Selasa, 13 Agustus 2013

Lebaran di kampung kami

foto by ipad.fajar.co.id
AKU lupa menengok jarum jam. Perkiraanku masih sekitar pukul sembilan malam ketika aku sibuk-sibuk di dapur. Merajang cabe, kacang panjang, bawang, tomat, membuat bumbu, mengukur kelapa. Sudah beberapa kali lebaran ini kami tak alpa membuat lontong untuk hari raya. Maka aku selalu kebagian tugas ini, membuat sambal tauco, menggoreng kerupuk, membuat mie, sampai memasak kuahnya. Biasanya baru selesai sekitar pukul sepuluh lewat.

Aku sendirian di dapur. Mak sedang menjahit di ruang depan. Iparku sedang sibuk mengganti karpet di ruang tengah bersama beberapa anak muda teman suaminya. Masing-masing kami menjadi komando untuk pekerjaan kami sendiri.

Pekerjaanku hampir selesai ketika Mak turun ke dapur. Aku sedang mencuci piring. Mak mengeluarkan daging masak merah dan masak putih dari lemari, kemudian memanaskannya. Tak lama kemudian terdengar suara takbir selintas lalu. Aku dan Mak seperti teringat, oh, ini ternyata malam lebaran.

Kami berdua seperti terlempar ke masa belasan tahun silam. Di mana lebaran menjadi momen yang sangat istimewa. Lebaran menjadi hari-hari yang paling ditunggu-tunggu dengan penuh suka cita.

"Seperti bukan lebaran, tidak terdengar suara takbir di kampung ini," kata Mak. Aku mengangguk. Apa yang dikatakan Mak benar. Menjelang magrib tadi sudah diumumkan bahwa 1 Syawal jatuh pada Kamis, 8 Agustus 2013. Mestinya malam ini suara takbir menggema di mana-mana. Di meunasah yang jaraknya hanya beberapa ratus meter dari rumahku, tak ada suara takbir. Sepi senyap. Di Masjid yang terletak di utara kampung juga sama. Iparku yang baru pulang dari kota bilang tak ada aktivitas apa-apa di masjid.

"Cuma ada di pesantren saja," kata iparku menyahuti pernyataan Mak.

"Jadi rindu suasana kampung yang dulu ya Mak," kataku.

Kami berdua lantas bernostalgia. Saat aku masih kecil, orang tuaku menetap di desa yang jaraknya sekitar sepuluh kilometer ke selatan dari desa ini. Aku masih ingat betul bagaimana kami sangat mengistimewakan lebaran, kemeriahan itu mulai terasa saat malam harinya. Sore harinya, aku yang waktu itu masih SD bersama adik dan teman-teman sebaya lainnya mulai menyiapkan tempurung kelapa. Sisa-sisa kelapanya kami bersihkan, begitu juga sisa-sisa sabutnya di bagian luar. Pinggirnya kami ratakan dengan pisau. Tempurung itu kami jadikan wadah untuk membakar lilin. Dengan cahaya lilin kami para anak-anak akan berkeliling kampung.

Rumah-rumah penduduknya, waktu itu belum ada listrik, diterangi dengan obor-obor yang terbuat dari bambu atau kaca limun. Ada juga yang terbuat dari bambu dengan beberapa sumbu sekaligus. Di meunasah kami yang sederhana, sebagian orang tua mengurus pembagian dan penerimaan zakat fitrah. Sebagiannya lagi bertakbir. Sedangkan anak-anak mudanya sebagian berkeliling ke rumah warga untuk meminta penganan kue-kue hari raya. Kue-kue itu nanti akan dihidangkan kepada amil zakat dan pentakbir. Ibu-ibunya juga tak mau kalah, mereka sibuk memberesi rumah agar besoknya saat tamu-tamu datang rumah sudah rapi.

Saat hari raya tiba, suasana kampung seolah-olah ikut berubah. Pagi-pagi seluruh penghuni kampung sudah ke meunasah. Sambil menunggu seluruh warga berkumpul, jamaah laki-laki bertakbir. Setelah semua tiba, takbir disudahi dan salat Ied langsung dimulai. Jangan pikir mereka langsung bubar setelah salat usai. Tetapi, semua jamaah berbaris melingkar mengikuti luas meunasah. Dimulai dari anak-anak, satu persatu kami menyalami para orang tua yang sudah berbaris tadi. Begitu seterusnya sampai akhirnya kami turun dari meunasah.

"Walaupun kita tidak sempat bertamu ke rumahnya, tapi kita sudah bersalaman," kata Mak kepada menantunya. Di hari raya, dari pagi sampai sore tak pernah berhenti kami bersilaturahmi ke semua rumah.

Ya, aku terpekur. Zaman memang sudah berubah. Lilin-lilin kecil yang dulu kami pakai sebagai penerang di malam hari raya telah berganti dengan listrik yang terang benderang. Masyarakatnya semakin individualis, bahkan sampai ke kampung-kampung seperti kampungku. Bertamu hanya ke rumah saudara masing-masing, selebihnya di rumah, sibuk dengan dunia sendiri. Menonton televisi atau menghabiskan waktu untuk tidur-tiduran sambil menikmati kue-kue lebaran. Ah...[]
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)