Kamis, 09 Februari 2012

Sehari Setelah Purnama


Selalu ada cerita yang membuat kisah kita tak pernah selesai. Sehari setelah purnama, matahari begitu lantang dan mengirimkan denyut di atas ubun-ubun. Melewati lorong-lorong sembunyi sehari setelah purnama, di pucak siang yang begitu gagah, memiliki nikmat berbeda daripada menyusurinya ketika langit baru saja basah, dan langit mulai temaram.
Debarannya terasa lebih kencang, sebab lorong-lorong yang kulalui sepi dari lalu lalang manusia, kesepian yang membuat mereka menaruh perhatian lebih kepada siapa saja yang melintasi mereka. Gemericik air terdengar lebih jelas, sebab mereka mendominasi suasana ketimbang beberapa manusia yang memilih untuk diam, berdialog dengan diri sendiri atau sekedar membolak-balikkan Koran, mengamati perkembangan politik terkini.
Dan suara ketukan sepatuku di lantai terasa semakin nyaring saja, seiring dengan berakhirnya lorong sembunyi, hingga akhirnya sampai di muara yang membawaku menuju dunia lain. Dunia di mana alasnya terbuat dari karpet tebal yang mewah dan lembut. Yang mampu menyirap suara gesekan sepatuku sehingga mampu meredam debar yang semakin kencang di dalam hati. Dunia yang jauh lebih sepi namun memberikan nuansa temaram yang nyaman.
Dunia yang ketika kulihat sosokmu, bagai memasuki pusaran air di samudera biru yang liar, segera aku tersedot ke dalamnya, dan ketika aku menyadari, aku telah terdampar di pelukanmu yang datar. Wangi kulitmu menyelusup ke rongga hidungku, bagai aroma lotus yang mampu memejamkan mata, sekaligus mengendurkan syaraf-syaraf.
Ya, sehari setelah purnama kali ini kita memiliki waktu lebih untuk sekedar bercakap-cakap. Memang masih bagai ombak yang terus dikejar gulungan berikutnya, kita pun terpaksa menyelingi antara menuntaskan rindu dengan pembicaraan politik mengenai kandidat gubernur. Simulasi pencoblosan menjadi semacam pertautan jari, jemariku yang tampak kecil bergelung di jari-jarimu yang besar dan agak kasar.
Kita bagai berlari dikejar dering-dering telepon penting dari orang-orang seberang, bibir kita menarik segaris senyum, sebagai bentuk persetujuan bahwa kita merasa terganggu. Tetapi kondisi itu hanya masalah peran yang telah biasa kita tuntaskan.
Kita pernah berlari sambil menautkan bibir, kita pernah berjalan sambil bersulang, masing-masing membawa cawan rindu berwarna ungu. Kita pernah melakukan semuanya, menyudahi ketergesaan dengan tenang, berjalan dan bersikap santai dengan hati yang dilanda amuk gemuruh. Apalagi hanya melewatkan sedetik waktu untuk menjawab telepon, lalu kita memiliki waktu yang panjang untuk menyelesaikan gelisah.
Ini dunia yang aku dapat melihat air bergemericik biru di bawahnya, dengan hanya menyingkap sedikit tabirnya aku mampu melihat matahari dengan utuh, berwarna jingga dan beranjak untuk lebih condong. Dan selebihnya adalah warnamu yang menyelubungi seluruh inderaku.
Rabu, 8 februari 2012

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)