Selasa, 10 April 2012

Menanti Purnama Usai

MALAM beranjak renta. Bungkuknya hampir serupa perempuan penikmat purnama itu. Dengan kaki yang dijulurkan ke tangga rumahnya, mata berselaput abu-abu milik perempuan itu tak sedetik pun melepaskan pandangannya dari langit.
Angin berhembus kuat, menusuk hingga ke tulangnya yang telah berpuluh-puluh tahun diserang reumatik. Tapi ia tak peduli, sebab pendar purnama itu telah demikian mujarabnya menyembuhkan semua luka di hidupnya.
Perempuan itu bersandar ke pintu, duduknya serupa patung yang tertancap dalam liang tanah yang padat. Sesekali ia meraba wajahnya yang keriput, merasakan serat-serat kulit tangannya yang kasar melekat di sana.
Wajah kaku dan dingin yang telah menyaksikan banyak luka, air mata dan juga amis darah, juga kesepian maha panjang yang telah mendera hingga ke dasar ulu hatinya.
“Akan tiba suatu malam di mana engkau menginginkan purnama segera berakhir,” kata lelaki suaminya berpuluh-puluh tahun lalu.
Perempuan itu tidak segera menjawab. Di bawah perak bulan ia meraih cangkir kopinya dan menyesapnya perlahan. Di bawah bayang-bayang pohon dikunyahnya ubi rebus secara perlahan. Di tengah kepungan belantara tak ada lagi yang membuatnya bahagia kecuali bisa bersama suaminya.
“Purnama tidak akan pernah berakhir,” ucapnya sepotong.
Lelaki itu tersenyum simpul.

“Ketika itu engkau akan merasa pagi lama sekali datang,” lanjut suaminya.
“Lalu?” jawab perempuan itu
“Aku tidak tahu,” jawab suaminya sekenanya.
Perempuan itu kembali mengusap wajahnya, kali ini untuk menyeka setitik bening yang luruh di wajah keriputnya. Dalam remang malam ia mengerjap-ngerjap. Terkenang ia pada lelaki suaminya yang sangat ia cintai. Juga pada perak purnama yang tidak pernah berubah sejak pertama kali ia saksikan dalam kepungan belantara.
Perempuan itu beringsut, menuruni anak tangga dengan sangat hati-hati, setelah kakinya menjangkau tanah ia segera mengambil tongkat kayunya yang ia sandarkan di dekat tangga.
Tertatih ia menuju ke pojok halaman, di dekatkan dirinya pada sebatang pohon Seulanga yang ditanam anak angkatnya. Lalu dirapatkan hidungnya pada kuntum-kuntum bunga yang semerbak itu.
“Setiap darah pejuang yang tumpah, wanginya akan menjadi semerbak,” kata suaminya pada suatu malam yang lain.
“Apakah seperti wangi Seulanga?” tanyanya ketika itu.
“Ya, mungkin, mungkin akan seperti itu, mungkin juga seperti wangi kasturi,” jawab suaminya.
Maka begitulah cara perempuan itu menghadirkan suaminya, dengan merapatkan hidungnya pada kuntum-kuntum Seulanga yang kekuningan. Aroma yang disesapnya dengan perlahan, berharap harumnya masuk ke jiwanya dan berdiam di sana sebagai wangi tubuh suaminya.
Mata berselaput abu-abunya kembali menengadah ke langit, bulan masih terlihat utuh dan bulat, ia memandang gusar. Lalu ia mengalihkan pandangannya ke kandang ayam tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia tajamkan telinganya, namun ayam-ayam itu tampaknya masih terlelap.
“Mungkin ini saat yang dikatakan suamiku,” batinnya. “Saat di mana purnama lama sekali hilang di langit,”
“Apa yang terjadi setelah purnama yang tak pernah usai itu?” tanyanya di lain waktu kepada lelaki suaminya.
“Semerbak Seulanga yang memenuhi setiap jengkal tanah yang engkau pijak, dan pekik takbir yang tak pernah berhenti,” jawab suaminya.
***
Hingga ketika akhirnya pagi benar-benar datang, tak kepalang girang perempuan renta itu. Segera ia menunaikan dua rakat subuhnya dan berdoa sebagaimana yang selalu diajarkan oleh mendiang suaminya.
Dan setelah purnama yang panjang ini entah mengapa rupa suaminya seolah tak beranjak dari kelopak matanya yang bergelambir. Rupa yang tampan dan berwajah terang, persis seperti yang ia lihat saat pertama sekali mereka bertemu. Sehari setelah kematian orang tuanya yang menggenaskan.
“Kau ikut saja denganku, membantu perempuan-perempuan lainnya di sana,” kata lelaki itu saat itu.
“Apa yang bisa kulakukan di sana,” jawabnya gamang.
“Banyak yang bisa kau lakukan di sana,”
Setelah hari ketujuh kematian orang tuanya ia pun meninggalkan kampungnya dengan cara bersembunyi-sembunyi. Menjelang subuh ia pergi dengan beberapa potong pakaian yang dibungkusnya dengan kain sarung.
Sebelum pergi masih sempat ia melihat bekas-bekas peluru yang telah melubangi dinding-dinding rumahnya yang terbuat dari papan lapuk. Berkas-berkas cahaya dari lampu kecil di atas rumah terlihat membias dari lubang-lubang itu.
Jam dinding berbunyi tujuh kali, perempuan itu bangkit dan melepas mukenanya setelah menutup ritual paginya dengan membaca doa sapujagat.
“Panggilkan ibumu, Gam,” katanya pada cucu angkatnya yang baru saja naik ke rumah. Lelaki kecil yang dipanggil si Agam tersebut segera bergegas menuju ke dapur menemui ibunya.
“Ada apa bu?” Tanya Nyak Ni, anak perempuan yang telah diasuhnya sejak tiga puluh tahun lalu. Nyak Ni adalah anak temannya yang ia pelihara sejak ke dua orang tuanya meninggal dunia dalam kecamuk perang.
“Ambilkan baju ibu yang di dalam kotak kayu,” perintahnya.
Nyak Ni tertegun, sepengetahuannya baju itu sudah berpuluh tahun tak pernah dipakainya lagi.
“Ayo cepat ambilkan,” perintah perempuan itu lagi melihat Nyak Ni masih berdiri di tempatnya.
Dengan kebingungan yang belum sepenuhnya hilang Nyak Ni bergegas menuju kamar ibunya. Dibukanya lemari tua yang kacanya sudah pecah setengah. Dikeluarkannya sebuah kotak warna putih pucat dengan sangat hati-hati. Perlahan ia buka tutup kotak tersebut dan dikeluarkannya sebuah baju warna cokelat muda dengan bercak-bercak cokelat yang telah usang.
“Ini bu,” katanya dengan suara tercekat sambil menyerahkan baju usang tersebut pada sang ibu yang masih berada di atas sajadahnya.
“Mengapa engkau menangis Nyak,” sepotong suara perempuan itu terpenggal oleh bayang masa lalunya. Nyak Ni menggeleng dan segera berlalu.
***
Matahari masih setinggi dhuha ketika perempuan itu ke luar dari rumahnya. Dengan langkah tertatih ia berjalan ditopang dengan tongkat kayunya yang bengkok. Bajunya yang usang berbau apak. Begitu juga dengan bercak merah di bajunya yang telah berubah cokelat.
“Akan ada masa di mana darah akan berkibar,” kata suaminya suatu ketika.
Perempuan itu terus bergerak, berjalan perlahan menuju lapangan bola di kampungnya. Ia merasa seperti sedang terlempar ke masa lalu, di mana ia bersama suaminya sedang menyusuri jalan setapak di pinggir perkampungan. Ketika itu matahari juga masih setinggi dhuha.
Ia, suaminya dan rombongan lain menyusuri jalan dalam diam yang berkecamuk parah. Ketakutan melanda hebat dalam dirinya tapi ia mengurung semua gelisah itu di balik wajah dingin dan kakunya.
Masih belum selesai gelisah yang mengepung dirinya sebuah dentuman merubuhkan suaminya, diikuti dengan dentuman berikutnya yang membuatnya terjerembab ke dalam parit kecil. Luruh pula ketika itu janin yang masih dalam hitungan minggu di perutnya.
Hanya baju yang sedang dipakainya sekarang yang menjadi penyembuh rindu kepada calon anaknya yang tak pernah berwujud itu. Juga kepada lelaki suaminya yang lerai ruh dalam jiwanya hari itu.
Mendekati lapangan bola perempuan itu berdiri sejenak, dilihatnya kerumunan orang ramai yang serupa pasar kecamatan. Sebuah nafas panjang ditariknya, antara lelah dan lega bercampur dalam dirinya.
Di keluarkannya selembar kertas usang di dalam saku bajunya, sesosok lelaki muda dengan senyum mengembang.
Perempuan itu tak peduli ketika semua orang di lapangan bola memandangnya heran, dalam pandangan matanya yang samar-samar ia terus berjalan, mendekati petugas di lapangan bola.
“Sekali dalam hidupku, aku ingin melihat darah yang tumpah kembali berkibar,” pekiknya dalam hati.
“Akan tiba suatu hari di mana engkau menanti malam dengan gelisah, dan melewati siang dengan tersenyum,” ucap suaminya dulu.
Perempuan renta dengan mata berselaput abu-abu itu segera bergegas setelah mencelupkan kelingkingnya ke tinta berwarna biru. Dari kejauhan ia seolah melihat suaminya melambaikan tangan dengan mesra. Dan, setelah hari ini ia tak ingin lagi menyaksikan purnama.

Lampaseh, 7 April 2012

Cerpen ini telah dipublikasikan di Atjehpostcom
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)