Jumat, 22 Mei 2009

Sepotong Cinta di Bulan April

Suatu malam di bulan april, pada tahun ke lima belas usia perkawinan kita. Aku ingat sekali pada malam itu hujan turun membasahi bumi. Dan malam itu benar-benar menjadi basah, bukan hanya karena hujan tetapi juga karena air mata. Air mataku dan air mata milikmu istriku.

Aku tahu, apa yang aku sampaikan pada waktu itu telah membelah hati keperempuananmu. Mungkin juga telah mengoyak-ngoyak hatimu sebagai istri dan memerah jiwamu selaku ibu bagi anak perempuan kita yang telah beranjak remaja.

Ingin rasanya ketika itu, aku menggandeng tanganmu dan mengajakmu berkeliling mengitari waktu lima belas tahun silam. Jauh sebelum kita menikah, aku dan kamu hanya mempunyai waktu tiga hari untuk saling menyemai benih. Dalam diriku, hanya bibit cinta yang bisa kusemai ketika itu. Mungkin bagimu, bencilah yang menjadi pilihan hingga kau membawanya pada ijab kabul dan benih itu terus tumbuh hingga memasuki tahun-tahun berikutnya usia perkawinan kita.

Aku tak berani menerka-nerka, juga tak ingin berandai-andai. Tapi sikap dan penolakanmu adalah pertanda dari isyarat yang dikirimkan oleh hatimu. Aku sadar dengan sepenuhnya sadar, bahwa setelah ijab kabul diantara kita sudah tidak ada dinding, tidak ada tabir yang menghalangi sekalipun untuk kulit putih bersihmu.

Cinta yang kusemai terus tumbuh, dan aku terus merawatnya, berusaha untuk tidak melukai hatimu, juga hatiku sendiri. Kau, adalah perempuan yang telah kusebut sebagai istri, yang kelak kuharapkan bisa melahirkan anak-anak manis dari hasil cinta kita yang sakral. Maka wajarlah jika kemudian aku ingin menjadikanmu bidadari di hatiku. Ingin membuatmu senang, ingin membuat matamu berbinar. Tapi itu hanya keinginan.

Aku tak memperoleh jawaban apakah kau mencintaiku atau tidak, apakah kau mulai menaruh rasa sayang padaku atau tidak. Yang kutahu, setiap kali aku berusaha menyentuhmu selalu ada tepisan-tepisan halus yang kadang-kadang berubah seperti seringai yang menakutkan. Tiga bulan bukan waktu yang panjang, tetai juga tidak terlalu singkat untuk menyemai kasih. Namun aku tahu tak sedikitpun kau berusaha untuk menumbuhkan rasa itu dalam hatimu. Dan selama itu pula aku berusaha menuruti keinginanmu; untuk tidak kusentuh.

Ketika malam telah larut, dan selimut tebal telah menggulungmu mengantar pada alam mimpi yang aku tidak tahu seperti apa wujudnya. Aku sering terpekur, memikirkan apa yang tengah terjadi dalam hatiku dan dalam hatimu. Aku tahu, ada dua jiwa yang sedang terluka, ada dua raga yang sedang terpasung dan ada dua hati yang tengah meronta. Jiwaku dan jiwamu. Ragaku dan ragamu. Hatiku dan hatimu.

Cinta adalah cinta. Yang tak berubah sekalipun ia berganti nama. Seperti halnya aku. Cinta untukmu tetap tak terbendung. Tetap tak terkalahkan meski setiap kali kau memasang tabir yang begitu tebal untukku. Dan, maafkan aku jika akhirnya aku memperlakukanmu dengan cara yang tidak kau inginkan.

Aku tahu itu amat menyakitkan untukmu, bagi seorang perempuan, bagi seorang istri, juga untuk diriku sendiri. Tapi aku ingin menjadikanmu ibu dari hasil persetubuhan yang tak istimewa itu. Aku ingin kau menjadi perempuan sempurna dengan adanya janin yang tumbuh dan berkembang dalam rahimmu. Dan aku ingin menyelamatkan kita dari berbagai pertanyaan orang-orang terkasih di sekeliling kita.

Dan yang paling penting, aku ingin menyelamatkanmu dari laknat malaikat yang menyerapahimu sepanjang malam sampai pagi. Istriku, jika saja kau tahu itu, jika saja kau tahu apa yang bergumul dalam hatiku. Tapi sayangnya kau tak pernah mempertanyakan, dan kau juga tak pernah mengatakan apa yang bercokol dalam hatimu.

Istriku, kekasih hatiku. Sampai kapanpun kau adalah kekasih jiwaku. Yang kucintai dengan kepenuhan cinta yang utuh. Bila pada malam yang basah itu aku terpaksa melukai jiwamu, bukan karena aku ingin membalas.

Istriku, aku hanya ingin kau merasakan bagaimana rasanya bila seseorang yang kau cintai memendam rindu dan kasih untuk orang lain. Aku ingin kau merasakan bagaimana lukanya melihat dan membayangkan orang yang kita cintai merindui orang lain sepanjang hidupnya.

Istriku, sekali lagi aku hanya ingin kau tahu. Ini bukanlah pembalasan atas belasan tahun yang telah kita jalani selama ini. Aku tahu malam itu kau menangis, kau memintaku untuk tidak menduakamu, aku tidak tahu yang sebenarnya, apa itu karena kau mulai mencintaiku atau karena kau takut dirimu menjadi tak berarti lagi dalam pandanganku. Tapi aku ingin kau tahu, cinta, apapun bentuknya tetaplah cinta.(Ihan)

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

2 komentar:

  1. keren banget mbak ceritanya...
    Salut buat mbak ihan.

    Oya mbak, Mohon maaf kalau boleh kasi tau, btw ada yang mengganggu di space mbak ini, yaitu ada dua suara yang agak mengganggu yang berasal dari "Slide" dan "Imeem".
    Kenapa gak di setting manual aja mbak, jadi kalau ada yang mau dengarin suaranya tinggal di klik.

    Thanks for great story

    BalasHapus
  2. salam kembali untuk mbk Made,

    terimakasih juga atas sarannya, saya udah coba hapus yang di slide, tapi ngga bisa, bisanya cuma untuk ganti musik aja.....heheheh....

    BalasHapus

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)