Senin, 26 April 2010

Meulinte*

Meulinte*

Meulintee

Oleh: Ihan Sunrise

“Mak tak habis pikir.” Kataku begitu kami tinggal berdua dengan anak gadisku. Nurul.

“Tak habis pikir apanya?” Tanya Nurul, anak perempuanku bingung.

“Dengan jalan pikiranmu.” Kataku cepat

“Memangnya kenapa dengan jalan pikir Nurul?”

“Seperti hana pikeran.”

“Lalu yang punya pikiran itu bagaimana, Mak?” Tanya Nurul agak tersinggung.

“Ya jangan bawa laki-laki itu ke rumah.” Pungkasku

Nurul yang sedang membereskan meja setelah memindahkan gelas dan piring kecil berisi kue untuk tamuanya tadi tak jadi beranjak. Ia duduk di tempat tamu tadi duduk. Di tangannya masih menggantung kain lap kecil yang akan ia gunakan untuk membersihkan meja bekas tumpahan air teh.

“Terus bawa ke mana? Bang Jack kan mau berkenalan dengan Mak. Wajar kan kalau calon menantu mau berkenalan dengan calon Mak Tuannya. Masak Nurul bawa ke pasar dan pos jaga. Apa kata orang nanti? Masak anak gadis mak rayueng-rayueng lelaki ke sana ke mari tanpa mak kenal siapa orangnya.”

“Kalau itu benar terjadi berarti pikiranmu sudah dibutakan oleh dia.”

“Pikiran yang terang itu kiban Mak?”

“Ya tidak usah berhubungan dengan…si…siapa namanya tadi?”

“Bang Jack.”

“Dari namanya saja mak sudah tidak sreg.” Keluhku.

“Nama aslinya Zakaria. Namanya seperti nama Nabi mak.” Bela Nurul.

Kami terus beradu argumentasi. Tak ada yang mau mengalah. Baik aku maupun Nurul anak perempuanku. Bukan aku tidak setuju dia mau menikah, apalagi usianya sudah 24 sekarang. Sudah pantas. Akupun sudah ingin menimang cucu dari anak perempuanku itu. Tapi aku tidak suka bila ia menikah dengan si Jack itu.

Bila ditanya orang-orang siapa menantu Nyak Wa Fath guru mengaji itu? Aku pasti akan kesusahan menyebut namanya. Jack. Sedikitpun tidak mencerminkan keislaman. Namanya yang bagus malah dipelesetkan jadi Jack. Sungguh tak mengerti agama.

Tetapi sebenarnya bukan hanya soal nama. Si jack itu tak pantas dengan anakku karena dia terlihat sangat tua. Mereka terpaut 20 tahun usianya. Nanti kalau mereka menikah dan anakku ikut tua bagaimana? Maksudku, kalau mereka menikah lalu si Jack itu cepat meninggal dan anakku jadi janda bagaimana?

“Mak terlalu jauh seumike.” Protes Nurul

“Memang harus dipikirkan jauh-jauh. Menikah itu untuk sekali seuumur hidup. Mana bisa asal-asalan.” Tukasku.

Sebenarnya si Jack itu tidak demikian buruknya. Ia terlihat sopan, kata-katanyapun terlihat baik dan teratur. Ia datang dengan membawa oleh-oleh buah-buahan yang banyak. Tapi aku tak suka karena ia bekerja di luar negeri. Nanti kalau anakku dibawa jauh bagaimana. Sementara aku cuma punya satu anak perempuan.

Tapi…kengerianku sebenarnya adalah kehidupan si Jack selama ini di luar negeri. Siapa yang menjamin dia orang baik-baik. Kehidupan di luar negeri itu sangat bebas. Tidak ada aturan. Jangan-jangan dia sudah tidak perjaka lagi. Atau mungkin dia sudah pernah menikah dengan gadis-gadis di luar negeri sana. Siapa tahu?

“Kalau mak terlalu selektif Nurul bisa tidak menikah-menikah.” Nurul cemberut.

Aku menghela napas. Berat. Bukannya aku terlalu selektif. Tetapi sebagai orang tua tentu saja aku tidak ingin anakku kecewa nantinya. Di jaman seperti sekarang ini mencari orang yang baik dan bertanggung jawab itu susah. Apalagi yang pemahaman agamanya memadai. Langka.

“Kamu boleh menikah dengan siapa saja, asal bukan dengan si Jack.” Kataku akhirnya.

“Ya sudah, Nurul mau menikah dengan bang Haikal.” Jawab Nurul dingin. Raut mukanya tanpa ekspresi.

Aku terhenyak. Sesosok lelaki tinggi besar bermain di kepalaku. Alisnya tebal. Kulitnya coklat bersih. Matanya tajam dan bersinar. Giginya begitu rapi. Tapi ia agak gemuk dan berperut. Pun demikian tetap tidak mempengaruhi penampilannya yang enak dilihat. Senyumnya menawan.

Tak ada alasan untuk tidak menerimanya sebagai menantu. Ia berpendidikan, hidupnya berkecukupan, jiwa sosialnya tinggi, tetapi hanya satu kekurangannya.

“Mak tidak rela kamu jadi istri ke dua, Nak.” Kataku mengiba

Ada kesedihan di mata anak gadisku. Membicarakan Haikal tentu akan sangat melukai perasaannya. Sekuat apapun ia berusaha menutupi tapi aku tetap dapat melihat kalau ia sangat mencintai lelaki itu. Mata Nurul mengerjap-ngerjap. Kami terbuai dalam diam. Sibuk dengan perasaan masing-masing.

“Mak sayang sama kamu Nak. Mak tidak ingin hidupmu berantakan nantinya. Menikah bukan hanya soal kesenangan materi saja. Tapi kita harus pikirkan kesenangan hati, karena hanya kedamaian hati yang akan membuat kita dapat menikmati hidup.” Aku membelai rambut Nurul yang luruh dalam pelukanku. Tak terasa ia telah begitu cepat bertumbuh dewasa. Rasanya aku seperti baru kemarin menggendongnya dalam pelukanku.

“Bagaimana kalau dengan bang Fahmi mak?” Tanya Nurul sambil melepaskan diri dari pelukanku.

“Si Fahmi yang duda itu?” tanyaku kepalang kaget.

Gadisku mengangguk. Aku lemas. Terbayang wajah si Fahmi yang diceraikan istrinya beberapa bulan yang lalu, karena kerjanya cuma bersyair saja di pos jaga. (*)

Bilik Hati, 11:52 pm

07 april 2010

* Tulisan ini sudah pernah dipublish di website www.ababil.org
http://ababil.org/index.php/2010/04/meulintee/

Jumat, 23 April 2010

Untukmu, Untuk Lautan

Untukmu, Untuk Lautan

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, sejak bertahun-tahun yang lalu. Kurasakan perbedaan dari caraku merindui dan mencintaimu. Rasa yang begitu melesak-lesak dalam jiwa, menyuruhku pergi ke suatu tempat untuk menemuimu.



Maka sebelum matahari tergelincir, ketika langit masih memerah saga. Aku telah berada di tempat itu, menyusuri jalan-jalan yang pernah kau lintasi beberapa waktu yang lalu. Menaiki bebatuannya yang bersusun. Merasakan lembutnya angin pantai yang tajam. Mendengar deru dentum ombak yang berkecipuk. Menyaksikan cicak-cicak laut yang menempel di bebatuan yang basah. Kepiting yang berlarian dan siput-siput kecil yang kecoklatan.



Aku takjub. Bukan pada diriku sendiri, tetapi pada yang melesak-lesak begitu kuatnya di dalam hati. aku berdiri menghadap lautan. Membentangkan kelopak tangan. Meliarkan pandangan mata. Meneriaki gemuruh. Ya, aku datang menemui lautan. Untuk bertemu dan berdialog denganmu. Laut! Dan juga engkau.



Sesuatu yang tak begitu kusukai sejak dahulu. Karena menurutku laut terlalu lantang untuk disahabati. Terlalu liar untuk diajak bercengkerama. Terlalu menakutkan untuk dijadikan pelipur hati. Terlalu mistis untuk disinggahi.



Tapi kerinduan terhadapmu mengubah segalanya, aku mencoba menyatu dengan lautan. Aku biarkan saja ketika ombaknya dari celah bebatuan menjilati hingga ke mata kakiku. Aku senang saat ombak-ombak itu seperti mengejar, dan aku berlarian di atas batu-batu berlapis itu. Aku tertawa. Aku berteriak. Hei…beginikah rasanya mencintaimu? Beginikah rasanya dekat denganmu? Beginikah rasanya dicandai olehmu? Beginikah rasanya, ya memang seperti ini rasanya.



Kesempurnaan itu terasa begitu lengkap, apalagi ketika setitik air menyapu lidahku. Asin yang menggoda. Asin yang melahirkan rasa ketidak puasan untuk mengecapnya terus menerus. Seperti rasa yang terus tumbuh dan tumbuh di dalam hati. Untukmu. Untuk lautan. Aku akan kembali lagi! Untukmu, untuk lautan, dan juga untuk engkau!



Ulee Lheu, 22-4-2010

Ihan Sunrise

Sabtu, 17 April 2010

Jangan Membunuh Kenangan

Jangan Membunuh Kenangan

Jangan Membunuh Kenangan

Mencium jemarimu adalah ritual paling dahsyat yang begitu menggetarkan, penghormatan yang menggembirakan dan menyembuhkan, memberi lega dan kepatuhan diri, lain kali, aku akan merasa bersalah bila hanya dapat mencium jemarimu saja.

Barangkali, itulah yang membuatku lantas terdiam, berhenti menduga-duga, berusaha untuk tak menyalahkan, berusaha untuk menerima alasanmu. Karena ketulusan, seperti yang selama ini kupahami selalu saja mengejawantahkan berbagai alasan. Itu pula yang selama ini selalu membawa kita pada muara yang sama.

Dalam dialog panjang kita, resonansi desah nafas yang tak begitu teratur, seiring dengan emosi yang ikut menyelinap. Aku berusaha berdamai dengan keadaan. Kau dan aku dipertemukan dalam perbedaan. Seharusnya kita tak saling menyalahkan seperti ini. Bukahkah kita telah lama saling mencintai?

“Aku datang malam itu, berusaha menemuimu, untuk memenuhi janjiku.” Katamu pelan. Sarat kehati-hatian. Aku hening dalam kesenyapan, tak lantas percaya dengan apa yang kau ucapkan. Aku diliputi keraguan. Benarkah, benarkah kau datang? Tapi mengapa aku tak melihatmu di terminal kota itu?

Aku mendengar tanpa membantah. Siapapun kamu, tentu saja kau berhak membela diri, dan aku, berhak pula mempertimbangkannya.

“Tapi tak kudapati dirimu di salah satu penumpang di dalam bus itu.” Katamu kembali menjelaskan.

Ah…begitu detil kau menjelaskan. Begitu runut. Mungkinkah kau berbohong bila semuanya begitu rinci? Kau benar tentang bus yang kutumpangi malam itu. Kau benar tentang jam keberangkatanku. Tapi yang salah mengapa kau tidak melewati lorong-lorong bus itu untuk menemuiku di bagian belakang?

Hati yang galau. Kemuncak kecewa. Dan kesedihan yang dalam membuatku ingin berlari ketika itu. Menyembunyikan wajahku dari pertanyaan-pertanyaan penuh selidik. Air mata yang menumpuk membuatku tak mampu melihat apapun. Termasuk melihatmu yang berdiri di ambang pintu. Aku menyendiri menyembunyikan luka di mataku.

“Padahal aku telah begitu tergesa-gesa untuk bisa segera menemuimu, kulewati kemacetan kota ini dengan segala keberangan, menyelesaikan kewajibanku secepat mungkin lalu sesegera mungkin menemuimu.”

Aku diam saja. Mendengar penjelasanmu sebaik mungkin. Kuatur nafas setenang mungkin. Aku tak bisa mengartikan apakah ini kesenangan atau apa. Aku hampir tak bisa berkata apapun. Apakah takdir sedang mempermainkan kita ketika itu? Apakah perbedaan itu semakin mencolok saja seperti ini? Sebegitukah sulitnya bagi kita? Rasanya, tawa dan tangisku mulai tak berguna.

“Lalu mengapa kau tidak meneleponku?” tanyaku kemudian. Berharap kali ini kesalahan adalah mutlak milikmu.

“Tapi hape-mu kan tidak aktif…” suaramu menggantung. Serak. Berat.

Ah…siapa yang salah sebenarnya? Hape-ku yang kehabisan baterai atau kamu yang datang terlambat sedikit?

“Ya, tapi aku kan sudah beri tahu jadwal keberangkatanku. Bahkan aku sudah menunda satu jam hanya untuk menunggu kedatanganmu. Tapi kamu masih juga terlambat.” Protesku.

“Lain kali, datanglah lebih awal atau pulang lebih akhir. Kau tahu, kita hidup diluar prediksi.”

Kalau bukan karena jemarimu, mungkin aku akan selamanya marah kepadamu. Ketakziman yang pernah hinggap di jemarimu menjelma menjadi oase di saat-saat kritis ketidak pastian di antara kita.

Seharusnya memang tak perlu kita saling menyalahkan. Kenangan yang tercipta telah membuat kita menjadi orang-orang yang tak biasa. Keluar biasa-an ini yang selamanya akan tumbuh dan hidup.

“Sampai mati.” Katamu

“Ya, sampai salah satu dari kita mati.” Jawabku.

Hening. Selalu menjadi saksi atas pertengkaran kita. Tapi hening, juga selalu menjadi saksi atas ketak bersyaratan cinta yang kita punyai bertahun-tahun ini.

11:14 pm

15 april 2010

Rabu, 07 April 2010

Menghapus Ingatan

Menghapus Ingatan
Seperti pernah terjadi sebelumnya. Di mana ya? Aku seperti tak asing dengan kejadian ini. Oh ya, di sebuah cerita film Korea yang terkenal itu. Begitu melankoli dan membekas di benakku. Tapi sama sekali tak kuduga kisahku mirip Soo jin dalam film itu.

Bercelana jeans dan berkemeja puntung. Kau begitu good looking pagi itu, persisnya menjelang siang. Aku begitu bernafsu memandangimu. Kita duduk bersebelahan. Dan aku begitu leluasa melumatmu dalam imajinasiku. Kuselipkan tanganku untuk memeluk pinggangmu, sentuhan paling nyaman yang bisa menetralkan resah hati karena terus menerus menahan rindu. Aku ingin menciummu, tapi ruang bukan hanya milik kita ketika itu. Aku menyentuh pipimu, menyentuh lehermu, menyentuh telingamu. Maaf, aku telah berlaku kurang ajar hari itu. Aku meremas rambutmu sebelum akhirnya kusandarkan kepalaku ke perutmu. Kupeluk kau sebisaku.


Pertemuan kita, ibarat percintaan yang tak usai ketika tubuh akan menggelinjang menahan puncaknya. Kita terkekang oleh keterbatasan waktu. Dan aku terganggu dengan kesibukanmu. Kita tak banyak bicara. Dan aku kehilangan selera untuk menumpahkan perasaanku padamu. Aku berharap kau tahu, caraku menyembuhkan rindu bukan dengan ketergesa-gesaan. Tapi bukankah sejak pertama kali memutuskan bersama denganmu, kita selalu kehilangan waktu-waktu untuk menikmati puncak cinta secara bersamaan?

Aku berusaha mengerti. Kulapangkan jiwa untuk bisa menerimamu apa adanya. Kuputuskan untuk tidak memprotesmu barang sedikitpun hari itu. Kutahan kecewaku untuk bisa bersikap biasa saja ketika itu. Kutahan, kutahan semuanya. Juga hasrat yang membuncah-buncah. Juga pertemuan jiwa yang tak mencapai klimaks kenikmatan. Aku tak ingin mengeluh tentang semua ini.

Pun ketika kau berjanji untuk menemuiku pada senja berikutnya. Aku telah menduga semuanya akan berakhir tak sesuai rencana. Kau terlalu pintar membuatku senang. Tapi akupun telah amat sangat tahu sikapmu. Sebaiknya tak berharap banyak dari ucapan seorang lelaki sepertimu. Karena akan mencederai hati. Benar saja, terakhir di kotamu membuatku terluka.

Persis seperti Soo jin yang menunggu kekasihnya di sebuah terminal kereta. Akupun menunggumu di terminal kota kenangan itu. Tubuhku berkeringat. Tanganku bergetar. Mataku jalang setiap kali melihat jarum jam. Berhentilah. Berhentilah berdetak. Pintaku saban detik. Tapi penunjuk waktu itu lebih patuh pada alam yang terus memerintahnya untuk bergerak.

Hingga akhirnya bus yang kutumpangi bergerak perlahan. Kau tak terlihat menemuiku. Akupun mencoba berdamai dengan perasaan. Kutahan agar tak terlihat cengeng di mata orang-orang. Namun kekecewaan yang memuncak memaksaku untuk menangis dalam diam. Dalam kepayahan berfikir. Dalam ketersendatan mengeluarkan kata-kata. Kubiarkan orang-orang berpendapat tentang apa saja. Semuanya terjadi dalam keremangan dan kesunyian malam. Dan esok pagi, kudapati mata ini sembab dan bengkak. Matahari membuatku tak leluasa melihat.

Kupikir, cerinta tentang luka ini cukup sampai di sini. Aku ingin seperti Soo jin yang kehilangan ingatannya agar tak lagi mampu mengingatmu. Maka kubiarkan setengah dari kenangan tentang kita terhapus. Kuturunkan semua pigura tentangmu dari beranda rumahku. Kuhapus semuanya agar tak lagi terlihat mencolok. Kupaksa diri untuk jauh dari apa saja yang membuatku berhenti memikirkanmu. Aku ingin tidur secepat mungkin begitu masuk ke dalam kamar kenangan itu. Tempat cerita aku dan kamu di ciptakan. Tempat dimana aku selalu tergila-gila padamu.

tapi...aku tetap mencintaimu. Tanpa syarat apapun! (*)




20:45 pm
On wed, 7 April 2010