Kamis, 09 Februari 2012

Persembunyian Takdir



“Bersiap-siaplah.” Katamu

Ketika itu Aku baru saja selesai menyisir rambutku, lalu menguncirnya dengan pengikat rambut warna merah hati. Kuletakkan handphoneku di kasur, kemudian menyelesaikan riasan wajah berupa polesan celak di mataku.  Aku mematung sebentar di depan cermin, sekedar memastikan bahwa bedakku rata, dan lipstick di bibirku tidak ada yang keluar garis. Saat itu handphoneku kembali berbunyi. “waktu kita terbatas.” Katamu.

Aku meleguh. Menarik napas panjang sebagai bentuk keberatan dari ketergesa-gesaan yang kau tawarkan. Tapi itu hanyalah luapan emosi sesaat manakala aku harus menempuh jarak yang tidak sebentar untuk bisa segera sampai di hadapanmu. Dan memang, waktu selalu terasa singkat bagi kita; aku dan engkau.

Hingga akhirnya ketika aku telah berdiri di hadapanmu, aku menyerobot dengan sergapan keluhan tentang ketergesaan tadi, aku menambah kecepatan lebih dari biasanya dan membuatku harus terus menerus menekan klakson sepeda motor, aku menyalip dan hampir menerobos traffic light. Aku melalui lorong-lorong sembunyi dengan jantung yang berdebar kencang. Hffff….

“Apa kabarmu?” tanyamu sambil merentangkan tangan. Seperti biasa, jika bukan tanganmu yang kau julurkan, maka pipimu lah yang kau sodorkan untuk kucium, kuhirup dalam-dalam, dan kucium sepuasnya, hingga berdecap-decap.  Seperti anak kambing yang menyodok-nyodok kantung susu induknya.

“Aku tak pernah baik. Oleh sebab rindu ini semakin kurang ajar. Ia ingin menguasai diriku. Ah…” kataku.

Kau tersenyum. Memamerkan garis bibirmu yang begitu manis ketika sedang melengkung. Yang membuatku tak akan pernah lupa bagaimana rupanya. Dan selalu ingin menikmati manisnya yang lembut. Dan bila mengingat ini, aku hampir-hampir gila.

“Kau pikir aku tidak? Aktivitas ini hampir merenggut seluruh waktuku, dan rindu menjajah demikian sombongnya.”
“hm…”

Aku mulai kehilangan kosakata. Kurapatkan dahiku ke dahimu yang bersih, agar aku bisa dengan leluasa masuk ke matamu. Tarikan nafasmu hinggap lembut di wajahku. Serupa angin yang menerbangkan butir pasir, atau melambaikan nyiur di tepi pantai. Lembut. Hangat.

Kubiarkan jari-jemariku bergelung di bawah lengkung jemarimu yang besar dan sedikit kasar. Biar ia mencari nyaman dengan caranya sendiri. Dan sementara itu biarkan mata kita saling mengeksplorasi rasa. Mata memeliki peran besar dalam menyelesaikan segala perkara. Dan kerinduan adalah perkara terbesar yang tidak pernah kita temukan jalan keluar.

“Kau lihat mataku?” tanyamu. “Coba kau lihat di bawah kelopaknya.” Katamu lagi sambil melebarkan matamu. Aku mengernyitkan dahi. Meneliti matamu yang berwarna cokelat. “Berwarna pink. Aku kurang istirahat.” Kau menghela napas. Setelahnya kau menjulurkan tubuhmu agar lebih rileks. Dan sebelah tanganmu mencengkeram pinggangku dengan kuat.

“Kau bahkan tak sempat memangkas rambutmu.” Imbuhku. Aku menyentuh rambutmu. Lembut. Tidak seperti kebanyakan rambut lelaki yang kaku dan kasar. Kau mengangguk. Dengan mata yang sedikit sayu, perpaduan antara kantuk dan lelah yang hebat. “Aku ingin di kepalamu segera ditumbuhi uban yang banyak.” Kataku lagi. 

Kau menggeliat. Menatap menyelidik ke mataku yang hitam. Dahimu berkerut. 

“Agar aku punya waktu yang banyak untuk bersamamu.” Jawabku tergelak.

“Tak ada kaitannya dengan uban.”

“Aku tidak akan membiarkanmu beranjak sebelum uban-uban itu selesai kucabuti. Kita akan tua bersama. Dan pada saat itu lah aku selesai mencabuti uban-ubanmu.”

“Kau ini ada-ada saja.”

“hahaha…”

Selebihnya adalah diam yang panjang. Menikmati alur pikiran masing-masing di ujung waktu yang tersedia. Sesekali kita melirik ke penghitung waktu di arlojimu. Dan kita semakin resah seiring dengan berputarnya arah jarum jam. Dalam hati aku berdoa, semoga kali ini ada keajaiban agar waktu berhenti berdetak. Dan itulah kemustahilan terbesar yang selalu kita idam-idamkan. Pada waktu kita hanya bisa pasrah.

“Aku tak ingin jauh darimu.” Bisikku di telingamu

“Aku pun begitu. Maafkan aku yang sering mengabaikan rindumu.”

“Aku menaruh pengertian yang besar untuk itu. Seperti engkau yang menaruh pengertian besar untuk setiap protes dan rajukku.”

“Kau lihat sendiri kan? Mereka seperti tak pernah berhenti mengejarku.” Lirihmu sambil meletakkan telepon genggammu. Aku tak ingin menghitung sudah berapa puluh kali benda itu mengeluarkan getar, merengek-rengek memohon agar engkau segera mengangkatnya. Lalu menjawab sepatah dua patah kata tentang keberadaanmu, tentang pertemuan selanjutnya, dan tentang rencana-rencana masa depan. 

Kau bergerak, membetulkan letak tanganmu. Aku beringsut, maraih tanganmu yang sebelah lagi, dalam pandanganku tangan itu serupa boneka Barbie yang menggemaskan. Membuatku tak berhenti berdecap menciumnya. Sebagai rasa kagum dan juga hormat.

Dan, inilah akhir dari pergumulan perasaan kita, menemui akhir dari sebuah pertemuan yang tidak ingin kita sudahi. Kita lupa kalau kita ingin berdansa, kita lupa bahwa aku menginginkan kau melukiskan sesuatu di bawah daguku, aku lupa membawa suratmu yang ingin kutunjukkan kembali kepadamu, ah, ketergesaan ini membuat kita lupa pada segalanya. Juga pada surat cinta yang tak sempat kutuliskan. Dan setiap kali berada pada situasi ini kita hanya bisa tersenyum, menertawakan sesuatu yang entah apa adanya.

Dan setiap kali aku menyadarinya, adalah aku yang tak ingin berhenti memelukmu, karena di sana ada nyaman yang memberiku kekuatan untuk terus bertahan. Aku ingin selamanya tanganmu bertengger di pundakku, memelukku untuk menenangkan, mencegah agar air mata tidak tumpah, karena kita tidak ingin membangun sesuatu di atas kecengengan.

“Tidakkah kita bisa menambah sedikit waktu untuk pelukan ini?” rengekku di sela ketiakmu

“Bersabarlah…”

Jemarimu merambat di punggungku. Membuatku semakin berat untuk lepas dari pelukmu yang hangat. Dan aku benar-benar ingin menangis sekarang. Aku masih sempat melirik arlojimu. Pertemuan ini memang harus segera disudahi.

“Cinta…”

“Ya”

“Kita tak pernah punya pilihan untuk ini.”

“Bersabarlah Cinta. Akan ada waktu di mana kita tidak perlu bersembunyi dari takdir.”

“Aku mencintaimu. Sangat!”

“Aku juga. Sangat!”

Kekhawatiranku memuncak ketika kau benar-benar menjulurkan pipimu, karena sesudahnya aku harus segera menautkan hidungku ke hidungmu, merekatkan dahiku ke dahimu, meleburkan mataku ke dalam pandanganmu, dan menghirup semua yang tersisa di bibirmu untuk bekal menarik kakiku dari hadapanmu. Aku kembali pada sendu yang senyap. Menahan kerjap mata agar tidak melahirkan butir bening pada prosesi mengedannya yang terakhir.

“Aku pergi.” Kataku.

Dan aku tak ingin menoleh lagi. Sebab setelah hari ini, tak bisa kupastikan kapan kita akan bertemu lagi.



Rabu, 08 februari 2012
22.46 pm

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

1 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)