Sabtu, 20 Juni 2009

Surga yang berganti musim

Surga yang berganti musim
Hidup ini adalah pilihan. Karena ia pilihan maka ada saat-saat di mana kita harus mengambil keputusan. Dan keputusan, adalah suatu hal yang selalu berkaitan dengan masa depan, sesudah hari esok, sesudah lusa, lusa raya dan seterusnya.
Keputusan tak pernah bisa dibuat untuk masa lalu. Sebab masa lalu tak bisa diulang kembali, meski dalam alur cerita yang tak harus persis sama. Masa lalu hanya bisa diingat untuk dikenang, lalu sesekali kita menginginkannya untuk kembali dinostalgiakan.
Seperti aku. Yang selalu memimpikan masa lalu dalam mimpi-mimpiku. Mimpi yang benar-benar sebab hadirnya ketika malam telah jula dan waktu telah membuaiku dalam pejam yang tenang. Masa lalu yang mengantarku menjadi pemimpi ketika matahari mulai bertasbih bersamaan dengan ayam yang berkokok merdu. Benar-benar impian sebab aku melakukannya ketika aku sedang tidak tidur.
Bila ini padang. Maka sebagian ingatanku tentang masa lalu telah mengering dan menguning. Karena memang tak pernah terfikirkan untuk menyuburkannya, lupa untuk selalu menyiramnya.
Tapi mimpi yang datang sekali-sekali membuatku kembali terlempar ke masa belasan tahun lalu. Di tanah yang kemudian berakhir dengan air mata. Di tanah yang kemudian menelurkan takut dan cemas bagi para perindunya. Seperti aku.
Bila ini padang. Maka jalan setapak yang dulu pernah kulalui telah menjadi belantara. Bahkan parit-parit kecil yang dulu menjadi tempat berkunjung favorit kami telah mengering karena hisapan matahari yang begitu gagah. Dan aku tak lagi bisa melihat bagaimana pucuk Jeuruweng menelan matahari yang memerah telur itu untuk membalutnya dalam gelap yang sunyi.
Jalanan setapak itu, mungkin sekarang telah berubah menjadi sarang-sarang dari padang kering yang dihuni oleh belasan atau puluhan babi hutan yang liar. Yang merusak kebun-kebun. Yang menghancurkan pohon-pohon. Memporak-porandakan sawah ladang.
Atau menjadi laluan gajah-gajah beringas yang tak lagi mengenal belasan kasih. Yang begitu disanjung dengan pujian dan sebutan khusus. Tetapi tetap saja ia menggedam-gedamkan kakinya hingga tumbanglah pohon-pohon. Menangislah orang-orang. Mereka memaki dalam hati dengan geram.
Jalan setapak ini.
Dulu kulalui dengan beberapa orang temanku. Dengan menenteng kantong keresek dan timba-timba kecil berisi perlengkapan mandi. Adalah ritual yang menyenangkan ketika jarak berkilo-kilo meter menjadi tempuhan saban sorenya hanya untuk melakukan sesuatu yang disebut mandi. Meskipun setelah itu kami harus kembali bermandi keringat. Namun kebersamaan itu tak akan tergantikan oleh apapun, mungkin juga akan mengalahkan keberanian babi hutan yang hanya berani mengintip kami dari jauh.
Pohon-pohon cabai, kedelai, kacang panjang, dan rerumputan begitu girang ketika kami melalui jalanan itu. Dahannya bergoyang-goyang. Tungkainya menjulang-julang. Orang-orang di tanah ini tak pernah keluhkan apapun.
Di tanah ini dulu aku belajar mengaji. Pada sebuah rumah yang hanya diterangi dengan lampu teplok yang setiap bulannya membayar tiga ratus rupiah untuk membeli minyak tanah. Dengan lampu-lampu itulah kami menamatkan beberapa kali Al Quran tanpa mengenal iqra’. Belajar mengeja huruf dan juz amma.
Tak ada yang lebih menyenangkan usai mengaji selain bermain petak umpet. Lalu setelah itu mempersiapkan diri untuk diteriaki oleh pemilik rumah karena bunga-bunganya rusak karena kami. Obor-obor dari daun kelapa kering menjadi penerang di jalan untuk pulang ke rumah masing-masing.
Tanah itu surga bagi kami.
Sekolah yang akan ditutup ketika perang jilid pertama usai. Lalu para orang tua ramai-ramai menyekolahkan anaknya untuk menyelamatkan sekolah itu. Sekalipun untuk anak tak cukup umur. Seperti aku.
Dalam keranjang di belakang sepeda motor ayahku ketika itu. Api menyala dari atap sekolah yang tak terlalu bagus. Aku mengintip takut. Siapa yang membakarnya? Mengapa surga berubah menjadi neraka pada hari itu.
Sekolah itu kembali terselamatkan. Oleh para pejuang-pejuang seperti ayahku, ayah temanku, dan ayah semua orang yang ingin anaknya pintar. Kami diajarkan a – be- dan ce. Huruf-huruf yang sama sekali belum kukenal olehku. Ketika itu umurku belum genap lima tahun. Maka hanya bisa cemberut saja aku ketika guru-guru mengatakan aku menulis huruf cina. Ingin tertawa aku mengingatnya, huruf I kubuat bercabang seperti Y. Topi miring dan sepatu terbalik menjadi langgananku bila sesekali ibu alpa memeriksaku. Tetapi beruntungnya aku tak pernah tinggal kelas. Seingatku ketika itu tahun 1991.
Tanah ini seperti surga yang bermusim lalu kembali menjadi neraka. Selalu saja ada korban untuk setiap pergantian musim itu. Sebelum aku masuk dalam keranjang di belakang sepeda motor ayahku, samar-samar kuketahui ada seseorang yang harus pecah kepalanya. Di tikungan jalan. Dan nama itu masih ada dalam kepalaku hingga sekarang.
Begitu banyak tumbal untuk mempertahankan jalan setapak ini. Sembilan tahun kemudian, rasa senang hinggap hingga ke ubun-ubun karena aku lulus sekolah menengah pertama. Tetapi rasa senang itu berubah menjadi petaka besar ketika ayah seorang teman dekatku harus mati oleh seutas tali yang tak bertuan. Ketika itu aku tak lagi berada di keranjang, karena tubuhku yang besar tentu saja tak muat dalam keranjang petak itu.
Ingatan ini hampir tercerabut dari akarnya. Tetapi tetap tak lupa bagaimana aku menyusuri jalanan setapak ini dengan baju tanpa lengan. Meninggalkan rumah-rumah yang berseliput asap dan jerla api. beginikah caranya ketika surga akan berganti musim menjadi neraka?
Tanah ini, telah mengajarkanku banyak sekali arti kehidupan, kerja keras, untuk tidak bermalas-malasan. Percaya diri dan menjadi pemimpi!
Dalam barisan di jalan setapak, ketika matahari telah memerah telur. Dengan timba kecil atau kantong keresek di tangan aku selalu bermimpi. Untuk menjadi berbeda, meski ketika itu aku tidak tahu apa itu perbedaan.
Lalu tanah ini mengajarkan perbedaan. Perbedaan yang sulit kupahami karena mengenai bahasa dan kebiasaan. Tentang asal muasal dan nenek moyang.
Tanah ini tak lagi menjadi surga. Sebab jalan setapaknya telah benam dalam lumpur kejahatan. Kami mencari tanah lain tempat dimana sebuah istana bisa terbangun dari kerja keras dan harapan. Tapi lagi-lagi iblis berkeliaran di sana. Mereka menggoda dan merayu. Hingga kali ini ayahku lah yang pergi untuk selamanya. Tumbal atas keserakahan dan kenistaan. (Ihan)
00:45 am
19 juni 2009

Kamis, 18 Juni 2009

Bulan, Kasur, Nama

Bulan, Kasur, Nama

Bulan.Tak ada bulan malam ini, kulangkahkah kaki ke luar kamar menuju jendela, sekedar untuk memastikan bahwa tidak ada bulan malam ini. Jendela yang tak pernah ditutup berderit kecil ketika angin menamparnya tanpa ampun. Hujan yang tak kenal iba nyaris membuat seluruh badannya menjadi ostheophorosis. Mataku liar pandangi langit yang gelap. Benar tak ada bulan malam ini. Sinar merah menyala dari atas tower salah satu milik perusahaan telekomunikasi terbesar di negeri ini. Cahayanya redup dan lemah. Sama sekali tak sanggup gantikan bulan yang memang tiada.

Bulan. Sesuatu yang sering aku ingat belakangan ini. Mungkin sejak beberapa tahun yang lalu. Sejak aku mulai memahami bentuk dan warnanya. Lingkaran keperakannya selalu berikan kepuasan tersendiri ketika mata ini menatapnya tanpa kedip. Saputan awan yang kadang membuatnya timbul tenggelam seolah menyiratkan bahwa semuanya adalah perjuangan. Untuk tahu bentuk bulan saja mengapa harus cinta penyebabnya.

Sebab bulan telah diam dalam hatiku.

Hampir setiap purnama aku mengingatnya. Sebab ketika itu bulan seperti peri cantik yang pendarkan seluruh keanggunan dan keistimewaannya. Semuanya membuatku terpesona dan terlena, mengusik adrenalin dan menyeret jemariku untuk menuliskan sesuatu sebagai bentuk kekaguman dan kecintaanku.

Hampir setiap purnama aku lahirkan puisi. Lalu pelan-pelan ia pindah, hingga suatu hari aku melihatnya ada di matamu. Berbinar dan menyala. Itulah yang kemudian terus melekat dalam ingatku. Bahwa purnama adalah perintah untuk terus menyetiai-mu. Mengingat purnama berarti mengingat ikrar untuk menerima apa adanya seperti apa yang sudah aku ketahui jauh sebelum purnama itu hadir.

Bulan tak pernah lahirkan janin. Sebab bintang tak pernah lahir dari rahim bulan.


***


Kasur. Hanya kasur ini yang mengerti dan memahami apa itu kesetiaan. Menanti berjam-jam lamanya untuk kemudian direngkuhnya kembali tubuh ini yang sering datang dengan lelah. Kadang-kadang ditinggalkan dengan begitu saja tanpa dibenahi sprainya yang kusut, apalagi untuk meletakkan bantal dan selimutnya seperti yang ia inginkan.

Hanya kasur ini yang mengerti benar apa itu keikhlasan, tanpa pernah mengeluh mengapa kerap kali pemiliknya pulang ketika tanggal hampir berganti. Karena dengan begitu berarti berkurang pulalah kebersamaannya dengan tuannya.

Dan hanya kasur ini yang mengerti apa artinya menyimpan rahasia. Tanpa pernah berfikir bagaimana memanjangkan bibirnya untuk menceritakan apa yang diketahuinya kepada seluruh benda lainnya.

Ketika pemiliknya pergi ia buru-buru melipat gelisah yang tertinggal lalu menyelipkannya ke bawah dirinya. Ketika ada sedih yang berderai-derai ia menampung semua itu dan mengulumnya hingga kadang-kadang kapas dalam dirinya menjadi basah. Tak jarang ia menulikan telinganya ketika mendengar isakan-isakan kecil yang menoreh jiwanya. Dan ia akan berbinar senang ketika kemesraan dan kata-kata cinta bertebaran di atas dirinya.

Kasur ini tak pernah berkhianat. Sebab ia tak pernah membuka hatinya kepada selain pemiliknya.


***


Nama. Namamulah yang baru kudapatkan malam ini. Dengan keheranan dan ketakjuban. Saking lenanya diri ini hingga tak pernah timbulkan tanya punyakah kau rumah serupa itu? Segaris senyum membentuk membayangkan betapa alpanya aku terhadap sesuatu itu. Tak sabar rasanya menunggu esok untuk segera mengabarinya kepadamu.

Terbayang seperti apakah lelahmu malam ini? Tentu tak sama dengan lelahku sebab kau telah bergelar menjadi sesuatu.

Lelahku menggulung ketika sesuatu kau kirimkan kepadaku, lalu dengan tergesa-gesa aku membukanya dan segaris senyum kau kirimkan dalam kotak kecil melalui sejumput kata yang tak biasa.

Nama adalah prasasti. Sebab hati ini mampu membuat pahatan yang lebih kukuh daripada pahatan otak yang tak berseni.


00:08 pm

18 juni 2009

Rabu, 17 Juni 2009

Ketika Cinta Kehilangan Status

Ketika Cinta Kehilangan Status

“Papa, kapan kita ke luar kota berdua, paling tidak untuk seminggu. Mama akan melakukan apa saja untuk papa.”

Papa!

Deg! Mendadak perutku menjadi mual dan merasa geli.

***

Jalanan yang sedang kami tempuh serupa ular yang meliuk-liuk, rutenya tidak mulus, naik turun pegunungan, kadang-kadang ketika mobil menghentak seolah-olah seperti terbang namun kembali membuat kami terhenyak dan jantung terasa berdesir. Namun ini tidak sampai mengaduk-ngaduk isi perut sehingga tak perlu dijadikan alasan kenapa perutku tiba-tiba mual.

Perjalanan ini sangat menyenangkan, bayangkan di sisi kanan kami adalah pegunungan terjal berkapur yang diseliputi oleh pepohonan hijau yang asri dan segar. Sedangkan di sisi sebelah kami adalah lelautan lepas yang luas. Airnya biru, gelombangnya teratur walaupun kuat. Di tengah-tengahnya menyembulkan beberapa pulau kecil yang mempesona. Angin pantai yang sejuk sangat membuai. Suasananya nyaman dan romantis. Siapapun pasti akan terpacu adrenalinnya untuk membayangkan hal-hal indah dan menyenangkan.

Tak terkecuali bagi pemilik tubuh kecil seorang perempuan, ia duduk diapit oleh dua orang teman di sebelah kiri dan kanannya. Perawakan tubuhnya yang kecil membuatnya tetap terlihat muda meski umurnya hampir kepala empat. Selera humornya tinggi dan semangatnya tak kalah denganku yang terpaut jauh dengannya.

Dalam duduknya ia tak banyak bicara, tetapi aku yakin batinnya sedang berperang rasa ketika itu. Jari-jarinya yang tirus menterjemahkan semuanya, tat tit tut bunyi keypad handphone. Lalu berselang sesaat setelah itu ia menatap ke luar jendela mobil, tersungging senyum lepas penuh bahagia dari bibirnya yang tipis.

Aku yang duduk persis di belakangnya hanya memperhatikan mimik wajahnya yang sumringah. Meski membelakangi tetapi aku dapat melihatnya dari samping. Karena cukup dekat dengannya aku nyaris tahu apa yang tengah difikirkan olehnya.

Tat tit tut...kembali keypad handphonenya berbunyi. Kembali kepalaku melongok, posisiku yang persis di belakangnya membuatku tak kesulitan untuk melihat apa yang sedang ia tulis dengan jemarinya. Dan aku benar-benar tak percaya dengan apa yang aku lihat, ia memanggil Papa kepada seseorang. Lelaki yang aku tahu bukan ayah dari anak-anaknya. Dan...apa aku tidak salah lihat, ia rela melakukan apapun?

Dalam fikiran singkatku ketika itu, rela melakukan semua bisa berarti apa saja, bisa sekedar membalas sms dari lelaki itu, bisa untuk jalan berdua, bisa untuk makan bersama, bisa untuk mengobrol, tertawa, bercanda....bahkan bukan tidak mungkin akan melakukan hal-hal yang pantas dilakukan seorang perempuan kepada seorang laki-laki yang menjadi papa bagi anak-anak mereka. Bukankah tadi ia menyebutnya papa?ah, segampang itukah memanggil seseorang dengan sebutan?

Aku pusing. Dalam jiwa keberdosaanku yang tak sedikit hati kecilku menolak semua penglihatan tadi. Dalam pemikiranku yang sempit terjadi pemberontakan, mengapa seseorang yang sudah bergelar istri dan telah menjadi seorang ibu masih mengejar kemesraan dari seseorang yang bukan suaminya. Dan mengapa lelaki yang telah mempunyai istri masih berbagi kasih kepada perempuan yang bukan istrinya. Mengapa sebagian besar orang dapat membagi sayang dan kemesraan dengan sempurna kepada orang yang bukan istri/suaminya, sedangkan kepada pasangannya mereka hanya menebar kekakuan yang menyemaikan kejemuan.

Aku pening. Bukan karena aku bersih dari semua dosa dan aib. Tetapi dia ibu. Dia istri. Dia pemilik dari lima anak-anaknya.

Jalanan yang kami tempuh masih berkelok, penerang jagad di ufuk barat telah memerah telur. Lautan yang luas dan berombak telah menelannya. Seperti tertelannya kasih seorang ibu kepada anaknya dan seorang istri kepada suaminya kepada seorang “Papa”. Padahal “Papa” bukanlah lelautan yang luas, dan laut tidaklah pernah menelan matahari. (Ihan)

01:15 pm

17 juni 2009

Senin, 15 Juni 2009

Happy Bezdey

Happy Bezdey

Aku ingin menunjukkan bulan untukmu, tetapi ternyata langit telah menelannya bulat-bulat. Tapi tak apa, beberapa malam yang lalu kita telah membicarakan tentang purnama yang dikelilingi kilau keperakan.

Aku akan menunjukkan bintang untukmu, meski tak dapat kupersembahkan wujudnya tapi aku ingin sekali melihatnya menggantung di matamu. Sebab bila ada bintang menggantung di sana, kau pasti akan selalu memberi cahayanya untukku. Untuk kau pandangi, untuk kau beri sinarnya, untuk kau terangi hatiku.

Lelah telah katupkan ke dua mata bening milikmu. Tapi aku tahu kamu tidak tidur, sebab hatimu akan selalu terjaga untukku. Menantikan sesuatu yang kuucapkan untuk kau dengar. Dan aku akan membisikkannya dengan pelan sampai ke alam bawah sadarmu. Hingga hanya ada aku dalam ingatanmu.

aku menunggu hingga waktunya tepat untuk dikatakan, meski bertahun-tahun yang lalu terlewatkan begitu saja itu bukan karena aku melupakanmu dengan sengaja. Dan jika sekarang aku mengatakannya dengan sengaja bukan karena aku ingin mengkhianati siapapun.

Untuk sekali ini biarlah aku mendengar apa yang dibisikkan oleh hatiku, walau mungkin nanti akan berubah kembali. Saat ini hanya kau teman terbaik yang kupunya, sahabat tempat mengadu resah yang bergelombang. Dan hanya kau yang bisa mengajariku bagaimana menebus rindu dengan cara yang tak biasa.

Selamat hari jadi, semoga suatu hari nanti aku bisa benar-benar melihat bulan dan bintang menggantung di matamu.


14 juni 2009

Selasa, 09 Juni 2009

Menulis; Antara Idealisme dan Profesi*

Menulis; Antara Idealisme dan Profesi*

Beberapa hari yang lalu seorang teman mengatakan begini kepada saya; saya terpaksa memilih profesi lain karena dunia sastra tidak menjanjikan kehidupan yang layak bagi saya. Secara tersirat ia ingin mengatakan dengan menjatuhkan pilihan menjadi sastrawan berarti pilihan untuk tidak mapan dan menjadi kere. Sedangkan pada saat yang bersamaan saya tengah bermimpi agar suatu saat bisa menyamai JK. Rowling dengan ‘Harry Potter” nya dan saya dengan karya saya yang lainnya. Alangkah indahnya hidup, terkenal, kaya dan tidak kere. Bahkan kekayaan JK. Rowling telah melebihi Ratu Elizabeth sekalipun, mudah-mudahan saya bisa melebihi kekayaan keluarga cendana.

Tapi memang begitulah kenyataannya, banyak orang yang takut menjadikan menulis atau dunia sastra sebagai profesinya, karenanya wajar bila tidak ada seorangpun yang berani mencantumkan sastrwan atau penulis sebagai pekerjaannya pada kartu pengenalnya, sebagaimana yang ditulis oleh Musmarwan Abdullah dalam cerpennya bertajuk “Pada Tikungan Berikutnya”. Orang menjadi takut miskin dan dianggap tidak bergengsi bila memilih menjadi seorang sastrwan atau kalaupun ada itu hanya sebagai kerjaan sampingan penyaluran hobi. Wajar kalau akhirnya orang berlomba-lomba meraih gelar hingga profesor agar menjadi hebat, terkenal dan kaya. Sehingga potensi menulis dalam dirinya menjadi terabaikan gara-gara pola pikir yang materialistic, semua diukur berdasarkan untung rugi bukan dengan maslahat atau mudharatnya.

Uniknya, berlum pernah saya menemui nama-nama sastrwan besar yang mencantumkan gelar di belakang nama mereka, padahal bukan sedikit diantara mereka yang menempuh pendidikan formal hingga keluar negeri. Kesederhanaan inilah yang membuat para sastrawan tidak pernah menciptakan kesenjangan sosial dengan siapapun, sehingga mereka masuk k edalam seluruh elemen masyarakat.

Bagi mereka yang berfikir pragmatis ekonomik, menulis memang hal yang tidak menjanjikan secara finansial. Mengapa? Apalagi bagi seorang penulis pemula yang namanya belum kesohor. Sudah lelah menulis, menghabiskan banyak kertas dan tenaga, terkantuk-kantuk dan bukan tidak mungkin mata menjadi kabur karenanya, eh…malah masuk ke keranjang sampah alias ditolak dimeja redaksi. Ataupun kalau dimuat honornya hanya berkisar puluhan ribu, bahkan tidak mencukupi untuk biaya kertas dan kopi saat menulis, apalagi untuk biaya rental internet yang mahal. Tapi bagi media-media yang sudah mapan jumlah honor yang mereka berikan sudah lumayanlah. Lalu akhirnya mereka lebih memilih untuk tidak menulis.

Saya pribadi berpendapat bahwa keterampilan menulis adalah anugerah, layaknya bibit, maka ia harus dirawat, disiram, diberi pupuk agar terus tumbuh dan berkembang sehingga impian menjadi JK. Rowling atau Pramoedya Ananta Toer bukan hanya mimpi disiang bolong. Mengapa saya mengatakan anugerah? Karena tidak semua orang bisa menuangkan idenya dalam bentuk tulisan walaupun sebenarnya ia mempunyai potensi untuk menulis, sekalipun ia seorang professor lulusan luar negeri. Menyangkut dengan hal ini sambil bercanda saya pernah mengatakan pada seorang teman, belajarlah menceritakan apa yang ingin kamu katakan dalam bentuk tulisan, karena jika suatu saat Tuhan mentakdirkanmu menjadi orang hebat tidak perlu lagi mengupah orang untuk membuatkan teks pidato kenegaraan.

Semua orang sepakat bahwa untuk menulis tidaklah mudah, dan akan selalu sulit jika tidak pernah dimulai. Tapi cobalah kita perhatikan apa yang dituliskan oleh para penulis dan sastrawan didalam karya mereka. Baik dikoran-koran maupun dalam kumpulan cerita pendek. Akhir-akhir ini saya sering melakukan itu, sampai-sampai saya berfikir “kalau seperti ini saya juga bisa” ini tentu saja bukanlah maksud untuk merendahkan karya orang lain, tetapi membaca apa yang mereka tulis sebenarnya mengangkat tema yang sangat sederhana sekali. Hanya tentang pertemuan tidak sengaja antara seorang dosen dengan mantan mahasiswanya disebuah terminal. Dan tulisannya dimuat dikoran. Indah nian seperti itu. Tapi kenapa media tidak pernah memuat tulisan saya? Karena saya (dan orang-orang yang seperti saya) tidak pernah menulis dan hanya puas dengan mengatakan “kalau Cuma itu saya juga bisa” selesai!

Komunitas Sastra

Sangat menyenangkan mendengar Forum Lingkar Pena Aceh telah mempunyai percetakan sendiri, itu artinya peluang untuk bisa menerbitkan karya para penulis lokal menjadi lebih terbuka. Mereka yang selama ini telah bersusah payah membesarkan lembaga tersebut akhirnya dapat berlega hati. Namun bagaimana dengan mereka-mereka yang berada di luar komunitas menulis, yang secara resmi tidak mempunyai orientasi lembaga yang terarah dan sistematik. apakah mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mengaktualisasikan diri mereka melalui dunia tulis menulis? Tetap bisa!

Syaratnya hanyalah menulis, menulis dan terus menulis, menulis hingga bosan dan menuliskan kebosanan itu. Lalu beranikan diri untuk mempublikasikan karya kita. Sekali dua kali ditolak itu biasa, tapi yakinlah seperti yakinnya Gola Gong yang terus menulis dan baru dimuat yang keseratus kalinya. Atau seperti Muhidin M. Dahlan yang terus menulis walau tulisannya selalu ditolak dimeja redaksi hingga pada akhirnya ia menulis bukan untuk dimuat tapi untuk dikembalikan.

Tapi, bukan main senangnya saat tulisan pertama kita dimuat oleh sebuah media, senang karena ide-ide kita dibaca orang, puas karena kita bisa menularkan pengetahuan kepada yang lain, bahagia karena nama kita sejajar dengan mereka-mereka yang namanya berekor alias bergelar sedang kita hanya punya nama yang buntung tanpa gelar apapun. Ini membuktikan bahwa menjadi penulis tidak perlu title khusus layaknya title dokter bagi seseorang yang ingin menyembuhkan orang lain.

Karena itu menjadi penulis hendaknya punya visi dan misi pribadi yang jelas, karena menjadi penulis berarti tengah belajar bagaimana mempengaruhi orang lain melalui ide-ide kita. Nah, sekarang terserah kepada masing-masing individu ingin memberikan pengaruh yang positif atau pengaruh negatif dengan catatan, yang negatif atau positif tersebut tetap dikenang orang. Secara ekstreem barangkali bisa dikatakan, menulislah untuk bisa ke surga atau ke neraka.

Almarhum Pramoedya Ananta Toer pernah mengatakan “menulislah, selama engkau tidak menulis, engkau akan hilang dalam masyarakat dan dari pusaran sejarah”.

Apa yang dikatakannya seratus persen benar, bayangkan bila seorang Chairil Anwar tidak pernah menulis barangkali orang tidak akan pernah mengenangnya dalam sejarah dan dalam berbagai buku-buku sastra. Begitu juga dengan Socrates, seorang filsuf Yunani yang terkenal jika saja ia tidak mempunyai murid secerdas Plato yang gemar menulis bisa dipastikan nama mereka akan ditelan sejarah dan pemikiran brilian mereka tidak pernah kita temui di jaman ini.

Sastrawan Perempuan

Alhamdulillah, saya terlahir sebagai perempuan, sehingga saya bisa bebas menghujat laki-laki melalui tulisan saya. Ah, tidak, bukan begitu. Dalam dunia tulis menulis tidak ada si A menghujat si B, atau si C menghukum si D. tapi kalau sekedar mengkritik dan menggugat bolehkan? Dan alangkah baiknya jika satu sama lainnya saling mendukung.

Tapi dalam dunia nyata, penulis laki-laki memang lebih banyak dibandingkan penulis perempuan padahal jumlah perempuan adalah mayoritas. Dalam tulisan-tulisan yang ada dikoran-koran atau media lainnya nama laki-laki lebih mendominasi, bahkan dalam mailing list pun nama perempuan jarang sekali muncul. Padahal untuk sekedar berkomentar dimailing list tidaklah diperlukan keahlian khusus. Mengapa bisa begitu? Saya juga heran. Bisa jadi karena perempuan malas ribut-ribut apalagi untuk memaki satu sama lainnya, atau memang tidak peduli dengan apa yang terjadi disekitarnya. Maka jadilah dunia seperti apa yang difikirkan oleh laki-laki.

Kenapa saya mengatakan begitu? Ini mungkin agak sedikit melenceng dari topik karena sudah beralih ke persoalan gender dan persamaan antara laki-laki dan perempuan. Banyak para aktivis yang mendengungkan dan memperjuangkan hak-hak perempuan pada corong-corong microphone sambil berpanas ria di bawah terik matahari tapi tidak ada yang berfikir untuk menuliskan berbagai persoalan mereka lalu membagi-bagikan kepada masyarakat secara gratis agar mereka menjadi cerdas.

Dunia perempuan banyak sekali ditulis oleh penulis laki-laki, sebut saja misalnya buku-buku tentang pernikahan dan bagaimana mengelola rumah tangga. Sehingga yang sering kita temui adalah bagaimana perempuan harus menyenangkan laki-laki bukan bagaimana keduanya harus tampil optimal bagi pasangannya.

Padahal, dengan menulislah perempuan bisa maksimal memperjuangkan hak-haknya yang selama ini sering termarginalkan. Tidak perlu berteriak dan berpanas-panas dibawah matahari dan cukup duduk dengan manis lalu menuliskan keinginan merekan, megnkritik atau menggugat keotoriteran dan kefanatikan sebuah sistem. Perlu diketahui bahwa dunia menulis adalah dunia penuh kebebasan, bebas menjadi orang kaya atau gelandangan, bebas menjadi orang baik atau orang jahat melalui karya mereka. Seorang sastrwan rasanya tidak pernah membangun jarak dengan orang-orang miskin justru mereka yang membuat dunia terbuka melalui cerita-cerita mereka, dan seorang sastrawan juga tidak perlu merasa rendah diri dengan orang-orang yang namanya berekor karena dengan sendirinya mereka telah menjadi orang hebat dengan kepiawaiannya mengolah kata. Nah, ingin menjadi orang hebat dan bebas? Maka menulislah. (Ihan).

*artikel ini pernah dimuat di koran Harian Aceh, edisi Ahad, 7 juni 2009

Sabtu, 06 Juni 2009

Chapter

Chapter
chapter I

bila menanti adalah kelelahan
maka, aku akan menanti untuk cinta
sebab cinta tak pernah beri lelah

dan bila merindui adalah kekecewaan
maka, aku akan merindui rindu itu sendiri
sebab rindu tak pernah beri kecewa

(06-06-09)

chapter II

cinta ini dibangun dari purnama demi purnama
gelombang demi gelombang yang menetaskan pasang bergemuruh
hempaskan seluruh setia dan keikhlasan

cinta ini dibangun dari purnama demi purnama
tapi entah pada purnama yang keberapa
ombak mulai tak kirimkan gelombang
dan laut menjadi sepi senyap
seperti rindu yang mulai karam

(09-06-09)

chapter III

Prasasti ini kubangun dengan rindu yang berlapis-lapis

Hati dan perasaan adalah tumbalnya

Jiwa dan pikiran adalah sajiannya

Prasasti ini kubangun dengan inisial dari nama-nama

Dari kekuatan diri menahan gejolak dan cemburu

Bahkan air mata yang mengalir bertubi-tubi

Menjadikannya semakin kokoh dan mencengkeram

Prasasti ini telah menggerogoti jiwaku

Seribu linggis amarah yang kupunya

Tak mampu pecahkan lapis-lapisnya

Padahal aku ingin sekali membuatnya kembali tiada

(11-06-09)