Senin, 09 Juli 2012

Tak Kunjung Kering

Sekali lagi Tuhan, aku ingin tersungging, sekedar untuk mentertawakan kebodohan demi kebodohan ini. Tetapi pada saat yang bersamaan setitik embun mengalir, bercampur bersama keringat asin yang tak kunjung kering.

Permainan ini tampaknya tak akan segera usai, sementara aku tak lagi punya suara bahkan sekedar untuk sekedar berdesis. Teriakanku semakin perlahan, nafasku lebih sering terpenggal, hingga kadang aku bertepi untuk mencari jeda, akankah semuanya berjalan demikian cepat hingga aku tak sempat menanggalkan semua takdir ini.

Di ambang petang, aku demikian sering melihat wajah Mu hadir dalam keriuhan. Kadang aku harus bertepi, sekedar untuk menyesapi aroma perih yang tiba-tiba hinggap. Ah, semuanya terlalu rumit untuk dijabarkan, sementara keping demi keping teka-teki ini sepertinya belum menunjukkan muara.

Sekali lagi Tuhan, aku terbahak, tetapi kemudian luruh dalam asin air mata yang bercampur keringat. Tak kunjung kering!

Tuhan, selamat malam, aku berdosa!


Ini bukan tentang bagaimana mempertahankan. Tetapi tentang bagaimana memutuskan rantai agar perceraian itu terwujud. Pagi kini tak lagi berembun sebab malam terlalu kering oleh rindu. Dan senja selalu saja basah oleh kecamuk amarah. Pergantian waktu hanya berupa bait-bait puisi yang pendek, dan juga dangkal. Tuhan, semua kisah telah usai kupersembahkan kepada Mu. Maka biarkan aku lenyap dalam kisah berikutnya.

Aku belajar tersenyum dari bentuk bulan yang sabit melengkung. Sesungguhnya ia tak pernah sempurna, sebab banyak rahasia yang tersembunyi di balik lengkungan itu. Maka hadirlah purnama untuk menjelaskan sebulan sekali. Dan jika kali itu terlewat, maka aku ingin terlempar ke wajahmu yang bulat penuh. Karena di sanalah rahasia itu terakumulasi.

Wangi tubuhmu di wajahku pelan-pelan menyusut. Tapi juga pada kali ini aku harus berpura-pura untuk tak peduli. Kadang-kadang aku terlupa untuk menyembunyikanmu, kadang pula aku merasa engkau tak perlu kusembunyikan. Kadang pula aku merasa biar semua tahu, angin, embun, matahari dan kegelapan.

Kadang aku merasa, akulah gelap itu sendiri, juga matahari, juga embun dan angin. Itulah yang membawaku berani menyusuri lorong sembunyi dan membiarkan rintik-rintik air jatuh di wajahku. Sebab aku tak mampu lagi menafsirkan air mata, maka kubiarkan hujan menangis sejadinya, sementara aku cukup berdiam dari semua takdir yang tak ingin kutentang ini.

Tuhan, selamat malam, aku berdosa!

 22 Juni 2012 pukul 22:20