Senin, 01 Maret 2010

Dendam *

Dendam

Oleh: Ihan Sunrise

Ini tak pernah kurasakan sebelumnya. Aku begitu tak bersemangat untuk pulang ke kampung halaman. Mobil L-300 yang kutumpangi terasa terbang seperti angin. Melesat dengan kecepatan di luar batas maksimal. Aku berharap mobil ini berjalan layaknya seperti siput, supaya aku tak pernah sampai ke kampung. Tapi tiap kali aku membuka mata yang ada hanya jarak yang semakin dekat dengan kampung halamanku.

Jalan-jalannya begitu kukenal. Tak asing. Masih seperti dulu. Kota-kota yang terlewati tak banyak perubahan yang berarti. Toko-toko yang berdiri masih dengan cat yang sama seperti dua tahun yang lalu. Saat aku terakhir kali pulang ke kampung. Pohon-pohon besar di pinggir jalan tak ada yang bertambah.

Semakin dekat dengan kampung halaman hatiku semakin resah. Pikiranku dirundung kemarahan yang luar biasa. Benci dan rindu saling berkelindan dalam benak.

Dua tahun bukanlah waktu yang lama. Tapi juga bukan waktu yang pendek bagi seorang ibu yang tak melihat anak gadisnya. Tentu ada rasa khawatir dan cemas meski berkali-kali aku bilang bahwa aku baik-baik saja. Dan Mak sepertinya tak pernah percaya kepadaku.

Tapi kali ini, aku benar-benar tak bisa mengelak lagi untuk tak pulang ke rumah. Alasanku sudah habis. Sebenarnya, aku tak tega mendengar tangisan Mak ketika meneleponku minggu kemarin.

“Pulanglah sebentar saja.” Kata Mak dengan suara pelan.

Aku lama tak menjawab. Sibuk dengan pikiranku sendiri. Pulang. Memang aku ingin sekali pulang. Rindu pada rumah yang sudah dibuatkan almarhum ayah kepada kami semua. Tapi...hatiku masih berat sekarang.

“Aku tidak mau pulang selama lelaki itu masih ada di rumah” Jawabku dingin.

Tangis Mak pecah. Ia terisak-isak. Aku juga. Tapi kutahan agar tangisanku tidak terdengar oleh Mak. Aku tak berniat menyakiti hatinya. Tapi luka hatiku tak pernah ada yang mau peduli.

“Karena kamu anak Mak, Makanya Mak selalu memintamu untuk pulang. Kalaupun kamu tidak mau pulang ke rumah, tapi pulanglah untuk ayahmu. Ziarahi kuburannya. Doakan dia.”

“Mak, aku selalu mendoakan ayah. Setiap malam jumat aku selalu membaca yasin untuknya. Bukan berarti kalau aku tak pernah pulang aku melupakan ayah. Ayah selalu di hatiku, Mak.” Potongku cepat. “Yang melupakan ayah Mak, bukan aku.” Sergahku lagi.

Setelah itu tak ada lagi percakapan. Mak memutuskan teleponnya. Dan aku meneruskan tangisku yang tertahan. Aku takut menjadi anak durhaka. Tapi aku juga punya hak untuk menyatakan keberatanku. Namun aku kepayahan mengutarakannya dengan sikap yang benar.

Maka, bila hari ini aku memutuskan untuk pulang bukan karena aku telah berdamai dengan keadaan. Tapi semata-mata hanya untuk memenuhi permintaan Mak untuk berziarah ke kuburan almarhum ayah.

***

Kota kecil ini belum berubah. Keramaiannya masih sama seperti dua tahun yang lalu. Hanya kesemrawutan saja yang tampaknya kian bertambah. Tukang ojeg yang mangkal di setiap persimpangan dengan berbagai jurusan. Kios buah yang bertebaran di pinggir jalan. Dan pedagang-pedagang Makanan lainnya yang menyesaki lorong-lorong bahkan hingga ke badan jalan. Pemandangan khas kota kecil.

Aku mengamati sekeliling. Terbayang ketika terakhir kali ayah mengantarku di terminal kota ini. Beberapa tahun yang lalu. Ia tampak begitu gagah dengan celana kain dan jaket kulit hitamnya. Walaupun ketika itu beliau sedang sakit. Air mataku menitik dan cepat-cepat kuhapus. “Desa Matang Sarah” kataku pada seorang tukang ojeg.

Aku tak langsung masuk begitu sampai di rumah. Pandanganku mengitari seluruh bangunan rumah. Banyak yang telah berubah dari rumah peninggalan ayah selama dua tahun terakhir ini. Rumah ini sudah berteras sekarang. Depannya sudah di plester dan seluruh bangunan rumah sudah di cat warna abu-abu. Begitu juga dengan pagar sekelilingnya. Walaupun hanya terbuat dari kayu tapi tampak rapi dan terartur.

Namun hati kecilku menolak semua perubahan ini. Bagiku ini sama saja dengan menghapus semua kenangan tentang ayah. Dan tiba-tiba saja amarah menguap dalam rongga dadaku. Napasku naik turun mengingat semua itu. Bersamaan dengan itu Mak muncul dari dalam. Ia tampak rapi dengan blus warna krem dan rok coklatya.

Tak seperti biasanya memang. Aku tak langsung memeluk Mak. Sebaliknya aku malah diam mematung menatapnya dengan perasaan yang sukar kuterjemahkan. Mak menyapaku dan tampak sangat terkejut dengan kedatanganku. Serta merta ia merengkuhku dalam pelukannya dan menangis tersedu-sedu. Aku memang tak bilang kalau akan pulang.

Mak mengajakku masuk ke dalam. Tasku diambil dan dimasukkan ke kamar tengah. Aku masih diam. Larut dalam percampuran perasaan yang aneh. Aku merasa asing dengan rumahku sendiri. Namun tiba-tiba aku tertohok pada sebuah pandangan mengejutkan. Foto ayah sudah tidak ada lagi di dinding ruang keluarga.

“Siapa yang berani memindahkan foto ayah di situ.” Tanyaku dingin begitu Mak keluar.

Mak tampak gelagapan dengan pertanyaanku yang tiba-tiba.

“Ada. Mak simpan.” Jawab Mak pelan.

Entah mengapa seperti ada jarak antara aku dan Mak. Hal yang tidak pernah terjadi dalam hidup kami. Seperti ada rasa enggan untuk memulai percakapan dengannya. Beku.

“Begitu cepatnya Mak melupakan ayah.” Tukasku.

“Mak tidak melupakan ayahmu Nak...” Mak mulai menangis. Aku jadi serba salah. Mataku mencari-cari di mana gerangan sosok lelaki yang telah bergelar menjadi suami kedua bagi Mak.

“Tidak meluapakan bagaimana?”

“Nak...”

“Tidak ada yang perlu dijelaskan Mak. Saya pulang bukan untuk meminta penjelasan Mak tentang laki-laki itu. Itu hak Mak untuk menikah lagi. Tapi saya kecewa dengan Mak, seperti tidak ada laki-laki lain saja yang lebih terhormat dari dia.”

Aku melangkah masuk ke kamar. Kukunci pintu dan bersandar di belakangnya. Terbayang kejadian dua tahun lalu. Ketika Mak meneleponku dan meminta ijin untuk menikah lagi. Aku tak pernah bilang iya tidak juga pernah mengatakan tidak. Aku hanya diam sepanjang Mak berbicara. Namun hatiku sebagai anak ketika itu seperti dirobek-robek.

“Mak sudah berusaha menghindari dia, tapi dia terus menerus meminta Mak. Sudah tiga kali Mak tolak. Bila Mak tolak lagi Mak takut terjadi apa-apa nanti.” Kata Mak siang itu.

Aku masih diam.

“Kamu masih terlalu muda untuk bisa mengerti perasaan Mak. Dengan Mak menikah lagi bukan berarti Mak mengkhianati ayah kalian. Cinta Mak tetap untuk dia, dan sampai kapanpun tidak akan tergantikan di hati Mak.”

“Ya, aku memang tidak mengerti apa-apa” jawabku dalam hati.

“Mak hanya minta restu dari anak-anak Mak, karena nantinya dia akan jadi ayah bagi kalian semua.”

Setelah itu aku tak mendengar apa-apa lagi. Duniaku benar-benar menjadi gelap seketika. Tulang-belulangku melemas bahkan untuk menjawab tidak sekalipun aku tak berkuasa.

Minggu depannya aku mendengar kabar Mak telah menikah dengan lelaki itu. Dan sejak itu aku memutuskan untuk enggan pulang ke rumah.

***

Sayup-sayup kudengar suara lelaki. Suaranya begitu khas. Ia sedang berbicara dengan Mak. Dan kudengar namaku disebut-sebut. Kusapu airmataku. Aku mengintip dari lubang pintu.

Lelaki itu terlihat begitu gagah dengan seragam dinasnya yang coklat tua. Tepatnya terlihat arogan. Di lengan sebelah kirinya ada simbol-simbol pangkat yang tidak kupahami. Dipinggangnya terselip sepucuk senjata mungil dengan beberapa butir peluru. Sepatunya mengkilat. Rambutnya tersisir rapi. Ia terlihat muda. Dengan posturnya yang seperti itu aku yakin banyak perempuan yang menyukainya. Dan ia bisa memilih siapa saja asal bukan Makku.

Masih banyak perempuan muda lainnya yang menyukainya dan lebih pantas dengannya. Tetapi mengapa Makku yang dipilih lelaki keparat itu. Aku tak sudi memanggilnya ayah. Jangankan ayah, pakcik, paman atau abang pun aku tak sudi memanggilnya. Ia tak pantas jadi ayahku.

Air mataku kembali jatuh. Pikiranku dipenuhi oleh bayang-bayang ayahku. Senyumannya, tatapan matanya, kata-katanya memenuhi benakku. Pandanganku mengabur. Aku tak kuat lagi menahan kebencianku pada lelaki itu. Melihatnya berbicara dengan Makku seperti duduk di atas bara rasanya. Memaksaku untuk berontak dan bangkit.

Berdirilah aku di hadapannya. Dengan wajah penuh amarah dan tatap mata penuh kebencian. Aku ingin mengenyahkannya jauh-jauh dari rumah ini. Gara-gara kehadirannya ayah tak lagi pernah muncul dalam mimpi-mimpiku selama dua tahun ini. Gara-gara dia adik-adikku tak lagi mau pulang ke rumah ini dan kami tak pernah lagi bertemu sejak itu. Gara-gara dia Mak jadi terkucil di keluarga. Gara-gara dia...aku tak dapat menziarahi kubur ayahku karena aku enggan pulang ke kampung halaman. Gara-gara dia aku jadi membenci Mak. Gara-gara dia...

Brakk!!! Aku mendorongnya. Bersamaan dengan suara letusan yang membuatnya tersungkur. Ada genangan darah yang mengalir di lantai. Ia terlihat mengejang sebelum akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir. Mak menjerit ketakutan.

***

Aku tak pernah membunuhnya. Ia mati dengan senjatanya sendiri. Bagiku itu adalah hukuman atas sikapnya yang telah berani mencintai Makku. Walaupun untuk itu aku harus mendekam di penjara sebagai tebusannya. Aku bahagia. Aku bahagia!(*)

24 februari 2010


* Cerpen ini sudah pernah dimuat di Koran Harian Aceh, edisi Ahad, 28 Februari 2010

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)