Senin, 11 Mei 2009

Surat dari Mak*

Ini adalah hari ketiga di mana ia tak bisa memejamkan mata, apalagi tidur, badannya terasa letih, tapi ia tak berhasil mengistirahatkannya. Namun semua itu tidaklah terlalu berarti bila dibandingkan dengan penat yang dirasakan oleh pikiran dan batinnya. Ia tak menemukan jalan keluar atas gundah yang memasung jiwanya dan kalaupun ada pasti akan menyulitkan salah satu dari mereka; dirinya atau ibunya!

Itulah yang membuatnya gulana tiga hari ini. Sebagai anak, tentu saja ia sangat menyayangi ibunya walaupun ia tak pernah mengatakan itu secara langsung, seingatnya ia tak pernah bersikap kasar dan melawan ibunya. Meskipun ia diam-diam sering berontak. Dan kali ini, apakah ia akan tetap menuruti kemauan ibunya? Dan bila iya maka itu sama saja dengan bunuh diri. Menggadai masa depan dan mengkebiri kreativitasnya. Mandul!

Minah bangkit dari tidurnya, hujan deras sejak pagi membuatnya tak bisa beraktivitas seperti biasanya, ia terkungkung di kamar kecil ini. Ia melangkah ke luar menuju ruang tamu dan berdiri di depan jendela. Matanya menjalar pada setiap butir air hujan. Semuanya putih. Bahkan puncak Seulawah yang biasanya terlihat gagah dari lantai dua kamarnya bagai ditelan oleh hujan. Membungkusnya menjadi kabut yang menghilangkan setiap gurat puncaknya, Minah tercenung, meraba kaca jendela dengan hati berdebar hangat, resah, galau.

Kalau saja bukan karena surat dari ibu, barangkali sudah sejak pagi ia melingkar di tempat tidurnya, apalagi yang bisa ia kerjakan selain tidur dengan cuaca hujan seperti ini. Tidur adalah dunianya, yang mampu menenggelamkannya dalam dunia hayal tingkat tinggi. Membawanya berkeliling dunia, mendatangi tempat-tempat indah, menemui orang-orang hebat, Michele Obama, Gloriya, Hillary, Palin. Melakukan apa saja yang ia sukai; berlibur ke Alaska dengan Cruise termewah dan termahal di dunia. Bermain salju di puncak Everest. Maka Minah bertekad mewujudkan semua impiannya.

Tapi surat dari ibu yang diterimanya tiga hari yang lalu benar-benar membuatnya seperti terjerembab. terkubur oleh impiannya yang besar dan banyak. Malangnya, ia tak dapat bangun lagi, dan selamanya harus berkubang disana sampai akhirnya satu-satu mimpi itu hancur dan musnah. Mungkin akan mengurai menjadi sampah dan bakteri jahat. Yang akan terus menggorotinya seumur hidup. Minah tercenung, kreatifitasnya akan mati, tak bisa mengambil keputusan, karir yang jalan ditempat, dan gaji yang tak pernah naik.

Ngeri! Hanya itu yang terbayang oleh Minah saat membaca surat ibunya. Walaupun kata-katanya rapi dan cantik. Tapi isinya seperti monster yang menakutkan. Sekalipun ditulis ibu dengan bahasa yang santun dan penuh nasehat. Minah seperti berada di lorong gelap, dimana ia tak bisa menebak seperti apa masa depannya. Ia takut berandai-andai, takut membuat mimpi. Bila ia harus menuruti semua kemauan ibu, yang beralasan “semua demi kebaikan kamu, Minah” begitu tulis ibu dalam suratnya.

Kebaikan! Benarkah kebaikan untuk dirinya? Dari sisi apa ibu melihatnya. Minah ingin bertemu Palin, Michele, Gloriya, lalu bagaimana mungkin ini terwujud kalau dia hanya berkutat di ruangan kecil, tanpa meja kerja, tanpa pekerjaan yang menantang, oh... Nyaris tidak ada orang yang mengenalnya.

“Minah…. Kamu anak perempuan pertama, ibu ingin melihatmu bahagia, masa depan terjamin, bisa menjadi contoh bagi adik-adikmu, ibu ingin melihatmu sukses,”

Tulis ibu pada paragraph ke dua suratnya, minah tersenyum, ia sepakat dengan ibunya, ia ingin sukses bukan hanya membahagiakan dirinya saja tapi juga ibu dan adik-adiknya. Tentu saja ia akan menjadi teladan bagi adik-adiknya, dengan menunjukkan keuletannya dalam bekerja, memacu semangat untku mewujudkan eksistensinya di ibu kota propinsi. Agar ia tidak tergilas. Ia akan melakukannya dengan sebaik mungkin.

Sampai di sini Minah sempat berhenti membaca surat ibunya, ia tertegun sejenak, membayangkan impian-impiannya. Bibirnya menggurat senyum. matanya terpejam. Ia tengah menikmati pertualangan hayalnya bertemu Palin, Michele dan Gloriya, lalu ia beralih pada impiannya yang lain, bermain sky, naik paralayang duh… indahnya.

“Ibu ingin orang-orang menghormatimu, apalagi kalau kamu sudah menikah nanti, jangan sampai dijadikan pembantu di rumah sendiri oleh suami”

Minah menarik nafas. Semua orang ingin dihormati, dihargai, pun dirinya tapi untuk bisa dihormati dan dihargai bukankah kita harus mempunyai sesuatu? Kewibawaan yang cerdas! Sesuatu yang membuat kita beda dari yang lainnya, itulah yang sedang berusaha dilakukan minah.

“Ibu ingin kamu jadi pegawai negeri, pakai seragam, rasanya bangga sekali…”

Sampai disini, Minah bagai tercekat, ia segera ingat, sekarang adalah masa-masa penerimaan CPNS. Apakah karena itu ibu menyuratinya?

“Ibu….ibu ….” Desis minah berkali-kali, tidak berminat untuk meneruskan bacaan suratnya.

Mata minah masih tertuju pada bulir-bulir hujan, dingin menguap menyentuh inderanya, tapi tidak dengan hatinya, panas dan kering. Kepalanya pusing, sesak dengan isi surat ibu, umurnya sudah 23 sekarang tetapi mengapa ibunya masih sangat leluasa mengatur hidupnya, bukan hanya sekali ini. Minah tak ingin jadi pegawai negeri!

25 nov 2008



cerpen ini sudah pernah dimuat di koran Aceh Independen edisi Ahad, 10 mei 2009

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)