Senin, 30 Mei 2011

Keputusan*

Keputusan*

Apa yang tersisa dari hujan sore ini? Adalah luka yang menganga dari rahim keadaan yang tak dapat dibendung. Membusuk serupa bisul yang memerah. Mungkin sebentar lagi ia akan pecah, mengeluarkan nanah bercampur darah yang amis.

Hingga akhirnya aku sampai ke hadapanmu. Aku tak tahu energi darimana yang menyeretku menembus hujan dan temaramnya senja. Melewati jalanan sepi yang berlubang dan tergenang air. Suara-suara cacing tanah yang tengah bersiap-siap menyambut malam. Namun itu tak lebih mengerikan dari ultimatum yang berkelebat seperti kilat dan menyayat hati seperti percikan halilintar. Aku tak pernah mendengar suara ibu setegas itu, menusuk dan mencincang perasaanku.

Kepada Mel

Kepada Mel
Mel,
ah, mestinya kau di sini bukan? menamaniku mengarungi lekuk-lekuk ketak mengertian yang telah terakumulasi, seperti ombak yang menggulung jasad air lalu menghempaskannya ke tepian, beribu-ribu buih kembali menjadi reinkarnasi.
bahkan satu-satunya caren hati yang kupunya tak mampu melindungiku dari terik emosi yang terombang ambing, mengapa malam tiba-tiba menikahi lengang, dan aku percaya padanya, hingga akhir hari ini aku bahkan kembali menyelesaikannya sendiri, sepotong demi sepotong, tersusun nyeri-nyei batin yang nikmat, ah, adakah yang seperti itu?
Mel,
pada kali ini sungguh, aku tak dapat memprediksikan perasaanku sendiri, serupa terkapar karena menahan beban yang berat, lalu tersaruk-saruk berjalan dengan rantai yang membeliti mata kaki, tetapi aku tak mampu membuat diriku menangis, aku hanya mampu terheran-heran, benarkah seperti ini yang terjadi? menjadi bertumbuh ternyata memang pilihan.
ah Mel
maafkan aku karena telah melibatkanmu dalam pertarungan perasaan ini, mestinya kau tak perlu ikut andil, tapi setiap yang berlaku padaku, kau adalah orang pertama yang mengetahuinya dengan vulgar, denganmu adalah keterusterangan tanpa sekat-sekat rahasia, maka biarkan aku kembali bercerita, kali ini tentang kehilangan yang sebenarnya, tetapi rindu ini masih milikku, rindu yang lahir dari rahim keterus terangan.
27-May 2011

Kepada Laut, Engkau Kukembalikan

Kepada Laut, Engkau Kukembalikan

"Temani aku menemui Laut sore ini."

"Iya, tapi untuk apa?"

"Untuk membuang kenangan."

"Maksudmu?"

aku tak menjawab,dan kau sepertinya sedang tak ingin berdebat, maka pada pertanyaan sepotong-sepotong itu kau mengiyakan permintaanku yang setengah memaksa.

maka pergilah kita menemui lautan, ketika malam mulai menjelang, hanya sesaat sebelum aza magrib bergema memenuhi ruak-ruak jagat. dan kita sampai ketika awan telah merah, pertanda matahari telah sempurna habis terkulum oleh kerak-kerak langit.

"Apakah ini tempat yang pernah kita datangi waktu itu?"

"Iya, ini tempatnya, ada apa denganmu, mengapa tiba-tiba ingin kembali ke sini?"

aku tak menjawab, yah, ternyata memang ini tempatnya, batu-batu besarnya masih sama, gelombang ombaknya masih sama, debur iramanya juga, cicak-cicak lautnya, dan juga siput-siput yang menempel di bebatuan, tak ada yang berubah, aku ingat sekali, suatu petang di hari kamis, antara maret dan may, tahun lalu.

sama sepertimu, tak ada yang berubah, caramu mencintai, caramu menyayangi, caramu membuatku senang, seperti bebatu yang tak pernah gugup sekalipun lengang datang silih berganti.

menemui lautan adalah menemuimu. tapi kali ini aku tak ingin melebur dalam jasad dan ruhmu, aku tak ingin tahu apakah asinnya masih sama seperti waktu itu, aku tak ingin kecipaknya menghinggapi tubuhku, aku tak ingin, sebab aku tak mau kita kembali mabuk pada pertemuan yang membuat kita seperti pasang yang tak ingin pernah surut.

petang menjelang malam ini, ketika senyap datang dengan caranya yang maha, ketika desir angin benar-benar membuatku seperti hampir terkapar pada prosesi percintaan kita yang hebat, kau yang berasal dari lautan, maka kukembalikan kepada lautan, karena hanya laut yang dapat mencintaimu tanpa tendensi waktu, tanpat terjeda oleh kondisi dan keadaan, tanpa semua yang membuat kita tak mampu berbuat apa-apa.

kau yang telah lama bertengger di sela-sela jemariku, yang menjadi angin yang menerbangkan seluruh gundah, yang menjadi air yang memadamkan seluruh amarah, yang menjadi unggun yang selalu memberikan kehangatan, adalah yang telah membentuk gurat-guratnya sendiri, adalah yang telah membentuk takdirnya sendiri.

tak sebentar waktu untuk kau tetap utuh di sela jemariku, telah banyak keadaan yang melibatkanmu, ketakutan, kekhawatiran, rasa senang, bahagia, dan entah apa lagi, satu-satunya yang kita punya, setelah hari ini biarkan aku dengan gemuruhku dan engkau dengan gelombangmu.

aku menyaksikanmu sebagai dramatis tiga babak, melayang-layang melawan angin senja yang hebat, aku tak punya kekuatan untuk melemparmu hingga ke tengah samudera, maka kubiarkan kau jatuh dan terbenam di dasar lautan, terkulum ombak. itulah saat di mana aku telah mengembalikanmu dengan utuh.

Ulee Lheu

25-May 2011

Debu Malam

Debu Malam

Hanya kepada debu-debu malam yang liar aku dapat berterus terang, tentang semuanya, tentang semua rahasia, ukan hanya sepotong-sepotong, tentang semua keinginan, bukan hanya sepenggal-sepenggal, tentang semua harapan, bukan hanya sekepal-sekepal, tentang semua mimpi, bukan hanya sekerat-sekerat.

Hanya debu-debu malam yang liar yang dapat menenangkan, menjawab semua gelisah, membungkus semua resah, mengoyak-ngoyak kemarahan, lalu ketika telah kembali semua menjadi seperti biasa.

Serupa air yang kembali ke muaranya, serupa angin yang kembali ke pusarannya, serupa semesta yang kembali pada rotasinya, maka aku kembali pada diriku sendiri.

Dan hanya debu-debu malam yang liar, yang dapat mengartikan semua tingkah, semua tawa, semua ucapan, semua keluhan, semua rintihan, meski semuanya kerap bertukar tempat.

Punie

09.35 pm

26-May 2011

Rindu yang Sakral

Rindu yang Sakral

rindu ini milikku, tidak akan kubiarkan seorangpun mencerabutnya dalam caren hatiku, ketika aku membiarkannya menetap di sana, maka aku hidup untuk waktu yang tak pernah terduga.

rindu ini milikku, sekarang aku tahu bagaimana rasanya dilesak-lesak rindu, tidur-tidur yang tak terlalu nyenyak itu, mungkin seperti burung-burung lelah yang menunggu pagi, ketika langit terang, dan matahari membiaskan sinarnya, maka lesak-lesak itu sedikit menyusut, menguap bersama bulir-bulir embun yang melekat semalam, di pucuk-pucuk rumput, di pucuk-pucuk hati.

masih tentang rindu yang belum berganti, tidak akan kubiarkan seorangpun mengusiknya, aku ingin ia terus tidur dan mendiami hati, tumbuh dan tidak terpengaruh oleh pekat-pekat emosi.

ini rindu yang sakral, rindu yang lahir dari rahim prosesi yang tak biasa, bagaimana aku bisa membuatnya menjadi tak ada?

Tiga Hati, Tiga Rasa, Satu Cinta

Tiga Hati, Tiga Rasa, Satu Cinta

Memutuskan untuk menjadi bahagia itu mudah, seperti saya yang memutuskan untuk menghabiskan sabtu (21/5) sore bersama dua orang sahabat saya, Cacan dan Martha. Kami terbawa pada arus komplikasi perbincangan yang membuat kami lupa pada waktu, kami bercerita tanpa sekat-sekat rahasia, tertawa tanpa perlu merasa terganggu, sekalipun kami sedang berada di tempat ramai, tak apa, sabtu malam itu milik kami; milik Cacan, Ihan dan Martha.

“Saya rasa kita bertiga mempunyai kisah cinta yang hampir mirip,” kata Martha, jumat (15/5) petang yang lalu, sore itu kami menghabiskan waktu di sebuah Kafe di seputaran Simpang Lima, kami bertiga tertawa, tergelak dan mungkin sibuk dengan pikiran masing-masing, mungkin saja. Dan kami tetap tak peduli pada mata-mata heran yang melirik ke arah kami.

Namun tanpa ada ikatan kimiawi apapun, Cacan, Ihan dan Martha tentu tidak akan menjadi sahabat seperti sekarang ini, dan itu terjawab kemarin sore, ketika Cacan bilang; “Saya lahir di Langsa.”

Ahay, Martha tertawa. Dia merasa takjub, karena secara geografis kami bertiga ternyata berasal dari tempat yang sama. “Saya menghabiskan sebagian waktu saya di Rantau.”kata Martha. “Saya dari Idi,” Kata saya menjawab pertanyaan Cacan.

Puzzle tentang kami bertiga mulai tersusun rapi, bukan hanya latar belakang geografis, ternyata kebiasaan yang kami lakukan pun banyak yang sama, “Jangan suruh saya bicara, kalau saya sedang tak ingin bicara, dalam kumpulan orang ramaipun saya sanggup untuk tak terlibat pembicaraan,” kata saya di sela-sela obrolan kami, “Ya ya…benar, saya di rumah juga tak banyak bicara.” Sambung Cacan.

“Apalagi saya, jangan sekali-kali usik saya dalam sebuah perjalanan. Saya ingin menikmatinya dengan cara saya sendiri.” Martha ikut terlibat, dan kami semuanya setuju. Bukankah mudah sekali menjadi bahagia? Bukan hanya itu, untuk inspirasi hidup ternyata kami juga terikat oleh inisial-inisial, soal inisial ini biarlah tetap menjadi rahasia hati kami. Juga tentang keluarga, pengalaman pribadi, sampai pada hal-hal mistis yang membuat kami percaya tidak percaya.

Barangkali, inilah yang membuat kami akhirnya menjadi satu dalam Tiga Hati, Tiga Rasa, Satu Cinta. Dan kami ingin itu terjadi di sepanjang hidup kami.

Sabtu malam yang indah, kami tak perlu menuntaskan kewajiban sebagai pasangan kekasih untuk menuntaskan rindunya, kami tak perlu merasa punya kewajiban untuk mengirimkan short message service pada orang-orang istimewa bernama kekasih, sebab kami mempunyai kerinduan yang lebih besar dari sekedar kerinduan pada seorang kekasih untuk dituntaskan. Adalah kerinduan pada Tiga Hati, Tiga Rasa, Satu Cinta.

Atau, memang di antara kita bertiga belum mempunyai seseorang yang layak disebut sebagai kekasih? Entahlah.

22-may 2011

10.38 am

Seorang Lelaki dan Gitarnya (part 1)

Tuhan, beri aku kesempatan untuk berterimakasih kepadanya, dengan cara sederhana yang mampu kulakukan, aku hanya ingin memeluknya dan bilang; terimakasih telah melakukan semua ini untukku, dan aku ingin bilang; aku ingin seumur hidupku mengalami hal serupa itu, mendengarnya bernyanyi dan memetik gitar.

Seorang lelaki dan gitarnya, yang telah membuatku terperangkap dalam kesempitan berkata-kata, tak ada yang bias kulakukan selain menatap langit-langit ruang hatiku, tak ada yang bias kulakukan selain mempasrahkan pendengeranku pada klimaks intonasi suaranya, tak ada yang bias kulakukan selain diam, tak ada, sebab aku telah mabuk dengan seluruh apa yang ia punyai.
Lelaki, aku adalah daun yang berharap kau segera berubah menjadi angin yang lebat, agar aku segera hinggap di hatimu, dan aku tak ingin ada badai apapun lagi setelah itu.

Aku ingin menjadi sederhana untuk hidupku sendiri, aku ingin surat-surat cinta ini hanya untukmu, aku ingin rindu ini utuh untukmu, aku ingin, aku rindu bagaimana kebahagiaan yang sebenarnya, kebahagiaan yang tanpa beban, yang menghilangkan seluruh ketakutan, kebahagiaan yang tidak menimbulkan misteri.

Seorang lelaki dan gitarnya, ia begitu piawai memainkan ritme, secerdas lisannya mengusik hatiku, seteguh hatinya untuk berkali-kali mengatakan tidak, sekalipun berkali-kali pula aku mengatakan bahwa aku rindu kepadanya, dan juga mencintainya.
Seorang lelaki dan gitarnya, yang hadir bersamaan dengan hujan, aku ingin dia adalah oase tempatku bermuara; jiwa dan raga.
22:06 pm
20-may 2011

Rihoen*

“Boleh aku memanggilmu sebagai Rihoen?” tanyamu.
Rihoen. Aku pernah menulis tentang rihoen, beberapa hari yang lalu, dan itu sengaja kutulis untukmu, tapi kau hanya sempat membacanya sepotong, karena sepotong yang lainnya tak pernah kuselesaikan hingga hari ini. Aku tak merasa perlu menyelesaikannya, sebab bagiku, kau tak boleh didahului oleh siapapun.

Dan, malam ini kita kembali membicarakan tentang rihoen, sesuatu yang membuatku terdiam dalam kebingungan maha berat, aku senang kau memanggilku menjadi rihoen, tapi aku tak senang pada diriku sendiri, sebab dengan begitu aku semakin mabuk dalam imajinasiku tentangmu.

Kau juga bertanya tentang rindu malam ini, apakah aku rindu padamu? Ah, kurasa tak setiap pertanyaan perlu kujawab, sungguh, aku tak ingin menjawab apapun malam ini selain bahwa aku hanya ingin mendengar suaramu.

Ya, aku rihoen!

21.46 pm
19 may 2011
*Rihoen=rindu

Doa restu

Doa restu

Aku bahkan tak sempat berfikir tentang kesedihan, dia yang hilang semalam serupa mentari yang akan kembali besok pagi, dengan cahaya dan kehangatan yang sama, paling, ia hanya tenggelam sesaat karena mendung mengurungnya dalam suasana semesta. Dan itulah yang kusebut sebagai ritme. Kehilangan adalah alpa sejenak.

Hatiku adalah tempatku bertanya, pantaskah rindu masih ditasbihkan untuknya? Dan selama itu masih memberi lega, aku tak dapat menolak apapun tentang sesuatu bernama takdir yang tengah hinggap di diriku. Rindu masih miliknya malam ini.

Aku tak akan membiarkan sepi terlalu lama meniduriku, karena aku tak ingin melahirkan sesuatu bernama diam. Maka pada kisah berikutnya, biarkan aku melanjutkannya dalam alur imaji. Biar kuselesaikan sendiri. Sesuatu yang berlaku tanpa syarat ini.

18 may 2011

midnight

Biar Kuselesaikan Sendiri

Biar Kuselesaikan Sendiri

Aku bahkan tak sempat berfikir tentang kesedihan, dia yang hilang semalam serupa mentari yang akan kembali besok pagi, dengan cahaya dan kehangatan yang sama, paling, ia hanya tenggelam sesaat karena mendung mengurungnya dalam suasana semesta. Dan itulah yang kusebut sebagai ritme. Kehilangan adalah alpa sejenak.

Hatiku adalah tempatku bertanya, pantaskah rindu masih ditasbihkan untuknya? Dan selama itu masih memberi lega, aku tak dapat menolak apapun tentang sesuatu bernama takdir yang tengah hinggap di diriku. Rindu masih miliknya malam ini.

Aku tak akan membiarkan sepi terlalu lama meniduriku, karena aku tak ingin melahirkan sesuatu bernama diam. Maka pada kisah berikutnya, biarkan aku melanjutkannya dalam alur imaji. Biar kuselesaikan sendiri. Sesuatu yang berlaku tanpa syarat ini.

18 may 2011

midnight

Yang Kuingat dari Purnama Kali Ini

Yang Kuingat dari Purnama Kali Ini

Apa yang kuingat dari purnama kali ini? Adalah aku yang telah kehilangan cintaku, Tuhan, maafkan aku, telah berani jatuh cinta pada makhlukmu yang satu ini; pemilik suara berat yang menyisakan rindu pada setiap telinga yang pernah mendengarnya.

Benar, aku tidak mengenalinya sebagaimana mestinya, dan aku tidak pernah berusaha untuk menghadirkan dia sebagai sosok tertentu, dan menjadi apapun dalam benakku. Dia, adalah dia yang tumbuh dengan sendirinya, sangat apa adanya.

Benar, aku hanya tahu bahwa dia memiliki suara yang indah, suara yang berkarakter, dan aku suka, tapi Tuhan, sungguh, bukan karena suara itu aku jatuh cinta padanya. Adalah kenaifan bila cinta hanya dikaitkan pada suara indah yang merdu, kelak ketika tiba-tiba ia menjadi parau dan suaranya menjadi kacau apakah cinta hanya sebatas itu? Kurasa tidak Tuhan.

Tuhan, aku tidak punya alasan apapun tentang cinta yang satu ini, tapi aku sempat berfikir bahwa ini adalah sebenar-benarnya cinta, apa yang aku sebut sebagai sebuah kelayakan, tapi setiap orang punya definisi berbeda tentang kosa kata yang satu ini.

Tuhan, tolong bantu aku untuk tak mengatupkan sembarang penglihatanku, karena memejamkan mata adalah memunculkan kenangan tentang dia, benar Tuhan, ketika semua pergi, ketika semua hilang, ketika semuanya berubah menjadi sepi yang panjang, yang tersisa dan mampu menjadi setia hanyalah kenangan itu sendiri.

Tuhan, aku tak mampu berkata apapun tentang perasaanku hari ini, semoga tidur semalam telah mengenyahkan seluruh emosi yang ada dalam diri, perasaan marah, senang, bahagia, sakit, rindu, atau apapun namanya. Aku ingin kembali menjadi arca, yang sepi dari perasaan, yang sepi dari ingat mengingat, yang sepi dari kecamuk rindu dan hiruk pikuk.

Tuhan, mestinya kesedihan tak perlu sepaket dengan air mata bukan? Tapi Tuhan, aku pernah tiga kali menangisi dia, pertama ketika aku meminta agar ia menciumku di malam terakhirnya, ke dua ketika dia tak ada dan aku dibelit rindu yang parah, dan terakhir kali ini, dia yang pergi tiba-tiba tanpa aku sempat meminta sesuatu yang bisa ia katakan agar aku bisa mengingatnya sepanjang ingatanku belum melepuh, dan meminta ia mencium kudukku.

Dan Tuhan, terimakasih karena Kau telah memberiku feeling yang kuat, bahkan semalam sebelum ia datang dengan puisi terakhirnya, aku telah menyelesaikan semuanya, menyudahi dengan caraku, aku menghapus nomor teleponnya, karena kutahu hanya itu satu-satunya penghubung di antara kami.

Seperti yang kukatakan pada malam sebelumnya, bahwa kita tak pernah tahu pada apa yang akan terjadi besok, dan aku cukup lega karena pada malam sebelumnya dia sudah mengetahui bahwa aku mencintainya, dan ketika malam ini ia pergi, aku tak lagi panik. Tuhan, bagiku cinta itu begitu sederhana, sesederhana kuku yang terus tumbuh di jemariku, melewati sekat-sekat waktu dan tak tunduk pada kepatuhan kehendak.

Bagiku, cinta adalah sesuatu yang bisa meninggikan imajinasi dan aku hidup dengannya, sembuh dengan itu, dan ia telah melakukan itu untukku.

18-may 2011

03.08 am

*Keping Kenangan

Muara Dua Rahasia

Muara Dua Rahasia

adalah sela-sela terakhir kebersamaan kita, setelah ini kita akan hidup untuk kehidupan kita masing-masing, bahkan mungkin mendengar suaramu adalah kerinduan panjang yang tak akan tersampaikan, apalagi menyelidiki wajahmu yang menyimpan banyak rahasia, meski sepotong-sepotong kau ceritakan tentangmu aku tak berniat menggugat, kau punya duniamu sendiri, yang aku tak berhak tahu. meski kau bilang aku seseorang yang kini menjadi penting bagimu.

bahkan semalam, aku tak tahu kau seperti apa, karena sejak kemarin kita selalu selesai dengan ketergesa-gesaan, tanpa penyelesaian, bahkan hingga pagi ini, mengapa adalah pertanyaan sederhana yang ingin kusampaikan kepadamu. tapi hening sedang tak ingin menjadi riuh, maka kubiarkan saja kau menikmati kesendirianmu.

kuharap kau bisa tidur dengan nyenyak semalam, aku mafhum bahwa malam-malam terakhirmu adalah malam-malam berat yang bukan hanya menyisakan kantuk esoknya, tetapi juga perih, luka, dan perasaan bersalah, tapi aku tak dapat menyembuhkan apapun dari perasaan yang tercipta oleh kerumitan itu.

kita tak bisa mencegah takdir bukan? dan takdir tak pernah meminta persetujuan dari kita untuk menuntaskan kehendaknya. dan aku hanya bisa berharap semoga jarak yang tercipta kelak adalah saat-saat dimana romansa keromantisan kita bisa disegerakan.

bila kau menyudahi dengan caramu, maka aku mengikutinya dengan caraku, dengan cara paling sederhana yang kita tidak akan pernah lupa, bahwa kau dan aku adalah tempat bermuara dua rahasia; tentang cinta atau selir hati.


16 Mei 2011 jam 11:21

Sebentar Saja

Sebentar Saja
ke-sebentar-an yang begitu berkesan, kita belum lagi sempat membicarakan apa-apa ketika seseorang meneleponmu, dalam gerakan-gerakan yang begitu sarkastik kita menyelesaikan semuanya dengan begitu cepat, aku bahkan belum sempat bertanya sampai kapan kau ada di sini. karena itu adalah pertanyaan terakhir pada setiap perjumpaan. sedang kita baru saja memulainya.
kau mengeluh, sambil mengulum senyum dan kedipan mata yang sedikit nakal, aku hanya bisa menyentuh wajahmu, sesempat yang mampu kulakukan, dan mengeringkan sisa-sisa air di rambutmu dengan jari-jariku. kau bahkan belum sempat menyiapkan teh untuk kita, belum sempat menceritakan tentang ke-tak sengajaan kebersamaan kita sore tadi, dan aku tak punya kesempatan untuk menyelami bulir matamu.
kita hanya bisa termangu untuk sesaat, mentertawakan ketergesaan ini. "Aku akan pergi sebentar, tunggulah di sini." katamu usai berkemas-kemas, kau telah wangi, dan wangi itu telah menempel di tubuhku. "Istirahatlah dulu, di sini." katamu lagi. Aku melongok ke luar jendela, dari balik horden berwarna coklat aku mendapati beberapa ruas jalan kota ini begitu lengang. selengang kita yang terdramatisir oleh keadaan.
"Sampai kapan?" tanyaku tak yakin, menghabiskan waktu bersamamu telah kulakukan cukup lama, aku menjadi sangat mengerti tentang segala aktivitasmu, untuk malam ini aku tak menaruh harapan apa-apa pada perjumpaan singkat ini. aku tak akan merajuki kepergianmu, karena aku sudah cukup berterimakasih, disela sibukmu kau masih mengingatku. dan kita masih sempat menyelingkuhi waktu.
"Sampai pukul sepuluh." katamu
aku mengangguk, "aku akan menunggu sampai pukul sepuluh, kalau kau masih belum datang, aku akan pergi." kataku menyusuri langkahmu. kau mengiyakan, lalu bergegas menuju ke pintu ke luar. tapi, kemudian kau berhenti sejenak, berdiri di hadapanku, dan kau menyudahi pertemuan dengan sangat santun, seperti biasa. setelah menyodorkan sesuatu selain tanganmu untuk kucium dengan takzim, begitu juga sebaliknya.
sungguh, ini adalah ke-sebentar-an yang begitu nikmat, aku pergi setelah waktu terlewati karena mereka akan menyekapmu di sana dengan sangat lama, dan setelah itu, rindu kita tuntaskan melalui short message service. (Z)
-mengenang kisah-

14 Mei 2011 jam 11:12

Sabtu, 14 Mei 2011

Tentang Insomnia

Tentang Insomnia

seingatku, aku tak pernah mengidap insomnia yang membuatku masih terus terbelalak hingga malam mulai lengang dan orang-orang telah sibuk menghimpun mimpi. seperti yang sering kukatakan, bahwa aku adalah penikmat tidur yang (mungkin) bisa tidur di mana saja.

karena dalam tidur aku bisa menyelesaikan apa yang seharusnya kuselesaikan, tentang masa lalu yang telah terlewati, tentang masa sekarang yang sedang kujalani, dan tentang masa depan yang aku lewati nanti.

dalam tidur, aku bisa menyelesaikan semuanya dengan sempurna, dengan skenario yang diinginkan oleh hati, hasrat dan juga imajinasi. dalam tidur tidak ada yang membantah, tidak ada yang menolak, tidak ada yang memprotes, juga tidak ada yang mencibir, sebab dalam tidur aku tidak melibatkan siapapun untuk membantuku.

tetapi, semalam entah mengapa tiba-tiba aku diserang insomnia stadium akut, padahal sejak sore kantuk telah menyerangku dengan sangat parah, dan lelah yang merengkuh diri, melunglaikan seluruh sendi dan otot yang memang sedang tidak terlalu baik.

kombinasi kantuk dan lelah yang pekat, melahirkan rasa pusing yang menggelapkan pandangan, seperti berputar-putar, membuatku teringat bila aku telah lupa pada zat besi dan asam folat yang biasanya rutin kukonsumsi. semakin lengkap dengan gigil yang tiba-tiba menyerang tanpa permisi.

aku berulang kali bersirobok dengan waktu, koran minggu kemarin, beberapa judul buku, kamus bahasa indonesia, dan sebuah buku hadiah seseorang lima tahun yang lalu -yang baru sempat kubaca sekarang- tergeletak tak beraturan di tepi tilamku, dan beberapa lembar kertas berceceran berisi tulisan-tulisan pendek yang parah.

semua itu tiba-tiba berubah menjadi sangat manis dan menyenangkan, bukannya membuat kantuk tetapi malah membuat mata melebar seperti bola, menggelinding-gelinding ke langit-langit kamar. dan aku sibuk dengan buku Dr. Chapmann bersampul ungu.

aku paham, ini bukan insomnia biasa, tetapi ke-tak-kantuk-an yang ditimbulkan karena ada sesuatu yang membuatku memang seharusnya tak tidur. meski berkali-kali kupaksa, mungkin sudah terprogram di bawah alam sadar.

seperti yang kukatakan pada Tuhan kemarin sore, bahwa aku sedang menyimpan sebuah catatan, untuk kuperdengarkan di telinganya bila ada kesempatan, meski tak sampai kelak, dan tak sampai menjadi usang, akhirnya ia datang menyodorkan telinganya, ketika itu waktu telah renta.

dan meski, kukatakan padanya bahwa itu catatan terburuk yang pernah kutulis, tapi sebenarnya itu adalah catatan terbaik dan tercepat yang mampu kuselesaikan, seperti kombinasi insomnia dan rindu, semua mengarah untuknya.

12:03 pm

13 May 2011

sm

Langkah Kakimu

Langkah Kakimu

Tiba-tiba saja aku dikepung keinginan untuk kembali mendengar langkah kakinya yang berderap-derap di sepertiga malam, sejak kemarin sore, kemarin malam, dan hingga hari ini, keinginan yang belum terselesaikan. Suara-suara yang mistis tatkala alas kakinya menyatu saling mendahului, menyentuh kerikil atau mungkin pasir di jalanan yang gelap. Aku lupa menanyakan padanya, seperti apakah alas kakinya ketika itu? Serupa sandal jepitkah atau sepatu yang mampu menghangatkan kaki-kakinya.

Yang kuingat adalah jawabannya yang ingin melihat malam dan para sahabatnya, bulan, bintang, dan merasakan angin-angin malam yang dingin dan lembut, tetapi menusuk tulang. Saat kutanya untuk apa malam-malam seperti itu ia menyusuri jalanan yang lengang dan sepi. Jawaban yang sebenarnya adalah ia ingin mencari penghangat dirinya yang lain, aku tahu, ketika sepi dan suntuk menyergapnya ada sesuatu yang bisa membuatnya lupa pada semua kepenatan itu, sesuatu yang bisa membunuh rasa lapar dan haus, sesuatu yang bisa membuatnya menunda untuk melakukan sesuatu, ia butuh rokok.

Aku tertawa ketika ia kemudian harus berbalik, tersungut-sungut karena apa yang dicarinya tidak ada, mungkin ia sedikit kecewa dan tidak bisa tidur dengan tenang malam itu. Derap-derap langkah yang indah, kalau tak salah menghitung, mungkin sekitar delapan menit lamanya.

---------------------

Kapan kita bisa menghabiskan waktu bersama? mungkin, sekedar untuk berjalan menyusuri lorong-lorong sambil memamah cerita-cerita usang yang pernah kita punya, yang belum pernah kita ceritakan kepada siapapun. Atau mungkin sambil menyeruput kopi hitam yang pahit tanpa gula, yang ketika merayapi kerongkongan kita serupa pahitnya dengan asap rokok yang katamu begitu nikmat pada hisapan pertamanya.

Seingatku, pertama dan terakhir tak ada bedanya, sama-sama pahit, sama-sama menyesakkan dada, dan...kita tetap bersikeras bahwa batuk yang berat itu bukan berasal darinya tetapi dari polusi udara, dari makanan, dan dari entah apa lagi.

Ya, aku sedang dikepung rasa itu, tetapi untuk menyusuri malam bersama, mungkin di tepi pantai yang bergelombang, yang hanya purnama sebagai penerangnya, dan kita akan bercinta bersama alam.

Laut itu engkau

Laut itu engkau
Aku hanya ingin melihat lautan, sekedar untuk memastikan bahwa kecipaknya masih sama seperti kemarin, bau asinnya, dan derasnya angin yang menerbangkan debu-debu. dan juga engkau.
Setelah hujan sore ini, dan setelah lepas dari kebingungan menjelang petang, aku menyusuri jalan-jalan harum bekas hujan tadi, meninggalkan kalian yang heran mengapa aku tak menjawab sepotong tanyapun tentang kemana aku akan pergi. bukankah aku selalu begitu, memberi jawaban ketika kalian sedang tak berfikir apapun tentang aku.
Gemuruh laut, adalah rahasia diri yang kenikmatannya akan hilang ketika aku berbagi, maka biarkan aku menikmatinya sendiri, serupa aku mencintai dia yang selalu berdebar seperti ombak yang menindih pasang.
Melalui angin lelaut sore aku kembali merasakan sentuhannya yang sekali-kali, kabut-kabut putih yang menyembul di balik laut seberang sana, sepertinya matanya yang selalu bersih dan menenangkan.
Maka biarkan aku merasakan laut sore ini dengan caraku sendiri. Karena engkau telah menjadi apa saja.

Lukisan Pengantin

Lukisan Pengantin

Paesan

kuberikan dahiku untuk kau buatkan paesan* di atasnya

lalu keringkanlah dengan nafasmu

07-May 10:06 pm

Setelah

setelah semalam

aku percayakan malam

untuk memasung resahku.

dan setelah hari ini

aku percayakan siang

untuk menuntaskan rinduku

08-May 03:34 pm

Yang kutunggu

apa yang kutunggu dari malam-malam setelah ini?

adalah derap-derap langkah kakimu

untuk menuju kepadaku

09-May 12:12 pm

*paesan; lukisan di dahi pengantin perempuan

(SM)

Ayah, tunggu aku di surga

Ayah, tunggu aku di surga
Ayah, kapan ayah datang menjengukku lagi? Sudah lama kita tidak bertemu, bahkan senyum terakhir ayah yang menggantung di mimpiku mulai terburai, perlahan di bawa angin keadaan.
Ayah, nanti kalau datang tolong bawa balsem lang ya? Aku ingin ayah menaruhnya di punggungku dan mengurutnya perlahan, seperti yang selalu ayah lakukan kalau aku sedang sakit. Ayah, aku rindu sekali merasakan hangatnya sentuhan tangan ayah yang kasar, belaian tangan ayah di kepalaku dan tatapan mata memaksa ayah untuk menyuruhku ke rumah sakit. Aku merengut, tapi ayah tetap memaksa, kalau mau sembuh harus disuntik, tapi aku takut disuntik, begitulah selalu ayah mengultimatumku, dan hanya ayah lelaki yang bisa membuatku menurut pada perintah apapun. Lalu pergilah kita bersama-sama ke dokter, dan disuntiklah aku.
Sekarang tidak ada yang memaksaku lagi, bahkan semalam ketika aku terkulai dalam gigil yang hebat, aku hanya bisa menunggu ayah datang, hingga menjelang pagi tak kudapati ayah menjengukku. Tubuhku menghangat, tapi aku tahu itu bukan rasa hangat yang berasal dari pelukan ayah, tapi dari suhu badan yang tidak bersahabat.
Ah, tak ada yang kuharapkan kehadirannya pada saat-saat seperti ini selain hanya ayah.
Ayah, semalam aku mengulang kejadian lama, ayah tahu kan aku bisa melakukan apa saja ketika sedang tidur, dalam ketidak sadaranku aku bisa saja turun dari tempat tidur dan mengganti pakaian, besok pagi-pagi kita semua kerepotan karena aku tidak bisa melepas baju yang kupakai semalam, karena ternyata yang kupakai adalah baju adik. kadangkala aku bisa saja bercerita denga bahasa dan gerakan-gerakan aneh.
dan semalam aku seperti kebingungan ketika sepertinya aku berbicara dengan seseorang, membaca pesan-pesan panjang dan meneruskannya pada seseorang, kebingungan yang masih sampai sekarang karena setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi.
Ayah, jangan lupa bawa balsem lang-nya ya? Aku makin menggigil dan hanya pijatan tangan ayah yang kasar yang bisa menyembuhkanku.
Ayah, tunggu aku di surga.
Anakmu
Ihan Nurdin




6 mei 2011

Ayah, tunggu aku di surga

Ayah, tunggu aku di surga

Ayah, kapan ayah datang menjengukku lagi? Sudah lama kita tidak bertemu, bahkan senyum terakhir ayah yang menggantung di mimpiku mulai terburai, perlahan di bawa angin keadaan.

Ayah, nanti kalau datang tolong bawa balsem lang ya? Aku ingin ayah menaruhnya di punggungku dan mengurutnya perlahan, seperti yang selalu ayah lakukan kalau aku sedang sakit. Ayah, aku rindu sekali merasakan hangatnya sentuhan tangan ayah yang kasar, belaian tangan ayah di kepalaku dan tatapan mata memaksa ayah untuk menyuruhku ke rumah sakit. Aku merengut, tapi ayah tetap memaksa, kalau mau sembuh harus disuntik, tapi aku takut disuntik, begitulah selalu ayah mengultimatumku, dan hanya ayah lelaki yang bisa membuatku menurut pada perintah apapun. Lalu pergilah kita bersama-sama ke dokter, dan disuntiklah aku.

Sekarang tidak ada yang memaksaku lagi, bahkan semalam ketika aku terkulai dalam gigil yang hebat, aku hanya bisa menunggu ayah datang, hingga menjelang pagi tak kudapati ayah menjengukku. Tubuhku menghangat, tapi aku tahu itu bukan rasa hangat yang berasal dari pelukan ayah, tapi dari suhu badan yang tidak bersahabat.

Ah, tak ada yang kuharapkan kehadirannya pada saat-saat seperti ini selain hanya ayah.

Ayah, semalam aku mengulang kejadian lama, ayah tahu kan aku bisa melakukan apa saja ketika sedang tidur, dalam ketidak sadaranku aku bisa saja turun dari tempat tidur dan mengganti pakaian, besok pagi-pagi kita semua kerepotan karena aku tidak bisa melepas baju yang kupakai semalam, karena ternyata yang kupakai adalah baju adik. kadangkala aku bisa saja bercerita denga bahasa dan gerakan-gerakan aneh.

dan semalam aku seperti kebingungan ketika sepertinya aku berbicara dengan seseorang, membaca pesan-pesan panjang dan meneruskannya pada seseorang, kebingungan yang masih sampai sekarang karena setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi.

Ayah, jangan lupa bawa balsem lang-nya ya? Aku makin menggigil dan hanya pijatan tangan ayah yang kasar yang bisa menyembuhkanku.

Ayah, tunggu aku di surga.

Anakmu

Ihan Nurdin



6 mei 2011

Untuk Teh Uwi

aku masih tidur ketika itu, masih sibuk dengan mimpiku sendiri, tentang dia yang kutunggu semalam, baru beberapa waktu kemudian ketika matahari telah terang, aku bangkit dan segera bergegas, menuju tempat di mana aku bisa membasahi tubuhku dengan air yang dingin dan liar.
masih berbalut handuk, kulihat ada dua panggilan tak terjawab darimu, panggilan subuh tadi dan panggilan beberapa saat yang lalu. Sesaat kemudian sms yang kau kirimkan semalam masuk, 'handphonenya tidak aktif' tulismu singkat.
aku menghela napas, membetulkan lilitan handukku dan rambutku yang setengah basah, untuk kemudian meneleponmu. dan kita larut dalam percakapan pagi yang didominasi oleh diam. "coba saja lagi," kataku berulang-ulang, sebab memang tak ada yang dapat kukatakan.
meski dalam diam, aku bisa merasakan kegelisahan dan rasa khawatirmu yang sangat, kekalutan yang aku yakin membuatmu menggigil dan ingin menangis. sejak berhari-hari yang lalu, ketika mei muncul di tanggal satu, kau tak henti-hentinya membicarakan tentang mei yang kau tunggu-tunggu, kau mengingatkanku tentang waktu-waktu yang akan segera tiba. "tinggal 9 jam lagi." katamu kemarin siang. dan semalam ketika aku mulai lelap dilumuri kantuk kau masih sempat mengingatkan; tinggal 1 jam lagi.
sama sepertimu, akupun berharap-harap cemas, menunggu-nunggu apa yang terjadi setelah waktu satu jam itu, dan pagi kali ini aku menemukan bahwa waktu setelah satu jam itu tidak seperti yang kau harapkan.
"Mungkin ini yang terbaik, cepat atau lambat itu akan terjadi, dengan tergesa-gesa atau tanpa perencanaan." kataku seperti menyelami gelisahku sendiri. selalu ada akhir dari sesuatu yang telah diawali, meski bukan perceraian sejati, karena aku yakin dia juga sama sepertimu, menunggu cerita-cerita indah untuk ia dengar.
melihatnya seperti melihat diriku sendiri, maka mengertilah, mungkin kau bisa menyimpulkan sedikit dari sekian banyak cerita yang tak tertuntaskan itu.
selesai berbicara denganmu selesai pula aku berkemas, menanggalkan lilitan handuk, mengeringkan rambut yang setengah basah, sekarang aku akan pergi, matahari telah menunggu untuk kucium di singgasananya.

Lelaki

Lelaki

duduk di sampingmu, lelaki muda yang riang, membuatku terkenang pada masa beberapa waktu lalu, yang kau hembuskan dari mulut kecilmu yang hitam, berputar-putar seperti labirin yang menyeruak di rongga paru, pelan-pelan menembus panca inderaku, merambati masuk, melalui celah hidung yang pengap, dan bermukim di bilah dada yang tak begitu lebar.

aroma mabuk yang nikmat, tapi aku tak suka ketika kau memanggilku adik, sebab aku bukanlah adikmu, dan aku memang tak pantas menjadi adikmu, aku lebih pantas menjadi kakakmu, kataku, tapi kau tak peduli, katamu, begitulah lelaki. ah...lelaki...aku justru lebih peduli pada apa yang menyelip di jarimu yang menggelinjang. yang membuatku terkepung imaji setinggi angkasa, seluas cakrawala.

hei, lelaki muda, duduk di sampingmu membuatku resah sepanjang waktu, ingin segera kutinggalkan engkau tapi aku tak bisa, ada yang memaku-ku untuk terus diam di sini, menyaksikan langit-langit malam yang beku, kataku pada seorang teman; aku telah bosan dengan situasi ini.

kau tak juga pergi, dan labirin kepulan itu semakin jelas masuk ke alam ingatku, membuatku bergelimang pada kejadian masa lalu, aku ingin mengulang masa itu; kataku pada seorang teman yang lain.

diakah yang membuatmu begitu? tanyanya. bukan, jawabku ragu. lalu? entahlah.

aku tak pasti dengan jawabanku sendiri, mungkin juga seperti engkau yang kukuh memanggilku adik, panggilan yang tak ingin kudengar disebut oleh siapapun, kecuali orang asing yang tak mengenal siapa aku.

ketika akhirnya aku lega setelah pergumulan yang panjang, aku tidur dengan resah yang sama.

Klimaks Halusinas

Klimaks Halusinas

menyusuri lekuk-lekuk kotamu

aku pana dalam gugu yang gagap

menduga-duga di mana kau pernah berjalan

di sini, di sini, atau di sana

bau tubuhmu menyergap di ambang petang

seperti aroma rindu yang melesat menembus imaji

menysuri lekuk kotamu

seperti menyusuri alam hayalku sendiri

terengah-engah diantara lelah dan klimaks halusinasi

aku telah senja sampai ke kotamu

seperti kau yang hilang ditelan kabut

08.08 pm

on sunday, 02 May 2011

(Mengenang Perjalanan)

Aku Lelah

Aku Lelah

aku lelah seharian ini

berjalan ke sana ke mari

tersengal oleh napas yang patah-patah

pun pada pertemuan itu

tak kudapati penawar rindu yang kacau

aku tersesat di belantara rasa yang aneh

yang memaraukan suara

yang menghilangkan kata

yang melahirkan desah nafas panjang

berkali-kali

aku lelah seharian ini

lunglai di atas ranjang tua

sakit oleh rinduku sendiri

01 may 2011

09.18 pm

after NBT

(*) SM

Catatan Terakhir di Bulan April

Catatan Terakhir di Bulan April
adalah engkau yang tersisa dari rindu setelah hujan semalam, yang memberiku kesempatan lebih untuk mendengar gumamanmu yang beruntun, serupa rintik hujan yang terus bergulir. dan tentang kelebat rindu yang masih bergantungan di pucuk-pucuk hati, meleleh mengaliri lekuk-lekuk jiwa yang absurd.

di penghujung april yang basah, serupa malam-malam yang kalut oleh perasaan yang entah, tak dapat didefinisikan, sebab semuanya adalah akumulasi dari kegelisahan, rasa senang, bahagia dan suka cita, mungkin seperti rasa lega yang muncul setelah melepaskan nafas yang panjang berkali-kali.

aku, yang menanti sesuatu darimu, mungkin seperti ciuman kepik di ranting-ranting daun, bergerak pelan dan merambati adrenalin. entahlah, membawaku pada perjalanan, untuk memenuhi keinginanmu (atau keinginanku), tentang sesuatu yang kau sebut kalung pinggang itu, aku telah mendapatkannya pagi menjelang siang tadi.

aku cemburu pada ikan-ikan yang sering kau kunjungi, juga pada tanah-tanah yang sering kau pijak, juga pada langit-langit yang kau junjung, mungkin juga pada ranjang yang sering menyepuh punggungmu.

kali ini, tanpa meminta pendapat pada siapapun, aku ingin mengikuti apa yang diinginkan hatiku, untuk memiliki gumaman beruntunmu, untuk suaramu yang patah-patah, untukmu yang telah melibatkan diri dalam ketinggian imajiku.

30 april 2011

(SM)