Rabu, 08 Februari 2012

Raja Tuan Namamu


“Aku menyayangimu. Aku rindu saat-saat kita menghabiskan waktu bersama, mungkin sampai kita tua. Memotong kuku-kukumu. Mencabuti ubanmu. Menikmati senyummu yang manis. Merasakan nyaman dipeluk olehmu.” Kataku menerobos sunyi.
Memang telah benar-benar sunyi, bahkan dengung nyamuk pun tak lagi terdengar, kecuali sesekali senggukanku terdengar mengiba. Mengiris-ngiris hati yang telah penuh sesak oleh beban rindu yang kusimpan untukmu. Dan juga kemarahan yang tak pernah terlampiaskan.
“Meski tak pernah terjadi, tetapi engkau telah lebih dari sekedar seseorang yang mampu menghibur laraku. Yang harus aku hormati, aku sayangi, aku banggakan di hadapan semua orang.” Lanjutku.
Aku menyeka air mata yang meleleh di pipiku. Tetapi semakin kusapu semakin lancar saja ia keluar, seolah tak peduli pada buku-buku jariku yang telah menyeka butir-butirnya. Hingga akhirnya kubiarkan saja ia tumpah, biarlah esok pagi muncul sebagai sembab di mataku yang bulat telur.
“Aku merasa waktu kita semakin singkat, terbatas. Sementara engkau belum sepenuhnya tahu tentang isi hatiku.”
Aku terus saja berbicara, perkataan yang sudah sering kukatakan sebenarnya. Mungkin kau telah bosan mendengarnya, atau memang kau menginginkan agar aku terus mengatakannya hingga aku tak punya lagi kata yang tepat untuk mengeksplorasi perasaanku.
“Ya, aku tahu.” Jawabmu. Sangat singkat.
Sunyi semakin saja senyap. Hanya desah nafas yang sesekali terdengar menyerobot pembicaraan. Semacam leguh panjang dari akumulasi beban yang memuncak.
“Kadangkala kupikir aku tak lagi mencintaimu. Aku mengurangi rengekan dan mengeluhkan rindu. Aku membatasi melukis wajahmu dengan imajinasiku. Aku menghalaumu setiap kali kesepian menderaku. Aku menyesali air mata yang tumpah karena menangisimu. Kupikir aku telah benar-benar tidak mencintaimu lagi.”
Kataku mengawali pembicaraan tadi. Entah mengapa, kadangkala aku dirasuki keraguan tentangmu. Keraguan serupa momok yang membentang dan menghalangiku untuk melihat bahwa engkau benar-benar mencintaiku.
Lalu kutepis bayangan-bayangan mengerikan itu dengan menghadirkan sosokmu yang bijaksana, kata-katamu yang pendek namun terasa menggelitik syaraf. Dan juga kesabaranmu yang begitu santun. Tawamu yang tak pernah berubah. Permintaan manjamu akan puisi-puisi rinduku. “Aku senang membaca puisi-puisimu, membuatku bahagia dan merasa dicintai, walaupun aku tak begitu mengerti.” Katamu suatu hari, beberapa bulan yang lalu.
“Tapi kau membuatku terdiam setiap kali kita berbicara, kau menuntun perasaanku. Mengukuhkannya. Membuatku menangis dengan kabar kepindahanmu dari satu tempat ke tempat lain. Aku takut. Takut kehilanganmu dan juga cintamu. Aku selalu khawatir dengan hubungan ini sebab aku masih dan akan selalu mencintaimu.”
“Sebentar lagi aku akan pergi meninggalkan kota ini, ada seseorang yang harus kutemui di sana, maafkan aku belum bisa menemuimu, aku mohon engkau mengerti dengan kondisiku Sayang.”
Kadangkala kita harus mengalah pada hening. Yang mampu menerobos hingga ke relung jiwa dan pita suara kita. Membungkam indera pengecap kita. Menulikan telinga dari riuh protes.
Ini adalah rasa khawatir yang telah terjadi sejak beberapa hari yang lalu. Ketika kau mengatakan bahwa kau akan meninggalkan kota ini. Aku diam, dibungkus hening hingga akhirnya percakapan kita terputus begitu saja.
Lalu aku dengan perasaan sedih bercampur lara berjalan menerobos mendung pekat yang telah satu persatu menetaskan hujan. Air mataku menitik, kerongkonganku terasa sakit, bagai tersekat, mungkin lebih tepat bagai tercekik karena menahan sesak yang hebat.
“Bukan kah seharusnya engkau berangkat esok lusa?”
“Sekarang atau lusa sama saja, sebab engkau akan memberikan pengertianmu yang banyak untukku.”
“Aku akan selalu memberikan doa terbaikku untukmu.”
“Terimakasih Cinta.”
Dan hening menjadi pemilik sunyi yang maha dahsyat. Mengatupkan mata menjadi rapat hingga tak ada kesempatan bagi cahaya untuk membuatnya kembali nganga. Bahkan untuk berkedip. Di sini, di hatiku, hening akan menjadi raja bagi tuan namamu.
                                                                               
Minggu, 05 Februari 12

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

2 komentar:

  1. aduh..
    indah nian tulisanmu.
    selalu terselip romantika kisah
    walau kadang basah dgn air mata :D
    i like

    BalasHapus
    Balasan
    1. heheheheheeh.....begitulah dunia dan seluruh isinya, ada yang membuat senang ada pula yang membuat sedih.

      Hapus

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)