Selasa, 31 Desember 2013

Di Pintu Terakhir

AKU melongok ke luar jendela. Mataku liar menatap langit yang kelabu. Agaknya langit masih mengandung, mungkin sebentar lagi anak-anak hujan akan lahir dengan bobot berlebih. Aku masih menatap langit. Daun-daun bergoyang digoda kesiur angin. Lengang. Di cerobong masjid kudengar lantunan ayat suci dikumandangkan dengan merdu.

Jika bisa kujadikan sebagai ibarat, bolehlah kukatakan bahwa hari ini aku sedang berdiri di pintu terakhir. 364 pintu berkelir dua belas bulan telah kulalui dengan segala macam warna. Berawal di Januari dan berakhir di Desember yang saban hari basah dan lembab.

Sabtu, 28 Desember 2013

(Membunuh) Anak di Depan TV

foto dari google
DI hari Sabtu -karena tidak bekerja- saya sering memanfaatkan waktu untuk memasak, membaca buku/novel, menonton, dan tidur. Itu saya lakukan jika tidak ada kegiatan lain di luar rumah. Aktivitas pagi hari saya awali seperti biasa dengan bersih-bersih rumah. Setelah itu sembari menunggu jadwal masak saya manfaatkan untuk tidur-tiduran sambil menonton TV. Program favorit saya adalah saluran TVRI yang mengusung selogan Saluran Pemersatu Bangsa.

Sebelum mengenal saluran lain saya sudah mengenal TVRI sejak seperempat abad silam. Siarannya yang pernah menjadi favorit saya adalah Keluarga Cemara, Haryati, Combat dan telenovela Hati Yang Mendua. Nah, menonton TVRI di hari Sabtu adalah upaya saya untuk menghadirkan kenangan di masa lalu.

Kamis, 26 Desember 2013

Pagi Itu, Sembilan Tahun Silam

Pagi Itu, Sembilan Tahun Silam
PAGI itu, aku sedang mengaduk adonan agar-agar di tungku kayu. Asap dari kayu bakar tak hanya membuat mataku perih dan berair, tapi juga hidung jadi beleran. Abu bekas kayu bakar sebelumnya di sekitar tungku beterbangan. Percikannya menempel di bajuku.

Tak lama kemudian, kukira adonan di panci belum sempurna mendidih. Atap rumah yang terbuat dari daun rumbia tiba-tiba bergoyang. Tiang-tiang dapur yang berupa kayu (beroti) kecil berderik-derik. Goyangan yang semula hanya berupa hentakan berubah menjadi goncangan yang begitu hebat. Aku menancapkan kaki di lantai dapur yang sepenuhnya berupa tanah. Ujung-ujung kaki menancap kuat. Di atas tungku adonan bermuncratan dari dalam panci.

Setelah beberapa saat aku mendengar suara nenek dari luar rumah. Ia berteriak-teriak menyuruhku keluar. Ia khawatir rumah akan roboh karena guncangan yang demikian hebatnya. Aku menurut karena goncangannya memang sangat kuat. Hampir saja membuatku limbung.

Di luar kulihat nenek berdiri di halaman samping. Ia berpegangan pada sebatang pohon kendondong hutan yang besarnya tak sampai sebesar lenganku. Tertatih-tatih aku menggapai pohon itu. Kami berdua bertumpu pada sebatang pohon,  tetapi tetap terayun-ayun mengikuti gerakan goncangan dari dalam tanah. Sembari itu kami juga berzikir.

Seumur hidup rasanya sulit sekali bagi saya melupakan pagi itu. Minggu, 26 Desember 2004. Waktu itu umur saya baru 19 tahun. Itu adalah pagi di mana saya merasakan gempa yang sangat kuat. Belakangan saya tahu gempa pagi itu berkekuatan 8,9 SR. Ada yang mengatakan 9 SR. Dahsyat! Menghilangkan nyawa masyarakat Aceh hingga ratusan ribu jiwa.

Waktu itu saya masih kuliah. Mestinya pagi itu saya berada di Banda Aceh, tapi karena dua hari sebelumnya libur Natal, saya memutuskan untuk berlibur ke tempat nenek di Teupien Raya, Kecamatan Geulumpang Minyeuk, Pidie. Entah bagaimana nasib saya jika hari itu saya berada di Banda Aceh.

Setelah gempa berhenti saya kembali ke dapur, menyalakan api yang sudah padam. Lalu memasak adonan hingga matang. Beberapa menit kemudian dari luar saya mendengar suara ribut-ribut. Penasaran saya pun keluar untuk mencari tahu. Rupanya para tetangga nenek sudah mengetahui adanya kabar air laut naik (tsunami) di beberapa tempat seperti Banda Aceh, Sigli dan Pante Raja. Kabar tersebut ditambah dengan berita duka bahwa banyak orang yang meregang nyawa, terutama di Banda Aceh. Nenek ikut-ikutan panik, saya juga, pasalnya siang itu saya harus balik ke Banda karena besoknya masuk kuliah. Yang bikin saya tambah panik, tugas mengetik manual yang diberikan tiga hari lalu belum selesai. Saya urung kembali di Banda Aceh karena ada teman yang mengabarkan Ibu Kota Provinsi itu telah porak-poranda. [bersambung]



Selasa, 24 Desember 2013

di Bulan (purnama?)

tak sengaja aku melihat bulan, belum sempurna penuh memang
(atau sudah?) tak begitu jelas
pandanganku terhalang bayang-bayang pohon
aku mencari-cari bayangmu di sana
tak ketemu memang
yang muncul justru kenangan
beribu-ribu kenangan
senyum, tawa, dan air mata
rindu, sesak dan melesak
aku mencari-cari sungai tempat biasa aku menepi
di hatimu, di rindu yang menggebu-gebu
di cinta, di yang tak terdefinisi
di kasih, di sayang, di yang tak terjemahkan


16 Dec 2013

Jumat, 13 Desember 2013

Cinta adalah Omong Kosong

Kadang-kadang kita hanya perlu berbicara kepada angin, di pinggir pantai, di antara riuh gemuruh ombak. Berteriak, tersedu, mungkin juga tertawa. Angin seumpama rasa yang tak terbentuk, hanya dapat dirasakan. Gerakannya, kadang begitu anggun, kadang begitu liar. Membuat hati berdebar-debar. Merobek dan menyakiti.

Rasakah yang menyemai benih rindu kemudian tumbuh besar menjadi cinta?

Jika rasa itu angin, maka sah-sah saja menganggapnya semacam kamuflase, atau fatamorgana. Tak ada yang bisa diharapkan selain harapan itu sendiri, bahwa angin itu ada, bahwa rasa itu bukan utopia. Maka dengan itu kita bisa berdamai dengan diri sendiri. Meredakan amuk amarah, meluluhkan emosi. Membuat sadar bahwa rasa bukanlah sekotak surat yang dikirim tanpa alamat. Yang bisa diterima oleh siapa saja.

Selasa, 03 Desember 2013

Di sini

gambar diambil dari sini

di tempat ini harapan masih memiliki tempat
walau pagi seringkali hanya disambut percikan air
dan ikanikan yang berenang di kolam berlumut
juga rumputrumput yang semakin tumbuh subur
di perdu pohon mangga
di perdu pohon kelengkeng
di sekeliling pohon semangka yang tumbuh tanpa sengaja

di secangkir kopi kita kerap memandangi citacita
di koran-koran lusuh yang diterbangkan angin
di obrolan yang lebih banyak diwarnai diam
lalu kita beranjak
masuk ke ruangan masing-masing

Senin, 02 Desember 2013

Menunggu (mu)

Hutan bambu
Di ujung senja yang menjuntai aku masih menunggu. Bahwa sebentar lagi langit akan gelap, memang! Tapi gelap itu tidak akan mematikan harapanku untuk menunggu (mu).
Justru gelap akan menuntunku pada pagi. Waktu di mana sinar mentari terburai dan aku bebas menyirami tubuhku dengan cahayanya. Waktu di mana burung-burung terbangun untuk berkicau. Lalu satu dua suaranya paling merdu tertangkap telingaku. Meski setelahnya aku masih belum menangkap merdu suaramu, tak apa. Selalu ada kisah manis di balik prosesi menunggu (mu) bukan?
Menunggu (mu) adalah jeda bagi puisi untuk melahirkan narasi. Hingga akhirnya kau datang bersama kesiur angin dan setitik embun.

Yuk, (menolak) seks bebas!

The Stiletto Heel @internet
Kemarin pagi saat sarapan saya sempat-sempatkan duduk di depan TV, padahal udah nyadar bakal telat sampai di tempat kerja. Kebetulan sepupu saya lagi nonton chanel RCTI, pagi-pagi begitu apa lagi kalau bukan DahSyat yang jadi pilihannya. Tapi ada yang menarik perhatian saya pagi kemarin, selain hostnya yang lebih banyak dari biasa, juga pita merah yang dipakai oleh masing-masing host tersebut. Juga para penonton yang memenuhi studio DahSyat.

Saya tanya ke sepupu kenapa sih mereka itu pada pakai pita warna merah begitu? Sayangnya adik sepupu saya juga ngga tahu. Nonton ya nonton aja dia. Baru ngeh ada pita-pitaan setelah saya nanya. Beberapa saat kemudian barulah saya tahu kalau mereka sedang memperingati Hari HIV/AIDS sedunia yang jatuh pada Minggu, 1 Desember 2013 kemarin.

Selesai sarapan saya pun langsung cabut berangkat kerja. Di tempat kerja, setelah cek email dan menyiapkan beberapa bahan pekerjaan saya cek timeline di facebook. Beberapa jam kemudian muncul notifikasi dari salah seorang teman. Saya masuk ke link dari notif tersebut, mau tahu apa yang saya temukan di sana? NATIONAL CONDOM WEEK 2013!

Minggu, 01 Desember 2013

Perih karena cinta

Perih karena cinta
Dan benar,
Perih itu rasanya sangat tipis sekali
Bagai silet yang menyayat dan breetttttt
Tiba-tiba sudah putus nadinya

Tapi perih oleh cinta ini rasanya lebih tersayat dari sayatan silet
Bukan, ini bukan soal cintaku yang tak terperi
Ini oleh cinta mereka yang tidak kukenal
Yang kubaca hanya lewat tulisan demi tulisan
Tapi perihnya sampai ke hatiku

Kamis, 28 November 2013

Puisi Persada


Senja sudah menggantung di pucuk waktu

Aku di sini masih sibuk mengumpulkan suara-suara angin

Jika jumlahnya cukup akan segera kurangkai menjadi simfoni untukmu Liana

Dengannya kau bisa menyetel harmoni

Mengiramakan detak jantung

Mengatur ritme denyut nadi

Bahkan adrenalin



Senja masih menggantung di pucuk waktu

Matahari kian memerah, sebentar lagi sempurna ia mengatup

Aku masih di sini, masih memilin suara-suara

Sebentar lagi akan menjadi irama lagu happy birthday untukmu



Aku juga akan mengumpulkan bunga-bunga rumput

Kutiup rasa paling dalam dari diriku agar bunga-bunga itu semerbak

Kupercikkan rindu paling dalam agar bunga-bunga itu beraneka warna

Kupercikkan harapan paling harap agar bunga-bunga itu terus hidup

Di hatimu

Di ingatanmu

Di kalbumu

Di hidupmu



Ah, Liana, senja telah tiba

Tajamkan telingamu, dengarlah denting paling harmoni ini

Buka tanganmu, genggam bunga ini

Buka hatimu, terimalah sebagai sebuah ketulusan



Lihat mataku, dan juga gerak bibirku

Aku sedang mengatakan selamat ulang tahun kepadamu

*Sebuah puisi untuk Ibu Liana Persada

Rabu, 20 November 2013

Iklan Gita dan Caleg Facebook

print screen
Pemilu 2014 masih lama. Kita juga masih hidup di tahun 2013. Tapi, maaf, bau 'amis' politik mulai tercium. Ada yang samar-samar, hanya tercium jika ada 'angin' yang membawanya. Ada pula yang terang benderang, seterang lampu petromak di malam gulita. Tak heran jika semua mata tertuju ke lampu atau sumber bau 'amis' itu. 

Beberapa hari ini ada yang berbeda jika saya membuka halaman Kompasiana. Yaitu wajah pak Menteri Perdagangan RI Gita Wirjawan yang tiba-tiba ngablag begitu besarnya hingga bikin kaget. Untung saja cuma foto, kalau beneran orangnya pasti sudah pingsan karena terpesona :-D. 

Wajah besar pak menteri pelan-pelan akan hilang dengan sendirinya dalam beberapa detik. Jika tak sabaran menunggu sampai hilang sendiri, jangan ragu untuk tekan tanda skipp di pojok kiri atas gambar.  

Rupanya bukan saya saja yang terganggu dengan iklan besar pak menteri, ada Kompasianer lainnya bahkan membuat sebuah artikel yang meminta agar Gita sebaiknya menulis saja di sana, alias menjadi Kompasianer, seperti yang dilakukan Yusril Ihza Mahendra dan Jusuf Kalla. 

Tapi rupanya, Gita yang tak lain adalah calon presiden konvensi Partai Demokrat untuk pemilu 2014 lebih senang beriklan daripada berinteraksi lewat tulisan dengan para Kompasianer lainnya. Bukan hanya memasang iklan di media yang berskala nasional saja, Gita juga memasang iklan di media lokal. 

Minggu, 17 November 2013

Behind the scene resensi "Ibu Dalam Sekeping Cerita"

Behind the scene resensi "Ibu Dalam Sekeping Cerita"
Kamis 14 November 2013 kemarin resensiku yang berjudul "Ibu Dalam Sekeping Cerita" dimuat di Koran Jakarta. Merasa cukup surprise juga karena resensi itu baru kukirim pada Selasa 12 November. Artinya resensi itu dimuat hanya berselang dua hari setelah pengiriman.

Yang bikin aku lebih surprise lagi karena itu resensi perdana yang kubuat dan kukirimkan ke media. Jadi saat tahu resensi itu sudah tayang, senangnya bukan main. Senyum-senyum terus :-) Apalagi salah seorang temanku bela-belain ngirim pemberitahuan di wall facebook-ku. Di grup facebook Forum Lingkar Pena, aku malah diberi selamat. Padahal aku sama sekali bukan anggota grup itu heheheee.... Tapi ini semacam berkah nepotisme karena aku mengenal beberapa dedengkot di forum tersebut. Thx untuk Ferhat.

Ngomong-ngomong soal bikin resensi, ini memang "dunia" baru buatku. Baru banget, karena seumur hidup baru dua kali aku membuat resensi. Meski sudah lama menulis, selama ini aku hanya tertarik bikin cerpen, puisi atau prosa. Tidak yang lainnya. Mungkin belum kali yaa...

Jumat, 15 November 2013

Ibu dalam sekeping cerita [Koran Jakarta]

Judul buku : Ibu dalam Diriku
Penulis : Mitsalina Maulida Hafidz dkk
Penerbit : Gigih Pustaka Mandiri bekerjasama dengan Linikreatif Publishing
Tebal : x 135 halaman
ISBN : 978-602-17414-4-3 
Tahun terbit : 2013

Kehidupan seorang anak tanpa sosok ibu tentu gelap, tak berpengharapan. Tanpa menafikan peran ayah, nyatanya ibu lebih besar dalam proses tumbuh kembang anak. Ikatan emosional antara ibu dan anak yang terjalin sejak dalam kandungan berdampak hingga dewasa.

Begitulah makna tersirat dalam 15 cerpen dalam antologi cerita Ibu dalam Diriku. Kelima belas penulis dari berbagai latar belakang mampu mengemas tema-tema sederhana menjadi menggugah dan sarat makna. Mereka memadukan diksi dan narasi yang mengagumkan.

Kumpulan cerpen yang ditulis Mitsalina Maulida Hafidz dan kawan-kawan ini menggunakan gaya bahasa sederhana, tapi lugas, sehingga tak membuat monoton meskipun tema yang diangkat sangat umum. Melalui tulisan ini, pembaca diajak merenung, tanpa berpegang pada seorang ibu, manusia akan meraba-raba dalam menjalani kehidupan.

Mitsalina, dalam tulisan "Menunggu Jingga", menggambarkan narasi yang memesona, mewakili cerpen-cerpen lainnya. "Aku ingin seperti ibu. Selalu tegar berdiri meski hati sering tersakiti. Aku ingin seperti ibu. Selalu mantap melangkah meski dirundung banyak masalah. Aku ingin seperti ibu. Sungguh, aku ingin, Bu" (halaman 52).

Selasa, 05 November 2013

Taare Zameen Par, setiap anak adalah "bintang"

@internet
SUDAH dua kali saya menonton film  Taare Zameen Par atau Like Star on Earth. Dua kali pula saya menangis. Ini di luar kebiasaan, sebab saya bukan orang yang mudah menitikkan air mata, apalagi hanya untuk sebuah film. Tapi film yang dibintangi Aamir Khan dan Darshel Safary ini benar-benar beda, mengaduk-ngaduk emosi. Masuk hingga ke jiwa.

Film ini bercerita tentang bocah berusia 8-9 tahun (Darshel) yang menderita dyslexia. Dia kesulitan mengenal huruf, misalnya sulit membedakan antara "d" dengan "b" atau "p". Dia juga susah membedakan suku kata yang bunyinya hampir sama, misalnya "Top" dengan "Pot" atau "Ring" dengan "Sing". Bukan hanya itu, dia juga sering menulis huruf secara terbalik. Kondisi ini membuat saya teringat pada masa kecil, di mana saya juga sering terbalik-balik antara angka 3 dengan huruf m.

Akumulasi dari "kesalahan" tersebut membuatnya tak bisa membaca dan menulis, nilai-nilai ulangannya selalu buruk. Semua guru di sekolah mengeluhkan perilakunya; tak pernah fokus saat belajar, tak bisa membaca, suka membuat ulah. Dan hukuman merupakan menu sehari-hari yang diterimanya di sekolah. Sang guru dibuatnya kehabisan akal. Bahkan kedua orang tuanya merasa kehabisan cara dalam mendidik putra bungsunya itu.

Tapi, apakah benar Dharsel yang berperan sebagai Ishaan sedemikian buruknya?

Selasa, 29 Oktober 2013

Sajak Hujan

Foto by Kompasiana
Kau! Katakanlah kau hujan, yang lahir dari pergumulan semesta. Yang selalu hadir setelah wajah muram sang jagat. Aku suka tempiasmu, yang jatuh satu-satu di pucak imajinasiku. Yang membasahi syaraf-syarafku. Yang melunturkan rasa, dan juga gelora!

Katakanlah kau hujan, yang selalu hadir dalam bentuk embun yang menempel di pucuk dedaunan. Lalu mengering bersama kehangatan yang tercipta antara aku dan engkau. Kau tahu, bulir-bulir itu mereinkarnasi menjadi keringat yang hangat. Yang muncul dari ruang pori percintaan semu.

Jika kau memang hujan, maka kau bisa ada dan tiada. Kau bisa muncul dan senyap, atau diam-diam hanya mengintip sebagai mendung. Aku? Apa bisa aku protes, meminta semesta terus menerus mengedan demi melahirkanmu. Ah, mana peduli dia tentang suasana romantis karena bulir-bulirmu yang melekat di keningku, atau di bibirku, atau di manapun. Ah....


Jumat, 25 Oktober 2013

Pernah kena razia?

Foto by ATJEHPOSTcom
SEJAK jejaring sosial booming beberapa tahun belakangan ini, mudah sekali mendapatkan informasi. Walau hanya sepotong-potong, paling tidak itu bisa menjadi "bekal" dalam berkomunikasi. Paling tidak, tidak sampai sama sekali ketinggalan informasi lah!

Sepekan ini kuperhatikan pembicaraan hangat di Facebook seputar razia kendaraan yang katanya bertebaran di mana-mana. Misalnya saja di Jalan Panglima Nyak Makam Pango, di Jalan Teungku Chik Ditiro Peuniti dan di Jalan Teuku Umar Seutui. Di Banda Aceh, tiga ruas jalan yang kusebutkan tadi bolehlah dibilang "titik rawan" yang sering sekali digelar razia kendaraan. Selain di kawasan itu, razia juga sering dibuat di Jalan Teungku Daud Beureueh dan di perbatasan Banda Aceh dengan Aceh Besar di kawasan Meunasah Manyang.

Ngomong-ngomong soal razia kendaraan, aku sudah lupa kapan terakhir kali kena tilang dari pak polisi. Selama di Banda Aceh aku pernah beberapa kali kena tilang sampai harus mengeluarkan uang ratusan ribu untuk "menyelesaikan masalah tanpa masalah". Di satu sisi aku menyesalkan uang yang terpaksa keluar dengan sia-sia begitu, di sisi lain aku tak bisa "protes" karena memang tidak memiliki surat-surat lengkap. Selama bisa mengendarai sepeda motor, aku memang tidak pernah memiliki Surat Izin Mengemudi karena memang tidak pernah membuatnya. Bukannya aku tidak ingin memiliki SIM, tapi untuk mengurusnya itu yang membuatku malas. Aku malas berurusan dengan orang-orang berseragam. Itu makanya aku malas mengurus KTP, SIM, pajak, dan hal-hal yang berbau prosedural lainnya.

Senin, 21 Oktober 2013

Idul Adha di kampung tak berpenghuni

Buatku rumah ini sangat nyaman, berada di tengah sawah, di sekelilingnya
banyak pohon, ada mangga, jambu, jabon, kelapa sawit, belimbing, kelapa,
juga pohon waru. Saat angin bertiup... ambooiii...
Soal jika aku ditanyai orang, apa yang paling kuinginkan dari sebuah momen hari raya? Jawab bahwa, aku hanya ingin berkumpul bersama keluarga; ibu, adik-adikku, ipar dan juga keponakanku. Ayah? Beliau sudah lama berada di surga. Itulah mengapa setiap kali lebaran aku selalu mengusahakan mudik meskipun jatah libur mepet.

Siapa sih yang ngga ingin berkumpul bareng-bareng keluarga? Terutama aku yang sejak SMP sudah merantau. Jadi momen pulang ke rumah memang selalu ditunggu-tunggu. Libur Idul Adha kali ini, sama seperti libur hari raya sebelumnya, aku selalu pulang sehari sebelum makmeugang/punggahan. Biasanya aku sampai di rumah sekitar jam empat atau lima subuh.

Apa yang kulakukan begitu sampai di rumah? Tidur, menunggu sampai matahari terbit. Setelah itu aku langsung bersih-bersih rumah setelah sarapan dan membersihkan diri. Meski bukan hobi, membersihkan rumah menjadi kebiasaanku setiap kali berada di rumah. Salah satu nilai kebaikan yang diajarkan ibu saat aku masih kecil dan terus kulakukan sampai sekarang. Aku juga suka memasak jika sudah pulang ke rumah.

Dibandingkan beberapa kali hari raya sebelumnya, hari raya kali ini lebih istimewa. Bukan karena ada timphan atau lontong, bukan pula karena ada keluarga yang akan menikah setelah lebaran, bukan juga karena aku bisa ikut salat ied di masjid kampung. Tapi karena aku bisa berkunjung ke kampung tempat aku dibesarkan. Nama kampung itu Padang Peutua Ali, berada di Kecamatan Darul Ihsan, Kabupaten Aceh Timur. Jaraknya sekitar 7-10 kilometer (kalau ngga salah) dari tempat tinggal kami yang sekarang. Sekitar 20 menit perjalanan dengan roda dua dan empat. Itupun karena kondisi jalannya sekarang sudah bagus walau belum teraspal.

Kami sekeluarga pergi ke sana pada hari Rabu, 16 Oktober 2013, hari raya kedua Idul Adha, menjelang siang sekitar pukul 11:30 WIB. Sebenarnya kepergian ini tak direncanakan. Sebelumnya aku memang sudah bilang ke ibu kalau aku ingin ke sana bersamanya. Sudah beberapa kali pulang kampung niatku berkunjung ke desa itu selalu gagal. Sekitar pukul sepuluh adik iparku tiba-tiba bilang "Kayaknya kalau kita ke Padang enak ya kak?"

Sabtu, 19 Oktober 2013

Dear Zorro

Ilustrasi
Dear Zorro...

Tiba-tiba aku merasa rindu, sangat! Tapi bukan kepadamu, melainkan pada lorong-lorong sembunyi yang pernah kulalui saat hendak melihat senyummu. Atau pada malam-malam bertabur bintang saat aku bergerak perlahan melewati jengkal demi jengkal tanah Tuhan, untuk sampai kepadamu.

Kau tahu, berkelebat cerita di benakku kala itu. Tak sabar rasanya ingin kutumpahkan di hadapanmu. Agar kau bisa melihat seluruh warna dari "rasa" yang membulir itu. Warna dari luapa emosi karena rindu yang bertubi-tubi menghujam diri ini.

Kau lihat, bulir-bulir itu sebagiannya mengkristal, menjadi kisah dalam baitk-bait berupa puisi, prosa atau cerita-cerita. Hingga pada akhirnya kita selalu percaya bahwa rindu tak pernah jauh dari inspirasi. Kita selalu percaya bahwa inspirasi, sekalipun terlahir dari rahim ketakutan selalu memberi kekuatan. Yang mengalir dalam diri kita untuk tetap bertahan.

Tiba-tiba saja aku ingin menerobos belantara gelap, melewati remang-remang cahaya untuk sampai kepadamu. Timbunan rasa yang bertumpuk di rongga dada ini rasanya tak sanggup lagi kutahan, bagai kancing yang hendak copot. Lalu melesat. Berdenting. Untuk melahirkan irama. Ritme. Harmoni.

Kau pasti tak mengerti. Sama, aku juga ngga tahu apa yang sedang aku katakan. Tepatnya aku tuliskan. Bukankah kita memulai sesuatu dengan ketidakmengertian? Kelak, juga akan selesai dengan ketidakmengertian. Ketidakmengertian yang yang terus bergerak, memberi arti, mendewasakan. Lalu, apakah kita akan tua bersamaan dengan itu? Jawabannya hanya ada setelah lorong-lorong sembunyi itu kita lalui. Untuk kemudian berhulu pada dua pasang mata yang luruh, atau sepasang indera yang saling bertautan, atau mungkin saling menuduh.

Lorong-lorong sembunyi itu bagai memiliki magnit yang menarik kita dalam pusaran yang demikian hebatnya. Menghadirkan bukan hanya getar, tapi juga geletar. Ah, betapa nikmatnya merasai itu semua.

Dear Zorro...
Aku rindu berjalan tergesa-gesa melewati lorong-lorong sembunyi itu. Sungguh! Karena setelahnya aku menemuka muara di ujung hatimu. Dan sepetak delta tempat aku berdiri untuk terus berdiam di kehidupanmu.

~Yours~









Sabtu, 12 Oktober 2013

5 Cara sederhana membuat rilis

Ilustrasi
Siapa yang sering bikin event atau kegiatan? Jawabannya sudah tentu lembaga/komunitas, kalau individu paling banter ya birthday party atau wedding party, yang lain silakan tambah sendiri.

Pertanyaan berikutnya, apakah event itu mau dihadiri/diketahui banyak orang atau biasa-biasa saja? Kalau mau berarti kita harus melakukan publikasi yang maksimal. Untuk individu misalnya, kita bisa promosi lewat jejaring sosial, undangan, atau pesan singkat melalui SMS/BBM, dst.

Nah, kalau untuk organisasi kita bisa pilih cara lain yaitu publikasi di media mainstream seperti koran cetak atau koran online, dll. Kalau mau yang berbayar kita bisa pasang iklan, tapi kalau keuangan terbatas kita bisa kirimkan surat permohonan untuk meliput acara kita, nah, setelah itu berdoa agar media tersebut mau meliput acara kita heheheh. Kalaupun mereka ngga meliput jangan sedih, harap maklum saja, kita bisa kirimkan rilis kok.

Rabu, 09 Oktober 2013

Andai aku punya 50 miliar

Ilustrasi pohon uang
Wah... hari ini Rabu yaaa, baru ingat ada tantangan menulis "Andai Aku Punya 50 Miliar" yang jatuh tempo hari ini. Jatuh tempo? Kayak pajak aja yaaa, ini gara-gara tulisan Ari Murdiyanto untuk tema yang sama yang sudah diposting pertengahan pekan lalu. Selain Ari, yang sudah memposting tulisan itu adalah Azhar Iyas dan Alvawan.

Kalau bukan aku yang usulin, mungkin aku ngga bakal buat tulisan ini. Bukan karena tak ingin membuatnya, tapi sepekan ini memang aktivitas lumayan padat. Tapi apa kata, demi "menunaikan" usulan tersebut, dengan tertatih-tatih tulisan ini kutuliskan juga. Dengan perut yang lapar karena belum makan siang. Semoga saja setelah tulisan ini selesai laparnya langsung hilang, bukankah topik uang selalu asyik untuk dibahas?

Siapa yang pernah berandai-andai? Dalam agama yang kuanut berandai-andai memiliki hukumnya sendiri yaitu haram dan dibolehkan. Dalam konteks ini aku mau bicarakan andai-andai yang dibolehkan saja seperti pengandaian karena keinginan untuk mendapatkan sesuatu. Bukan karena penyesalan atau protes terhadap takdir. Hukumnya tergantung dari apa yang diangankan. Kalau yang diangan/andaikan untuk kebaikan maka nilainya pahala dan sebaliknya. Tapi jika yang diangankan itu kemaksiatan ya jelas nilainya dosa dong. Misalnya para cowok yang berandai-andai menikahi janda kaya agar dapat harta warisannya :-D

Agar lebih postif bolehlah kukatakan bawah andai-andai yang dibolehkan ini disebut impian. Keinginan yang benar-benar kita inginkan, yang kalau ngga terwujud bikin kita sedih. Sejak kecil aku sudah jadi pengkhayal berat, selalu ingin jadi yang berbeda dari orang-orang di sekelilingku.

Kali ini pun aku ingin mengulangnya kembali. Memimpikan diriku yang punya uang di bank sebanyak Rp 50 miliar. Hm... kira-kira mau kuapakan uang itu yaaaa? Kalau untuk didepositokan mungkin bakal sampai ke generasi ke delapan (kali). Kalau diinvestasikan, mungkin bakal lebih lagi. Aku sendiri lebih tertarik yang kedua; investasi!

Pernah dengan agrowisata? Itu lho, industri wisata yang dikawinkan dengan industri pertanian. Ups! Kawin? Maksudnya gini, industri wisata yang dikembangkan berbasis pertanian. Aku bercita-cita punya kebun yang luas di daerah berhawa sejuk di tanah Gayo. Kebun-kebun itu akan kutanami kopi, kentang, sayur-sayuran, atau juga strawberry. Di tengah-tengah kebun aku akan membangun cottage-cottage bermaterial kayu yang warnanya dipadu-padankan dengan konsep alam. Lalu nanti para wisatawan yang menginap di sana bisa ikut memetik kopi, memanen sayur dan belajar bercocok tanam. Mereka bisa tahu bagaimana bentuknya cacing tanah yang bertugas menguraikan tanah-tanah sehingga selalu gembur. Mereka bisa belajar apa itu tanah humus, tanah dengan jenis paling subur yang sangat dibutuhkan manusia.

Kalau cuma itu, masak sih perlu sampai 50 miliar?? Oh begini, untuk mendapatkan kebun itu aku perlu membelinya dari masyarakat, aku perlu membangun infrastruktur yang baik seperti akses jalan ke kebun, pembangkit listrik, sarana air bersih, membuat taman botanikal, membeli kuda sebagai alat transportasi, dan juga untuk gaji karyawan/tenaga kerja.

Hahhhh... capek juga, perutku makin berkeriuk. Tiba-tiba aku teringat untuk menghayal saja tak optimal dilakukan dengan perut kosong. Apalagi untuk mempunyai 50 miliar!

Minggu, 06 Oktober 2013

Overdosis kopi!

Foto by @infojkt
HARI ini, setelah beberapa bulan pantang kopi akhirnya aku kembali meneguk minuman berkafein itu. Ini bukan suatu kesalahan, mengingat saat memutuskan berpantang dulu aku tidak bernazar atau bersumpah untuk tidak meminumnya lagi. Saat itu, aku hanya berniat akan berhenti untuk sementara. Berikutnya untuk memenuhi anjuran dokter. Selanjutnya untuk membuat hati ibuku lega!

Seperti bertemu pacar rasanya, secangkir kopi yang kuambil di bar kusesap pelan. Kunikmati benar-benar, pahitnya, manisnya, terasa lengket di bibirku, setelahnya aku tersenyum senang. Ah, akhirnya kerinduanku selama ini terbayar sudah. Seperti habis berciuman, berkali-kali kujilat bibirku agar bekasnya benar-benar hilang.

Rindu? Ya, mungkin agak berlebihan tapi memang begitu adanya. Entah sejak kapan aku mulai menyukai kopi. Tapi yang pasti saat masih SD tiap kali pulang ke rumah nenek di Teupien Raya Pidie, aku selalu minta dibelikan racikan kopi di warung. Alasannya? Racikan kopi tersebut lebih kental, lebih pahit dan rasanya tidak terlalu manis. Berbeda dengan seduhan kopi Cap Rusa yang biasa disuguhkan ibu pada masa itu. Rupanya rahasia kelezatan dan kegurihan kopi Teupien Raya itu kabarnya diberi tambahan beras, gambir dan jagung sebagai campuran. Jadi tastenya lebih kuat. Aku memang kurang suka dengan racikan kopi yang greu alias encer.

Di rumah jika aku menyeduh kopi sendiri, kupastikan bubuk kopinya lebih banyak dari takaran biasa dengan takaran gula yang lebih sedikit. Pernah beberapa waktu aku membawa botol minuman yang isinya bukan air putih melainkan kopi, entah itu kopi yang kubeli di warung, atau kopi sachet seperti cappucino atau teh tarek, atau coffee mix.

Sekali waktu aku minum kopi dalam keadaan perut kosong, rupanya itu berpengaruh. Sayangnya waktu itu aku belum mengetahuinya. Jadi, ketika beberapa saat kemudian aku sempoyongan, jantung berdebar-debar, pusing, dan mual kupikir itu keracunan kafein. Aku pun pantang kopi. Tapi tak lebih dari dua minggu. Setelah itu aku kembali seperti biasa, setiap ke warung kopi tak pernah alpa aku memesan kopi.

Hujan yang memusnahkan getar

Ilustrasi
Sungguh! Rasanya tak bisa kujelaskan, malam tadi aku baru saja "melumatmu" dari cerita demi cerita dalam buku yang kubaca, di akhir halaman kutemukan kenyataan yang membuatku tercengang, seolah-olah Tuhan memang sedang menyiapkan kejutan besar untukku, kejutan dan ketakjuban yang akan kusampaikan padamu hari ini, mungkin pagi, siang, sore atau malam nanti. 

Rasanya memang tak bisa kujelaskan, sebab pagi ini kudapati engkau telah "pergi". Jejakmu hanya berupa "pusara" yang tak bisa kugali, bahkan untuk sekedar menyelipkan pesan kepadamu.

Entahlah, tapi sepertinya hujan pagi tadi memang untuk menyapu habis kenangan tentangmu. Bahkan tak sedikitpun geletar yang tersisa. Dan sore ini semua puing-puing kenangan tentangmu ikut tenggelam bersama terbenamnya matahari.

Mungkinkah kau akan bereinkarnasi? Mungkin jadi semacam rumput liar, angin, badai, atau apapun? Agar aku bisa menyampaikan angka yang tertera di halaman terakhir buku yang kubaca semalam.


Senja yang redup!

Rabu, 25 September 2013

25 September setahun yang lalu

Foto ilustrasi
Kurasakan wangi tubuhmu kembali menempel di hidungku. Mengingatkanku pada tatapan lekat ke manik matamu yang bercahaya. Membuatku berdebar, bergelora.

Menyadari hari ini 25 September sungguh sangat menyenangkan. Membuatku begitu gembira, berbunga-bunga, tapi juga rasa yang entah yang hinggap bertubi-tubih.

Pagi tadi aku baru saja mengecupmu mesra, berbisik di telingamu, mengucapkan sepotong kalimat yang kuyakin sangat kau sukai. Selamat ulang tahun Cinta.

Baru pagi tadi kurasakan nafasmu begitu dekat, hangat. Pagi tadi itu setahun yang lalu, saat Tuhan memberi kita kesempatan untuk bersama. Setahun rasanya seperti baru kemarin, teramat sangat singkat. Tapi menjadi sangat lama karena rindu yang terus menerus mendera. Ah, rindu... andai saja kita tahu bentuknya seperti apa. Pasti akan mudah sekali menaklukkannya. Sayangnya hingga akhir waktu ia hanya akan hadir sebagai abstraksi yang rumit. Tak berpenjelasan.

25 September adalah hari di mana aku mencuri start untuk memberimu ucapan selamat ulang tahun. Meskipun hanya sepotong ciuman basah, karena itu mestinya kuberikan esok hari. Tapi kadang-kadang kita mesti berbaik-baik dengan takdir. Meninabobokannya untuk sekali dua kali waktu, .......


Pemuda imajinatif itu namanya Hijrah "Piyoh" Saputra

Hijrah Saputra @facebook
SEBENARNYA aku sudah lama ingin menuliskan profil pemilik Piyoh Design, Hijrah Saputra, dalam sudut pandang kacamataku sendiri. Selama ini aku memang sering menuliskan kiprahnya sebagai salah satu pengusaha muda Aceh, tapi itu untuk kebutuhan lain. Tentu saja citarasanya juga berbeda.

Rencana menuliskan tentang Hijrah sudah bercokol di benakku sejak usai Idul Fitri pada bulan Agustus lalu. Tapi terulur-ulur terus sampai sekarang sudah mau lebaran Idul Adha. Hari ini kurasa momen yang tepat untuk menulisnya karena pria muda itu sedang merayakan hari ulang tahunnya yang ke twenty nine my age alias ke 29.

Nama Hijrah sebenarnya sudah kudengar sejak tahun 2007 atau 2008 lalu. Waktu itu Hijrah yang ada dalam benakku adalah Hijrah Saputra yang sealmamater denganku. Rupanya aku salah. Itu kusadari setelah suatu hari aku nyasar di blognya di piyoh.blogspot.com. Pertemuan pertama kali dengan pria hitam manis ini pada akhir 2011 lalu, tepatnya di event Festival Kopi yang dibuat oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banda Aceh. Waktu itu aku bersama Ferhat dan Nurul Fajri lagi muter-muter di sana, dan karena si Ferhat ini kenal sama Hijrah, begitu berpapasan mereka langsung ngobrol. Aku, cuma bisa diam mengamati... oh ini toh si Hijrah itu... kelihatannya ramah juga ya (dari facenya). Tapi kok nggak nyapa aku yaaa...tuing tuing tuing...

Logo Piyoh @facebook
Pertemuan kedua di sebuah seminar yang dibuat oleh Saman UI di aula balai kota Banda Aceh. Waktu itu aku datang dengan seorang teman yang juga temannya Hijrah. Bukan bertemu sebenarnya karena kami hanya duduk di belakang dan menyaksikan Hijrah cuap-cuap ngasi motivasi untuk anak-anak SMA di Banda Aceh. Rupanya selain ngembangin usaha sendiri, si abang yang pernah jadi Raka Malang ini juga aktiv bagi-bagi informasi ke orang. Dia pernah bilang share ilmu ke orang ngga perlu takut, karena ngga bikin kita (dia) jadi bangkrut atau miskin.

Kalau orang-orang bilang hidup baru berawal di usia 40 tahun, aku justru baru memulai di tahun 2012. Maksudnya, aku baru mulai kenal Hijrah lebih dekat pada awal April 2012 lalu. Jadi praktisnya usia persahabatan dengan Hijrah itu baru seumur jagung. Tapi aku merasa sudah berteman lamaaaaaaaaaaaaa kali sama cowok yang pernah jadi Duta Wisata Sabang ini.

Senin, 23 September 2013

Presiden, PKA dan Bupati yang gagal datang ke kampungku

Presiden SBY saat seremonial pembukaan PKA VI
@ATJEHPOSTcom/Heri Juanda
NGGAK terasa Pekan Kebudayaan Aceh udah masuk hari keempat. Itu artinya masih tersisa sepekan lagi dari waktu yang ditetapkan sejak 20-29 September 2013. Meski belum setengahnya berlangsung namun event yang dihelat lima tahun sekali ini mulai menorehkan sejumlah persoalan. Tapi soal itu aku ngga mau cerita di sini.

Aku justru mau cerita soal prosesi pembukaan seremonial tersebut yang kabarnya agak berlebihan. Aku memang ngga datang langsung waktu hari H pembukaannya Jumat, 20 September lalu. Tapi berita tentang itu  (harus) terus kupantau sejak beberapa hari sebelumnya. Baik dari media mainstream maupun dari jejaring sosial, terutama Facebook.

Dari Facebook aku tahu sehari sebelum Presiden SBY tiba di Banda Aceh, daerah Kopelma Darussalam sudah "hijau". Ini bukan karena reboisasi daerah kampus oleh anak mapala, tetapi oleh seliweran tentara Angkatan Darat yang bertugas untuk mengamankan Presiden. Oh ya, ngomong-ngomong sebelum membuka PKA pada pagi Jumat, pada Kamis malam Presiden SBY menerima gelar kehormatan Doktor Honoris Causa dari Universitas Syiah Kuala. Jadi mengertikan mengapa wilayah kampus itu harus disterilkan. Kabarnya lapak-lapak jualan di sekitar itu juga turut dibersihkan untuk sementara.

Dari sebuah status Facebook yang sempat terbaca olehku, seorang mahasiswa tingkat akhir di Unsyiah merasa kurang nyaman ketika sebuah helikopter terbang dari jarak rendah di kawasan itu. Tentu saja ini sangat beralasan mengingat Aceh sebelumnya pernah dilanda konflik. Meski para tentara itu bukan dikerahkan untuk berperang tapi mayoritas mahasiswa risih, begitu juga dengan masyarakat. Pasukan keamanan yang disiagakan selama Presiden berada di Banda Aceh cukup fantastis sekitar 2.500 personil. Anda boleh bilang wow! untuk jumlah ini. Pasalnya Aceh kini bukan lagi daerah konflik sodara-sodara.

Minggu, 22 September 2013

Menemukan Kopi Sulthan di Festival Kopi

TADI sore sembari menunggu magrib aku sempatkan membaca kumpulan cerpen pilihan Kompas. Dari beberapa belas judul, setelah kubolak-balik aku berhenti pada satu judul yang menurutku cukup menarik, Bunga Kopi. Namun setelah membaca keseluruhan isinya, cerpen itu  tidak seperti yang kubayangkan. Tapi tetap ada yang menarik, beberapa kalimat menceritakan tentang harumnya bunga kopi yang menyemerbak.

Buah kopi masak @bumn.go.id
Aku jadi ingat obrolan beberapa bulan lalu dengan bang Joe dan bang Sada, bang Joe ini budayawan kelahiran Samalanga namun besar di Gayo. Ia sendiri lebih suka disebut sebagai orang Gayo, dan sangat aktiv mengangkat isu-isu Gayo, terutama di bidang budaya. Sedangkan bang Sada waktu itu masih bekerja di sebuah kafe sebagai peracik kopi. Pemahamannya tentang kopi tentu saja patut diacungi jempol. Itung-itung sebagai riset, mengobrol dengan bang Joe dan bang Sada sangat menyenangkan.

Bicarain kopi dengan mereka seperti ngga ada habis-habisnya. Ceritanya detil dan bikin aku berkali-kali oo... gitu ya, oo... gitu yaa.... wow...kerennn!! Kemaruk ya J Dulu waktu masih SD pernah sempet punya kebun kopi, ceritanya waktu itu ayahku baru beli kebun. Isinya macam-macam, ada pohon kopi, lamtoro yang berfungsi sebagai pohon pelindung dan pisang. Ada juga beberapa jenis pohon lainnya. Nah sebelum pohon kopi itu ditebang, aku dan ibu sempet manen buahnya. Sambil mendengar saluran FM di radio, aku dan ibu memetik kopi. Sesekali aku juga memakan buah kopi, selaputnya manis, enak kalau diemut. Aku punya trik sendiri waktu itu, buah kopi yang kumakan kupilih yang berwarna hitam tua dan tunggal, rasanya lebih manis dan nggak langu. Satu lagi yang kusuka dari kopi adalah bunganya, wangi. Dulu waktu kecil kami suka merangkai bunganya. Entah dibikin kalung atau gelang.

Bunga kopi. Sumber foto @titisharyani
Ngomong-ngomong soal kopi, kopi Aceh memang terkenal. Terutama kopi yang tumbuh di dataran tinggi Gayo. Kopi jenis Arabica tersebut termasuk yang terbaik di dunia dan sangat laku di Amerika. Di kedai kopi Starbuck yang dijual juga kopi Arabica dari Gayo. Kopi-kopi itu juga mempunyai gradenya sendiri, ada specialty, long berry, pie berry, dll. Soal jenis-jenis kopi ini aku mengetahui setelah mengobrol banyak dengan pengusaha kopi dari Takengon. Dari dia juga aku jadi tahu kalau kopi itu aromanya macam-macam, ada aroma rumput, peanut/kacang, tanah, bunga, dan beberapa lainnya. Aroma-aroma ini rupanya dipengaruhi oleh jenis biji kopi dan tingkat pengendapannya. Aku juga baru tahu kalau kopi saring yang dijual di warung-warung kopi di Banda Aceh adalah jenis robusta.

Saking spesialnya kopi Aceh, banyak teman-teman di luar Aceh yang suka minta dikirimkan kopi dari sini. Bahkan ada yang iseng minta dikirimkan kopi campur ganja, di Gayo Lues tepatnya di Pining kopi campur ganja ini memang ada. Namanya kopi dangdut. Soal kopi dangdut ini bukan cerita belaka, mantan istri Gubernur Aceh Bu Darwati A Gani pernah meminumnya waktu berkunjung ke sana. Aku sendiri? Belum pernah, dan sangat penasaran gimana rasanya.

Maka begitu ada Festival Kopi yang digagas oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banda Aceh, aku pribadi sangat senang sekali. Ajang ini bukan cuma jadi ajang untuk promosi potensi kopi Aceh. Tapi juga kesempatan buat belajar lebih banyak mengenai seluk beluk kopi. Jadi ingat waktu Festival Kopi yang pertama kali, akhir tahun 2011 lalu. Waktu itu sempat beli beberapa kotak kopi, kebetulan pas mau keluar kota, sekalian buat oleh-oleh. Setelah keliling-keliling stan akhirnya nyangkutlah di salah satu stan. Kubeli beberapa bungkus kopi merk Kopi Sultan. Kemasannya menarik dan ekslusif yang ditulis dalam alfabeth mirip tulisan India. Acha acha kopiheee... hahahah

 Kerenkan? sumber foto @kopiaceh
Saat ke luar kota kopi-kopi itu kuberikan sebagai oleh-oleh kepada beberapa teman yang kukunjungi. Mereka bilang rasanya enak, aromanya kuat. Ada juga yang minta dikirimkan lagi, merknya harus yang sama. Kubilang kali ini ngga gratis lho heheheheheh. Kopi Sulthan memang spesial soalnya yang dijual jenis premium. Kualitasnya benar-benar terjamin. Biji kopinya berasal dari dataran tinggi Gayo. Meski harganya agak lumayan, tapi kualitas selalu berbanding dengan harga bukan?

Minum kopi ini juga ada triknya sendiri, waktu diseduh jangan diaduk tapi biarkan sampai bubuk kopinya mengendap sendiri. Dengan cara ini kita jadi tahu kopi itu asli atau tidak. Kalau bubuk kopinya campuran, entah dengan jagung misalnya, campurannya jadi ngambang. Selamat menikmati!




Selasa, 17 September 2013

Rumput Liar

Ilustrasi
Akhirnya hujan yang turun sejak siang tadi reda juga. Bau tanah basah menyeruak. Segar. Di pegunungan yang tak jauh dari tempatku tinggal, kabut mulai muncul. Putih. Bagai bunga-bunga es di lemari pendingin. Aku bergegas ke kamar. Mengambil syal berbahan wol motif garis putih biru dan langsung kucantolkan ke leher. Hawa dingin menusuk-nusuk. Masuk hingga ke sum-sum tulang. Setelahnya aku segera pergi.

Sudah beberapa belas menit aku menunggu taksi. Tapi belum ada satupun yang nongol. Aku khawatir sementara aku masih di pinggir jalan seperti ini, hujan kembali turun. Butir-butir air yang jatuh dari pucuk pohon angsana menetes di tubuhku. Menambah gigil kala angin bertiup agak kencang. Aku merapatkan jaket sambil mataku tertumbuk pada sebatang rumput liar yang tengah meliuk-liuk. Bunganya kuning pucat dengan beberapa kelopak yang masih utuh.

Segaris senyum melengkung di bibirku. Bersamaan dengan butir air yang tepat jatuh di di hidungku. Rumput liar itu. Kamu! Seolah telah mengirimkan energi untuk mengeluarkanku dari kemalasan akibat cuaca yang tak bersahabat. Kau tahu, aku hampir saja membatalkan janji untuk ketemu denganmu sore ini. Rasa-rasanya meringkuk dalam balutan selimut tebal sambil memeluk guling lebih menyenangkan. Tapi entah mengapa, akhirnya aku bergegas dan sekarang berada di tepi jalan. Menunggu taksi yang tak kunjung datang.

“Nanti setelah bertemu denganku kau akan merasa hangat,” godamu dalam pesan pendek yang tak sanggup kutolak.

Aha! Taksi yang kutunggu-tunggu akhirnya melintas juga. Begitu taksi itu menepi segera aku masuk. Sebelum kembali melesat di jalan raya sempat kutoleh pada rumput liar berwarna pucat itu.

Senin, 16 September 2013

Beulidi!

Google
INI bermula ketika seorang teman bertanya, apa artinya "Glap". Lalu dengan yakin kujawab "Glap" adalah "Seupot", alias "Gelap" yang berasal dari bahasa Indonesia kemudian "diserap" ke dalam bahasa Aceh. Jawabanku ini bukan asal jawab saja, dulu waktu masih kecil sering kudengar nenekku mengatakan "Glap" sebagai pengganti kata "Gelap". Ternyata jawabanku salah. "Glap" adalah "Penjara" kata temanku. Hah? Aku salah dong!

Semua kukira sudah tahu kalau Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia ini memiliki berbagai suku yang majemuk. Di Aceh saja, tempat lahir beta, bahasanya macam-macam. Katakanlah yang umum-umum saja ada bahasa "Aceh" yang umumnya dipakai oleh masyarakat pesisir, bahasa "Gayo" yang umumnya dipakai oleh masyarakat di dataran tinggi Aceh, bahasa "Jamee" yang umumnya terdapat di wilayah barat selatan Aceh. Ada juga bahasa Alas, Tamiang, Simeulue, dan lainnya yang kalau disebutkan satu persatu pasti sangat banyak.

Di pesisir saja, yang sama-sama menggunakan bahasa Aceh, dialeknya juga sangat beragam. Sebagai contoh dialek Aceh Timur tempat saya berasal dengan dialek Pidie. Waktu saya kecil ibu selalu mewanti-wanti agar saya tidak menjawab dengan "Peu" ketika beliau memanggil saya. Tetapi selalu dibiasakan dengan jawaban "Tuwan" yang akhirnya disingkat menjadi "Wan" saja. Dalam tataran keluarga kami "Wan" atau "Tuwan" merupakan jawaban yang sopan. Jika kami menjawab dengan "Peu" maka ibu mengatakan, "Lage ureueng Pidie" alias seperti orang Pidie.

Minggu, 15 September 2013

Penantian

Ilustrasi
INI kali ketiga aku melihatmu. Engkau datang dengan sepotong senyum tertahan. Juga langkah yang sedikit tergopoh-gopoh. Tak jauh dari tempatku duduk engkau menarik sebuah kursi, melepas ransel yang menggantung di pundakmu lalu mengempaskan pantatmu di kursi berlapis busa.

Sebelum membelakangiku kau sempat melempar senyum yang datar. Tapi aku sempat menangkap ribuan kata yang tersembunyi di balik retina matamu. Ada kegembiraan yang kau tahan di sana, juga semedi ketakutan yang coba kau sembunyikan. Dugaanku bisa jadi benar, tak lama setelah kau duduk seorang pria datang mengampirimu.

Pria itu, tentu saja aku kenal. Tapi bukan itu yang membuatku tertegun, melainkan caramu merengkuh dan mencium tangannya dengan takzim. Sekali lagi, meski engkau membelakangiku seolah aku bisa membaca geliat bahasa badanmu. Bahwa engkau menaruh rindu yang teramat pada pria yang kau cium tangannya itu. Dan wajah pria itu, tentu aku bisa melihatnya dengan jelas karena ia menghadap ke arahku. Bahagia!

Aku masih ingat namamu. Mirah. Nama yang sederhana namun terkesan kuat dan tangguh. Nama itu kukira cocok disandingkan dengan keteguhan dan kesungguhanmu dalam mencintai pria itu. Kesungguhan yang membuatku iri, maksudku, aku juga ingin ada seseorang yang bisa mencintaiku seperti itu.

Rabu, 11 September 2013

Meranti dan sintrong, dua jenis sayuran hutan paling membekas di ingatanku

Pucuk Meranti
SAAT menuliskan ini aku sedang dalam kondisi tak "baik", entah kenapa sejak siang tadi aku kurang begitu semangat. Mungkin juga karena sudah beberapa hari ini badanku ngga begitu fit, semalam malah sempat homesick dan rasanya pengen pulang ke kampung. Sampai-sampai menetes air mata dan rindu begitu kuat sama almarhum ayah.

Saat-saat rasa "galau" itu melanda, tiba-tiba Mbak Adel yang di Bandung posting gambar eceng gondok yang akan disayur. Jujur saja seumur hidup aku belum pernah makan daun itu. Di Aceh daun eceng gondok biasanya dijadikan pakan bebek. Tapi aku -dan juga keluarga- suka sekali dengan daun genjer, yang habitatnya sama seperti eceng gondok. Sama-sama hidup di air. Yang oleh kebanyakan masyarakat Aceh lainnya juga dijadikan pakan bebek. Melihat postingan Mbak Adel ini teringat saat masih anak-anak, ibuku sering memasak daun-daunan liar.

Aku akan memutar ulang beberapa cerita masa kecilku tentang jenis sayur-sayuran, yang aku yakin hanya orang-orang "tertentu" yang pernah memakannya. Maksudnya hanya orang-orang ladang seperti kami yang dasarnya adalah petani. Sebagai petani, otomatis lebih dekat dengan alam. Dan pada prinsipnya asal ngga membahayakan semua bisa dimakan.

Di beberapa tulisanku lainnya sudah pernah kuceritakan kalau kedua orang tuaku petani tulen. Aku hidup dan besar di ladang, belakangan di kebun, ketika ayahku mulai beralih menanam tanaman tua seperti kakao dan kelapa.

Di daerah tempat kami tinggal dulu ada kawasan perbukitan yang diberinama Lhok Jeuruweng. Sampai sekarang aku tidak tahu apa arti nama Jeuruweng itu. Kondisi geografisnya berupa perbukitan yang di lembahnya terdapat parit-parit kecil dengan air yang sangat jernih. Lokasinya sangat jauh dari perkampungan penduduk. Jarak dari rumahku mungkin lebih dari lima kilometer dan itu harus ditempuh sambil jalan kaki. Dengan kondisi jalan berupa jalan tikus di antara lereng bukit dan kebun-kebun penduduk. Bukit ini sangat luas, mempunyai beberapa pucak bukit dan bisa tembus ke beberapa desa sekaligus. Bahkan beberapa ruas jalannya terpaksa harus melewati padang ilalang yang tinggi.

Kamis, 05 September 2013

Doa kecil untuk sahabatku

Aku (kanan) dan sahabatku (kiri)
KEMARIN seorang sahabatku ulang tahun, 4 September. Aku tak berniat menyebutkan berapa usianya sekarang, karena nanti usiaku jadi ketahuan juga berapa hahahah. Khusus untukku pribadi, aku merasa perlu berterimakasih pada Facebook yang diciptakan oleh Mark Zuckerberg. Kalau tidak, aku pasti bakalan lupa tanggal berapa sahabatku itu ulang tahu. Soalnya aku selalu kebalik-balik antara 4 September atau 14 September. Yang pasti bukan 44 September hehehe.

Sejak pagi aku sudah lihat peringatan yang termpampang di wall facebookku. Antara ingin menuliskan ucapan selamat dengan tidak. Kalau kutulis di situ, terlalu biasa, orang-orang (mungkin) akan melihat ucapanku untuknya. Kemungkinan lainnya adalah temanku itu tidak akan melihatnya, asumsinya pasti banyak yang menulis selamat ultah di wallnya, dan ia pasti akan meleatkan "kiriman"ku tanpa menyadarinya.

Akhirnya kuputuskan untuk tidak mengucapkan selamat di wallnya. Aku berniat membuatkan sepotong dua potong puisi dan kukirim ke inbox saja. Rasaku, dia pasti akan merasa lebih istimewa dan tersanjung hehehehe. Ntah iya pun... hahahahaha.

Tentu bukan salahku sepenuhnya jika sampai malam tak ada puisi yang kukirim untuknya. Dengan menerapkan standar prioritas, kufokuskan untuk menyelesaikan pekerjaan terlebih dahulu. Nanti saja bikinnya kalau sudah di rumah, begitu kilahku ketika masih di kantor. Aku ngga mau bikin puisi setengah jadi untuknya. Ngga mau asal! Pokoknya harus berkesan. Sampai di rumah, aku malah kecapean. Sampai rumah sekitar pukul lapan malam lebih. Istirahat sebentar terus beres-beres rumah, baru luang sekitar jam sepuluh lebih. Menjelang jam sebelas malam aku tidur dan sempatkan buka laptop sejenak, hahahaha... kulihat sahabatku online, maka selamat ulang tahun kuucapkan saja melalui inbox di facebook.

Meski hanya melalui tulisan, aku mengucapkannya dengan niat dan hati yang tulus. Seperti biasa, entah itu aku, entah itu dia, tetap saja momen milad itu tanpa makan-makan, atau perayaan apapun. Sahabatku ini istimewa, teramat sangat, meski sudah dua tahun nggak pernah ketemu tapi komunikasi kami ngga pernah putus. Itulah mengapa aku mesti berterimakasih pada Zukerberg.

Selasa, 03 September 2013

Sekeping kenangan tentang sekolah Kampung Pelita

foto by ATJEHPOSTcom
PERNAHKAH kau merasa rindu? Bukan rindu pada seseorang, tapi rindu kepada tempat asalmu. Di tanah tempat kau dilahirkan, tempat kau dibesarkan dan tempat kau belajar a be ce dan de, juga huruf hijaiyah alif ba ta dan tsa...Di tanah itu kau belajar artinya memiliki tanah air, tempat lahir beta.

Rindu serupa itulah yang terus kurasakan. Sejak siang tadi, kemarin, dan kemarinnya lagi. Aku terkenang pada sebuah desa yang sering kusebut sebagai Kampung Surga. Di desa itu berdiri sebuah bangunan yang amat sangat "istimewa". Bangunan tempat aku belajar membaca dan menulis. Ya, rumah sekolah kami.

Bangunan sederhana yang berdiri di kaki bukit, berada di tengah-tengah kebun warga, berdampingan dengan jalan utama di kampung itu. Kau mau tahu apa nama perkampungan itu? Namanya Lorong Pelita, berada di pedalaman Aceh Timur (Pelita yang Tak Padam Dihempas Konflik). Ah, sungguh indah bukan? Tapi kegelapan adalah hal pertama yang kulihat di kampung itu. Dulu, sekitar seperempat abad lalu, ketika aku sudah tahu apa artinya kegelapan. Kegelapan adalah malam tanpa cahaya bulan atau bintang. Di kampung kami, kegelapan berarti adalah hidup tanpa listrik. Ya, kala itu masyarakat sudah puas dengan lampu teplok, atau paling wah dengan petromak.

Oh ya, soal kampung Pelita itu biar kuceritakan lain kali saja ya. Kali ini aku ingin cerita tentang sekolahku dulu. Tempat aku belajar mengenal huruf. Oh ya, bukan tanpa alasan aku menceritakan sekolah pertamaku itu, selain karena aku tak mengenal sekolah Taman Kanak-Kanak, juga karena sangat banyak kenangan di sekolah itu. Dan dibandingkan saat aku SMP atau SMA, masa-masa SD adalah masa paling menyenangkan buatku.

Aku terus mengingat-ngingat. Jika ditanya apa yang pertama paling kuingat dari sekolah itu, adalah bumbungan asap hitam yang mengepul dari ruangan kelasnya. Awal tahun 1990-an, dari dalam keranjang di jok belakang sepeda motor tua milik ayahku, aku melihat api menyala-nyala dari sekolah itu. Itu juga hari pertama aku memahami istilah "mengungsi".