Rabu, 28 Desember 2011

Menanti Untuk Menyetubuhi Matamu

sudah tidak sabar untuk segera kembali menyetubuhi matamu dengan pandangan yang paling sempurna, dengan tatapan yang mampu memberikan penyelesaian untuk sesuatu bernama rindu itu. Tanpa perlu dijelaskan dengan kata-kata, sebab kata seringkali tak mampu menginterpretasikan dengan baik. Gejolak hanya mampu dibinasakan dengan diam, dan diam adalah milik cahaya yang muncul dari manik salah satu panca indera.

Kutunggu engkau datang, dengan secawan anggur berwarna ungu mawar, yang rasanya mampu meliatkan seluruh gemuruh karena akumulasi lelah akibat penantian terhadap waktu. Yang mampu mengumpulkan kembali percikan-percikan energi akibat kikisan jarak.

Bila pagiku adalah hari-hari mengumpulkan cinta untukmu, maka hidupku adalah kumpulan perasaan yang tak pernah berubah untukmu. Engkau telah begitu rapi masuk dan merebut ingatanku, sampai-sampai timbul cemburu terhadap diriku sendiri. Cemburu yang menimbulkan geletar nikmat melebihi mabuk dari anggur berwarna ungu mawar yang berasal dari ke dua kelopak bibirmu.

Betapa, melihat matamu terkapar tak berdaya adalah kenikmatan luar biasa yang hanya mampu dirasakan dengan ketajaman imajinasi dan ketinggian intuisi. Dan menjadikan engkau sebagai noktah yang akan kutulisi seluruhnya dengan cerita rindu dari negeri panca indera.Dan usai percintaan dua mata yang tak tertahankan itu, tulang belulangmu akan dipenuhi syair-syair matahari yang kelak akan menjadi prasasti cahaya. Yang akan menjadi penunjuk jalan bagi cinta yang tidak pernah menemui jalan usainya.

Rabu, 14 Desember 2011

Logika

Logika

“Aku tergila-gila padanya.” Kataku pada diriku sendiri.

Ketika itu, malam telah sangat larut, efek kopi tadi siang rupanya membuat kantuk enggan menggantung di mataku. untuk menghalau bosan aku membaca sebuah novel tebal lebih dari enam ratus halaman. Ketika ke dua tanganku yang kugunakan sebagai penyangga mulai terasa pegal, aku pun mengganti posisi, kadang sambil tidur, kadang sambil duduk bersandar di bantal, kadang sambil miring.

“Mengapa kau menggilainya?” Tanya suara lain di diriku.

Hm…aku tidak segera menjawab, haruskah kuberi alasan untuk setiap perasaanku? Tidak bolehkah aku menyukainya tanpa alasan apapun. Aku menyukainya dan aku tidak tahu mengapa. Tidak boleh kah seperti itu? Agar semuanya menjadi sederhana.

“Karena ia berbicara dengan bahasaku.” Jawabku akhirnya, mencoba memberikan jawaban selogis mungkin.

Ada semacam tawa sinis mengambang di bibirnya, di bibir logika yang sering membuatku kadang terlalu angkuh untuk mengakui bahwa aku tidak selamanya benar. Keangkuhan yang telah membuatku mempertahankan lelaki kekasihku demi egoku sendiri, ah, tidak, aku mencintainya, dan masih mencintainya, lalu, apa yang salah dengan mempertahankannya tetap sebagai kekasihku.

Logika mencibir lagi, mungkin maksudnya inilah puncak egoku, ingin memiliki semua yang kumaui tanpa mempedulikan apakah aku benar-benar membutuhkannya.

“Apakah semua yang akan berbicara dengan bahasamu akan kau jadikan kekasih?” ejek logika dengan seringainya yang tajam. Bahkan diriku sendiri tak sudi menyaksikannya. Tetapi di dalam gelimang sunyi ini, hanya diriku sendiri yang bisa kuajak berdiskusi, agar sepi benar-benar enyah. Tidak, yang benar adalah agar sketsa wajah lelaki yang sedang kugilai bisa mengabur.

“Kau tak perlu ikut campur dalam urusanku, ini masalah hati, dan kau tidak mengerti.” Belaku.

Mata lelaki itu seolah hadir di hadapanku, mencoba masuk dalam diriku untuk memberi kekuatan, bahwa tidak ada yang salah dengan semua yang terjadi. Tidak akan ada yang sakit hati dengan pertemanan ini, apalagi kecewa.

“Pertemanan? Kau bilang pertemanan setelah semua yang terjadi?” 

Aku mulai muak dengan celoteh logika. Jika bisa, ingin kusekap ia saat aku bertemu dengan lelaki bukan kekasihku itu. Sayangnya aku tidak bisa melakukan itu. Dan ia mendengar semua percakapanku dengan lelaki itu. 

“Maumu apa?” pekikku dengan suara tertahan. “Dulu saat aku ingin menikahi lelaki kekasihku, kau menjejaliku dengan berbagai argumentasi tentang kebenaranmu, dan sekarang kau semakin menjadi-jadi dalam mengatur hidupku.” Napasku tersengal, persis ketika lelaki itu menyentuh jemariku, bedanya sekarang karena marah dan dikepung emosi.

Hening. Tidak ada yang mengeluarkan suara. Aku tidak ingin menyalahkan logika sepenuhnya, tetapi salahkah bila aku memberi kesempatan pada diriku sendiri untuk mabuk pada madu rimba itu? 

Lagi-lagi, mengapa tidak pernah menemui jawabannya.

“Kau tentu tidak bisa menjelaskan kepadaku mengapa aku tidak bisa menikahi lelaki kekasihku bukan? Juga lelaki yang bukan kekasihku itu. Aku tidak bisa menikahi ke duanya. Kau tidak mengerti karena kau bukan hidup sebagai diriku. Kau hanya sesuatu yang ada di dalam diriku.” Kataku akhirnya berterus terang.

Logika menjulurkan kepalanya, ia memandangiku dengan tatapan yang tak dapat kuartikan. Aku menghembuskan nafas panjang. Pertanda tak ingin lagi berdebat dengannya.

“Buatlah keputusan yang terbaik untuk dirimu.”

Malam semakin uzur, tetapi sepertinya tidak ada tanda-tanda akan segera ada jalan keluar dari rindu yang bertubi-tubi ini.

Bahasa Kosa Kata Mata (untuk seseorang)

Bahasa Kosa Kata Mata (untuk seseorang)

“Mengapa?” 

Pertanyaan yang tidak pernah menemukan jawabannya, bukan karena kita tidak mengetahui  jawabannya tetapi karena memang kita tidak ingin menjawabnya. Tidak semua yang kita lihat mesti memiliki nama yang pantas, tidak semua yang kita dengar mesti memiliki muasalnya, dan tidak semua yang kita rasa mesti punya alasan.

Rasa yang terbentang bagai secawan anggur yang membuat kita tak sabar untuk segera mencicipinya. Leguh napas yang tertahan adalah ekspresi dahaga maha dahsyat yang membuat kita hanya mampu bergumul lewat pandangan mata. Tak peduli di tengah keramaian, nyatanya kita mampu mencapai klimaks di antara pengap dan panas karena luapan emosi.

Kita tidak pernah tahu, mengapa tiba-tiba kata-kata tercekat di pangkal lidah, tetapi bahasa mata menemui kosa kata yang teramat lebih. Kita berbicara dalam diam, dan senyuman yang paling manis, melebihi madu dari lebah liar di belantara.

Kita belajar tentang bagaimana gerak mengatur liuknya, di jemari yang saling berpagut, di naik turunnya napas yang tak leluasa. Di bibir yang menyungging penuh arti, di mata yang bergerak nakal menelanjangi pikiran.
Sudahlah, dalam waktu sesingkat-singkatnya kita telah banyak belajar bagaimana mengeksplorasi rindu, memang, tidak ada yang mengatakan, tetapi semuanya telah dimulai, dan kita tidak ingin segera menyelesaikan.

Sabtu, 26 November 2011

Di Namamu Rinduku Bersujud

Di Namamu Rinduku Bersujud
Ini adalah malam ke sekian, sejak aku mengenalmu di bulan april. Malam-malam sesudahnya yang membuat tidurku tidak pernah sempurna. Malam yang selalu membuatku terjaga di ketiak malam. Malam yang selalu memunculkan sketsa wajahmu di langit-langit kamarku. Sekalipun telah kupadamkan lampu, bayang wajahmu tetap hadir sebagai mimpi.

Di malam-malam senyapnya telingaku menangkap derap-derap suara yang kuterjemahkan sebagai suara langkah kakimu menuju padaku. Rindu ini demikian parahnya, hingga tak sadar sering membuatku kepayahan.

Ah, bagaimana bisa aku jatuh cinta padamu? Dan bagaimana bisa cinta ini bertahan. Sedang engkau hanya jelmaan angin di hidupku. Yang pernah kurasakan desaunya, yang pernah kurasakan desirnya, yang pernah kurasakan sejuknya. Tetapi tidak pernah aku melihat wujudmu. Tidak pernah aku menyentuh wajahmu. Tidak pernah aku memelukmu. Tidak pernah aku menatap matamu. Kecuali dalam imajinasiku.

Ini adalah malam ke sekian aku mengingat namamu. Nama yang telah menjadi ayah bagi beberapa anak narasiku. Nama sederhana yang telah begitu istimewa di telingaku. Nama yang telah menjadi warna baru di meja tulisku. Juga di dinding hatiku.

Ah, Engkau! Berdosakah aku yang jatuh cinta padamu? Dan untuk alasan itu kah engkau sengaja hilang dari hidupku? Salahkah aku yang menaruh rasa untukmu? Padahal aku tidak pernah memintamu menjadi sesuatu untuk hidupku.

Kukatakan di sini (walau engkau tidak pernah membacanya) malamku selalu dikepung rindu yang parah untukmu. Siangku diserbu kemarau rasa yang telah pecah. Dan aku selalu menjadikan air mataku sebagai keringat yang jatuh di bawah kelopak mata. Sebab aku tak ingin mengaduh, apalagi mengeluh.

Kukatakan, bahwa mengenalmu adalah anugerah. Pernah mendengar tawamu adalah oase. Bagi hati yang kadangkala berubah menjadi gurun. Kukatakan! Bahwa di namamu rinduku bersujud.




Serambi Masjid
25 November 2011
08.56 pm

Jumat, 25 November 2011

Lukisan Merah (*)

Lukisan Merah (*)
Tak pernah lupa aku pada puisi-puisi pendek yang kerap datang ketika matahari telah dhuha, atau ketika petang mulai menjelang. Bagaimana mungkin aku bisa lupa, puisi-puisi itu telah mengembalikan seluruh imajinasiku yang sempat karam oleh trauma masa lalu.

Puisi-puisi yang kuyakini sebagai penggerak ke dua tanganku untuk kembali mengangkat kuas, memadukan berbagai variasi warna, dan menggoresnya sebagai lukisan abstrak di kanvas berwarna putih. Puisi-puisi itu telah mengembalikan diriku. Ya, tak mungkin aku melupakannya. Lebih tepatnya tak sanggup.

Ketika aku tak tahu harus melukis apa, maka puisi-puisi itu menjelma menjadi penunjuk jalan bagi imajinasiku. Antara sadar dan tidak  aku mengayunkan langkah, memasang kanvas, menyiapkan kuas-kuas dan cat, lalu tanganku membentuk guratan-guratan garis di atas kain kanvas, dan entah bagaimana tiba-tiba hasilnya menjadi sketsa wajah seorang perempuan.

Perempuan yang hanya kutemui sekali dalam hidupku, yang datang ketika petang akan menjelang. Ketika itu ia memakai kaos oblong warna merah dan celana jeans warna hitam. Rambutnya ikal se bahu dan ia biarkan tergerai. Baru kusadari kini, betapa sebagian besar lukisanku didominasi oleh wajah perempuan penyair itu.
Aku kembali teringat pada puisi-puisi pendek itu. Sudah setahun lebih tidak kuterima lagi sebagai pesan pendek di handphoneku, atau juga di e-mail-ku. Setiap kali terbit rinduku pada perempuan penyair itu maka aku hanya bisa membuka arsip lama di folder e-mail-ku. Membaca ulang kiriman puisi-puisinya yang singkat, namun sangat indah. Beberapa membuatku melayang dan menahan napas. Setidaknya begitulah yang kupahami, sebab aku sama sekali tidak mengerti puisi.

Seolah-olah, baru sekarang aku menemukan satu persatu makna dari setiap puisi-puisi itu, semacam kerinduan yang tertahankan, atau seperti keinginan yang tidak berani diungkapkan. Atau semacam penjelasan yang tersirat. 

Dulu pernah sekali kutanyakan itu padanya tetapi ia tak pernah menjelaskan.

“Itu hanya puisi biasa.” Begitu kilahnya selalu setiap kali kutanya apa maksud dari puisi itu. Atau “Jangan tanya macam-macam!” jawabnya ketus bila kutanya lagi.

Dan juga pada petang kali ini, lebih dari setahun yang lalu aku selalu menunggu-nunggu kalau-kalau ada pesan pendek yang masuk ke handphone-ku sebagai puisi dari seseorang. Atau juga ke e-mail-ku. Tetapi hingga malam menjadi isya, dan waktu berganti menjadi fajar yang kutunggu tak kerap datang. Dan seperti biasa, aku hanya bisa tersenyum untuk mengobati kekecewaan dan kehampaan hatiku. Pagiku seringkali disapa murung yang pekat.

“Sampai kapan kau akan melukis?” tanya perempuan penyair itu, sekitar dua tahun yang lalu.

Rabu, 23 November 2011

Ephoria Olahraga dan Semangat Mencibir Masyarakat Kita

Ephoria Olahraga dan Semangat Mencibir Masyarakat Kita

saya bukan penggemar olah raga, bahkan tidak ada satu jenis olah ragapun yang saya taruh perhatian khusus. Makanya ketika musim olah raga tiba reaksi saya biasa-biasa saja, sebut saja misalkan ketika musim piala dunia beberapa tahun lalu, atau ketika musim piala FIF, dan yang paling anyar adalah pertandingan pra piala dunia dan sea games yang sedang berlangsung saat ini.

Lazimnya, ketika pesta olah raga tiba masyarakat melalui kesepakatan tidak tertulis telah mempersiapkan dirinya. Di warung-warung kopi mereka menyediakan layar yang lebar-lebar agar para pengunjung leluasa ketika menonton tim kesebelasanya bertanding. Di warung-warung kampung pemandangannya juga tak jauh berbeda, di rumah-rumah, mereka seolah larut dalam ephoria sepak bola.

Saya bukannya tidak setuju dengan ephoria tersebut, di lain sisi saya melihat itu justru bagus untuk memunculkan semangat sportifitas dan memunculkan semangat dalam berolahraga, kecuali untuk saya barangkali.

Namun saya miris ketika melihat semangat yang meledak-ledak itu tiba-tiba berubah menjadi teriakan makian dan umpatan, ketika tim kesebelasannya kalah. Atau, katakanlah ketika timnas Indonesia sedang bertanding dengan timnas negara lain betapa kita sangat kompak untuk mendukung tim kesebelasan tanah air, status di facebook pun tidak jauh-jauh dari ekspresi tersebut, tentunya harapan untuk menang.

Tetapi apa yang terjadi ketika tim jagoannya tidak menang? Harapan-harapan tadi berubah menjadi ungkapan kekecewaan yang mendalam, letupan-letupan kemarahan bernuansa sumpah serapah dengan tudingan seperti para pemain tidak kompak, pelatih yang jelek, si A yang ingin menonjol sendiri, dan lain-lain.

Sekali lagi, saya bukan pecinta olah raga, jadi, menang atau kalah tidak mempengaruhi saya. Hanya saja saya jengah melihat ekspresi orang-orang di sekitar saya. Maksud saya begini, olah raga mengajarkan sportifitas tinggi, tetapi mengapa semangat sporitifitas itu tidak menular ke pendukungnya? Atau memang inilah potret masyarakat kita yang sesungguhnya? Di mana budaya mencemooh dan menghujat masih menjadi karakter utama bangsa kita?

Padahal, secara moril seharusnya kita memberikan dukungan ekstra kepada para pemain yang kalah, agar performa mereka bisa lebih meningkat lagi di lain waktu. Karena secara sederhana, memberikan pujian atas suatu prestasi itu sangat gampang, seseorang yang berhasil dalam suatu pencapaian lebih gampang dielu-elukan, namun, mampukah kita menunjukkan sikap berjiwa besar dalam menerima kekalahan?

Menurut hemat saya, jikapun mereka (tim sepakbola) kalah sebelum bertanding itu jauh lebih terhormat daripada penonton yang hanya mampu menyoraki, meneriaki, bahkan terkesan dipaksakan namun tidak mengerti apa-apa tentang teknik dalam bermain. (Ihan)

Kota Ingatan

Kota Ingatan
Di mataku, kota ini bukan lagi sekedar kota untuk mencari makan, tetapi telah menjadi nafas kehidupanku sendiri. Itu karena beberapa lekuknya pernah kita nikmati bersama. Melintasi tempat-tempat yang pernah kita datangi seperti memberikan semangat mengapa aku harus terus bertahan di kota ini.

Memandangi bekas tempat engkau berdiri, atau duduk, entah mengapa tak bisa kubendung sesak yang tiba-tiba menyergap. Ah, kita telah sering kali mengalah, untuk takdir yang tidak bisa kita ciptakan. Untuk itulah, mengapa aku selalu ingin berlama-lama di tempat itu, sekedar untuk menikmati senja atau menghabiskan malam bersama diam yang telah menelan keadaan.

Dan pagi ini, kudapati diriku seperti hendak mengeluarkan air mata, namun aku seperti telah lupa bagaimana caranya menangis,  ya, aku telah hampir lupa sebab telah terlalu sering aku menangis, kadang dengan diam sambil menatap manik matamu, atau kadang sambil terpekur di pelukanmu, atau kadang sambil tersenyum saat membalas ciumanmu.

Betapa tidak, ketika mengatakan cinta untukmu, saat itu kita harus menangis dengan cara tidak biasa, ketika melalui hari-hari sebagai kekasih terlalu banyak perkara yang membuat kita hampir tidak bisa tertawa. Kekasih, inikah perjuangan? Yang pada akhirnya tetap tidak menjadi sebagai pemenang? Pun begitu kekalahan bukanlah milik kita.

Maka, bagaimana mungkin aku ingin pergi dari kota ini. Kota yang bisa kulihat engkau dalam imajinasiku. Kota yang menyemerbakkan harum tubuhmu, kota yang membuatku meriang dan akan sembuh bila berhasil kau dekap. Kota yang telah membuatku menjadi ada.

Kekasih, sesungguhnya tidak ada yang tiba-tiba dari kisah kita, apa yang terjadi hari ini adalah perkiraan tujuh tahun yang lalu. Saat kita masih bercerita tentang emansipasi dan adat istiadat. Saat leguh kita masih bercampur bersama angin malam. Saat teriakan kita tertahan desau pasir di tepi pantai. Pada purnama di lautan itu aku pernah menaruh harap untuk dapat bercinta denganmu.

Saat rinduku terbit untukmu, saat itulah aku teringat akan hutang-hutangmu yang belum sepenuhnya kau tunaikan padaku; tentang lukisan yang belum sepenuhnya kau selesaikan.

Permata punie, 23 November 2011
09:03 am

Terimakasih Tuhan

Terimakasih Tuhan
terimakasih tuhan, untuk kehidupan luar biasa yang kau anugerahi untukku. 

aku adalah ulat, yang menggeliat menjijikkan dan menimbulkan kegelian. 

tetapi dengan cintamu aku belajar bermetamorfosis, untuk tumbuh perlahan-lahan, kelak aku akan menjadi kupu-kupu yang cantik. 

yang memiliki sepasang sayap untuk mengepak mengelilingi dunia, yang memiliki sepasang mata tajam untuk mengagumi keindahan ciptaanmu. 

yang memiliki orkestra rasa untuk dapat menikmati setiap cinta dari makhlukmu. 

terimakasih untuk lelaki istimewa yang telah kau kirimkan ke hidupku, yang mematangkan naluriku, yang mendewasakan pikiranku, yang membesarkan jiwaku; untuk garis takdir yang tidak sesuai kehendak. 

resahku hanya sebatas embun sebelum matahari terbit, galauku hanya seusia kilau bulan, sementara bahagiaku sepanjang rotasi yang tak pernah menemui ujungnya. 

terimakasih tuhan, takdir yang tak pernah kusesali adalah terlahir sebagai diriku, menaruh hatiku untuknya,dan memastikan bahwa aku berhenti mencintainya ketika aku menikahinya

Sabtu, 19 November 2011

Puisi Penghilang Nyeri II

Puisi Penghilang Nyeri II
Puisi bagi saya seperti pil kecil yang menghilangkan nyeri di kepala, maka kalau tak nyeri tidak dibutuhkan pil, seperti saya yang membutuhkan puisi untuk menghilangkan nyeri, oleh apa saja.

Jelaskan padaku, tentang pelangi dua warna, yang satu menyerupai warna hati, yang satu menyerupai warna nafsu. Tunjukkan padaku di mana lentera yag tidak memiliki sumbu, tidak memerlukan bahan bakar, tetapi memiliki cahaya seterang matahari.
24.10.11
06.46 pm

Enyahlah seperti batu yang tergelincir ke lautan, agar rupamu tidak lagi kutemui di cakrawala sebagai pelangi. Hadirmu memang sesekali, tetapi mengapa mesti dengan ritual hujan engkau datang, tak lelah kah kau mengundang nestapa di rasaku?
31.10.11
06.16 pm

Matahari muncul untuk menyesap duka yang tercipta ketika malam mulai lengang, sepi sering kali menelurkan gundah. Sedang bulan hadir untuk menghibur jiwa resah di siang hari.01.11.11
08.37 am

Bilakah puisi menemui takdirnya sebagai hati yang bebas menjatuhkan hati pada selaksa?

07.11.11
01.30 pm


Kematiannya!Sesungguhnya baru sekarang memekarkan luka.Untuk sebuah takdir yang entah
09.11.11
07.16 pm


Hujan ini sejatinya adalah untuk menumbuhkan segala rasa di hatiku. Untukmu telah kusediakan satu tempat, datanglah kapan saja kau sempat. Apa kabarmu? semoga sisa purnama semalam masih menggayut di wajahmu.
11.11.11
11.49 am

Kamis, 17 November 2011

Puisi Penghilang Nyeri I

Puisi Penghilang Nyeri I

Puisi bagi saya seperti pil kecil yang menghilangkan nyeri di kepala, maka kalau tak nyeri tidak dibutuhkan pil, seperti saya yang membutuhkan puisi untuk menghilangkan nyeri, oleh apa saja.

Untuk malam selarut ini, mengingatmu masih membuatku berdebar, sungguh, meski entah siapa aku telah begitu mabuk denganmu

~Candu~ 
07/10/2011
10:35 pm

Menikmati malam dengan segelah cahaya dari bulan, semoga terangnya sampai ke wajahmu, agar binarnya terlihat hingga ke malam berikutnya

~Kagum~

09/10/2011
08:15 pm

Malam menemui lengangnya, menyergap sepi dari empat penjuru takdir, seperti kumparan aku terkurung di antara semuanya, adakah engkau di salah satu penjurunya?

~Takdir~

17/10/2011
06:30 pm

Sebelum hujan tadi pagi kukirimkan seikat bunga rumpur untuk engkau, warnanya kuning gading, tetapi ia tidak memiliki wangi yang membuatmu sadar bahwa aku telah meletakkannya di bawah bantal tidurmu, nanti ketika kau mencium wangi kasturi janganlah berfikir bahwa itu berasal dari bunga rumput yang kukirim, tetapi wangi yang berasal dari hatimu sendiri.

~Wangi~

19/10/2011
08:48 AM

Aku adalah lentera, tetapi engkau adalah bahan bakar yang membuatku menyala
Aku adalah pulau, tetapi engkau adalah teropong yang membuatku dapat dilihat dari jarak jauhAku adalah air pelepas dahaga, tetapi engkau adalah kopi pembangkit selera
Aku tanpa engkau, hambar, tawar, seperti sayur tanpa garam

~Aku~ 

22/10/2011
07:02 pm

Hujan
Tak ada pelangi setelahnya
Sebab malam telah menggulita
Ijinkan aku menatap matamu
Sebab pelangi yang sesungguhnya ada di sana

~Pelangi~

23/10/2011
09:54 pm

Maafkan

Maafkan
Jalan ini begitu lengang dengan lalu lalang manusia yang membuat mabuk pikiran, sepi yang panjang atas kegelisahan yang menguras energi, hingga senyum pun terasa hambar, ah, aku melamun di keramaian.

Bunga rumput ini telah kering, padahal hujan senantiasa menyiramnya sebelum subuh, dalam gigil tidur yang mengilukan tulang belulang, dan aku basah dalam takdirku, untuk ke sekian kalinya, tak dapat kucegah semua ini, nokturia malam yang parah.

Inikah metamorfosis?

Ketika diamku menemui puncak amarahnya, dan tidak seorangpun kuharap mengerti, maafkan, aku tak dapat menjelaskan semuanya di hadapanmu, karena ku takut hujan turun di mataku, dan aku khawatir basahnya membuat sembab mata, hingga aku tak dapat menyaksikan mentari pagi yang hangat.

Maafkan, maafkan aku, aku adalah perempuan pencinta diam dan minim ekspresi, tetapi sesungguhnya di mataku tersimpan semua cerita.

16 November 2011 jam 14:31

Hanya Sekali

Hanya Sekali
malam telah sangat tua ketika aku mengingatmu, bahkan beberapa kali kokok ayam kudengar begitu jelas di antara lengang.

aku mengingatmu, karena kita pernah melalui malam-malam panjang yang enggan dihinggapi lelah.

aku mengingatmu, sebab ini sabtu malam, sebab kau kekasihku, karena semestinya di akhir pekan kita bertemu untuk membarter cerita, dan juga energi.

malam sudah bungkuk ketika kau mulai meringkuk di ingatanku, setengah dekade lebih bersama kita hanya pernah sekali bertemu di malam minggu.

bagaimana aku tidak mengingatmu malam ini? selama 6 x 360 hari kita cuma pernah malam mingguan sekali, tok sekali, dan itu terjadi bulan maret lalu, setelah lima tahun kita saling jatuh cinta.

mencintaimu sungguh istimewa, untung aku perempuanmu, dan untung kau lelakiku, jika tidak sudah tak terhitung serapah yang keluar karena kita tidak pernah bermalam minggu.

kelak, yang kuingat darimu hanya yang terjadi di malam yang sekali itu.

luv you Z

13 November 2011 jam 2:43

26 tahun lalu

26 tahun lalu
hari ini 5 november, tepat 26 tahun lalu seorang bayi perempuan dilahirkan dengan prosesi sekarat seorang perempuan dewasa, kelak dipanggil sebagai ibu.

mengalami kontraksi berhari-hari tetapi si bayi tidak juga mau ke luar, mungkin ia tahu bila kelak dunia mengubahnya menjadi perempuan mawar hitam yang langka karena nista.

setelah hampir merenggut nyawa ibunya, si bayi akhirnya lahir juga, ia menangis, karena dua hal, pertama terbayang tangan dukun beranak yang sampai ke ulu hati ibunya, ke dua karena ia sedih akan hinanya dunia.

ia tumbuh, tetapi tidak seperti anak perempuan pada umumnya, ia tak punya mainan boneka meski ia suka main pasar-pasaran, bajunya singlet putih tanpa lengan, celananya pendek se dengkul.

ia anak yang pendiam, tetapi imajinasinya liar. ia tak suka melawan tetapi memiliki jiwa pemberontak, ia tak suka bercanda tapi ia suka mengamati.

ia besar, hidup dengan masalahnya sendiri, ia tak ingin jadi apa-selain menjadi aku bagi dirinya.

bayi itu aku!
happy anniversery for me

 5 November 2011 jam 1:49

Enyahlah

Enyahlah
wahai lelaki yang selalu hadir dalam mimpi, enyahlah.

jangan usik ruang bawah sadarku dengan hadirmu yang tiba-tiba.

engkau bukan hanya melelahkan fisikku, tetapi juga batinku, perasaanku robek, hatiku tersayat oleh perilakumu.

pasal takwil mimpi ini, entah apa yang membuatmu begitu lekat di ingatan.

tapi mengingatmu bagai menyelinapkan pisau lipat di genggamanku, mengiris-ngiris menitikkan darah tanpa terasa.

tolong, sekali ini saja, aku tidak memohon untuk pentakbulan rindu, tetapi meminta agar engkau menjauh dari pikiranku.



31 Oktober 2011 jam 18:58

Sabtu, 29 Oktober 2011

Belajar Mensyukuri Hidup Dari Kang Saptho; Si Manusia Bersisik Ular

Belajar Mensyukuri Hidup Dari Kang Saptho; Si Manusia Bersisik Ular

Namanya Saptho. Postur tubuhnya kecil, dengan warna kulit kecoklatan dan dipenuhi sisik-sisik putih serupa sisik ular, rambutnya terlihat acak-acakan dan tidak tumbuh teratur. Bertelanjangkan dada, ia duduk di atas stand berukuran 1x1 m yang telah didekorasi sedemikian rupa, sehingga terkesan seperti di atas bebatuan rimba.
Pertama kali melihatnya anda pasti akan bergidik ngeri, mungkin juga sedikit rasa jijik dan berfikir betapa malangnya lelaki ini, tetapi setelah mengobrol dengannya anda akan takjub mendengar ceritanya. Itulah kesan saya saat bertemu dengan Kang Saptho, lelaki berusia tiga puluh tahun yang dijuluki manusia bersisik ular dari danau Tritis, Indramayu, Jawa barat.
“Kalau mau tanya-tanya silahkan, mau ambil gambar juga boleh.” Katanya ramah ketika saya mendekati standnya.
Memang bukan suatu kebetulan saya bertemu dengan Kang Saptho, sebuah spanduk bertuliskan Pameran Binatang dan Manusia Langka yang bertengger di salah satu pintu masuk gedung  IT Samsung, di Jl. Imam Bonjol Banda Aceh telah menarik perhatian saya sejak beberapa hari lalu. Tetapi karena berbagai kesibukan saya baru menyempatkan diri untuk berkunjung pada rabu (29/6/2011) lalu.  Di situlah saya bertemu dengan Kang Saptho. Dan sebagai seorang ‘manusia langka’ yang sedang dipamerkan, maka sudah sepatutnya Kang Saptho bersikap menarik perhatian pengunjung, termasuk saya.
Secara fisik sulung dari empat bersaudara ini memang sedikit menyeramkan dari manusia normal lainnya, sejak lahir ia mempunyai kelainan berupa kulit bersisik yang lebih menyerupai kulit ular. Apalagi dengan dua gigi depannya yang telah tanggal, dan mata yang bulat tidak simetris seperti memperlengkap ‘keistimewaannya’. Tetapi kelainan itu tidak membuatnya minder dan malu apalagi merasa rendah diri. Dan itu jelas tersirat dari nada suaranya yang riang dan bersahabat.
Sebab akibat tentang kelainan yang diderita Kang Saptho sendiri sampai sekarang belum diketahui secara pasti, tetapi dari beberapa penelitian yang dilakukan secara medis, salah satunya yang dilakukan oleh seorang dokter dari Jerman mengindikasikan kalau kelainan ini diakibatkan dari persamaan genetik yang dimiliki oleh ke dua orang tuanya. Semacam masih ada pertalian darah di antara ke duanya.
“Ada ikatan genetik atau persamaan darah dari kedua orang tua saya, intinya begitulah.” Jelasnya dengan logat sunda yang kental.
Pun begitu, tak pernah sekalipun Kang Saptho menyalahkan orang tuanya, apalagi dari mereka berempat hanya dia yang mempunyai kelainan genetik seperti itu. Baginya semua itu adalah takdir Tuhan yang tidak dapat diganggu gugat. Yang penting baginya tetap bisa menikmati hidupnya dengan optimis, dan penuh semangat. Di lingkungannya Kang Saptho juga selalu mendapat perlakuan baik dan tidak ada yang mengucilkanya.
Sebagaimana lelaki normal lainnya, Kang Saptho pun berpenampila layaknya anak muda yang tak mau ketinggalan gaya, sebentar-sebentar ia terlihat sibuk dengan handphonenya, kadang pula menerima telefon dari seseorang denga gaya suara yang mesra dan jenaka.
Di pergelangan tangan kirinya  terdapat beberapa aksesoris, seperti gelang dan arloji berwarna hitam, seuntai kalung dari butiran-butiran kayu menggantung di lehernya,  dan cincin bermata merah delima yang melingkar di jari tengah kirinya. Menandakan bahwa meskipun ia dijuluki sebagai Manusia Bersisik Ular yang secara fisik berberbeda tetapi ia juga manusia yang ingin bersikap dan bertindak sebagaimana manusia normal lainnya.
                Ayahnya adalah seorang Polisi Militer yang saat ini masih bertugas di Indramayu, dan ibunya seorang ibu rumah tangga, mereka menetap di Bandung. Dilahirkan dari keluarga terpelajar membuat Kang Saptho sangat memprioritaskan pendidikan, dia adalah seorang alumni STM N Bandung angkatan 1993 jurusan mesin. Berbekal keahliannya itu selama ini ia bekerja sebagai mekanik di salah satu klub balap motor di daerah Bandung. “Saya mau mandiri, dan ingin membuktikan kepada orang-orang bahwa saya bisa melakukan yang terbaik.” Katanya semangat.
Tetapi sejak bergabung dengan grup Manusia dan Hewan Langka ini sejak setahun lalu ia vakum dari aktivitasnya sebagai mekanik. Dalam waktu setahun itu ia dan teman-temannya telah melakukan roadshow ke berbagai daerah. Di Aceh sendiri mereka telah melakukan pameran di berbagai kabupaten mulai dari Langsa, Meulaboh, Tapak Tuan, Sigli, Sabang dan Banda Aceh.
Ia bertambah semangat ketika menceritakan tentang Naya (28), sosok perempuan dewasa yang telah menjadi kekasihnya selama dua tahun ini, ia dan Naya kenal dalam sebuah event di Bandung. Dan mereka akan segera menikah dalam waktu dekat ini. “InsyaAllah setelah lebaran.” Katanya bersuka cita.
Kang Saptho memanglah seorang manusia langka yang berbeda dengan manusia kebanyakan lainnya, tetapi dari keberbedaannya saya belajar banyak hal, tentang optimismenya mensyukuri hidup, tentang rasa percaya dirinya, tentang ia yang tak mau menyerah pada keadaan, juga tentang ia yang ingin hidupnya lengkap dengan cinta.