Jumat, 17 Mei 2013

Curhat Galau Perempuan Lajang

ilustrasi
"Ihan, ada bro titip sebuah buku antologi cerpen milik bro untuk Ihan di warung .... Tolong ambil kapan sempat ya. TQ"

Itulah sepotong sms yang saya terima dari seorang brada Kamis malam kemarin. Pesan singkat itu masuk tepat pukul 22.00 WIB malam di handphone saya, belum lama setelah saya pulang kerja. Menerima pesan seperti itu saya langsung tersenyum. Siapa sich yang nggak senang ditawari buku, gratis lagi, dan juga diistimewakan. Poin terakhir ini cuma asumsi saya saja, karena buku tersebut memang sengaja dititipkan untuk saya di sebuah kedai kopi.

Setelah membalas pesan si brada saya sempat termenung. Sambil memelototi layar TV pikiran saya sempat terusik sebentar. Teringat pada waktu beberapa minggu lalu, seorang brada yang juga teman dekat saya mengabarkan hal baik. "Ihan tak lama lagi antologi puisi ketiga saya terbit," kira-kira begitu bunyinya.

Sebelumnya, seorang teman juga mengabarkan ingin fokus untuk menyelesaikan naskah bukunya setelah resign dari sebuah bank swasta nasional di Banda Aceh. Ohoho... indah nian kabar-kabar saya dengar ini. Mereka pastinya sangat bahagia, begitu juga saya. Tapi di balik rasa bahagia dan kagum itu ada semacam rasa nyeri yang saya rasa. Semacam rasa cemburu yang tiba-tiba menghimpit rongga dada dan bikin saya susah bernafas. Kapan aku punya buku seperti mereka?

Ya, akhir-akhir ini saya memang sering galau. Pasalnya semakin sering saya melihat orang-orang yang saya kenal merilis buku. Entah itu puisi, essai, novel atau cerpen, baik tunggal atau antologi. Nah lagi-lagi saya nyengir iri; bukuku kapan ya?

Omong-omong soal buku pasti erat kaitannya dengan keterampilan menulis kan? Meski nggak terlalu pandai, tapi saya bisalah menulis sedikit-sedikit. Buktinya saya punya blog hehehe. Saya juga bisa buat cerpen, puisi, dan notes. Tapi soal kualitas, ya semua itu tergantung selera pembacanya. Soal ini saya nggak pernah minder (alias muka tembok ha ha ha).

Banyak teman-teman yang menyarankan catatan-catatan di blog agar dibukukan secara indie. Minimal self promotion dulu lah dengan menghasilkan karya-karya sederhana. Ntar lama-lama juga bakal dilirik penerbit. Heu heu heu ngarepppp bangettt dilirik penerbit besar dan terkenal biar sejahtera.

Kadang-kadang saya mikir, coba kalau saya gabung di komunitas menulis, pasti prosesnya bisa jadi lebih mudah. Minimal motivasi menulis on terus, nggak ketinggalan info, dan kali-laki aja bisa nebeng nama kalau ada yang bikin buku, atau paling engga ada nama di halaman thanks to heleh helehhh. Pernah coba nawarin diri sama temen yang kelola komunitas menulis di Banda Aceh. Tapi dia bilang buat apa, komunitas tidak menjamin seseorang jadi produktif atau enggak. Kupikir-pikir iya juga siy, lagi pula setelah bergabung kalau tidak ikut program-program komunitas malah jadi repotin. Ngerepotin saya dan ngerepotin pengurusnya hahahah. Ah, ini curhat sudah terlalu panjang. Sekian wassalam.[]

*ditulis tergesa-gesa di tengah kepungan dealine

Kamis, 02 Mei 2013

Tempurung Senja


foto by http://khanifsalsabila.wordpress.com
APRIL baru saja usai, aku teringat pada tirai jendela yang tersibak perlahan. Di luar butir-butir gerimis lengket di kaca jendela. Cahaya dari lampu-lampu jalan membentuk kerlip-kerlip indah. Selebihnya aku hanya mendapati terang di dua bola matamu, berbinar, menembus hatiku.

Jika saja itu kanvas, tak ada yang lebih sempurna dilukis melainkan gurat-gurat di tubuhmu. Mungkin akan timbul lurik-lurik abstrak yang akan hilang dengan berjalannya waktu. Ah, aku sedang menyusur kisah, terbayang engkau yang sedang memahat artefak waktu. Aku dan engkau; kita.

Bau tanah selepas hujan di musim kering memang lain, segar rumput yang tak tegak, kicau burung yang tak semarak. Kita, hanya bisa bilang hm…dalam pesan-pesan hening, sejak kapan kata mulai membatasi tafsir keinginan hati? Kita tersenyum, apalagi saat memasukkan waktu dalam tempurung senja yang memerah.

Kau ingat pagi itu Sayang? Senja, dan juga malam. Romantisme hanya berupa garis-garis nafas yang tersekat, juga gerak yang sedikit patah-patah, ya, ternyata melodi waktu mampu berdenting dengan nada-nada mesra yang puitik.

Aku teringat kamu. Ah, bukan kamu, tapi panca inderamu. Aku terngiang suara lelahmu, namun beratnya begitu berbekas. Aku mengingat syair-syairmu yang sederhana, datar dan mudah kutebak, tapi aku suka. Ah….

Kamis | 2 Mei 2013 | 8.17 pm