Selasa, 29 Januari 2013

Ayah in Memoriam


Ini tahun kelima kepergian ayahku; Nurdin bin Yusuf Puteh. Bagiku kepergian ayah terasa sangat cepat, usianya belum genap 50 tahun ketika itu. Ia masih muda dan gagah. Apa yang kutulis saat ini mungkin hanya berupa luapan emosi, tetapi ini adalah proses membekukan sejarah. Di lain waktu aku akan menulis cerita-cerita lain tentang ayahku.
________________________


JANUARI hampir berakhir. Saat aku mulai menuliskan ini waktu di timer laptopku menunjukkan angka 22:53 pm, Senin, 28 Januari 2013. Januari akan berakhir pada tanggal 31, sesuai timer di laptopku berarti tiga hari lagi; 29,30 dan 31.

Januari memiliki arti tersendiri bagiku, bagi ibuku dan juga bagi adik-adikku. Sebelas hari lalu, tepatnya pada tanggal 16, ayahku meninggalkan kami semua karena penyakitnya. Itu terjadi lima tahun silam; 2008.

Lima tahun, bisa jadi waktu yang sebentar, bisa jadi sangat lama, namun yang pasti jika 365 x 5 berarti sudah 1.825 hari ayahku meninggalkanku, meninggalkan ibuku dan juga adik-adikku. Selama itu pula kami menyimpan kerinduan dengan cara kami masing-masing. Selama itu pula kenangan semasa hidupnya terus membayangi keseharian kami.

Sebelas hari lalu, pagi-pagi sekali aku masih ingat ibu meneleponku, ia berbicara lalu menangis. Ibu mungkin lupa hari itu adalah hari kepergian ayah kami. Aku tak berusaha mengingatkannya karena kutahu itu akan membuatnya semakin terluka. “Macam sudah kurasa sejak ayahmu tiada,” kata ibu sepotong. Kata yang bukan hanya kali itu saja kudengar, tetapi sudah berulang-ulang.

Sama seperti ibu, aku pun menangis tapi air mataku tumpah di dalam hati. Dengan bibir bergetar aku mencoba menyaringkan suara. Membuat suara seriang mungkin, agar ibu menangkap kesan aku baik-baik saja. Tak lama kemudian ibu menutup telepon. Sejenak setelah itu aku mengirimkannya pesan pendek; ibu yang sabar ya, ini bagian dari ujian untuk kita semua, aku sayang mamak.

Tak lama kemudian ibu membalas; terimakasih Nak sudah mengingatkan mamak, mamak khilaf.

***
Ayahku memiliki karakter yang keras. Ia tegas. Pekerja keras dan pantang menyerah. Tak pernah sekalipun kulihat ia mengeluh di depan kami anak-anaknya. Jika pun harus mengeluarkan pernyataan tak enak biasanya disertai dengan analisis yang tajam. Ia pendiam, tak banyak bicara. Begitulah yang biasa aku lihat semasa hidupnya. Ia bicara jika memang sudah harus bicara.

Aku kecil sering merasa takut pada ayah, tapi juga merasakan kedekatan yang luar biasa. Sepotong kata-katanya dengan intonasi yang sedikit tinggi saja bisa membuatku menangis. Tapi aku jarang sekali dimarah olehnya. Dan aku tahu ayahku sangat menyayangiku.

Hingga hari ini sejak kepergiannya aku sering menangis diam-diam jika mengingat sosoknya. Kadang-kadang jika aku masuk ke dalam diriku aku melihat seluruh diri ayahku ada di dalam jiwaku. Aku tak suka memperlihatkan kecengengan di depan orang lain, bahkan ibuku sendiri. Aku tak suka membantah, sekalipun aku tak sepakat, tapi aku tahu aku seorang pemberontak. Ketegaran, itu juga yang diperlihatkan ayahku, bahkan dalam sakit sekaratnya ia tak pernah mengerang, hanya meringis, saat itu di rumah sakit kulihat mukanya sampai pucat menahan sakit yang parah.

Senin, 28 Januari 2013

Tetap Menulis Meski Bukan di Blog

MENULIS merupakan pekerjaan yang menyenangkan. Bagi sebagian orang menulis mungkin proses membekukan sejarah, atau (waktu?) Mungkin karena hasil tulisan itu bisa dinikmati di waktu bertahun-tahun kemudian. Sehingga seolah-olah waktu saat ini atau masa lalu bisa dibawa ke masa depan.

Bagi saya sendiri menulis tak ubahnya seperti obat atau suplemen. Menulis menjadi semacam terapi ketika saya sedang mengalami kekalutan. Banyak hal-hal tak mengenakkan dalam hidup saya akhirnya "sembuh" dengan terapi tulisan yang saya lakukan.

Menulis bukan hal sulit bagi saya, satu-satunya yang membuat sulit adalah kemalasan. Saya ingat, sejak masih duduk di Sekolah Dasar, tak pernah mengalami kesulitan setiap kali pelajaran mengarang. Namun baru intens menulis sejak saya punya blog pada tahun 2006 silam. Ya, blog!

Ngomong-ngomong soal blog, saya ingat kembali, sejak setahun terakhir sangat jarang mengupdate blog saya. Jika pun ada itu hanya satu-satu. Di catatan arsip blog saya, selama tahun 2012 hanya ada 25 judul postingan tulisan di blog saya, itu artinya, satu bulan saya hanya menulis dua kali di blog saya.

Sementara pada tahun 2011 ada 100 judul postingan di blog saya, tahun 2010 angkanya menurun, hanya ada 33 judul postingan. Tahun 2009 ada 58 judul postingan, tahun 2008 ada 43 judul, tahun 2007 ada 158 dan tahun 2006 ada 319 judul postingan.

Persentase menulis dari tahun ke tahun memang bervariasi, meski sepi tulisan di blog bukan berarti sama sekali tidak menulis, saya masih tetap membuat tulisan di catatan facebook, mengirim puisi pendek ke teman-teman melalui sms, atau membuat status putisi di facebook, intinya saya tetap menulis meski pun tidak saya posting di blog.

Namun blog ini sudah menjagi bagian dari hidup saya, semacam ada yang kurang jika tak pernah disentuh, atau jika dibiarkan tak terupdate terlalu lama. Blog ini mencatat semua perjalanan hidup saya, pahit, getir, senang, ah...semua, hingga akhirnya meski tak memperbarui saya selalu menyempatkan membuka sesibuk apapun.[]

Minggu, 13 Januari 2013

Surat Cinta untuk Kekasihku


Dear my beloved,

Cinta, maafkan aku, setelah bertahun-tahun melalui waktu bersama aku masih sering dihinggapi berbagai pertanyaan tentangmu. Aku menyadari sekarang bukan lagi seperti masa itu, saat kita baru pertama kali jatuh cinta, saat-saat di mana kita sangat mudah mengatakan cinta, mengungkapkan rindu dan menyatakan perasaan.

Memang bukan waktu yang sebentar untuk menjalankan semua skenario takdir ini, walau aku kerap merasa seolah-olah kita baru berkenalan kemarin dan berteman hari ini. Memang, entah sudah berapa banyak cerita yang lahir dari rahim kebersamaan kita, tetapi aku seperti tak pernah kehabisan kata untuk menuliskannya. Semua cerita tentangmu seperti tak pernah kering.

Aku seperti baru bangun tidur, lalu merasakan kehadiranmu yang jauh tiba-tiba menjadi dekat, tetapi dekatnya engkau terselubung oleh tabir yang tipis, aku bisa menyaksikanmu dengan leluasa, begitu juga engkau, tapi kita terhalang oleh tabir yang tipis itu; orang-orang di sekitar kita.

Cinta, jika saja aku tidak bertumbuh, aku akan merasa sakit hati dengan semua ini, menyaksikanmu besar dari bibir orang-orang yang kukenal, merasakan engkau hadir di setiap lorong-lorong hidupku, tapi setiap itu pula kita mesti melambaikan tangan dari jauh.

Kapal di Atas Rumah, Objek Tsunami di Gampong Sadar Wisata

Kapal di Atas Rumah, Objek Tsunami di Gampong Sadar Wisata
Objek tsunami, selain berfungsi sebagai tempat tujuan wisata juga menjadi tempat untuk merenung akan kebesaran Illahi. Salah satu tempat yang memenuhi dua kriteria di atas adalah objek wisata Kapal di atas Rumah di gampong Lampulo, kecamatan Kuta Alam Banda Aceh.
Matahari masih tinggi ketika saya sampai di sini, panasnya terasa menyengat kulit dan saya terpaksa memicingkan mata. Namun, saat melihat kapal besar yang bertengger di atas rumah saya pun takjub.
Sejenak ingatan saya kembali pada masa beberapa tahun silam, sebuah peristiwa besar bernama tsunami yang terjadi di akhir desember 2004. Yang merenggut ratusan ribu korban jiwa dan memporak-porandakan berbagai infrastruktur di Aceh.
Peristiwa besar itu pula yang membawa kapal seberat 20 ton ini tersangkut di atas rumah penduduk di kawasan gampong Lampulo, tepatnya di atas rumah keluarga Misbah dan Abassiah. Sekarang mereka tinggal di Geuceu Komplek.