Selasa, 25 Mei 2010

Di ambang pintu

Di ambang pintu
Melihatmu berdiri di ambang pintu, menjelang malam, sekilas kau melempar senyum ketika mata kita saling bertemu. Memakai baju motif kotak-kotak, dipadu celana jeans, kau terlihat muda dan energik sekalipun usiamu tak lagi cukup muda. Apalagi dengan potongan rambutmu yang pendek sehingga telingamu kentara terlihat.

Aku masih tersenyum, ketika kulihat seseorang turun dari mobil lalu menuju ke arahmu, mataku mencari-cari manik matamu untuk menanyakan sesuatu. "Diakah?" tanyaku dengan pandangan mata memberi isyarat. Kau tersenyum pertanda iya. "Benar", aku yakin itulah jawaban yang kau beri ketika itu sekiranya kita dekat. Sayang, aku hanya dapat melihatnya sebentar saja, sebab senja semakin gelap dan aku harus segera pulang.

Aku kembali tersenyum ketika hampir satu jam kemudian melewati rumahmu. Tapi kali ini sedikit rasa satir dan getir. Pintu rumahmu kulihat terbuka, menganga, tapi kalian sama sekali tak mampu kutangkap bayangnya. Ah...mungkin saja kalian sedang asyik bercengkerama, seperti biasa yang sering kalian lakukan. Aku terus berlalu...

Seharusnya...kau tak harus berlaku begitu, tak harus berdiri di ambang pintu menyambutnya, apalagi kerap tergesa-gesa menjelang kedatangannya, kau yang begitu bersemangat, merasa istimewa dan kehangatan yang menjalari lekuk hati dan jiwamu, tapi diam-diam sering kau pertanyakan mengapa begitu. Harus kah aku menjawab? Haruskah aku bercerita? Haruskah aku memberi tahu bahwa sebaiknya kita sudahi saja semuanya. Kau menyudahi lakonmu, dan aku menyudahi peranku. Menurutku, masing-masing kita sudah punya jawaban.



12:12 pm
25 Mei 2010

Senin, 10 Mei 2010

Laut*

Laut*
Laut!

Oleh: Ihan Sunrise

Angin selalu bertiup seperti ini. Dingin. Beku. Sepoi yang kirimkan sendu dan kemirisan. Leguhan kesakitan yang tak pernah usai.

Tatkala mataku tertahan pada kerlip lampu nelayan di tengah lautan, akumulasi kesedihan dan kemarahan mengorgasme dalam jiwa. Pemberontakan yang tak pernah menemukan jalan keluar. Sebab bunda selalu bisu. Bungkam atas setiap tanya yang kulontarkan. Mulutnya terkunci. Mungkin juga pikirannya.

Maka aku merasa tak lebih hidup sebagai pecundang yang sarat keraguan. Imajinasi yang terus menerus tersekat perasaan. Aku tak bisa berkhayal dengan sempurna. Hidupku tak bergradasi.

Tiap kali kudapati bundaku mematung di ambang pintu, maka setiap kali pula resah menggelantung dalam benakku. Tanda Tanya besar menggelinjang-gelinjang dalam pikiran. Apakah yang disaksikan bunda saban hari dari ambang pintu itu? Tak pernah kutemukan jawabannya selain diam-diam kulihat ia menyeka air matanya.

Lain waktu, aku berdiri di tempat yang sama. Membuang jauh pandanganku ke tengah laut. Tidak ada apa-apa. Sejak belasan tahun yang lalu hanya itu-itu saja yang kudapati. Gundukan pulau-pulau di seberang sana. Apakah itu yang selalu menarik perhatian bunda?

Bila pada akhirnya aku harus menitikkan air mata bukanlah karena rasa sedih dan kecewa, tetapi karena kemuncak kekesalan yang terjadi atas semua ini.

Dan kegalauan itu begitu memuncak ketika kudapati wajah bunda dibalut kemendungan yang muram. Matanya sembab dan tatapannya begitu pias. Mukanya pucat seperti mayat. Tangannya sedikit bergetar, mungkin campuran rasa takut entah dengan apa. Ia bahkan tak berani memandangku yang tak bergerak di hadapannya.

“Laut.” Katanya sepatah.

Lalu ia kembali diam. Aku menunggu. Apalagi yang akan diceritakan bunda tentang laut.

Laut. Sesuatu yang tak asing lagi bagiku. Ketika lahir, bahkan sebelum mendengar suara azan aku sudah mendengar deburannya. Sebelum bunda memberiku makanan nasi bercampur pisang aku sudah lebih dulu mengecap asinnya air laut. Laut adalah hidupku. Jiwaku. Rasanya tak ada yang tidak kuketahui tentang lautan.

“Laut adalah…” lanjut bunda terbata.

“Laut adalah apa bunda?” sergahku tak sabar.

Kali ini kudapati air mata mulai menggenang di matanya yang bulat. Aku tak sampai hati karena telah memaksanya berbicara. Harusnya kubiarkan saja bunda dengan diamnya tadi.

“Laut adalah ayahmu.”

“Ayah?” mataku membulat.

***

Ayah. Adalah kata yang selalu membuatku tersekat. Yang mendindingi alam hayalku. Yang menggunting imajinasiku. Yang selalu membuatku berhenti setiap kali berfikir tentang kelengkapan sebuah keluarga. Yang selalu membuatku menangis diam-diam ketika memikirkannya. Yang sering membuatku berbeda dengan teman-teman sepermainan.

Seperti apa ayah? Lelakikah atau perempuan? Pertanyaan bodoh yang kerap menghinggapi pikiran masa kanakku. Dan juga tatapan kosong ibu yang selalu kuingat setiap kali aku merengek-rengek minta diceritakan tentang ayah.

Ah…ternyata begini rasanya mempunyai ayah. Senang. Bahagia. Takjub. Lega.

“Laut adalah jelmaan ayahmu, Mala.” Kata bunda kemarin pagi.

Maka kubiarkan tubuhku dipeluk ayah. Basahnya yang hangat masuk hingga ke pori terdalamku. Rambutku dipenuhi sisik-sisik pasir yang mistis. Maka kubiarkan saja semuanya. Aku pasrah dalam kerinduan yang panjang dan melelahkan selama ini. Kubiarkan jilatan ombak bergantian menerpa tubuhku. “Karena ayah sedang memelukku dengan kasihnya.”

“Apakah ayah berasal dari pulau yang selalu bunda pandang dari ambang pintu rumah kita?” tanyaku menyelidik melawan kegusaran. Bunda mengangguk. Pelan.

Seperti inikah senangnya ketika dulu bunda bertemu dengan ayah? Mereka yang bertemu dan berpisah di lautan. Ayah yang begitu mencintai laut, setengah hidupnya adalah gemuruh lautan, setengah jiwanya adalah debur ombak. Laut adalah pengasuh sejatinya. Maka ia relakan laut menjadi saksi bagi pernikahan jiwa mereka yang tak pernah terputuskan. Ayah dan bundaku. Pun ketika laut menenggelamkan jasadnya. Bunda tak marah. “Laut adalah reinkarnasi setelah kematianku. Datanglah kapan saja kau mau untuk melepas kerinduanmu.” Begitu dulu ayah pernah berpesan kepada bunda.

Mengertilah aku sekarang, mengapa bunda rutin mengunjungi lautan. Karena ayah selalu menantinya di sana dengan penuh cinta. Mereka begitu mesra, berdialog, mereka basah bersama deburan ombak, mereka larut dan kilauan pasir putih yang suci. Mereka bercinta dengan cara yang hanya mereka sendiri yang bisa memaknainya.

Barulah aku mengerti ternyata prosesi itu adalah pengulangan kesakralan cinta mereka. Hingga lahirlah aku. Jilatan buih-buihnya yang pecah kini kupahami bukan sekedar buih pantai yang tak berarti. Tapi buih yang lain. Buih cinta yang ke luar dalam jasad mereka.

“Maka temuilah ayahmu Mala. Perkenalkan dirimu.”

Kuturuti kata bunda tanpa sepotongpun bantahan. Pertemuan ini adalah penantian panjang belasan tahun. Maka aku tak ingin menundanya barang sedetikpun.

Mengertilah aku kini mengapa bunda kerap marah acap kali aku memaki lautan. Atau ketika wajahku murung ketika menghadapi lelautan. Atau ketika aku membuang sesuatu yang tak berharga di atasnya. Mengertilah aku kini. Semuanya.

“Ayah, perkenalkan aku Mala. Anakmu yang lahir tanpa kau ketahui hadirnya dalam rahim bunda.”

Aku melihat ayah mengangguk. Tangannya menggapai-gapai melalui ombak menyentuh kulitku. Bibirnya tersenyum, menyusuti butiran pasir yang terkikis. Matanya berbinar, adalah pantulan cahaya yang membentuk kilauan-kilauan maha dahsyat. Di lautan.(*)


Ihan Sunrise
Bilik hati, 5 april 2010


* Cerpen ini sudah pernah dimuat di koran Harian Aceh, edisi Ahad, 09 mei 2010

Kamis, 06 Mei 2010

Pertemuan dalam ruang Imaji

Pertemuan dalam ruang Imaji

Aku takjub! Tidak. Bukan. Tepatnya heran. Sebab baru kemarin aku berfikir tentang kalian. Menempuh perjalanan sejauh lima puluh kilometer aku sengaja mengatup mata agar kalian bisa hadir bersamaan dalam ruang imajiku. Dan benar saja, kalian hadir begitu memikat, nyaris sempurna. Dan aku merasa senang, juga rasa puas yang begitu besar. Sebab aku bisa pertemukan kalian, walau hanya di ruang imaji yang terbatas.


Takdir berperan besar terhadap perkenalan kita, tentu juga perkenalan antara kau dan dia. Dan kedekatan yang tercipta di antara kita seratus persen aku yakin karena ruang gelisah yang kita punyai mempunyai panjang dan diameter yang sama. Pendeknya, kita bisa bertukar kenyamanan sehingga kita merasa cocok dan bisa bersahabat. Tentu itu tidak mudah bukan mengingat masing-masing kita adalah pribadi yang tertutup.


Tetapi kedekatanmu dengannya, aku yakin karena ikatan kimia yang lain, bukan untuk bertukar kegelisahan, bukan untuk bertukar kekhawatiran, tapi hanya tempat untuk mengeksplorasi rasa senang dan perasaan. Bahwa kalian membutuhkan satu sama lainnya.


Maka setelah itu kita sering bertukar kegelisahan yang sama, bertukar kesedihan, kekesalan hingga bertukar kesenangan. Semuanya seperti titik-titik air yang jatuh dan menyuburkan olah kata kita untuk tak lagi punya rahasia. Semua tentang akal, pikiran, hati dan perasaan, dan juga logika. Semuanya begitu nyata dalam pesan-pesan singkat yang kita terima.


Untuk itulah aku benar-benar takjub. Aku lebih suka mengatakannya kaget. Sebab baru kemarin aku mempertemukan kalian di ruang imajiku, baru kemarin kau bercerita tentang rasa suka citamu, baru kemarin kau berbagi tentang bagaimana kau menunjukkan rasa cintamu terhadapnya, baru kemarin, yah baru kemarin. Baru kemarin juga kau mengatakan bahwa kau menginginkan sesuatu yang tumbuh dan hidup dalam rahimmu, dan itu dari dia. Walaupun untuk itu entah bagaimana caranya. Dan memang baru kemarin aku mempertemukan kalian dalam ruang setengah sadarku untuk mewujudkan keinginan itu.


Kegelisahan itu semakin terasa saat kau mengatakan bahwa kamu mungkin sedang patah hati. Kau tahu, katup-katup jiwa kita mulai menyatu kurasa. Sehingga rasa patah hati benar-benar kurasa menyelinap dalam rongga jiwaku. Aku tergugu untuk beberapa saat. Urung memejamkan mata meski malam sudah sangat larut. Dan kelelahan yang seharian membalut jasad kurasa menghilang. Aku mengkhawatirkanmu. Aku tercenung. Benarkah kau patah hati?


“Tapi patah hati bukanlah bentuk lain dari sebuah kekalahan.” Kataku padanya, mungkin juga pada diriku sendiri.


Entahlah, kau tak butuh nasehat pastinya. Dan aku kesulitan ingin mengatakan apa. Jawabannya tentu saja ada pada airmatamu yang terus mengalir, pada pikiranmu yang susah sekali diajak berdamai, dan tentu saja pada jiwamu yang mulai rasakan bahwa sesuatu itu telah benar-benar tumbuh dan hidup dalam dirimu, meski bukan dalam rahimmu seperti yang kau inginkan.


“Aku hanya inginkan kebenaran atas semua keterusterangannya.” Jawabmu berkali-kali dengan kata yang berbeda.


Aku bukan sedang ingin menyimpulkan, tapi, apakah kebenaran bisa didapatkan tanpa pernah melihat gesturenya? Bahkan ketika ia berbicara, kau tak pernah bisa melihat seperti apa matanya yang ikut berbicara, lalu bagaimana anggota tubuhnya yang lain ikut menterjemahkan. Aku tak sangsi dengan apa yang kau rasakan, aku tahu bahkan sangat tahu bila kau benar menaruh rasa padanya. Bahwa kau sedang tak ingin bermain-main dengan perasaanmu, dan tentu saja perasaannya. Tapi, tapi aku bingung dengan arti kebenaran itu sendiri.


Langit yang kujunjung hari ini memang mendung, tapi semoga saja itu bukan representasi dari akumulasi kesedihanmu yang begitu dalam. Sedihmu adalah sedihku juga. Sebab, seperti yang sudah kukatakan sebelumnya bahwa kita memiliki ruang kegelisahan dengan ukuran panjang dan diameter yang sama. Yang tentu saja bisa saling bertukar tempat. Percayalah, tak ada ketulusan dan keikhlasan yang sia-sia. Sekalpun hanya untuk sebuah pertemuan yang tercipta di ruang imaji.

Ihan Sunrise

Banda Aceh, 6-5-10

11.05 am