Kamis, 09 Juli 2009

Cinta Yang Tak Sempurna

Masih terlalu awal untuk bisa dikatakan makan malam, tetapi ritual itu telah selesai dilakukan sebelum pukul enam sore. Oleh sepasang suami istri. Tetapi sang istri hanya menemaninya saja. Tidak ikut menyantap hidangan bersama sang suami. Gulai ikan Kakap, balado udang dengan potongan kentang, menjadi pilihan untuk menyambut kedatangan suaminya kali ini.

Garis senang terbentuk di ruas bibirnya. Rasa puas terlukis pada wajah bundarnya. Suaranya nyaring. Setidaknya kali ini ia benar-benar tengah menikmati dirinya sendiri sebagai perempuan, sebagai seorang istri, sebagai ibu. Kelengkapan seperti inilah yang selalu ia dambakan, suami yang selalu berada di sampingnya, anak yang selalu bisa merasakan dekapan ayahnya kapan saja, makanan yang bisa dinikmati berdua, dan mungkin juga membuatkan kopi untuk lelaki yang amat dicintainya; suaminya.

Tetapi setiap kali mengingat itu pikirannya terasa berhenti. Karena selalu saja takutnya menjadi nyata. Sang suami menyudahi makannya. Lalu ia cuci tangannya dengan air yang telah disediakan oleh sang istri. Dengan waslap yang bergantung di dinding ia sapu mulutnya. Lalu ia seduh mulutnya dengan air putih untuk melancarkan pencernaannya. Dan terakhir mengunyah pisang Raja yang memang selalu tersedia di meja makan.

Lalu ia beranjak, melewati koridor kecil dalam rumahnya. Menoleh sedikit ke kamar tidur mereka dan ia segera sampai ke pintu utama. Lalu keluar dan mengucapkan selamat tinggal. ia akan pergi untuk beberapa hari. Kembali ke kehidupannya yang resmi. Bahkan ia tak sempat berpamitan pada bayi kecil miliknya yang telah labuh dalam ayunan. Ia sedang tak tidur. Matanya mengerjap-ngerjap seperti ingin mengatakan sesuatu. Atau mungkin menunggu lelaki itu mengatakan sesuatu padanya. Seperti misalnya; Papa pergi dulu ya Nak. Atau Papa pergi tidak akan lama. Tak ada. Dan bayi itu memilih bergerak-gerak sebagai wujud protesnya.

Suara mobil menjauh. Bayangnya tak lagi tampak dipandang mata. Perempuan istrinya itu tersadar dari mimpi singkatnya. Mungkin memang sudah ia ditakdirkan untuk selamanya begini. Tak sempat ia berkeluh kesah apalagi untuk bercerita tentang rasa sepi dan susahnya. Suaminya harus kembali meninggalkannya. Dan juga anak mereka. Bibirnya menyungging senyum. Hampa. Hambar. Tanpa harapan.

“Begitulah....” desahnya. Pias.

Perlu waktu lama ketika ia benar-benar mencintai lelaki itu hingga akhirnya mereka menikah dan jadilah sepasang suami istri. Rasa tak percaya menjadi pelengkap kekurang sempurnaan itu. Persis seperti membangun istana di atas pasir. Kapan saja bisa hancur.

Tak lama berselang. Ia mengambil handphonenya dan menghubungi suaminya. Sekedar untuk mengatakan selamat jalan dan berhati-hati. Sebab ada yang menantinya di sini, dan di sana; istri dan anak-anaknya.

“Jangan main perempuan!” ucapnya ketus, mengingatkan sekaligus ancaman.

Tentu ia sudah sangat mengenal suaminya. Maka bila ia mengatakan seperti itu bukan tanpa alasan. Mengingat itu ia ingin memutar waktu, agar ia bisa kembali pada saat di mana ia belum mengenal suaminya. Ia ingin dibuatkan skenario lain dari Tuhan. Tetapi keinginan itu berubah menjadi sesal. Sebab waktu tidak bisa diulang kembali. apalagi skenario Tuhan yang ditulis menjadi garis hidup seseorang.

Maka ia hanya pasrah menjalani hari-harinya. Ia merasa tak sempurna sebagai perempuan.

4 juli 2007

Menjelang tengah malam

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)