Sabtu, 13 Februari 2010

Cincin Kawin*



cincin kawin @geraicincin.com
Juga pada kali itu, semestinya waktu bukanlah miliknya sendiri. Tetapi milik berdua. Ia dan istrinya. Lima tahun lebih mereka bersama, diijab kabulkan untuk menghabiskan waktu bersama-sama. Menikmati kesenangan dan suka cita bersama. Begitu pula halnya dengan kesedihan dan kesakitan. Tetapi mengapa harus ada yang terlewati? Untuk dinikmati sendiri-sendiri. Tanpa ia dan istrinya.

Di tempat ini, pertanyaan “mengapa” kerap hadir bukan sebagai basa-basi. Tetapi adalah bentuk lain pertanyaan atas ketidak mengertian sikap dan keraguan. Maka, jawaban itu hanya ia temukan di tempat ini. Atas nama kesembuhan. Maka ia menikmati waktu sendiri. Tanpa istrinya.

Senin, 08 Februari 2010

Cinta yang membawa Petaka

Cinta yang membawa Petaka
Adalah Rahma (nama samaran) perempuan berusia lebih kurang 30 tahun, yang sudah hampir dua tahun ini melakoni skenario hidupnya sebagai seorang istri dan juga seorang ibu bagi bayinya yang belum genap setahun, Najwa (nama samaran). Rahma hanyalah pelakon dalam drama kehidupan ini atas semua skenario yang telah dipilihkan Allah untuknya.

Ia tak dapat menggugat apalagi memberontak atas peran-perannya. Maka air mata, ketakutan, kesedihan, perasaan terkhianati, rasa sakit hati, kecewa, marah dan benci adalah miliknya.

Seyogyanya, Rahma adalah perempuan yang paling berbahagia saat ini. Wajahnya tidak buruk, kedua matanya berbinar penuh ceria dan memancarkan keramah-tamahan, kulitnya putih, senyumnya tak pernah sepi dari bibir mungilnya. Hanya badannya saja yang terlihat lebih gemuk karena postur badannya yang pendek. Secara fisik ia tak mempunyai kekurangan apapun.

Rahma juga dikaruniai seorang anak yang lucu dan menggemaskan hasil pernikahannya dengan Anwar (nama samaran). Anwar merupakan seorang kontraktor besar yang berasal dari Aceh Jaya, tepatnya dari Lamno. Selain itu ia juga disebut-sebut sebagai anggota KPA wilayah tersebut.

Secara materi Rahma juga tidak kekurangan apapun. Meski sampai sekarang ia masih tinggal di rumah kontrakan, namun semua perabotan rumah tangganya lengkap. Sandang dan pangannya terpenuhi. Anwar memberinya uang belanja yang cukup kapan saja ia memerlukannya.

Namun, apa yang terlihat di luar bukanlah seperti apa sesungguhnya yang dialami oleh Rahma. Kebahagian dan keceriaan yang ia bangun hanyalah kamuflase untuk menutupi cerita yang sebenarnya.

Ia nyaris tak pernah mendapatkan kebahagiaan dari pernikahannya itu. Pernikahan yang baru seumur jagung tersebut terus menerus diwarnai keributan dan pertengkaran, caci-maki dan cemooh. Tetapi, sebagai pemain di panggung kehidupan ini Rahma terlanjur menandatangi ‘kontrak’ dengan Tuhan pada saat ia dilahirkan.

Bila scenario tersebut dapat diubah, Rahma ingin sekali meminta kepada Allah agar ia tidak dipertemukan dengan Anwar. Agar semua kesakitan yang ia rasakan selama satu setengah tahun ini tak pernah ada. Tetapi keterlanjuran dalam kehidupan bukanlah seperti nasi yang telah menjadi bubur, yang tetap bisa dinikmati dengan campuran kerupuk dan daging ayam. Keterlanjuran itu membawa pada penyesalan yang berkepanjangan.

Beberapa tahun yang lalu secara tidak sengaja Rahma mengenal Anwar. Tidak ada yang mencolok dari sikap maupun perilaku Anwar sebagai seorang lelaki dewasa. Usia mereka terpaut tujuh tahun. Di mata Rahma Anwar adalah lelaki dewasa yang begitu penyayang dan mampu mengayomi. Apalagi saat itu Rahma baru saja dikhianati oleh tunangannya, Ferdi (nama samaran) yang menjalin hubungan lain dengan teman dekat Rahma sendiri.

Kehadiran Anwar tentu saja seperti oase di tengah padang pasir kesakit hatian Rahma. Ia merasa telah menemukan orang yang mampu menjaga dan melindungi dirinya. Dan ia juga menganggap Anwar sebagai penyelamat dari rasa kecewa yang telah ditorehkan Ferdi kepadanya.

Kebahagiaan itu bertambah-tambah ketika Anwar mengajak Rahma untuk menikah. Namun tidak seperti kebanyakan orang, Anwar mengajak Rahma menikah secara sirri saja. Saat itu Rahma sama sekali tidak menaruh curiga atas permintaan Anwar. Keberadaan orang tua Rahma yang di Medan menjadi alasan jitu bagi Anwar. Dan, atas nama cinta, Rahmapun tak banyak Tanya. Ia menurut saja. Percaya lahir batin kepada lelaki calon suaminya.

Hingga pada pertengahan Juni 2008 lalu, ketika Rahma di bawa ke sebuah rumah di kawasan Lhoknga, tempat mereka akan melakukan prosesi ijab Kabul, Rahma tetap tidak mempunyai firasat apapun.

Ia baru merasa seperti disambar petir ketika secara tidak sengaja melihat kartu tanda pengenal milik Anwar. Selama ini Rahma memang tidak pernah melihat identitas diri Anwar secara langsung. Di situ ia melihat kalau status Anwar sudah Menikah.

Langit seperti runtuh. Bumi seperti terbelah pada saat itu dan ia terperosok ke dalamnya begitu jauh. Perasaannya sebagai perempuan tercabik-cabik. Harga dirinya terjatuh. Ia dinikahi Anwar hanya untuk dijadikan istri ke dua. Istri simpanan. Ia tertipu oleh kedewasaan dan sikap Anwar.

Tetapi hidup yang sebenarnya baru dimulai setelah prosesi ijab Kabul tersebut. Ia mengambil alih peran utama. Ia berjuang sendiria. Merasakan kesakitan sendirian. Tanpa Anwar. Karena sejak menikahinya sikap Anwar berubah. Ia mulai jarang mengunjungi Rahma secara rutin, dengan alasan untuk menjaga kerahasiaan pernikahan mereka dari istri pertamanya. Rahma terluka, tapi ia tidak dapat melakukan apapun untuk mengeluarkan dirinya dari situasi itu.

Tak lama setelah itu Rahma hamil. Sementara itu komunikasi dengan Anwar lebih sering melalui telepon. Ia sering memberi tahu Anwar tentang berbagai keluhan mengenai kehamilannya. Namun sikap Anwar acuh tak acuh. Ia hanya mengunjungi Rahma seminggu atau sebulan sekali, tergantung bila ada keperluannya ke Banda Aceh.

Rasa jengkel dan cemburu mulai menghinggapi Rahma, rasa ketidak adilan dari suaminya semakin terasa. Ia merasa diabaikan, tidak dianggap sebagai istri. Ia terluka.

Hingga tiba waktunya melahirkan, tepat 1 januari 2009 lalu. Rahma mempertaruhkan nyawanya seorang diri tanpa ditemani Anwar. Anaknya diazani petugas klinik. Untuk yang kesekian kalinya ia tidak bisa protes pada apa yang dialaminya.

Hari-hari setelah itu adalah hari-hari membahagiakan karena ia tidak lagi sendirian. Ada Najwa kini yang mengobati rasa sepinya. Pecah tangis bayinya adalah obat tersendiri bagi Rahma untuk mengobati luka hatinya. Seiring dengan itu perasaan cinta kepada Anwar mulai memudar.

Tapi lagi-lagi Tuhan mengujinya, saat Najwa berumur 5 bulan Rahma kembali hamil. Tanpa ia duga-duga. Setelah ia memberi tahun Anwar, mereka malah bertengkar. Anwar menuduh Rahma tidak bisa menjaga dirinya. Anwar meminta agar Rahma menggugurkan kandungannya. Rahma menolak. Anwar bersikeras. Mau tidak mau Rahma menuruti anjuran suaminya dengan meminum segala macam obat-obatan agar janinnya jatuh. Tetapi rupanya obat-obatan itu tidak bereaksi.

Sejak Najwa lahir, Anwar sama sekali tidak pernah menginap di rumah Rahma. Paling-paling ia hanya mengunjunginya dua jam seminggu. Dan itu membuat Rahma sangat terpukul. Rahma sering protes akan sikap Anwar yang tidak adil dan terkesan semena-mena, tetapi pertengkaran merupakan hasil akhir dari penyampaian pendapat tersebut.

Tak jarang Anwar mengatakan perkataan-perkataan kasar dan kotor kepada Rahma. Begitu juga sebaliknya. Rahma sama sekali sudah tak menaruh hormat pada suaminya. Bila Anwar mengatakan Rahma lonte yang kerap tidur dengan lelaki lain, maka tanpa merasa bersalah Rahma mengatakan Anwar sebagai anjing. Hanya karena Najwalah Rahma mempertahankan rumah tangganya yang sudah hancur.

Belum lagi terror demi terror yang Rahma terima dari pihak keluarga istri Anwar. Jiwanya makin terguncang. Rahma depresi dan stress berat. Setiap kali ia mengatakan hal itu kepada Anwar, Anwar sama sekali tidak pernah membelanya. Ia kian tersudutkan sebagai seorang istri. Berbagai tudingan menyakitkan ditujukan kepadanya.

Karena depresi yang terus menerus Rahma mencoba bunuh diri dengan meminum larutan pemutih pakaian. Tetapi beruntung masih selamat, namun karena tindakannnya itu berdampak buruk bagi kehamilannya. Sejak itu ia sering mengalami pendarahan. Kandungannya bermasalah.

Puncaknya saat hari raya Idul Adha yang lalu, Rahma mengalami keguguran. Kandungannya yang telah berusia tujuh bulan telah meninggal selama seminggu dalam kandungan. Dengan berat hati ia merelakan kepergian calon bayinya tersebut. Tetapi karena janinnya telah terbentuk, maka ia harus dikuburkan sebagaimana jasad bayi lainnya. Rahma memberi tahu Anwar tentang kondisinya itu, ia berharap Anwar pulang dan menguburkan jasad anak mereka. Namun tanpa merasa bertanggung jawab Anwar malah berasalah kalau anaknya di Lamno kecelakaan.

Rahma menunggu hingga tiga hari, sementara itu jasad bayinya ia masukkan ke dalam kulkas untuk dibekukan. Ia masih berharap agar suaminya datang dan menguburkan bayi mereka. Tetapi penantian itu sia-sia. Anwar tidak datang. Padahal dari seorang teman Anwar, Rahma tahu kalau anaknya tidak mengalami kecelakaan sebagaimana yang dikatakan Anwar.

Dengan rasa sakit yang begitu nyeri dan rasa bersalah yang begitu besar, akhirnya Rahma menguburkan sendiri jasad anaknya sekedarnya saja. Tanpa dimandikan jenazahnya dan tanpa dikafankan. Dan itupun dilakukannya di malam hari agar tidak ada orang-orang yang mencurigainya. Rahma sering merasa ketakutan dan dihantui oleh baying-bayang anaknya. (*)

Seperti diceritakan oleh Rahma kepada saya, 4 desember 2009