Selasa, 05 Februari 2013

Life of Pi; Novel yang membuat kita percaya pada Tuhan


“DENGAN cepat hari menjadi siang. Perasaan lemah lunglai yang fatal merayapi tubuhku. Aku pasti mati tengah hari nanti. Agar kematianku lebih nyaman, kuputuskan untuk memuaskan sedikit rasa haus tak tertahankan yang telah begitu lama kuderita. Kuteguk sebanyak mungkin air. Kalau saja ada yang bisa kumakan untuk terakhir kali. Tapi sepertinya tidak ada apa-apa. Aku duduk bersandar pada tepi gulungan terpal yang berada di tengah-tengah sekoci. Kupejamkan mata, menunggu nyawaku meninggalkan raga.”

--------------------------------------
Itulah adalah salah satu paragraf yang menceritakan saat-saat di mana seorang pemuda berusia 16 tahun merasa sangat putus asa. Pemuda itu adalah Piscine Molitor Patel. Namanya yang susah disebut membuatnya menyingkat nama panggilannya menjadi Pi. Pi Patel. Pemuda itu berasal dari keluarga India; ia memiliki seorang kakak lelaki bernama Ravi.

Situasi di atas menggambarkan kondisi Pi Patel yang sedang terkatung-katung di tengah Samudera Pasifik. Kondisinya sangat menyedihkan. Dua matanya bernanah dan menyebabkan kebutaan sementara. Tubuhnya kurus kerempeng. Perut lapar dan dibelit rasa dahaga yang luar biasa. Belum lagi kulit yang semakin melegam karena terus menerus terpanggang sinar matahari. Saat hujan atau badai turun Pi Patel hanya bisa meringkuk di atas rakit yang terbuat dari pendayung perahu. Saat itu Pi Patel sudah berbulan-bulan berada di Samudera Pasifik. Pemuda itu sedang menunggu ajal.

Kisah Pi Patel yang terombang-ambing di Samudera Pasifik ini berawal ketika keluarganya pindah dari India ke Kanada. Pi Patel, ayah, ibu dan kakaknya Ravi naik kapal barang Tsimtsum milik Jepang yang berbendera Panama. Ketika di India ayah Pi punya kebun binatang. Saat pindah beberapa binatang yang tidak habis terjual ikut dibawa.

Dalam perjalanan melayari Samudera Pasifik, Tsimtsum tiba-tiba tenggelam. Semua penumpang tak selamat kecuali Pi Patel, dan beberapa hewan. Samudera Pasifik adalah lautan terluas di dunia, sekitar 165 juta kilometer persegi. Alamnya ganas, cuaca dan gelombangnya tak bisa ditebak. Siapa sangka jika Pi Patel ternyata harus menghabiskan waktu selama tujuh bulan di tengah samudera tersebut. Pi tidak sendirian, ada Richard Parker yang menemaninya. Sayangnya Richard Parker ini adalah seekor harimau Royal Bengal dengan bobot 225 kilogram.

Saat Tsimtsum tenggelam, hanya sebuah sekocil yang berhasil diturunkan oleh ABK. Satu-satunya yang berhasil lompat ke sekoci itu adalah Pi Patel. Setelah naik ke sekoci Pi baru menyadari, di sana juga ada seekor zebra yang patah kakinya, orangutan, hyena, dan harimau Royal Bengal. Satu persatu hewan-hewan itu menjadi santapan harimau. Menyadari hanya tinggal ia sendiri makhluk hidup di sekoci itu, bukan main ketakutan yang dirasakan Pi.

Dengan bekal peralatan keselamatan yang ada di sekoci Pi lantas membuat sebuah rakit sederhana; berupa rangkaian dayung perahu yang diikat dengan tambang dan jaket pelampung. Di atas rakit itulah ia duduk, dengan jarak hanya beberapa centimeter dari permukaan air. Sementara harimau Royal Bengal itu berada di sekoci. Di sekoci juga ada stok makanan seperti biskuit dan air minum kalengan. Namun Pi hanya bisa memakan biskuit-biskuit itu dengan jumlah terbatas.

***
Kelanjutan kisah hidup Pi Patel ini bisa dibaca dalam novel Life of Pi atau Kisah Pi yang ditulis oleh penulis Kanada Yann Martel. Kisah Pi bukan hasil kreatifitas pikiran atau imajinasi Martel. Melainkan kisah nyata yang di-novel-kan oleh Martel. Peristiwa ini terjadi pada pertengahan tahun 1977 silam.
Sebagai sebuah cerita yang ditulis berdasarkan kisah nyata, rasa-rasanya kita hampir tak percaya, kok ada kisah nyata yang sedemikian menyeramkan. Dan tragis seperti yang dialami pemuda Pi Patel. Potongan-potongan cerita yang dialami oleh Pi di tengah Pasifik seolah-olah skenario film yang sudah ditulis sedemikian rupa. Sehingga setiap peristiwa terjadi begitu runut. Kapan Pi harus sedih, kapan ia girang, dan kapan ia merasa ketakutan hingga membuatnya putus asa.
Namun memang begitulah kejadiannya, melalui Kisah Pi membuat kita benar-benar yakin bahwa kekuasaan Tuhan adalah benar adanya. Bayangkan, seorang pemuda bisa bertahan hingga tujuh bulan di tengah ganasnya samudera. Rasanya tak mungkin terjadi jika kita tidak mengingat bahwa Tuhan ada. Ancaman untuk Pi bukan hanya dari terjangan gelombang saja, tetapi juga ikan hiu, harimau karnivor, dan ancaman kelaparan.

Pi, adalah seorang pemuda relijius yang punya “banyak” Tuhan. Saat di India ia berteman dengan seorang lelaki Muslim. Pi lantas mempelajari islam; ia salat, salat Jumat dan bisa berbahasa Arab. Ia juga mengenal seorang pastur di gereja dan sering mengikuti misa. Selain itu Pi Patel adalah seorang Hindu yang tak pernah alpa melakukan puja atau sembahyang. Saat terombang-ambing di laut Pi beribadah dengan cara yang disesuaikan menurut situasi.

Kata Pi “Menjalani Misa seorang diri, tanpa pastor atau roti untuk Komuni, darshan tanpa murti, puja dengan daging penyu sebagai prasad, melakukan salat tanpa tahu arah kiblat, dan dalam bahasa Arab salah-salah pula. Tapi ...oh, sungguh sulit, teramat sulit. Iman kepada Tuhan berarti kita membuka diri, memasrahkan diri....” (halaman 299). Saat-saat hampir “jatuh” ke dasar Pasifik ia kembali mengingat Tuhan. Ingatan itu membuatnya kembali bersemangat untuk bertahan hidup. Novel ini mengajarkan nilai-nilai kehidupan tanpa mendikte.

Oh ya, Pi Patel juga seorang vegetarian. Saat masih di India, mematahkan daging pisang pun ia tak berani. Karena selalu teringat pada kepala burung yang patah. Namun sejak hidupnya menjadi tak jelas di tengah samudera, ia berubah menjadi karnivora. Ia menyantap daging dan darah penyu, ikan dorado, juga biskuit yang jumlahnya terus menyusut.

Martel menuliskan kisah hidup Pi Patel dengan sangat baik. Kisah nyata yang ditulis jauh dari kesan monoton. Gaya bercerita aku membuat novel ini enak dibaca. Kata-katanya runut, peristiwa-peristiwa yang terjadi mampu digambarkan dengan detil. Namun tidak terkesan berlebih-lebihan. Apa adanya. Pembaca tidak dibuat bosan dengan gaya narasinya. Begitupun eksplorasi mengenai konflik batin yang dirasakan oleh Pi. Meskipun cerita tentang Pi hanya berkutat di situ-situ saja; Samudera Pasifik dan harimau Royal Bengal. Satu lagi, tersesat di pulau ganggang karnivora.

Kisah Pi merupakan buku ketiga yang ditulis Yann Martel. Pada tahun 2002 buku ini memenangkan penghargaan Man Booker dan telah menjadi bestseller internasional. Dalam pengantarnya Martel mengatakan bahwa buku ini lahir pada saat ia merasa lapar untuk menulis. 

Pada tahun 1996 setelah buku keduanya diluncurkan dan mendapat tanggapan dingin,  Martel memutuskan pergi ke Bombay. Di sana ia berencana menuliskan tentang Portugal pada tahun 1939. Namun ia mengalami kebuntuan. Hingga akhirnya ia bertemu dengan seorang India yang menceritakan tentang kisah Pi Patel. Martel lantas pulang ke Kanada dan mencari Pi Patel. Novel ini juga sudah dirilis menjadi sebuah film yang disutradarai oleh Ang Lee, produksi Fox Studios.[] (ihn)

Tulisan ini sudah dipublis di The Atjeh Post

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

2 komentar:

  1. Aku pengen punya buku ini, tapi selalu lupa setiap kali mampir ke Gramedia, huhuhuuuuu.....

    BalasHapus
    Balasan
    1. bukunya berkualitas eky, untuk koleksi ngga salahnya dibeli, tapi aku blum punya juga sih hahahah

      Hapus

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)