kemudia. Ingin kubertanya tapi kemudian urung. Sebab aku tak terlalu mengenalnya. Mengapa pula tak pernah terfikirkan olehku untuk menanyakan siapa namanya. Ah, bodohnya aku. Kalau saja aku menyapanya sebagai teman dengan menyebut namanya barangkali dia akan lebih bersahabat denganku.

“Bang! Coba lihat ini! Namaku ada di ketiga Koran ini.” Serunya berbinar-binar. Tampaknya ia lupa kalau kami tidak saling kenal. Aku melongo dan ikut tersenyum. Kujulurkan kepala.

“Nama?” tanyaku mengulang.

“Iya,” jawabnya sambil menunjukkan Koran.

“Tulisanmu? Ini ceritamu? Wah hebat! Hebat! Kau masuk Koran.” Aku takjub.

“Aku senang sekali.”

Sejak hari itu ia selalu meminta tiga Koran sekaligus. Dua Koran lokal dan satu Koran nasional. Kini bukan hanya dia yang sibuk dengan Koran-koran yang terbit pada hari Minggu tetapi juga aku. Sering aku menemukan namanya disalah satu Koran tersebut. Kadang-kadang disertai dengan foto kecil di sudut halaman. Aku senang menjadi temannya. Dan pada Minggu-Minggu berikutnya, bukan hanya dia yang datang tergopoh-gopoh menuju kiosku. Tapi juga aku yang berdebar-debar menunggunya. Dengan tiga Koran di tangan. Lalu ketika ia datang, sebelum ia sempat buka suara aku sudah siap dengan “Selamat! Aku menemukan namamu hari ini.”

Aku seperti memberikan bintang untuknya. Ia tersenyum senang. Mukanya lepas dan sumringah. Berkali-kali ia mengucapkan terimakasih padaku dan kujawab “Sama-sama” lalu ia pulang.

Entah pada Minggu keberapa, dan senja yang keberapa, aku lupa. Ia meminta satu Koran lagi. Semuanya menjadi empat. Dua Koran lokal dua Koran nasional. Kalau dulu ia memasukkan Koran-koran tersebut dalam tasnya, maka sekarang aku menghadiahinya sebuah kantong plastik hitam. Tasnya tidak muat menampung dua Koran nasional yang tebal dan berat. Aku senang bisa memudahkannya. Apalagi setelah ia mengangkat aku sebagai salah satu tokoh dalam ceritanya. Aku merasa jadi orang terkenal, padahal aku hanya pedagang Koran. Kalau ada orang yang kebetulan membaca cerita itu dan membeli Koran di kiosku pasti mereka akan bertanya. “Ini kios yang ada dalam cerita ‘perantau’ itu ya?”. Aku mengangguk.

Hari ini tidak seperti biasanya. Perempuan itu datang lebih awal. Aku baru saja selesai shalat Ashar ketika ia datang. Oh ya aku tak pernah menanyakan siapa namanya. Tapi aku tahu namanya; Mentari. Koran-koran itu yang memberi tahuku.

“Empat?” tanyaku sambil menyodorkan bungkusan plastik hitam.

“Lima.”

“Apalagi?” tanyaku takjub.

Ia menyebutkan salah satu majalan remaja yang berskala nasional.

“Kamu hebat!” pujiku tulus.

Ia tersenyum. Mukanya merona seperti matahari. Hangat dan bersahabat.

“Kamu mau mengajariku menjadi seperti kamu?” pintaku akhirnya

Mentari menggeleng. Aku kaget. Kenapa ia menolak? Apakah ia pelit ilmu? Apakah aku tidak pantas belajar darinya karena aku hanya pedagang Koran? Ah…

“Bagaimana mungkin aku bisa mengubahnya menjadi perempuan seperti aku.” Jawabnya tenang. Tapi kemudian kami sama-sama tergelak.

“Bukan itu maksudku. Aku mau belajar menulis seperti kamu. Biar terkenal.”

“Kamu ingin terkenal?” tanyanya serius.

“Iya. Seperti kamu”

“Kamu salah pilih kalau begitu. Kalau ingin terkenal jadilah artis, bukan penulis. Penulis Cuma terkenal nama saja.”

“Nama sajapun tak apalah…”

“Oh ya, jangan lupa selalu sisakan Koran untuk saya ya?”

“Pasti! Pasti!”

Hari itu aku senang sekali. Dia, si Mentari benar-benar telah membuat aku menemukan diriku kembali. Semangat hidupku muncul dan menggebu-gebu. Dari ketergopoh-gopohannya aku belejar sesuatu tentang arti hidup.

Akupun jadi menunggu-nunggu senja berikutnya pada hari Minggu. Tapi ketika senja itu tiba Mentari tak hadir. Bahkan pada minggu-minggu berikutnya. Berbulan-bulan dan sudah melangkahi tahun.

Aku mulai putus asa. Menunggunya seperti menanti keajaiban. Dimanakah dia? Sementara ceritanya bukan hanya muncul di lima Koran terdahulu, tapi enam, tujuh, banyak sekali. Dan selalu kukumpulkan. Dengan harapan suatu hari nanti dia datang menjelang senja dengan tergopoh-gopoh.

Tapi lama sekali ia datang. Sampai entah kapan aku menunggunya, dan menunggu, dan menunggu. Dengan tumpukan Koran-koran hari Minggu. Dan selama itu pula aku menuliskan sesuatu, tentang kerisauan, kegalauan, kesedihan. Dengan mencontek cerita-cerita yang pernah ditulis Mentari.

Mulai dari satu cerita lalu kutambah menjadi dua, tiga, empat dan entah berapa. Satu diantaranya kupilih yang terbaik dan menurutku cukup menarik, kutitipkan di rental computer untuk diketik lalu dengan bantuan petugas warnet –aku masih gagap teknologi- kukirim tulisan tersebut pada alamat elektronik sebuah Koran. Seperti yang pernah dilakukan Mentari, maka setiap Minggunya selain menunggu Mentari dan mengumpulkan Koran untuknya aku melakukan hal yang sama untuk diriku. Menunggu-nunggu cemas bila-bila ada namaku di salah satu Koran lokal.

Hingga akhirnya aku mulai lelah. Lelah menunggu Mentari, meski Koran untuknya tetap kukumpulkan. Lelah menunggu kapan namaku muncul di salah satu Koran tersebut. Meski aku tetap mengirimkannya setiap Minggu. Oh Mentari! Di mana kamu? Mengapa pergi dan menghilang disaat aku sangat ingin menjadi seperti dirimu. Berat hatikah kau? Tak bersediakah mengajariku? Apa karena aku pedagang Koran, atau karena tidak bersekolah tinggi?

Mentari! Setelah berminggu-minggu, berbulan bahkan melangkahi tahun. Akhirnya sore itu, menjelang senja, aku melihatnya tergopoh-gopoh. Menuju kiosku. Benarkah itu Mentari? Matanya berbinar-binar, senyumnya terserlah. Dan aku, bagai tak percaya hanya menatapnya penuh longo yang amat bodoh.

“Kamu telah menjadi aku!” ucapnya dengan derail tawa berdecai-decai. Aku masih gugu dalam ketakjuban. Ini seperti mimpi. Mimpi yang indah. “Lihat, ini ada namamu di sini. Al banna!” sambungnya lagi penuh semangat.

Aku terkesiap. Tak percaya. Bagaimana mungkin semuanya menjadi serba kebetulan. Mentari yang kebetulan muncul bersamaan dengan munculnya namaku di Koran, ataukau namaku yang muncul di Koran kebetulan dengan munculnya Mentari.

“Aku telah menjadi seperti kamu?” tanyaku tak yakin.

“Ya!”

“Bagaimana mungkin, padahal kamu belum pernah mengajarkanku?” tanyaku bingung.

Mentari meletakkan korannya dan duduk di bangku kecil di bawah pohon Angsana. Aku duduk di sebelahnya.

“Dulu saat aku ingin belajar menulis seperti kamu. Terlebih dahulu aku harus belajar tentang sesuatu yang disebut kehilangan. Kehilangan yang amat sangat telah menjadikanku bagai seorang pesakitan yang larut dalam sedih, luka, pilu. Aku kehilangan ayahku, hampir bersamaan waktunya dengan hilangnya kekasihku yang pada waktu itu akan menjadi suamiku beberapa bulan lagi. Rasa sakit yang sangat menjelma menjadi bakteri jahat yang menggerogoti diriku. Aku hampir mati karenanya.” Mentari mulai bercerita.

“Aku mencari obat, tetapi tak ada yang bisa menyembuhkan rasa sakit dan rinduku kepada mereka. Hingga kebosanan itu datang. Lalu aku belajar berbagi pada kertas, aku menangis, mengaduh dan menjerit. Lalu kuberanikan diri mencetak tulisan-tulisan itu dan kikirimkan kepada beberapa Koran lokal. Kebosanan itu datang lagi. Rasa malas mendera-dera. Sebab tak satupun tulisanku diterima oleh Koran-koran itu.

Aku tak lagi menunggu untuk dimuat meski setiap Minggu terus kukirim cerita dengan judul yang berbeda. Aku terlanjur menjadikannya obat sehingga apabila aku tak menulis aku merasa sakit. Obat yang hanya boleh kutelan sendiri, dan tentu saja si redaktur Koran itu. Aku merasa seolah-olah menulis hanya untuk si redaktur. Bukan untuk dimuat apalagi dibaca oleh orang lain. Lama-lama aku merasa malah redaktur-redaktur itu yang sakit, dan tulisanku adalah obat. Karena itu ia tak membiarkan orang lain membaca tulisanku. Mereka tak memberi ruang untukku. Karena tak sekalipun mereka memberi kabar untukku, padahal aku sudah mencantumkan no hp, no telepon rumah dan email.”

“Makanya, waktu kamu minta diajarkan menjadi seperti aku. Tak ada yang terfikirkan olehku selain kamu harus merasakan apa yang aku rasakan, walaupun tidak harus setragis aku. Begitulah caraku mengajarmu. Sebab tidak ada teori khusus yang pernah kupelajari. Aku senang, akhirnya kamu menjadi seperti aku.”

Mentari! Oh Mentari! Berarti selama ini kau tak meninggalkanku? Ah, betapa liciknya aku. Telah berprasangka buruk padamu. Aku janji, akan selalu kusimpan Koran hari Minggu untukmu. Lalu kau datang menjelang senja dengan tergopoh-gopoh dan aku telah siap dengan “Aku menemukan nama kita hari ini!”

11:58 pm

22 Nov 2008

* cerpen ini sudah pernah dimuat di koran Aceh Independen, edisi ahad, 4 januari 2009
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

2 komentar:

  1. Menulis itu menyegarkan...
    Bagi yang sendiri...
    Bagi yang tertawa, tapi hanya sendiri...

    Menulis itu menginspirasi

    BalasHapus
  2. kesendirian selalu saja memberikan inspirasi....karena ketika sendiri kita bisa leluasa melakukan segala hal yang kita mau....

    BalasHapus

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)