Rabu, 28 Desember 2011

Menanti Untuk Menyetubuhi Matamu

sudah tidak sabar untuk segera kembali menyetubuhi matamu dengan pandangan yang paling sempurna, dengan tatapan yang mampu memberikan penyelesaian untuk sesuatu bernama rindu itu. Tanpa perlu dijelaskan dengan kata-kata, sebab kata seringkali tak mampu menginterpretasikan dengan baik. Gejolak hanya mampu dibinasakan dengan diam, dan diam adalah milik cahaya yang muncul dari manik salah satu panca indera.

Kutunggu engkau datang, dengan secawan anggur berwarna ungu mawar, yang rasanya mampu meliatkan seluruh gemuruh karena akumulasi lelah akibat penantian terhadap waktu. Yang mampu mengumpulkan kembali percikan-percikan energi akibat kikisan jarak.

Bila pagiku adalah hari-hari mengumpulkan cinta untukmu, maka hidupku adalah kumpulan perasaan yang tak pernah berubah untukmu. Engkau telah begitu rapi masuk dan merebut ingatanku, sampai-sampai timbul cemburu terhadap diriku sendiri. Cemburu yang menimbulkan geletar nikmat melebihi mabuk dari anggur berwarna ungu mawar yang berasal dari ke dua kelopak bibirmu.

Betapa, melihat matamu terkapar tak berdaya adalah kenikmatan luar biasa yang hanya mampu dirasakan dengan ketajaman imajinasi dan ketinggian intuisi. Dan menjadikan engkau sebagai noktah yang akan kutulisi seluruhnya dengan cerita rindu dari negeri panca indera.Dan usai percintaan dua mata yang tak tertahankan itu, tulang belulangmu akan dipenuhi syair-syair matahari yang kelak akan menjadi prasasti cahaya. Yang akan menjadi penunjuk jalan bagi cinta yang tidak pernah menemui jalan usainya.

Rabu, 14 Desember 2011

Logika

Logika

“Aku tergila-gila padanya.” Kataku pada diriku sendiri.

Ketika itu, malam telah sangat larut, efek kopi tadi siang rupanya membuat kantuk enggan menggantung di mataku. untuk menghalau bosan aku membaca sebuah novel tebal lebih dari enam ratus halaman. Ketika ke dua tanganku yang kugunakan sebagai penyangga mulai terasa pegal, aku pun mengganti posisi, kadang sambil tidur, kadang sambil duduk bersandar di bantal, kadang sambil miring.

“Mengapa kau menggilainya?” Tanya suara lain di diriku.

Hm…aku tidak segera menjawab, haruskah kuberi alasan untuk setiap perasaanku? Tidak bolehkah aku menyukainya tanpa alasan apapun. Aku menyukainya dan aku tidak tahu mengapa. Tidak boleh kah seperti itu? Agar semuanya menjadi sederhana.

“Karena ia berbicara dengan bahasaku.” Jawabku akhirnya, mencoba memberikan jawaban selogis mungkin.

Ada semacam tawa sinis mengambang di bibirnya, di bibir logika yang sering membuatku kadang terlalu angkuh untuk mengakui bahwa aku tidak selamanya benar. Keangkuhan yang telah membuatku mempertahankan lelaki kekasihku demi egoku sendiri, ah, tidak, aku mencintainya, dan masih mencintainya, lalu, apa yang salah dengan mempertahankannya tetap sebagai kekasihku.

Logika mencibir lagi, mungkin maksudnya inilah puncak egoku, ingin memiliki semua yang kumaui tanpa mempedulikan apakah aku benar-benar membutuhkannya.

“Apakah semua yang akan berbicara dengan bahasamu akan kau jadikan kekasih?” ejek logika dengan seringainya yang tajam. Bahkan diriku sendiri tak sudi menyaksikannya. Tetapi di dalam gelimang sunyi ini, hanya diriku sendiri yang bisa kuajak berdiskusi, agar sepi benar-benar enyah. Tidak, yang benar adalah agar sketsa wajah lelaki yang sedang kugilai bisa mengabur.

“Kau tak perlu ikut campur dalam urusanku, ini masalah hati, dan kau tidak mengerti.” Belaku.

Mata lelaki itu seolah hadir di hadapanku, mencoba masuk dalam diriku untuk memberi kekuatan, bahwa tidak ada yang salah dengan semua yang terjadi. Tidak akan ada yang sakit hati dengan pertemanan ini, apalagi kecewa.

“Pertemanan? Kau bilang pertemanan setelah semua yang terjadi?” 

Aku mulai muak dengan celoteh logika. Jika bisa, ingin kusekap ia saat aku bertemu dengan lelaki bukan kekasihku itu. Sayangnya aku tidak bisa melakukan itu. Dan ia mendengar semua percakapanku dengan lelaki itu. 

“Maumu apa?” pekikku dengan suara tertahan. “Dulu saat aku ingin menikahi lelaki kekasihku, kau menjejaliku dengan berbagai argumentasi tentang kebenaranmu, dan sekarang kau semakin menjadi-jadi dalam mengatur hidupku.” Napasku tersengal, persis ketika lelaki itu menyentuh jemariku, bedanya sekarang karena marah dan dikepung emosi.

Hening. Tidak ada yang mengeluarkan suara. Aku tidak ingin menyalahkan logika sepenuhnya, tetapi salahkah bila aku memberi kesempatan pada diriku sendiri untuk mabuk pada madu rimba itu? 

Lagi-lagi, mengapa tidak pernah menemui jawabannya.

“Kau tentu tidak bisa menjelaskan kepadaku mengapa aku tidak bisa menikahi lelaki kekasihku bukan? Juga lelaki yang bukan kekasihku itu. Aku tidak bisa menikahi ke duanya. Kau tidak mengerti karena kau bukan hidup sebagai diriku. Kau hanya sesuatu yang ada di dalam diriku.” Kataku akhirnya berterus terang.

Logika menjulurkan kepalanya, ia memandangiku dengan tatapan yang tak dapat kuartikan. Aku menghembuskan nafas panjang. Pertanda tak ingin lagi berdebat dengannya.

“Buatlah keputusan yang terbaik untuk dirimu.”

Malam semakin uzur, tetapi sepertinya tidak ada tanda-tanda akan segera ada jalan keluar dari rindu yang bertubi-tubi ini.

Bahasa Kosa Kata Mata (untuk seseorang)

Bahasa Kosa Kata Mata (untuk seseorang)

“Mengapa?” 

Pertanyaan yang tidak pernah menemukan jawabannya, bukan karena kita tidak mengetahui  jawabannya tetapi karena memang kita tidak ingin menjawabnya. Tidak semua yang kita lihat mesti memiliki nama yang pantas, tidak semua yang kita dengar mesti memiliki muasalnya, dan tidak semua yang kita rasa mesti punya alasan.

Rasa yang terbentang bagai secawan anggur yang membuat kita tak sabar untuk segera mencicipinya. Leguh napas yang tertahan adalah ekspresi dahaga maha dahsyat yang membuat kita hanya mampu bergumul lewat pandangan mata. Tak peduli di tengah keramaian, nyatanya kita mampu mencapai klimaks di antara pengap dan panas karena luapan emosi.

Kita tidak pernah tahu, mengapa tiba-tiba kata-kata tercekat di pangkal lidah, tetapi bahasa mata menemui kosa kata yang teramat lebih. Kita berbicara dalam diam, dan senyuman yang paling manis, melebihi madu dari lebah liar di belantara.

Kita belajar tentang bagaimana gerak mengatur liuknya, di jemari yang saling berpagut, di naik turunnya napas yang tak leluasa. Di bibir yang menyungging penuh arti, di mata yang bergerak nakal menelanjangi pikiran.
Sudahlah, dalam waktu sesingkat-singkatnya kita telah banyak belajar bagaimana mengeksplorasi rindu, memang, tidak ada yang mengatakan, tetapi semuanya telah dimulai, dan kita tidak ingin segera menyelesaikan.