Kamis, 09 Juli 2009

Perempuan Yang HIdup Tanpa Cinta

Satu malam di awal bulan juli. Bulan serupa sabit meruncing. Namun tetap bersinar penuh goda. Bintang berkerlipan penuh pesona. Angin bertiup sepoi. Memabukkan dedaunan. Semilir membelai alam. Merdu. Syahdu.

Seorang gadis berusia seperempat abad kurang setahun. Menikmati kesendiriannya pada ujung ranjang yang berbalut sprai batik berwarna coklat. Sesekali ia menyeruput air es yang dibelinya di warung sebelah. Dingin. Sejuk mengaliri kerongkongannya.

Pikirannya berkelindan. Saling beradu gemuruh dengan dentingan pukulan meja oleh lelaki-lelaki yang bermain batu di warung sebelah. Matanya melirik penunjuk waktu di layar notebooknya. Hanya kurang 43 menit pergantian tanggal baru. Tetapi kantuk yang ditunggu tak kunjung tiba. Justru lalakan matanya hampir menyerupai bulan.

Ia ingin, lelah yang kuat segera merengkuhnya dalam tidur yang damai. Ia rindu mimpi yang indah segera menarik dirinya dalam buai lelap. Tapi kelindan demi kelindan membuatnya tak bisa segera merasainya. Ia masih terduduk. Di sudut ranjang berseprai batik. Dengan tangan menari di atas keyboard. Mencoba menuliskan sesuatu. Untuk mengundang kantuk. Untuk membuang resah.

Pikirannya kembali mengulang. Pada dialog dengan seorang ibu. Pada sebuah sore yang hampir terbenam. Yang sudah menjalani kehidupan berkeluarga hampir lima belas tahun. Dan telah melahirkan beberapa orang anak dari buah cinta ia dan suaminya. Tapi benarkah cinta? Sebab tak sekalipun sampai hari ini ia mendengar suaminya melafadzkan cinta kepadanya.

Dan ia tak berani menanyakannya sebab komunikasi diantara mereka tidak terbuka. Tidak ada canda tawa, tidak ada kata-kata mesra, tidak ada waktu untuk saling mencurahkan isi hati. Semuanya berjalan begitu saja. Kaku. Beku. Sunyi. Sepi. Tanpa warna tanpa intonasi. Datar!

Tapi ia sendiri tak berani menggugat. Sebab muasal mereka menikah karena pertalian jodoh oleh masing-masing orang tua. Dan untuk itu ia harus meninggalkan lelaki kekasihnya. Untuk menikah dengan lelaki yang kemudian bergelar menjadi suaminya. Ayah dari anak-anaknya. Menantu bagi orang tuanya. Tak ada protes secara lisan. Hanya hati berontak penuh sesal. Namun tak kuasa menahan ketakberdayaan pada orang tua, jaman dan adat.

Namun perempuan itu terus berjuang. Untuk selalu berusaha mencintai dan menyetiai suaminya. Agar orang-orang menyangka bahwa mereka adalah pasangan yang serasi, harmonis dan damai. Sehingga dengan itu akan mengukuhkanlah keputusan orang tua mereka dulu; bahwa mereka tak salah memilihkan suami untuk anak perempuannya.

Orang tua, tak pernah masuk ke dalam hati anaknya. Lalu berusaha mengerti dan mencari tahu apa yang dimaui oleh anak-anak mereka. Para orang tua dalam setiap kesempatan selalu berusaha mengkebiri hak anak. Untuk memilih jalur pendidikan, untuk bekerja di mana, untuk menikah dengan siapa.

Gadis itu menerawang. Matanya menjelajah setiap jengkal sudut kamarnya. Langit-langit seperti memberinya penegasan bahwa hidup ini memang kumpulan dari keputusan-keputusan. Namun terlalu sering keputusan yang salah mendominasi si pembuat keputusan.

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)