Minggu, 08 November 2009

Lelaki Bukan Suamiku*

Lelaki Bukan Suamiku

Oleh; Ihan Sunrise

Gundah ini membatu setelah bertahun-tahun waktu terlalui begitu saja. Aku yang sering terdiam menjemput gelisah setiap kali menjelang tidur. Bahkan mimpi yang datang sebagai bunga tidur tak ada satupun yang bisa membuatku senang. Hingga pagi kesubuhan membuatku terburu-buru untuk segera beranjak lalu segera ke luar untuk memandang matahari. Lelaki bukan suamiku menanti di sana. Dalam wujud yang hanya aku sendiri yang dapat memaknai.

“Setiap kali kamu merinduiku, ke luarlah dan lihatlah matahari pagi. Aku akan ada di sana untukmu. Hanya matahari pagi, Sayang.” Ucapnya belasan tahun yang lalu. Hangat sentuhan tangannya di pipiku masih kurasai sampai hari ini. Mesra tatapannya masih bergelantung dalam pundak ingatku. Nafasnya yang harum masih kuhirup hingga detik ini.

Mematung aku di bawah langit. Hangat merayap menjalari seluruh tubuhku. Kusapu lembut kehangatan itu pada wajahku yang kian kusut. Desir darah mengalir deras dalam nadiku. Ia hadir hinggap di tubuhku; lelaki bukan suamiku.

“Maka aku akan datang untuk redam gejolakmu.” Lanjutnya ketika itu. Aku mengangguk. Pasrah. Menurut. Sebab hanya itu yang bisa membuatku hidup. Dia; lelaki bukan suamiku.

Muram ini membeku sejak belasan tahun yang lalu. Maka kucairkan ia dengan kehangatan matahari pagi sebagai reinkarnasi wujud dari lelaki bukan suamiku. Aku menyebutnya persetubuhan jiwa.

Usai ritual tersebut aku kembali menjadi diriku, istri bagi suami yang harus kuhormati, kupenuhi haknya, kulayani sepenuh hati. Tanpa keikhlasan yang terus tumbuh layaknya usia kami yang terus menua. Tak pernah ada yang tahu. Sebab gelisah ini hanya milik mata yang enggan terpejam meski malam telah tua. Risau yang hanya milik hati yang telah grafirkan inisial lain. Lelah yang hanya milik ingat yang tak pernah gagal dalam mengenang kisah.

Ritual yang telah belasan tahun kulakukan. Tanpa alpa seharipun. Bahkan pada pagi pertama setelah kami melakukan ijab kabul. Ritual ini nafasku. Maka ketika hujan datang, akulah orang paling gelisah. Sebab aku tak menemui wajah kekasihku di pagi hari. Sebab aku tak bisa mencium aroma tubunya yang hadir dalam burai-burai perca cahaya. Sebab tangannya tak bisa hinggap di tubuhku. Sebab ia tak datang bersamaan dengan hujan.

“Aku hanya menikahkan jiwaku sekali saja dalam hidupku, dan itu telah untukmu” Kataku pada saat itu. Belasan tahun yang lalu.

Ketika itu diam adalah jawaban. Isyarat bagi hati yang sedang luka. Protes tak terucap atas keadaan yang tak sanggup ditentang. Hanya mata yang sanggup leraikan kecewa. Menaruh sedikit rasa percaya atas apa yang ditasydidkan hati. Selebihnya adalah gemuruh yang lelehkan bening di kelopak mata.

“Kebahagiaan itu di sini.” Aku menaruh tangannya tepat di dadaku, agar ia bisa merasai bahwa aku berkata benar. Jantung ini berdetak kencang mengiyakan. “Selama kamu ada di sini aku akan selalu bahagia.” Kataku meyakinkan diri.

Maka, ketika pagi ini aku bangun terlambat adalah kekhilafan terbesar dalam hidupku. Matahari telah menerangi setiap celah di kamar tidurku. Aku memicingkan mata. Beranjak bangkit menuju jendela. Kusibak horden berwarna coklat muda berenda penutup jendela kamar tidur kami. Aku dan suamiku. Matahari menerobos liar menyinari tubuhku yang setengah terbuka. Kutarik tirai dan segera kututupi tubuhku.

Mataku menjeling pada sesosok laki-laki yang masih meringkuk di tempat tidur. Dialah suami kehidupan nyataku. Air mataku meleleh. Ada penyesalan yang teramat sangat dalam diri ini. Nyeri yang bertubi-tubi. Jika saja, ah... Seandainya aku tak menuruti permintaan lelaki suamiku usai subuh tadi tentu semua ini tidak akan terjadi. Matahari tentu tidak akan menyelinap masuk untuk menghukumku.

“Jangan pernah biarkan aku menunggu. Sebab aku akan selalu datang tepat waktu.” Ucap lelaki bukan suamiku belasan tahun yang lalu. Dengan ucapan yang ditegar-tegarkan. Dengan suara yang dinyaring-nyaringkan. Aku mengangguk kala itu.

Maka gundah ini tak lagi sekedar batu biasa. Tetapi ia telah menjadi karang yang begitu kokohnya. Aku telah melanggar janjiku. Dan aku semakin membenci lelaki suamiku yang telah membuatku kehilangan berkali-kali. Dan lagi aku tak kuasa menolaknya pada subuh-subuh berikutnya. Pertemuan yang terus cokolkan benih dalam rahimku.

Dan aku, semakin jauh dengan matahariku. Lama aku tak merasai hangatnya yang menjalari tubuhku, lama aku tak merasai sentuhannya yang mengusik adrenalinku. Lama aku tak merasai harum mulutnya yang hadir dalam burai-burai perca cahaya. Semakin lama dan lama. Hingga akhirnya ia tak datang lagi. Aku kehilangan cintaku.

Karena musim penghujan telah menelan hingga sepanjang tahun ini. Akulah orang paling gelisah itu. Karena setiap malam adalah surga bagi kebencianku. Hujan yang sematkan rintik di mataku. Dan salju yang semakin membeku dalam jiwaku.

Luka yang berkeping-keping. Hukuman yang tak terampunkan. Ke mana aku mencari reinkarnasinya yang lain. Tak mungkin dalam hujan. Sebab ia tak mungkin datang pada waktu yang bersamaan.

Dan entah sejak kapan matahari tak pernah muncul lagi dalam hidupku. Tulang belulangku mulai keropos. Aku tak henti memaki diri. Sesal. Kesal. Aku ingin meraung. Lidah ini mulai kehilangan banyak kata. Sepi suara. Ingatan ini mulai terkelupas, bahkan untuk mengingat wajah lelaki suamiku. Mata ini mulai berkabut. Hingga akhirnya kudapati matahariku dalam wujud yang lain. Api yang menyala merah kebiru-biruan. Membumbung tinggi menjerla ke langit. Terang. Hangat. Matahariku telah kembali. Maka kujejakkan kaki di atas baranya yang merah. Aku tidur memeluk matahari. Selamanya. (Ihan)

00:52

22-10-09


* cerpen ini sudah dimuat di Koran Harian Aceh, edisi Minggu, 08 November 2009

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)