Minggu, 31 Januari 2010

Inisial Terakhir*)

Inisial Terakhir*)
oleh; Ihan Sunrise

Hatiku diliputi kesenangan maha dahsyat. Untuk yang kedua kalinya. Pertama ketika aku mengenalmu sepuluh tahun silam. Saat umurku baru menjelang 20 tahun. Dan sekarang, ketika aku kembali menjumpaimu di tempat ini, di kotamu.

Tadinya kupikir itu bukan kamu. Skemata-ku hampir tak berfungsi sempurna. Itu gara-gara tubuhmu yang menyusut. Tidak gemuk seperti dulu. Dan rambutmu yang mulai terlihat memutih di beberapa bagian. Tapi kau masih gagah seperti dulu. Dari jauh aku memandangmu yang sedang khusyuk membaca sesuatu. Lalu kuputuskan untuk mendekat dan menyapa.

“Tidak menyangka kembali bertemu denganmu, di sini.”

Ah, harusnya aku tidak menyebutmu dengan “kamu”. Tapi menggantinya dengan “Bapak” atau “Om”. Tapi setahuku kau tidak pernah keberatan sekalipun aku memanggilmu dengan nama saja, Zal!

Kau menoleh. Dan aku menikmati keterkejutanmu. Mungkin kau tidak menduga Tuhan mempertemukan kita kembali di sini, di kotamu. Atau kau pura-pura terkejut untuk memancing emosiku.

“Inisial Terakhir-mu bagus. Aku suka.” Jawabmu pendek. Wajahmu masih tunjukkan ketidak mengertian dan kebingungan.

“Cerita itu adalah puncak prestasiku dalam dunia tulis menulis.” Jawabku seadanya. Tanpa perlu kukatakanpun sebenarnya kau telah tahu. Bahkan kau telah membaca cerita itu bertahun –tahun silam.

Kau tersenyum. Kaku. Mungkin kau merasa kikuk dengan apa yang kutuliskan. Mungkin juga kau merasa tersanjung. Aku mulai tak pintar menebak isi hatimu. Tidak seperti dulu, sekitar tiga atau empat tahun yang lalu.

“Oh ya, mengapa kau tidak memberitahuku bila kau menggelar pameran tulisan di kota ini?”

Aku terbahak. Beberapa pengunjung yang kebetulan berdekatan dengan kami sempat menoleh. Tapi aku tidak peduli. Toh aku adalah pemilik dari pameran tulisan tunggal ini. Selama lima belas hari Hotel ini adalah milikku, karena aku telah menyewanya. Jadi aku berhak melakukan apa saja. Apalagi cuma untuk terbahak.

Kedengarannya memang aneh. Pameran tulisan. Hal konyol yang tidak pernah dilakukan oleh siapapun di dunia ini. Lazimnya adalah pameran buku, pameran lukisan, pameran foto dan lain sebagainya. Tetapi aku, malah memamerkan semua cerita-ceritaku sepanjang sepuluh tahun terakhir ini. Ini adalah impian terbesar dalam hidupku.

Aku berjalan meninggalkanmu. Kau menyusuri langkahku.

“Tanpa kuberitahupun kau tetap datang, lalu untuk apa aku merepotkan diri memberitahumu.” Jawabku ketus. Mungkin kau tersinggung. Tapi aku tak peduli.

Aku berhenti. Lalu berbalik. Memandangimu persis seperti aku memandangimu sepuluh tahun silam. Saat aku baru bertemu denganmu. Ketika usiaku baru saja menjelang 20 tahun. Tepat di manik matamu. Hatiku benar-benar diliputi kesenangan maha dahsyat saat ini. Tapi aku tak ingin gegabah dengan kesenangan ini.

Beberapa teman di kota ini datang untuk memberikan selamat. Mereka sebagian besar adalah pekerja media dan para sastrawan. Teman-teman yang telah membimbingku selama ini. Ada juga rekan-rekan jaringan bisnisku. Otomatis perhatianku tersedot pada mereka. Dan entah mengapa tiba-tiba aku meninggalkanmu begitu saja untuk menemani mereka melihat cerpen-cerpenku. Aku bahkan tidak sempat mengatakan sesuatu padamu. Sebenarnya aku sengaja melakukan itu.

“Apa kau punya waktu nanti malam untuk minum kopi?”

Kau membuatku terkaget. Sejak kapan kau berdiri di sana? Apa diam-diam kau mengikutiku sejak tadi. Aku capek seharian ini. Dan sudah kurencanakan untuk beristirahat lebih awal malam ini. Tapi mendengar permintaanmu kebimbangan menghinggapiku. Antara tidur lebih awal dan memenuhi permintaanmu untuk minum kopi.

“Bukankah kau pernah bilang, jika mengenalku adalah anugerah, maka kau akan mengenangnya sepanjang hayat.” Kau kembali bicara.

Dan aku masih diam. Ingatanku melewati belantara waktu. Mengingat-ngingat kapan aku mengucapkan itu.

Aku ingat. Ketika itu kita sedang menghabiskan waktu di Coffe in the City. Setelah kita melewati faselita pertama hubungan kita. Di tempat itu kita pernah mentertawakan sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Menjelang senja. di tengah alunan musik klasik yang begitu syahdu.

Aku tersenyum. Datar. Itu sudah lama sekali. Kopi-kopi yang kuteguk setelah hari itu tak pernah kurasakan nikmatnya lagi. Seiring dengan komunikasi kita yang tak lagi intensif. Email yang mulai jarang. Pesan-pesan yang tak terbalaskan. Dan suaramu yang tak pernah hadir di akhir pekan untuk sekedar menanyakan “Apa kabar cinta?”

“Bagaimana kabar Kalandra?” aku tak ingin menjawab pertanyaanmu.

“Ia sudah duduk di Sekolah Menengah sekarang.”

“Pasti ia semakin cantik, seperti ibunya.”

“Kau belum menjawab pertanyaanku.”

Aku tersenyum geli. Ah, kau belum berubah rupanya. Sejak dulu kau memang selalu keberatan jika kutanyakan tentang anak dan istrimu. “Aku tak ingin menyakitimu.” Selalu begitu kilahmu. Tapi toh akhirnya aku sakit juga.

“Pertanyaan yang mana?”

“Apakah kau ada waktu nanti malam untuk menemaniku minum kopi?” ulangmu.

“Oh, bukankah di sini tidak ada Coffe in the City?” aku mengelak.

“Kita bisa minum kopi di mana saja kan? Tidak mesti di Coffe in the City bukan?”

“Tapi untuk mengulang sejarah bukankah harusnya dilakukan di tempat yang sama?”

“Kalau begitu mengapa kau menggelar pameran ini di kotaku? Mengapa bukan di kotamu saja?”

Ah! Aku benci pertanyaan itu.

Aku mengibaskan tangan. Pertanda aku tidak ingin meneruskan debat kusir ini. Dan kau sepertinya tau diri. Segera berubah air mukamu. Lalu dalam sekejap kurasakan dingin menyentuh tanganku. Aku terkesiap. Tanganmu telah menggamit lenganku.

“Maafkan aku, Fai.” Katamu

Aku tak menjawab. Tapi kubiarkan saja kau mengecup punggung tanganku. Hangat.

“Bagaimana nanti malam?” ulangmu sekali lagi.

“Aku fikirkan dulu. Sekarang aku lelah, aku mau istirahat dulu sekalian Sholat Ashar.”

Aku menarik tanganku. Lalu meninggalkanmu menuju kamar. Kaupun berlalu, ke luar dari hotel ini. Dari balkon aku melihatmu menaiki mobil. Seketika kenangan pagi itu membentang dalam memoriku. Sekitar empat atau tiga tahun yang lalu.

Aku telah berada di Coffe in the City. Warung kopi terbesar dan termahal di kotaku. Tempat minum kopi sekelas Starbucks. Di mana harga segelas kopi dan sepotong roti bisa mencapai puluhan ribu rupiah. Konon katanya orang-orang yang datang ke tempat ini adalah orang-orang ‘terpandang’ karena bisa menaikkan citra diri mereka.

Aku duduk di sudut ruangan. Menikmati suguhan musik klasik yang mempesona. Petang menjelang senja. Dengan segelas kopi espresso kesukaanku. Gelationya yang mengambang merupakan perpaduan kenikmatan dan kemewahan yang sukar kujelaskan. Sambil sesekali mataku menuju ke arah pintu masuk. Menunggu kau datang.

“Fai!” panggilmu dari jarak beberapa meter.

Aku bangkit. Akhirnya kau datang juga. Segera aku menyodorkan pipiku untuk kau cium. Tapi dering telepon genggamku mengacaukan acara kita. Suara yang terus berdering-dering meski aku telah mengangkatnya berkali-kali.

Oh Tuhan, aku bermimpi! Kususun ingatanku. Kelelahan yang terakumulasi. Kombinasi antara kurang tidur dan melayani tamu-tamu. Begitu ada waktu seolah tak ingin menyiakan kesempatan, aku langsung pulas begitu selesai sholat Ashar. Ranjang yang empuk seperti menyedot tulang belakangku bagai magnit. Bunyi dering itu ternyata berasal dari hand phone-ku.

“Halo”

“Fai?”

“Zal?” nada suaramu masih sama. Aku bahkan tak ingat lagi kapan terakhir menjawab telepon darimu.

“Kamu tidur?”

“Tidak” sergaku cepat.

Ah, aku menjadi gugup. Kamu tertawa.

“Suaramu tidak bisa berbohong, Fai.” Kau menggodaku. Aku semakin kikuk. Mukaku bersemu. Padahal kamu tidak melihatku.

“Aku mau minum kopi denganmu.” Kataku lagi sebelum sempat kamu mengatakan apa-apa. Entahlah, keinginanku untuk kembali bersamamu begitu kuat. Aku ingin menikmati saat-saat bersamamu seperti di Coffe in the City.

“Kalau begitu bukalah pintu kamarmu.”

***

Kita berjalan beriringan. Menyusuri jalan setelah memarkir mobilmu di area parkir sebuah hotel besar di kotamu. Jalanan begitu ramai dan padat, khas kota besar. Langitpun tampak begitu cerah dengan bintang yang begitu ramai. Bulan tak terlihat utuh, tapi cukup jelas untuk bisa dinikmati pendar peraknya.

Dalam keremangan malam aku mencoba mengamatimu. Sepuasku. Bahkan imajinasiku kuajak serta. Kau masih menarik, setidaknya belum banyak yang berubah darimu. Selain berat badanmu saja yang tampaknya menurun. Dan rambutmu yang mulai memutih.

Masih saling beriringan. Aku menjejaki langkahmu. Tanpa bertanya ke mana kau akan mengajakku. Aku percaya saja. Di tikungan jalan kita berbelok ke kanan. Memasuki lorong kecil beraspal lembab. Sisa hujan sore tadi masih membekas.

Kau menyentuh tanganku. Aku menoleh melihatmu. Dalam remang kita saling pandang. Ada senyum yang saling terlempar. Kau gamit lenganku hingga ke ujung lorong.

Tepat di depan sebuah rumah kita berdiri. Dengan tenang kau mengeluarkan sesuatu dari dalam sakumu. Lalu beberapa detik kemudia pintu terbuka.

“Silahkan masuk, Fai.” Katamu mempersilahkan.

Aku menurut. Sambil celingak-celinguk menatap sekeliling.

“Rumah siapa ini?” tanyaku akhirnya.

Kau tidak menjawab. Tetapi malah menarik tanganku meninggalkan ruang tamu dan menuju ke ruangan lain.

“Apa kau sudah menikah, Fai?”

Tanyamu begitu kita sampai di depan pintu sebuah kamar. Kedua tanganmu menyentuh pundakku. Aku diam. Bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba ini.

“Fai, jawablah. Ini penting untukku.” Kau mengguncang pundakku. Perlahan. Aku terkesiap. Tak pernah melihat wajahmu seserius ini.

“Inisial Terakhir hanya kubuat sekali dalam hidupku.” Jawabku pelan.

“Ya, aku sudah membacanya berulang-ulang. Tapi aku masih belum yakin dengan jawabanmu, Fai. Jawablah sekali lagi.”

Aku menggeleng. Dan kau tiba-tiba memelukku. Aku bingung.

“Akan kutunjukkan sesuatu untukmu, Fai.”

Kau membukakan pintu kamar. Lalu kita bersama-sama masuk ke dalam ruangan yang lebar dan bersih.

“Tunggu sebentar.” Katamu

Aku menurut. Menunggu seperti yang kau perintahkan. Sedangkan kau menuju dinding dan menarik semua tirai yang menyelubunginya. Terlihatlah semua pigura-pigura besar yang menempel di dinding. Aku mendekat. Betapa terkejutnya aku ketika mendapati seluruh judul tulisanku ada dalam setiap pigura tersebut. Tak ada yang terlewatkan satupun. Mulutku nganga dalam diam. Memandangmu dalam ketakjuban yang tak terperi. Nyatakah semua ini?

“Aku membuat galeri ini untuk mengenangmu, Fai. Sebab bagiku mengenalmu adalah anugerah, maka aku akan mengenangmu sepanjang hayat. Dan mencintaimu adalah karunia, maka aku tak ingin kehilangan cintaku walau sedetikpun.”

“Kau...”

“Aku mengumpulkan semua tulisan tentangmu, Fai. Dari tulisan-tulisanmu aku tahu bahwa sebenarnya kau masih seperti Fai yang dulu. Saat pertama kali kita bertemu, pada saat usiamu baru menjelang dua puluh. Dan usiaku hampir kepala empat. Ketika pertama kali kau bilang ‘Aku mencintaimu, Zal’ kau masih ingat kan, Fai?”

Aku tak punya kata untuk menjawab. Larut dalam kebermainan perasaan yang aneh. Gelombang maha dahsyat seperti sedang berputar dalam jiwaku.

“Kau tentu tidak lupa pada Al kan Fai? Al yang sering kau jadikan teman untuk membicarakan apa saja tentangku. Tentang hubungan kita. Tentang sikap tidak adilku terhadapmu. Tentang kerinduanmu yang seringkali tertahan hingga berbulan-bulan. Tentang kecemburuanmu pada Anya dan Kalandra. Dia yang memberitahuku bahwa kau akan membuat pameran tunggal tulisanmu di kota ini, Fai.

Dan kau tahu, Fai. Aku adalah orang paling sibuk menjelang pameranmu itu. Sibuk mempersiapkan semua koran yang pernah memuat ceritamu. Aku mengguntingnya, lalu membingkainya, semuanya kulakukan seorang diri, di sini, Fai. Di rumah ini. Yang kubelikan khusus untuk menyimpan kenangan bersamamu.”

Kau bahkan tak memberiku kesempatan untuk berbicara. Jikapun kau memberiku kesempatan aku tidak tahu harus berkata apa. Senangkah. Miriskah. Atau apa? Aku tidak tahu. Lidahku kelu. Hatiku gugu. Jiwaku gagap.

“Bagaimana kabarnya Kalandra? Pasti ia tumbuh besar dan cantik seperti ibunya.” Ucapku nyaris tak terdengar.

Hatiku dihinggapi sakit yang maha dahsyat. Untuk kedua kalinya. Pertama setelah kita menikmati kopi di Coffe in the City empat atau tiga tahun yang lalu. Dan sekarang, setelah aku melihat Inisial Terakhirku di sini. (*)

02:31 am

17 November 2009


tulisan ini sudah pernah dipublish di http://ababil.org/index.php/2010/01/inisial-terakhir/

Sabtu, 30 Januari 2010

Matahari yang terbit di Sabang

Matahari yang terbit di Sabang


Oleh : Ihan Sunrise


“Sebentar lagi aku datang. Sekarang masih di Salon. Creambath.” Balasnya melalui layanan short massage service ketika aku memberi tahu bahwa aku telah berada di sebuah kafe tempat kami janji bertemu siang ini.

“Ok.” Balasku singkat.

“Sebentar lagi ia datang.” Kataku pada Nita. Seseorang yang hampir sepuluh tahun lamanya bersamaku. Si phlegmatis yang damai tanpa ekspresi. Si pendengar setia dan jarang menyukai perdebatan. Mungkin itu pula yang membuat kami menjadi nyaman satu sama lainnya dan bertahan selama ini. Namun kadang-kadang membuatku ingin menggigit kepalaku sendiri saking damainya dia.

“Siapa?” tanyanya.

“Seseorang yang pernah kuceritakan kepadamu.” Kataku antusias.

“Oh, yang dari Sabang?”

“Iya.”

“Sekarang masih di mana?”

“Di salon Lincha. Di dekat Mie Razali. Di mana itu? Di Seutui ya?” Tanyaku pada Nita yang sedang menekan-nekan tombol keyboard laptopnya.

“Bukan. Di Peunayong.” Jawab Nita sambil tertawa.

“Oh...” Aku nyengir. Malu hati juga rasanya sudah sekian lama di Banda Aceh tapi belum tahu di mana warung Mie Razali. Tapi itu tidak terlalu penting bagiku.

Yang terpenting sekarang adalah berdoa supaya seseorang yang sudah kutunggu sejak tiga puluh menit lalu segera datang. Ini pertemuan pertamaku dengannya yang membuat gugup. Meski bukan kali pertamanya aku melakukan kopi darat dengan orang-orang yang baru kukenal. Tetapi entah mengapa, ia begitu lain. Lebih istimewa dan begitu diharapkan untuk bertemu.

“Ia sudah datang.” Kataku pada Nita begitu namanya muncul di layar handphone-ku. “Sebentar ya.”

Aku bangkit dan segera menuju ke pintu masuk. Tak sulit untuk mengenalinya. Blus warna kuning dan kerudung berwarna senada seperti yang pernah kulihat di salah satu fotonya sudah cukup menguatkan kalau itu adalah dia. Bila aku tak salah ingat ketika itu ia mengenakan jeans berwarna hitam dan sepatu berwarna serupa pula. Dengan tas yang menggamit di salah satu lengannya.

Entah siapa yang memulai. Kami bersalaman dan saling mencium kedua belah pipi. Wajahnya yang putih menempel dengan wajahku yang kecoklatan. Wajah khas Aceh yang mengental. Terasa hangat dan dekat. Tetapi tidak sampai membuatku bergetar. Ritual yang tak pernah lagi kulakukan sejak beberapa tahun terakhir. Mencium pipi perempuan!

Ia menyenangkan. Bersahabat dan baik hati. Dan aku tergoda untuk terus menanyainya. Ceritanya memacu adrenalinku. Senyumnya mencairkan hatiku. Guyonannya menyamankan suasana. Bersamanya aku lupa pada apa yang tengah memasung ingatanku sejak kemarin sore. Kemurungan yang sejak pagi tadi menggelantung dalam benak seketika hilang menguap ketika bertemu dengannya. Aku menyukainya. Aku ingin dekat dengannya.

“Beginilah aku. Sangat apa adanya. Aku bukan perempuan feminim. Aku tak terlalu pandai berlemah-lembut. Bisa dibilang...aku adalah perempuan perkasa hehehe...” Ucapnya dengan tawa yang nyaring.

Kami bertiga tertawa. Aku, nita dan dia.

“Dan laki-laki menyukai perempuan berkarakter seperti itu. Perempuan mandiri yang tak banyak menggantungkan hidupnya pada laki-laki. Perempuan seperti itu bisa hidup dan bertahan dalam kondisi apapun.” Jawabku seadanya.

Entah benar entah tidak dengan teori itu. Entah pula karena aku menyukainya hingga terkesan membenarkan pernyataannya. Tetapi memang begitulah adanya. Perempuan mandiri adalah teka-teki yang tak mudah diselesaikan. Seperti permainan catur yang menguras tenaga. Penuh tak-tik dan nuansa politis. Pun begitu aku sama sekali tidak menyukai kedua permainan tersebut. Tetapi aku menyukai dia.

“Sabang adalah segalanya bagiku...” Ucapnya serius ketika menceritakan tanah kelahirannya. Wajahnya yang putih tampak kemerahan. Indah sekali. Diam-diam aku begitu menikmati perubahan mimik wajahnya. Kedua matanya menyipit ketika ia tertawa. “Dan aku akan melakukan apa saja untuk tanah kelahiranku. Walaupun harus mengorbankan sedikit waktu, tenaga dan uang. Semua demi Sabang tercinta.” Katanya bangga.

Kebanggaan yang tidak bisa diartikan begitu saja. Di sana ada pengharapan. Ada keinginan untuk berbuat sesuatu yang berarti. Matanya berbinar penuh pesona. Tanda bahwa ia mengatakannya dengan sepenuh hati. Dengan sebenar-benarnya tanpa bermaksud melebih-lebihkan.

Sabang. Pulau kecil yang selalu menarik untuk diperbincangkan. Pulau mistis yang selalu mengusik adrenalinku untuk segera mendatanginya. Pulau yang namanya selalu disebut-disebut di salah satu lagu kebangsaan Indonesia. Yang dulu sering kunyanyikan bahkan ketika aku belum tahu bahwa pulau itu ada di sini. Di Aceh. Kebanggaannya merayap dalam alam pikirku. Eksotisme yang kini mulai tergambarkan lebih detil.

Dan...pulau yang diam-diam telah mengajarkan arti tentang sebuah cinta yang sebenar-benarnya kepadaku. Tapi aku sedang tak ingin bercerita tentang itu sekarang.

“Adalah lelaki paling beruntung yang telah mendapatkanmu.” Kataku dengan kecemburuan penuh. Ketika aku tahu ia telah mempunyai dua malaikat dari lelaki kekasihnya. Oktri dan Molan.

Ah...jika saja aku bisa seberuntung lelaki kekasihnya itu. Yang akan menghabiskan seluruh waktu hidupnya dengan perempuan seperti dia. Hari-hari selanjutnya adalah hari penuh semangat dan harapan. Hari-hari tempat di mana cinta dan sayang tumbuh sebagaimana layaknya. Tempat rindu dan kangen dibesarkan dengan kasih. Tempat keriuhan tercipta dari riangnya yang tak pernah putus. Tanpa perlu ditahan dan ditutup-tutupi.

Atau...jika saja aku bisa menjadi Oktri dan Molan yang selalu mendapat pelukannya yang hangat. Seseorang yang akan menyeka ketika air mata jatuh bukan pada waktu dan tempat yang tepat. Seseorang yang selalu mengatakan selamat tidur dan mimpi indah ketika menjelang tidur.

Tapi...aku bukanlah Oktri atau Molan. Juga bukanlah lelaki kekasihnya itu. Aku hanya seseorang yang kebetulan mengenalnya secara tidak sengaja. Seseorang yang kebetulan menyapanya dan kebetulan ia menjawab sapaan tersebut. Dan yang secara kebetulan juga bisa bertemu dengannya di tempat ini. Tapi bila kemudian aku menyukai dan menyenanginya itu bukanlah suatu kebetulan. Ini adalah perasaan sungguhan. Rasa yang muncul tanpa ada komando dari apa dan siapapun.

“Ceritakan padaku tentang arti laut bagimu.” Pintaku harap-harap cemas.

Aku khawatir pertanyaan yang tak berkualitas ini akan membuatnya terusik. Tapi bilapun ia enggan menjawab aku tidak akan memaksa. Dan entah mengapa, setiap kali aku menyapanya malam sudah tak lagi muda. Kurasakan ia mulai menata bantal untuk tidurnya. Dan ia sedang bersiap-siap untuk mencuci kakinya, membasuh wajahnya lalu bersiap-siap untuk bermimpi. Tentang sabang. Tentang lelaki kekasihnya. Atau tentang ke dua malaikatnya. Mungkinkah tentangku? Aku malu untuk menanyakan itu padanya.

“Laut bagiku adalah taman kedua setelah taman rumahku. Laut memberikanku kenyamanan, aku bisa bersantai di sana. Dan aku bisa menemukan kebahagiaan di sana.” Ia menjawab tanyaku.

Cemasku hilang. Aku tersenyum. Catatan tentangnya bisa menjadi lebih lengkap.

Laut. Ia begitu mencintai laut. Ia merasa hidupnya ada di setiap debur ombak dan di setiap gelombang riak. Ia membangun impiannya di atas pasir-pasir yang berkilau. Ia mengukir hidupnya di atas karang-karang kokoh yang indah.

Sedangkan aku...aku begitu takut dengan laut. Ombaknya seolah-olah akan menelanku setiap kali aku menceburkan diri ke dalamnya. Gelombangnya membuatku sesak dan hampir tak bisa bernapas. Bahkan aku tak bisa berenang. Lalu bagaimana aku bisa menyukai laut? Dan bagaimana laut bisa menyukaiku?

Aku geli membayangkan semua itu. Dalam hal ini kami memang berbeda. Tapi, sejak mengenalnya aku mulai berpikir tentang laut. Mulai muncul rasa untuk ingin segera merasai airnya yang asin. Bahkan aku telah mampu menuliskan sesuatu dengan tema lautan.

“Lalu bagaimana kau bisa bermain selancar angin?” Tanyaku takjub.

“Hanya untuk membuktikan pada seseorang bahwa aku bisa.” Jawabnya diikuti tawa yang renyah.

“Motivasi lainnya?” Tanyaku lagi tak puas dengan jawaban itu.

“Untuk memajukan wisata Sabang, agar banyak event yang bisa digelar di sabang ini, sehingga akan banyak orang-orang yang datang mengunjungi sabang dengan begitu akan terjadi perputaran ekonomi masyarakat. Tak ada salahnya kan dengan memulai dari diri sendiri?”

“Bagaimana ketika kau mengawali semuanya?”

“Ada rasa takut yang menyelinap, takut jatuh, tapi akhirnya jatuh juga heheheh.”

Aku tertawa.

Aku setuju dengan pendapatnya. Tak ada hal besar yang berhasil dicapai tanpa melakukan hal-hal kecil. Begitu juga aku terhadapnya. Bila tak ada yang kecil-kecil yang menarik darinya tentu aku tidak akan bisa melihat yang besar dari dalam dirinya.

Ia begitu unik. Terlalu perkasa untuk seorang perempuan yang bisa mengendari motor besar Harley Davidson. Terlalu berani untuk seorang perempuan yang bisa bermain selancar angin. Yang tinggi layarnya melebihi dirinya sendiri. Dan yang pasti juga berat dan harus mempunyai insting yang kuat. Agar bisa menyelaraskan dengan gerak angin dan ombak.

Tapi ia juga cukup sempurna bagi seorang perempuan yang bisa memadukan gerak tangan dan kakinya dalam gerak tarian apapun. Ia bisa bernyanyi. Ia pandai memasak. Ia bisa menggunakan jejaring sosial. Ia begitu lengkap.

“Apalagi hobbymu selain itu?” Aku seperti tak pernah puas ingin mengetahui tentangnya.

“Nangos.”

“Nangos?”

“Iya.”

“Apa itu nangos?”

“Nangis sampai keluar ingus...”

“Hahahaha...”

Aku tergelak. Ia sungguh pandai bercanda. Aku menyukai hobbynya yang terakhir ini. Membuktikan bahwa ia masih memiliki jiwa perempuan yang perasa dan lembut. Kelembutan yang dibalut dengan keperkasaan yang menawan. Yang aku yakin tak ada lelaki yang mampu memiliki perumpamaan keduanya. Membayangkannya saja sudah membuatku tersenyum. Keperkasaan yang dibungkus oleh kelemah lembutan.

“Aku akan banyak belajar darimu tentang apa saja.” Kataku serius.

“Aku bukan guru.”

“Kau sudah memenuhi kriteria sebagai seorang guru. Bagiku, seorang guru adalah seseorang yang bisa mengajarkan kepada orang lain tentang sesuatu dalam hidup ini tanpa ia pernah mengatakannya. Sikapnya, tindakannya, kata-katanya adalah sesuatu yang pantas untuk dipelajari.”

“Terserahmu sajalah...” jawabmu akhirnya.

Kau! Betapa senangnya bisa menghabiskan banyak waktu denganmu. Betapa hangatnya. Betapa berartinya. Terlepas dari semua alasan dan keinginan. Terlepas dari semua harapan yang ditaruh setelah pertemuan itu. Aku merasa Tuhan telah mengirimmu untukku. Aku merasa ini adalah permudahan dari apa yang aku pinta kepada Tuhan selama ini.

Kau! Adalah seseorang yang ingin kucium pipimu untuk kedua kalinya. Lalu ketiga kalinya. Empat dan seterusnya. Adalah seseorang yang ingin kugandeng tangannya untuk menyusuri pinggir pantai yang maha dahsyat itu. Adalah seseorang yang ingin kupeluk untuk berlama-lama. Karena aku merasa, membenamkan wajah di dadamu pasti akan meluruhkan semua gundah dan gejolak.

“Kau...siapa namamu?”

“Zulfi Purnawati.”

“Ya, Zulfi Purnawati.”(*)

Note:

Kepada Kak Zulfi, mohon maaf bila ada yang tidak berkenan dengan isi cerita ini Kak. Sengaja dibuat agak nyastra dengan gaya bercerita aku dan kamu supaya lebih menggigit hehehe. Tidak ada maksud untuk meng-kamu-kan kakak lho. Luv u sist. ;-) peace!

01:52 am

30 Jan. 10

Kamis, 28 Januari 2010

Pasang dan Surut



ombak @detik.com

Dan yang paling kuingat malam itu adalah ketika kau memintaku untuk menunggumu di kota ini. Saat itu aku tengah menikmati gurihnya jagung bakar yang dijajakan di setiap pinggir jalan menuju pelabuhan di sudut kota ini. Bersama seorang teman. Dengan angin yang menampar-nampar pipi dan mempermainkan anak rambut. Dan entah mengapa, pembicaraan selanjutnya adalah tentangmu menjadi begitu menyenangkan dan riang. 

Tapi aku tahu diriku sedang tidak di situ. Terbang bermil-mil jauhnya membelah jarak. Aku berada dalam palung jiwamu yang paling dalam. Bahkan detak jantungmu ketika itu dapat kurasakan begitu kencangnya. Ketika kau mengatakan “tunggu hingga aku datang”.

Minggu, 24 Januari 2010

Puisi Bulan November

Puisi Bulan November
Ijinkan

Ijinkan aku menyudahi dengan caraku

Cara paling sederhana yang tidak melukakan hati

Cara paling manjur tanpa menumpahkan air mata

Ijinkan aku menyudahi dengan caraku

Cara paling murah yang tidak lahirkan kebencian

Apalagi dendam kesumat dan sumpah serapah karena sakit hati

Caraku cara jitu

Menyudahi dengan terus mencintai

Yang aku yakin,

Kaupun tidak bisa melakukannya


Maaf


Sepertinya bulan akan sabit dalam waktu yang lama

Selama itu pula sebagian bintang akan kehilangan cahaya

Dan kita, mungkin akan bersembunyi di separuhnya yang lain

Sambil terus mencari-cari

Di mana saklar yang akan mengembalikan cahaya-cahaya itu

Lalu entah siapa berteriak di sana

Saklar itu di hati kalian!

Dan kita tetap mencari-cari


23:53 pm

01-11-09

Kamis, 14 Januari 2010

Anda dan Buku

Anda dan Buku


Bagi saya buku bukanlah sesuatu yang menakutkan. Sebagai seseorang yang menyukai dunia tulis menulis membaca buku merupakan sebuah keharusan. Atau paling tidak jangan menaruh kebencian berlebih terhadap jendela dunia tersebut. Pusat informasi termurah yang paling efektif. Mudah di dapat dan efisien.

Segala hal yang sulit terjangkau secara kasat mata akan dengan mudah kita dapatkan dari sebuah buku. Lalu hasil dari apa yang kita baca tersebut akan masuk ke otak kita dan memacu otak untuk berfikir. Nah, proses berkepanjangan itulah yang nantinya baik secara sadar maupun tidak akan mempengaruhi sikap dan prilaku seseorang.

Karena apa yang kita lihat, kita dengar dan kita ikuti secara perlahan-lahan akan masuk ke alam bawah sadar kita. Itulah yang menyebabkan pola hidup dan kebiasaan seseorang menjadi berbeda satu sama lainnya. Dan uniknya, hanya pola kebiasaan inilah yang akan mempengaruhi kehidupan seseorang secara signifikan.

Maka menarik sekali ketika ada seorang mitra bisnis saya beberapa waktu yang lalu mengatakan bahwa, buku yang kita baca, kaset-kaset yang kita dengar dan orang-orang yang kita temui sangat mempengaruhi kehidupan kita lima tahun yang akan datang.

Lima tahun bukanlah waktu yang terlalu panjang, namun juga bukan waktu yang singkat untuk membangun sebuah perubahan baik secara pribadi maupun berkelompok. Tak heran bila dalam periode tertentu dalam fase kepemimpinan seseorang selalu menggunakan limit ini.

saya pribadi merupakan ‘korban’ kebiasaan tersebut. Di bangku sekolah menengah umum saya mengambil jurusan ilmu pengetahuan social. Ketika kuliah saya memilih program pendidikan Akuntansi. Namun apa yang terjadi sekarang adalah kebalikan dari semua itu. Sehari-hari saya malah lebih tertarik pada bidang sastra, meskipun saya tidak begitu ahli seperti kebanyakan teman-teman saya yang lain. Namun kenikmatan dan kepuasan pribadi selalu saya dapatkan ketika selesai menulis sebuah cerita. Berbeda sekali ketika saya menyelesaikan tugas-tugas Akuntansi di bangku kuliah dulu. Saya pusing tujuh keliling.

Belakangan saya mengerti mengapa begitu menyukai sastra dan kurang menyukai ilmu akuntansi. Karena dalam keseharian saya lebih cenderung membaca buku-buku sastra dan sejenisnya.

Bila dua tahun terakhir ini saya akhirnya melibatkan diri secara serius di dalam dunia bisnis. Bukanlah karena informasi yang saya dapatkan dari kampus dulu. Tetapi karena informasi-informasi yang saya dapatkan dari buku-buku, dari kaset-kaset yang saya dengar dan dari orang-orang yang saya temui selama tiga tahun terakhir ini.

Apakah hasilnya luar biasa? Sangat luar biasa! Baik secara materi maupun non materi. Buku-buku itu begitu sederhana, tetapi efek yang didapatkan sangat dahsyat. Bahkan melampaui batas apa yang kita fikirkan.

Bagi anda yang tidak menyukai buku dan sukar menumbuhkan minat baca mungkin ini akan sangat menyebalkan. Memulai hari-hari dengan menambah kebiasaan baru untuk membaca selembar atau dua lembar tulisan. Tapi percayalah lama kelamaan akan muncul kenikmatan baru.

Selain terus membiasakan diri untuk membaca tentu saja kita membutuhkan komunitas yang peduli dengan itu. Yang akan membantu untuk mengingatkan secara terus menerus bahwa buku itu penting, menerapkan informasinya adalah satu keharusan. Dan memahami maknanya dengan baik dan benar. Komunitas akan sangat membantu bagi kita.

Namun tidak semua buku bisa memberikan dampak positif bagi pembacanya. Buku itu seperti kompas. Menyediakan berbagai arah mata angin. Persepsi anda tentang apa yang anda bacalah yang akan menentukan apakah anda akan mengarah ke timur, barat, atau selatan. Negative atau positif. Keputusan untuk memilih ada di tangan anda. Namun tidak semua pilihan itu memberikan pilihan yang baik bagi masa depan anda. Bila anda menginginkan sesuatu yang baik di masa lima tahun yang akan datang. Bacalah buku-buku sederhana yang berkualitas seperti Berfikir dan berjiwa besar.

Adalah lucu bila ada orang-orang yang berkeinginan untuk membuat perubahan besar dalam kehidupan mereka tetapi enggan membaca buku, malas mendengarkan kaset-kaset motivasi dan membenci bertemu orang-orang yang berhasil di bidangnya. Wallahu ‘Alam. (Ihan)

Senin, 11 Januari 2010

Di Kotamu*

Di Kotamu*
Di kotamu

Menjejakkan kaki di kotamu, Cinta

Adalah proses menggali dan mengubur sejarah

Pentasbihan diri atas harapan dan keinginan

Menjejakkan kaki di tanahmu, Cinta

Adalah mengikrarkan kembali kesaksian

Untuk terus menyetiai waktu dan keabadian

Menjejakkan hasrat di tubuhmu, Cinta

Adalah pergumulah rasa

Pertengkaran imajinasi

Perseteruan kerinduan

Menjejakkan hidup di Nafasmu, Cinta

Adalah untuk selamanya mencintai

Medan, 12-12-09



Sapa


Aku selalu menyapa

Meski setelah itu diam adalah pilihan

Bagi aku dan kamu; bagi kita

Dan itu kulakukan saban hari

Kapan saja aku melihatmu ada di ruang ini

Ketika aku menyadari

Ritual ini telah bertahun-tahun lalu terjadi

Tetapi kau masih juga tanya

Mengapa tak ada sapa untukmu?

Harusnya aku yang bertanya

Mengapa tak ada jawab setelah ada sapa?


23:53 pm 01-11-09


* Puisi ini telah dimuat di Koran Harian Aceh, edisi Minggu 10 Januari 2010

Kamis, 07 Januari 2010

Bahasa Kasih



Ilustrasi
Saya sering mendengar kisah tentang perkawinan yang mengerikan, rumah tangga yang hampir rubuh, kehangatan dan kasih sayang yang menguap seperti embun begitu sinar mentari datang. Istri atau suami yang mulai mengabaikan hak dan kewajibannya. Anak yang tumbuh dan berkembang di luar kewajaran yang diharapkan oleh orang tua maupun lingkungannya.
Kisah-kisah itu menjadi demikin menyeramkan tatkala segudang permasalahan itu ditambah dengan kekerasan fisik yang mulai timbul seiring dengan berkembangnya masalah yang terjadi. Memang kadang begitu sepele tetapi kadangkala kesepelean itu membawa pada kerumitan yang begitu kompleks.
Saya merasa ngeri dengan kondisi itu, kadang sampai terfikirkan untuk tidak ingin melewati fase tersebut dalam kehidupan saya. Namun, akal sehat saya mengingatkan bahwa ada hal-hal yang tidak dapat dipenuhi tanpa melalui fase tersebut seperti proses regenerasi umat manusia. Artinya, menikah dan membangun rumah tangga merupakan sesuatu yang memang harus terjadi dalam kehidupan seseorang.
Beberapa bulan terakhir ini saya gencar sekali membaca buku-buku seri pengembangan diri. Selain dapat membantu membentuk karakter diri juga sangat membantu dalam pembentukan pola pikir dan sikap yang positif. Saya bersyukur sekali, diusia yang masih muda telah diperkenalkan pada kegiatan-kegiatan konstruktif yang mengarah pada keseimbangan hidup yang ideal. Saya mendapat lingkungan yang positif, dalam setiap pertemuan-pertemuan yang saya ikuti banyak hal yang dibicarakan adalah mengenai pertumbuhan pribadi dan bagaimana menjadi seseorang yang berguna bagi orang lain.
Dalam setiap wacana yang berkembang kami selalu diarahkan pada pemecahan masalah. Bagaimana dengan potensi yang telah kita miliki mampu menjadi sumber solusi bagi setiap masalah yang dihadapi. Pendeknya, fokuslah pada solusi bukan pada masalah.
Itulah yang saya pelajari. Juga terhadap hubungan saya dan Zal. Akhir-akhir ini saya mempraktekkan informasi yang saya peroleh tersebut pada hubungan kami berdua. Dan hasilnya menurut saya sangat luar biasa. Dan setiap orang yang berpasangan tampaknya memang harus mengetahui informasi tersebut bila menghendaki hubungan mereka langgeng selamanya.
Saya dan Zal berkenalan lima tahun yang lalu secara tidak sengaja melalui seorang teman. Usianya terpaut jauh dengan saya. Di mata saya ia adalah seorang yang sangat dewasa dan bijaksana. Kami sering berinteraksi bersama dan suka membicarakan hal-hal yang terkait dengan keinginan masing-masing. Di begitu antusias dan semangat ketika mendengar cerita-cerita saya. Begitu juga ketika dia menceritakan pengalaman-pengalaman hidupnya, saya begitu terinspirasi. Saya memanggilanya Lelaki Penuh Inspirasi! Dan ia merasa tersanjung dengan panggilan itu.
Perjalanan kami berdua panjang dan berliku, rumit dan serba tidak terprediksi. Namun kami tidak ingin hubungan tersebut berjalan seperti air lalu. kami membuat perencanaan-perencanaan mengenai apa yang kami inginkan. Kami inginkan hubungan yang antusias dan punya ritme. Tetapi bila itu tidak terwujud maka kami tidak menyesalinya. Kami memakluminya. Karena keterbatasan jarak dan waktu yang kami punyai. Kami berusaha mengerti satu sama lainnya. Berusaha saling memahami. Berusaha untuk saling menghormati dan menghargai. Karena menurut pemikiran sederhana kami itulah salah satu cara untuk memperpanjang usia hubungan.
Namun tak semuanya mulus dan menyenangkan. Saya pribadi kadangkala merasa tertekan dengan keadaan kami. Begitu juga dengan Zal. Kami jarang bertemu. Komunikasi aktif kami hanya melalui internet dan telepon. Dan saya sangat menghargai upaya Zal memperhatikan semua itu. dengan keterbatasan waktu yang kami punyai kami hanya sempat mengobrol sebentar. Saling berbagi informasi mengenai aktivitas masing. Dan saling mengutarakan perasaan masing-masing. Zal bukan orang yang pandai berkata-kata tetapi ia sangat tahu bagaimana membuat hati saya berbunga-bunga, melambung tinggi. Ia pintar membuat saya selalu mencintainya. Dan saya, sejauh ini tak pernah merasa kosong mencintainya sekalipun kami jarang bertemu. Dan yang terpenting adalah tak ada keinginan untuk menduakannya di belakang dia. Saya rasa ini bukanlah upaya untuk menyandang predikat setia seorang perempuan kepada lelaki yang dicintainya. Tetapi karena stok cinta yang selalu penuh membuat saya tak sempat memikirkan lelaki lainnya.
Dalam kehidupan nyata tentu saja tidak seindah itu. tetap ada perselisihan dan silang pendapat antara saya dan Zal. Ia seorang yang koleris dan melankoli, begitu juga dengan saya. Kerap kali kami berusaha menang dengan pendapat masing-masing. Berusaha mempertahankan alasan-alasan masing-masing untuk saling menyalahkan satu sama lainnya. Dan itu kerap membuat saya tersiksa. Seolah-olah kami begitu jauh. Saya sering merasa Zal tak memperdulikan saya dan saya ingin membalasnya. Namun, karena kami saling mengetahui kelemahan masing-masing akhirnya itu bisa menjadi senjata untuk saling menundukkan.
Lambat laun saya memahami bahwa kelemahan tersebut adalah bahasa cinta kami. Ketika emosi kami memuncak bahasa cinta itu hadir seperti air yang memadamkan api yang sedang membara. Saya menanyakan kepadanya hal-hal apa saja yang ia sukai dan ingin saya lakukan untuknya. dan saya menanyakan hal yang sama agar ia melakukannya untuk saya. Yang sangat luar biasanya kami berdua mempunyai bahasa kasih yang sama. Yaitu kata-kata pendukung dan sentuhan-sentuhan fisik. Itulah mengapa selama ini kami sering merasa cocok dan kompak dalam situasi apapun.
Saya sering menyempatkan diri untuk memberikan kata-kata pendukung kepada Zal seperti mengirimkannya email atau memujinya ketika ia menelepon saya. Saya selalu antusias dan menunjukkan rasa senang luar biasa ketika ia menelepon saya. Saya sering memujinya dengan kata-kata sederhana namun dampaknya sangat luar biasa bagi kami berdua. Seperti misalnya “Aku mencintaimu hari ini” atau “Suaramu sangat merdu malam ini, aku ingin mendengarnya lebih lama dari waktu-waktu biasanya.” Padahal itu merupakan salah satu trik agar kami bisa mengobrol lebih lama. Dan itu terbukti. Kami sangat menikmati saat-saat seperti itu. tadinya saya kerap berfikir mengapa Zal sering mempertanyakan mengapa jarang ada surat-surat dari saya beberapa waktu terakhir. Tetapi setelah saya mengetahui bahwa itulah bahasa kasihnya sayapun sering menghadiahinya dengan ucapan-ucapan yang membuatnya senang dan merasa dibutuhkan.
Kami sudah melakukan itu sejak lima tahun yang lalu. hubungan kami sangat luar biasa dan hangat. Saya merasa takjub dengan apa yang terjadi. Kadangkala muncul rasa tidak percaya dengan apa yang telah kami jalani. Tetapi Zal sering memberikan saya sesuatu yang tiba-tiba dan tidak terduga. Dan saya sangat menyukai itu. rasanya seperti seorang petualang yang berhasil menaklukkan rintangan terakhir dalam perjalanannya. Kami menemukan muara yang tepat untuk menuangkan rasa yang kami miliki. Saya menikmatinya.
Informasi dari beberapa buku yang saya baca sangat membantu. Secara teratur saya berusaha bersikap lebih manis di depan Zal. Dengan harapan saya akan mendapatkan perlakukan serupa darinya. Saya berusaha mengurangi tuntutan dan menggantinya dengan permohonan. Yang belakangan ini saya yakini lebih efektif. Saya tak pernah lagi menyuruhnya menelepon saya tetapi saya meminta ia menelepon saya dengan menanyakan kebersediaannya. “Bila kamu mempunyai cukup waktu dan tidak lelah setelah pulang bekerja.” Kira-kira begitu perbaikan yang saya lakukan akhir-akhir ini. “Jangan begitu, aku akan sempatkan meneleponmu malam nanti. Kalau kamu tidak keberatan tidurmu terganggu.” Dan begitulah jawabannya. Sebuah jawaban yang memang saya ingin dengar dari dia. “Menunggumu adalah saat-saat menikmati cinta kita” kata saya lagi sedikit berpuitis. Dan saya tahu ia akan melambung dengan jawaban itu. ia merasa dibutuhkan. Ia merasa berarti. Ia merasa dicintai. Dan ia akan menelepon lebih cepat dari waktu yang telah ditentukan.
Saya juga tak pernah bosan bertanya, apa yang dia inginkan dari saya, jika kami berbicara dan jika kami bertemu. Tetapi karena saya tahu bahasa kasihnya, saya berusaha mewujudkannya sebisa saya. Dan sebaliknya, saya selalu memberitahukan pula apa yang saya harapkan darinya. Dan dia berusaha memberikan yang terbaik bagi saya. Begitulah bila kami bertemu, bahasa cinta primer kami menjadi yang utama. Kami merasa hidup. Jauh dari kekakuan dan penuh kehangatan. Kami saling mencintai dengan cara-cara yang kami sukai dan harapkan.
Banyak hal-hal tidak terduga yang akan kita dapatkan asalkan kita mau sedikit melakukan introspeksi diri. Melakukan permohonan-permohonan baru akan lebih efektif untuk menarik perhatian pasangan dari pada menghadiahinya dengan banyak tuntutan dan ancaman.
Setelah saya mengerti bahwa mengetahui bahasa kasih primer begitu penting dalam membangun keharmonisan suatu hubungan saya menjadi begitu bersemangat. Ketakutan dan keraguan saya tentang polemik rumah tangga terasa begitu berlebihan dan di luar kuasa saya untuk menentukan. Akhirnya saya tahu mengapa saya dan Zal bisa bertahan di tengah gelombang situasi hubungan kami. (*)
06-01-10