Kamis, 29 Oktober 2009

Selasa, 27 Oktober 2009

Kampung Surga !

Kampung Surga !

Sebuah Memoar; Kampung Surga !

Oleh; Ihan Sunrise


Kampung ini kampung surga. Namun tak pernah kulisankan, sebab surga dalam benak setiap orang adalah perbedaan. Sedang bagiku, surga adalah tempat di mana aku bisa tumbuh dan hidup dengan nyaman, tanpa ketakutan, tanpa tangisan, tanpa air mata. Yang selalu memberi tenang dalam damai. Yang selalu tawarkan tawa.


Tempat di mana setiap bukitnya dapat ditunggangi layaknya kuda Sumbawa yang perkasa. Yang membentangkan permadani rumput hijau. Tempat untuk menyaksikan terbenamnya matahari yang merah. Ketika langit mengulumnya pelan-pelan, dan meninggalkan cupangannya sepetak-sepetak di atas tanah.


Ternak-ternak yang bahagia, karena setiap hari digembalakan oleh anak-anak dari kampung surga. Yang tak pernah memancangkan tali-talinya di patingan permanen.


Tempat di mana setiap lembahnya muncul mata air untuk diminum, dipakai mandi, mencuci atau untuk cebok sekalipun. Untuk berkubangnya kerbau dan babi hutan. Bahkan tempat bagi berkembang biaknya lintah yang menjijikkan.


Surga adalah tanah yang subur bagi segala jenis pohon, bahkan dedaunan tidak bernama yang bisa dimakan untuk lalapanpun dapat tumbuh di sana. Tempat batang-batang pisang beranak pinak. Tempat bagi perdu-perdu tebu yang gemuk dan segar. Dan padang ilalang.


Tanah yang banyak mempunyai jalan setapak tanpa beraspal. Ketika musim kemarau tanahnya kering berdebu dan ketika musim hujan menjadi becek. Dan kami terbiasa hidup tanpa keluhan. Itulah surga, kesederhanaan yang bisa melapangkan jiwa penghuninya. Tempat di mana burung bisa bertelur dan mengeramnya di mana saja. Di pinggir jalan, di semak-semak belakang rumah, di dahan-dahan pohon pinang. Surga memberikan ketenangan untuk tidak mengusik. Hingga burung-burung itu menetas, dan ramaikan kampung surga kami.


Kampung ini kampung surga. Tapi tak pernah kulisankan. Sebab surga hanya untuk dinikmati, bukan untuk diceritakan. Tetapi ia terus lekat dalam otakku, bahkan sejak aku belum mengerti apa itu surga. Bahkan ketika surga itu pelan-pelan tercabik aku tetap menamainya surga, karena surga itu sebenarnya ada dalam pikiranku.


Di kampung surga ini dulu aku belajar mengaji alif ba ta pada guru ngaji yang juga nenekku, di sekolahnya yang pernah dibakar aku belajar pelajaran Pendidikan Moral Pancasila dan Bahasa Indonesia. Tetapi rupanya gara-gara aku bisa bahasa Indonesialah ada orang yang tidak kukenal pernah memarahiku. Kata mereka itu bukan bahasa kami. Orang-orang itu pastilah tidak tahu pelajaran Pendidikan Moral Pancasila makanya mereka kurang bermoral.


Seingatku, kampung surga tak pernah melarang kami untuk berbahasa apa saja. Jika bisa mungkin kami juga akan diijinkan berbicara dalam bahasa hewan dan tumbuhan. Seperti pada masa jaman Nabi Sulaiman. Bila begitu, alangkah mudahnya menggiring sapi-sapi milik kami setiap sorenya pulang menggembala dari bukit surga. Kemudian aku mengerti, itulah awal prahara bagi kampung surga.


Pun di kampung surga ini aku pernah belajar mengaji mengenai rukun iman dan rukun islam. Tapi keimanan dan keislamankupun sepertinya biasa saja. Alhamdulillah aku masih bisa mengaji, kalau tidak aku akan sangat malu pernah hidup di kampung surga.


Kampung surga kami mengajarkan kemandirian, ciri khas anak-anak kampung. Kemana-mana selalu bersama-sama teman sebaya, menggembala (aku lebih suka menyebutnya ngangon), mencari kayu bakar, mandi, mencuci, pergi sekolah, mengaji, main petak umpet, main pasaran, main rumah-rumahan, main perang-perangan.


Kampung ini tak pernah mengajarkan perkelahian, tetapi mengapa darah akhirnya bisa mencucur dari tubuhnya yang terus dewasa? Tapi yang pasti ini bukan keinginan kami meski kami sering main perang-perangan, yang senjatanya dari pelepah pisang ataupun batang rumbia.


Kampung ini ajarkan kami untuk hidup dengan bekerja keras, membantu orang tua apa saja yang kami bisa, entah memetik coklat di kebun, atau menanak nasi di rumah, mungkin juga membantu mencuci sepatu sekolah kami sendiri.


Rumah-rumah kami adalah pondok-pondok yang dibangunkan Allah untuk kami di atas tanah surga. Tanah yang ditumbuhi pohon-pohon kelapa, pinang, cokelat, dan rerumputan. Rumah-rumah yang diterangi matahari ketika siang dan disinari bintang dan rembulan ketika malam. Ketika lebaran, kampung surga kami ramai diterangi suluh-suluh bambu yang benderang. Dan juga lilin-lilin yang kami pasang di dalam tempurung.


Kampung ini benar-benar kampung surga. Kampung yang telah lekat dalam ingatan, sebab puing-puing kehidupan kami masih berserakan di sana. Di bukit-bukitnya yang anggun, di lembahnya yang menjuntai-juntai, di lorong-lorong jalannya yang mempesona, di sarang-sarang burungnya, di leguhan binatang malam.


Kampung surga adalah kampung yang tidak bisa dilupakan. Meski telah satu dasawarsa surga itu telah berpindah tempat. Bukit-bukitnya menjadi setengah belantara kini. Lembah-lembahnya telah menjadi tempat babi hutan berkembang biak. Mata-mata airnya telah sumbat. Parit-paritnya telah dangkal. Rumput-rumputnya mongering. Sebagian pohon-pohon kelapa kami berganti, menjadi karet dan kelapa sawit. Lalu gajah datang memamah hingga ke akar tunggalnya yang terbenam dalam tanah.


Kampung surga kami kampung ingatan. Karena disanalah aku belajar tentang rasa peduli dan kehilangan. Kampung surga adalah kampung yang selalu hadirkan rindu berkepanjangan. Untuk kembali mencumbui lekuk bukitnya, atau sekedar mencandai keluguannya. Atau untuk merasakan kehangatannya tatkala matahari setinggi dhuha.


Kampung surga adalah kampung kenangan. Tempat tersimpannya bait-bait dialog ketika masa sekolah dan mengaji. Rupa-rupa yang masih menggantung di setiap dinding kampung. Tawa yang masih menggelegar setiap detiknya, riang, sorai, riuh, tanpa beban. Dan cengkerama yang tak pernah usai dalam ingatan.


Aku mencari kampung surga ke mana-mana, tapi tak ada yang sama dengan kampung surga milikku. Kampung yang selalu berikan damai dalam tenang, bahkan dengung nyamuk dan leguhan jangkrik di malam haripun mampu menjelma menjadi kidung yang melenakan. Desau daun, lambaian nyiur dan desis angin adalah teater alam yang tak pernah putus.


Apakabarmu Padang Peutua Ali?


00:00 am

27 okto 2009



Sabtu, 24 Oktober 2009

Aku Rindu

Aku Rindu

Aku ingin bersemedi dalam hatimu. Karena rupanya di sana bermukin segala macam telaga. Bening yang suguhkan damai bagi hati gundahku. Gemericik yang senantiasa pesonakan keteguhan. Untuk selalu berdetik meski sarat gelombang.


Aku ingin tenggelam dalam jiwamu. Jiwa seluas dunia tanpa dinding berkabut. Yang selalu pancarkan sinar harapan meski aku tahu sering kali mendung hinggap di sana. Kekhawatiran dan kecemasan bertubi, layaknya batu yang bertindih-tindih di atas punggung bumi. Tapi kau terus bertahan. Patahkan semua itu dengan senyum dari layar pinisi kehidupan kita.


Aku ingin tidur di pangkuanmu. Meski hanya dalam hayal kupenuhi semua keinginan. Pangkuan yang menenangkan. Sentuhan pada ubun-ubun yang hilangkan gemuruh.

Aku rindu!


Rindu untuk bersemedi di hatimu. Rindu untuk tenggelam dalam jiwamu. Rindu untuk tidur di pangkuanmu.


Aku rindu memeluk ibu!

Rabu, 21 Oktober 2009

Biarkan Aku Mencintaimu dengan Caraku

Biarkan Aku Mencintaimu dengan Caraku

“Boleh aku menciummu? Aku kangen!”

“Silahkan”

“Muach!”

“Cukup”

“Aku masih rindu, dan ingin menciummu sekali lagi”

Dan aku menciummu. Sekali lagi, maka tertebuslah rasa rindu yang telah tertahan seharian ini.

Malam yang berlainan. Kau kembali hadir, dalam ruang diri yang selalu basah. Membuat hatiku seketika bergetar hebat dan otakku berfikir cepat. Meraih sejuk dari sekitar untuk segera tenangkan jiwa yang bergemuruh. Sungguh! Aku rindu. Aku tak bohong. Maka kuminta untuk segera menciumimu.

Bertukarlah cerita seharian ini, aku dengan ceritaku yang semalam, dan kau dengan kisah lemburmu yang menjelang tengah malam. Selalu ada kenikmatan dari pergumulan cerita itu. Seolah seperti bermandikan kembang tujuh rupa, selalu ada kesegaran, wewangian yang menghampiri dan gelora yang memanjangkan asa.

Menjumput-jumput dalam labirin benak, memutar-mutar liang ingat, biarkan aku mencintaimu dengan caraku.

---

Mungkin mengingatmu adalah bara. Tapi dengan bara itu aku hidup. Seperti kepulan asap batubara yang mampu lajukan gerbong kereta melalui lajur-lajur rel yang tajam. Mungkin mengingatmu adalah panas dari matahari yang membakar. Tetapi dengan panas itu mampu munculkan cahaya bagi kehidupan jagat. Mungkin mengingatmu adalah bandang berlumpur. Tapi dengan Lumpur itu mampu menyamak seluruh najis yang bertaburan. Mungkin mengingatmu adalah dosa. Tetapi dengan itupula aku teringat untuk menyeimbangkan hidup ini. (ihan)




20:35 pm

21/10/09

Sabtu, 17 Oktober 2009

Rumah Yang Tak Lagi Kesepian

Rumah Yang Tak Lagi Kesepian

Desah mengiring mentari menuju ambang malam, sebentar lagi kalam-kalam suci akan mengepak-ngepak hingga langit ke tujuh. Menyemerbak hantarkan pujian pada sang Rabb pemilik semesta.


Seperti biasa aku menaiki anak tangga sebelum akhirnya sampai pada pintu kamar yang telah kutempati sejak bertahun-tahun yang lalu. Kali ini ada yang berbeda dari hari-hari kemarin, kemarinnya lagi bahkan kemarinnya lagi, bahkan sejak bertahun-tahun yang lalu.


Terang menyambut begitu pintu utama kubuka, rupanya ruang tamu yang dulunya gelap dan telah alih fungsi menjadi motorcycle port kini telah dipasangi lampu. Entah kapan, karena malam kemarin ruangan ini masih kudapati gelap gulita.


Dua kamar kulalui seperti biasa, namun setumpuk benda aneh yang terletak dipinggir sumur mengalihkan perhatianku. Benda yang dulu pernah ada di rumah ini, namun kejadian besar lima tahun yang lalu membuatnya menjadi terkebiri dan tak lagi berfungsi. Iapun telah berganti wujud menjadi besi tua berkarat yang tak lagi dibutuhkan. Benda itu masih tetap bernama pompa air namun aku tak tahu merknya apa, masih berkilat dan baru. ”Tadi sore” jawab teman yang sedang di kamar mandi saat kutanya kapan benda itu dipasang.


Kaki ini melangkah, memijaki tubuh tangga yang begitu pasrah tanpa penolakan. Ada yang berubah dari tatanan rumah ini. Kardus-kardus besar masih berserakan, berisikan perkakas yang belum disusun. Memenuhi sebagian ruangan yang tidak terlalu luas, rak piring, kompor.


Ah...Tuhan mengijabah doa rumah ini sepertinya, yang telah lama kesepian dan merindukan decah kaki yang berlainan. Ia rindukan keriuhan seperti dulu, rindukan asap-asap dari tanakan nasi dan tumisan sayur. Rindukan belaian banyak tangan pada dindingnya yang mulai kusam dan tua. Rumah yang ingin berikan kehangatan pada tubuh-tubuh yang kedinginan dipeluk tangan pagi. Rumah yang rindukan sapuan dari tangan yang berbeda pada setiap lantainya yang terpijak.

Rumah yang telah lama panjatkan doa, ucapkan selamat datang pada dua gadis itu. Biarlah aku yang menepi untuk tak lagi merasai kehangatanmu pada malam-malam yang dingin. Aku mengikhlaskanmu untuk dirawat olehnya, sebab aku tahu, aku tak bisa menjadi sempurna untukmu. Biarlah ia yang selalu membuatmu tersenyum karena ada yang menemani sepanjang hari. (Ihan)

Kamis, 15 Oktober 2009

Ajarkan Aku Jadi Pembunuh

Ajarkan Aku Jadi Pembunuh

“I will kill him if he leave me, couse he take it my something special in my life. I really love him, i can’t life wihout him”

aku tertegun, mencoba menghadirkan sosok orang yang mengirimkan pesan tersebut, perempuan muda yang tak pernah kukenali seperti apa rupanya, yang kutahu suaranya begitu nyaring dan lembut, apalagi ketika ia sedang menceritakan siksa batinnya.

Kucoba resapi galaunya dengan jiwaku yang tak sepenuhnya berhasil, sebab pikiran ini masih harus terbagi untuk beberapa butir pekerjaan yang belum selesai. Tak ada keputusan dari pemikiran disela ketergesaan ini, antara menyelesaikan pekerjaan dan keputusan untuk memberikannya sepatah dua patah kata yang mungkin bisa membuatnya tenang.

Aku mulai mengantuk, dan tubuhku mulai terasa berat ditambah dengan perut yang lapar belum terisi makanan sejak lepas siang tadi. Penunjuk waktu tepat berada di angka 10.30 pm.

Kukemas ranselku yang masih berat begitu pekerjaanku selesai, aku menoleh ke luar, langit gelap dan jalanan terasa begitu lengang. Bulanpun entah ke mana, dan bintang sepertinya enggan bertandang.

Sesaat setelah itu aku melesat di jalan raya. Masih dalam sepi dan lengang. Kembali ingatanku menjalang, pada beberapa kalimat miris tadi. Terbayang wajah pemiliknya yang gusar dan kalut, mungkin juga rasa sakit hati dan kecewa yang berperbankan kesedihan dan rasa takut.

Ah....

Aku berhenti di depan sebuah gerobak penjual roti bakar di tepi jalan, kupesan satu dan mencari kursi plastik untuk menunggu. Masih ada sisa waktu untuk berfikir sebelum pesananku selesai. Berfikir untuk segera pulang dan menikmati roti bakar berisikan selai nanas dan strawberry, sekaligus berfikir kepada seseorang yang mengirimkan pesan tadi.

Benarkah ia akan membunuhnya? Tapi, apakah itu tidak berlawanan dengan kata hatinya? Bahwa ia sangat mencintai seseorang itu. Lalu mengapa ia ingin membunuhnya? Bukankah cinta –dari sumber apapun- selalu mengatakan bahwa sesuatu yang begitu sakral dan berharga, tumbuh atas dasar kerelaan dan sikap mau menerima tanpa pengecualian.

Lalu mengapa akhirnya timbul kebencian dan rasa sakit yang tak terperi, bukankah seharusnya mengikhlaskan saja jika cinta tidak lagi sesuai dengan keadaan yang diinginkan oleh pikiran, hati, mungkin juga nafsu.

Dua menit kurang dari pukul sebelas aku sampai ke rumah. Pikiran tentang sosok perempuan itu masih mengiang dalam ingatan.

Jika saja aku mengenalnya, jika saja ia ada di hadapanku sekarang, jika saja kami bisa berdialog saat ini. Aku ingin sekali bertanya padanya, ingin belajar, ingin berdiskusi, aku ingin diajarkan cara membunuh yang tulus.

Cara membunuh tanpa paksaan, tanpa kebencian, tanpa sakit hati apalagi kecewa. Aku ingin diajari cara membunuh perasaan yang kadung bercokol dalam diri ini. Yang tak lekang meski saban hari aku menggerusnya, yang tak pernah usang meski faselita demi faselita terlewati.

Perempuan yang entah! Ajari aku cara membunuh ingatan agar aku bisa meninggalkannya dengan sempurna., maka akan kuajari kau cara menyederhanakan hidup agar kau bisa mencintai dengan keikhlasan. (Ihan)

00:23 am

15 okto 09

Senin, 12 Oktober 2009

Tak Ada Yang Beranjak

Tak Ada Yang Beranjak
Menjelang magrib di sebuah warung kopi, di tepi jalan, di depan sebuah Masjid bermenarakan kupiah. Lalu lalang jalanan yang bising, menyuratkan bahwa peredaran waktu seperti tak berpengaruh. Masjid besar yang megah, tempat dikumandangkan kalam-kalam suci yang syahdu, hanya untuk dilalui, dan seolah-olah seperti membisiki; biarkan saja orang-orang suci mempasrahkan dirinya pada sang Illahi di sana.

Pun pintu warung yang dibiarkan tetap menganga, ditepuki denging nyamuk yang menyorak sorai, barangkali mereka sedang mentertawakan kebodohan manusia, bahwa rejeki adalah milik-Nya, tetapi mengapa takut untuk mengistirahatkan aktivitas barang sejenak sekedar untuk menghormati agama yang tercantum dalam kartu tanda pengenal.

Koran yang enggan ditinggal oleh pembacanya, sudah lusuh masai karena seharian berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Mungkinkah bapak itu yang terakhir menyentuhnya hari ini? Bahunya bersandarkan pada punggung kursi plastik yang mengkilat. tak ada tanda-tanda ia akan beranjak, kakinya bergoyang silih berganti dengan ritme yang teratur.

Kalam-kalam suci yang terus mengumandang, menundukkan alam, memberi kesenyapan, udara yang tak lagi berdesau, langit yang tak lagi memerah, hari yang akan berubah warna. Manusia nyaris menyamati mata Kelelawar, berjalan dalam gelap, hidup dalam gelap, untuk memilih kegelapan.

Hingga Azan melesat menembus cakrawala, tak mampu kalahkan gelombang yang bertebaran di badan jalan. pekerja yang masih sibuk dengan gelas kopinya, bapak setengah baya yang masih setia dengan koran lusuhnya, dan aku yang masih memaku di sini. Tak ada yang beranjak!

Selasa, 06 Oktober 2009

Maka Lupakan Atas Nama Kesembuhan

Maka Lupakan Atas Nama Kesembuhan
maka lupakan atas nama kesembuhan"

kawan, maukah kau mendengar sebuah kisah?
tentang seekor merpati liar yang senang berpetualang, dia senang terbang dari satu negeri kenegeri lainnya, dari satu penjuru mata angin ke mata angin yang lain, dari satu lembah ke lembah yang lain. dari petualangannya ia megnenal banyak burung, ia kenal dengan kakak tua, kenal dengan burung perenjak, kenal dengan burung puyuh dan burung-burung lainnya. hingga suatu hari ketika ia sedang bersiul-siul kecil diatas dahan pohon Sentang seekor burung beo menyapanya, sekilas ia menangkap bahwa burung beo ini bukanlah sembarang beo, dia tampak sopan dan pintar, bukan berarti burung-urung yang lain tidak pintar tetapi beo yang satu ini sepertinya sangat mengedepankan tatakrama, begitulah...

dari hari je hari, dari obrolan demi obrolan, akhirnya keduanya sah menjadi sahabat, mereka menjadi dekat, mengenal beo memang sebuah keistimewaan tersendiri bagi merpati liar itu, apalagi beo secerdas ini, meskipun beo tidak pernah mengatakan itu tapi merpati tahu kalau beo ini banyak sekali pengalaman hidupnya, pengetahuannya luas dan ilmunya tinggi. bila dibandingkan dengan merpati maka ia sangatlah tidak ada apa-apanya. tapi entah kenapa beo yang pintar dan baik budi itu mau menjadikan merpati liar ini menjadi temannya, mau menemaninya berjam-jam hingga jemarinya barangkali terasa kebas dan letih, padahal apa yang emreka bicarakan bisajadi sesuatu yang tidak ada manfaatnya bagi dia. itupula yang tidak dimengerti oleh merpati, mengapa masih ada jenis burung seperti itu, bukan hanya pintar berkat bijak tapi dia memang bijak, dari ceritanya merpati mengerti siapa sebenarnya beo unik tersebut. dia burung besar yang bersembunyi dibalik namanya yang hanya dari tiga huruf sedangkan merpati adalah burung liar yang tak mengerti apa-apa yang mencoba berlindung dibalik namanya yang panjang. karena itu perkenalannya dengan beo adalah berkah besar bagi merpati.

namun akhir-akhir ini merpati merasa kalau beo banyak berubah, mungkin hanya perasaannya saja tapi memang itulah yang dia rasakan. beo cantik itu menjadi pendiam, tidak seperti ketika awal-awal mereka berkenalan tidak juga seprti beberapa waktu sebelum-sebelum ini. bodohnya merpati masih juga mencari jalan agar bisa bersiul bersama-sama dengan beo, kadang ia mencegatnya ditengah jalan sambil berteriak tidak karuan, ia gemar mencari-cari alasan yang kadang tidak masuk akal. bukahkah merpati kecil itu tidak tahu diri? bukankah sebagai makhluk yang punya akal seharusnya dia bisa mencerna dan berfikir dengan sinyal yang diperlihatkan beo.tapi itulah dia, dengan keluguan dan kenaifannya ia semakin merasa tidak berarti jika berhadapan dengan burung beo yang pintar dan cerdas. dia tidak pernah bisa merasa leluasa berbicara sepereti ia megneluarkan apa yang ia rasakan kepada burung-burung lainnya, sebab beo selalu mewanti-wantinya dengan isyarat tujuh detiknya. dia tidak bisa mengutarakan riak hatinya secara spontan seperti kepada elang atau burung balam. dan memang begitu, ia selalu menyenangkan hatinya sendiri, mencoba memahami dengan siapa ia sedang berinteraksi, ia kadang merasa malu dan tak enak hati setiap kali beo mengingatkan "tenanglah..." dan setiap kali megnatakan itu paasti beo akan berfikir, mengapa ada burung seriuh ini.

merpati yang liar, yang kadang-kadang merasa bahwa menanyakan kabar beo adalah keharusan baginya. lagi-lagi kali ini ia merasa amt bodoh, mengapa ia terlalu bersemangat seperti ini?

merpati memang sama sekali tidak ada apa-apanya bila disandingkan dengan beo, yang ada hanyalah ia terlalu sering membuat beo kesusahan dan sakit. yah...merpati yang liar, berhadapan dengan beo yang santun, beo yang berakal budi, sudah pasti akan membuat beo terkaget-kaget dan shock dan kadang-kadang ia harus meringis-ringis menahan sakti dijantungnya. dan itu terjadi bukan sekali dua lagi. sebegitu susahnya kah menjadi bermanfaat bagi orang lain? kenapa sering sekali yang terjadi adalah sebaliknya, menyusahkan, membuat sakit,....

lagi-lagi merpati merasa terlempar begitu jauh ke ceruk bumi, ia hanya boleh berhadapan dengan burung-burung yang liar saja kah? sedangkan dengan burung-burung terhormat seprti beo tidak boleh??? beo adalah jenis burung terhormat yang hidup di tempat-tempat enak, makanannya bukan sembarang biji-bian yang tidak jelas kandungan gizinya, dan beo juga burng cerdas yang mengerti bahasa manusia. karena itu setiak kali berhadapan dengannya beo selalu memeras otak agar dia bisa nyambung dengan apa yang dia bicarakan, kalaupun masih belum tahu tanpa malu dia akan bertanya, dan dengan santunnya beo aka bilang "perlu di up grade lagi..." merpati hanya bisa temangu mendapatkan jawaban itu, ia mematung memandangnya tak berkedip, beo memang bukan seperti elang atau seperti burung balam yang bisa sesuka hati ia berceracau, bahkan kadang-kadang tanpa memperhatikan sopan santun. maka sore itu setelah merpati membuatnya sakit lagi, setelah beo pamit dan minta ijin, merpati terpekur sendiri, ia merenung,

"kalau mengenalku adalah kesakitan maka lupakan atas nama kesembuhan...."

kawan, itulah sepotong kalimat terakhir yang dikirimkan merpati kepada beo. setelah itu merpati menghapus semua jejak kaki beo yang ia punyai, ia menghilangkan nomor rumahnya dan alamatnya. sampai kapanpun merpati memang tidakakan pernah bisa menyamai beo, dan sayangnya catatan-catatan tentang beo berserakan dimana-mana, ia melakukan semua itu dengan menangis hingga tersedu-sedu, dengan tangan gemetar dan rasa sakit yang teramat sangat, baru sekali ini ia merasa sangat tidak berarti seperti itu. merpati kecil yang liar, akankah ia selalu liar dan bertemu burung-b urung liar? dan tidak boleh berteman dengan burung-burung bangsawan seperti beo yang pintar bahasa manusia?

entah mengapa, tiba-tiba merapati merasa sangat marah pada dirinya sendiri, ia marah mngapa sore kemarin dan pagi tadi ia melangkah kedapur, menyalakan api dan memasak air untuk ia mandi setelah membaca apa yang dulu pernah dituliskan oleh beo. ia marah....ia semakin menangis....

apa karena beo sudah mendapat tempat dihatinya sehingga ia merasa perlu menuruti sebagiannya? dalam sakitnya ia berfikir, berteman dengan elang yang liar dan buas ternyata lebih menyenangkan, ia bebas mengekspresikan dirinya, keliarannya, semuanya....bukan beo yang salah, tapi dialah yang tidak sanggup.

kawan, aku memang bukan siapa-siapanya mepati, tapi aku tahu semua tentangnya. ketika pertama kali mengenal merpati beo menyodorkan komitmen, dan merpati menyetujuinya, ketika merpati menanyakan nomor rumahnya maka beo mengajukan sumpah. lalu untuk apa dipertahankan kalau semua itu menjadi berat seperti ini. kalau tidak bisa menjadi ayah bagi seorang anak, tidak bisa menjadi penuntun bagi pelabuh, tidak bisa menjadi mata air bagi pengembara....terlalu berat merawat angka-angka yang suci itu, kadang hampir tidak bisa dibedakan mana yang mata air mana yang air kubang, mana yang angin sepoi-sepoi mana yang angin beliung. merpati tak sanggup dengan semua itu, pemilik angka-angka yang suci dan tak berdosa adalah emreka yang suci dan tak berdosa, sedangkan penerima angka adalah yang tak suci, liar dan berdosa. maka semakin jelas, nama yang diukir dengan pasir cukuplah dinikmati sebentar saja.


12:45 wib
05-02-07