Senin, 23 September 2013

Presiden, PKA dan Bupati yang gagal datang ke kampungku

Presiden SBY saat seremonial pembukaan PKA VI
@ATJEHPOSTcom/Heri Juanda
NGGAK terasa Pekan Kebudayaan Aceh udah masuk hari keempat. Itu artinya masih tersisa sepekan lagi dari waktu yang ditetapkan sejak 20-29 September 2013. Meski belum setengahnya berlangsung namun event yang dihelat lima tahun sekali ini mulai menorehkan sejumlah persoalan. Tapi soal itu aku ngga mau cerita di sini.

Aku justru mau cerita soal prosesi pembukaan seremonial tersebut yang kabarnya agak berlebihan. Aku memang ngga datang langsung waktu hari H pembukaannya Jumat, 20 September lalu. Tapi berita tentang itu  (harus) terus kupantau sejak beberapa hari sebelumnya. Baik dari media mainstream maupun dari jejaring sosial, terutama Facebook.

Dari Facebook aku tahu sehari sebelum Presiden SBY tiba di Banda Aceh, daerah Kopelma Darussalam sudah "hijau". Ini bukan karena reboisasi daerah kampus oleh anak mapala, tetapi oleh seliweran tentara Angkatan Darat yang bertugas untuk mengamankan Presiden. Oh ya, ngomong-ngomong sebelum membuka PKA pada pagi Jumat, pada Kamis malam Presiden SBY menerima gelar kehormatan Doktor Honoris Causa dari Universitas Syiah Kuala. Jadi mengertikan mengapa wilayah kampus itu harus disterilkan. Kabarnya lapak-lapak jualan di sekitar itu juga turut dibersihkan untuk sementara.

Dari sebuah status Facebook yang sempat terbaca olehku, seorang mahasiswa tingkat akhir di Unsyiah merasa kurang nyaman ketika sebuah helikopter terbang dari jarak rendah di kawasan itu. Tentu saja ini sangat beralasan mengingat Aceh sebelumnya pernah dilanda konflik. Meski para tentara itu bukan dikerahkan untuk berperang tapi mayoritas mahasiswa risih, begitu juga dengan masyarakat. Pasukan keamanan yang disiagakan selama Presiden berada di Banda Aceh cukup fantastis sekitar 2.500 personil. Anda boleh bilang wow! untuk jumlah ini. Pasalnya Aceh kini bukan lagi daerah konflik sodara-sodara.


Oke, sekarang kita alihkan cerita ke lokasi PKA ya :-), menurut berita yang kubaca sejak sore Kamis tempat ini sudah disterilkan. Bahkan sejak siang Gubernur, Panglima TNI, Kapolri, Pangdam IM dan Kapolda Aceh sudah meninjaunya. Tujuannya cuma satu, memastikan bahwa tempat ini benar-benar aman saat seremonial pembukaan besok paginya. Minimal kalau ada yang tidak pas bisa dipaskan segera.

Tibalah hari yang ditunggu-tunggu itu, sejak pagi arena PKA sudah ramai. Maklum pembukaan dimulai pukul sembilan pagi. Mula-mula tiba Panglima TNI dan Kapolri, berikutnya rombongan Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II yang berjumlah 11 orang. Setelah itu baru Presiden bersama istri yang datang bersama Gubernur Aceh dan istri. Untuk masuk ke arena tersebut penjagaan berlapis, di pintu gerbang utama dijaga oleh aparat keamanan. Berikutnya harus melewati pintu khusus pendeteksi logam. Para wartawan yang meliput pun ditempatkan di dua gate terpisah yang jaraknya cukup jauh dari tempat Presiden berdiri.

Di dalam komplek Taman Sultanah Safiatuddin para tamu undangan duduk teratur. Mendengarkan kalimat demi kalimat yang diucapkan Presiden saat membuka acara. Bagaimana dengan di luar arena PKA? Wah, masyarakat bejibun. Mereka kecewa. Sejatinya pekan kebudayaan ini disiapkan untuk rakyat, tapi mereka hanya bisa berdiri di luar pagar berpayung paparan sinar matahari. Tak sedikitpun diberi ruang untuk melihat pemimpinnya, sekalipun dari jauh. Saya berharap panitia menyediakan tempat khusus yang terakses langsung ke masyarakat.

Sekarang aku mau cerita sedikit mengenai anak-anak di sebuah pesantren di Aceh Besar. Seorang teman, namanya Arie Yamanie, sehari sebelum pembukaan PKA berlangsung bercerita. Puluhan anak di pesantren Nurul Huda terpaksa menahan lapar demi menunggu kedatangan Presiden tercinta. Hah? Kok bisa? Pasti itu yang terlintas di benak Anda bukan? Ya, ceritanya sederhana saja. Anak-anak tersebut disuruh oleh sekolah untuk menanti kedatangan Presiden dari bandara Sultan Iskandar Muda yang melewati jalur tersebut. Mereka berdiri di tepi jalan. Ceritanya saat Presiden lewat nanti mereka akan melambai-lambaikan tangan, semacam apresiasi dan penghormatan untuk bapak Presiden. Tapi setelah beberapa jam menunggu, yang ditunggu-tunggu justru nggak lewat-lewat. Mereka berdiri di tepi jalan dari siang sampai matahari condong ke barat, setelah azan asar bergema. Demi Presiden, mereka rela menahan haus dan lapar, belum lagi panas yang kita tahu bagaimana cuacanya di Banda Aceh akhir-akhir ini. Sore hari sebelum pukul lima mereka pulang dengan perasaan hampa. Soalnya sang Presiden belum lewat juga. Mungkin delay.

Setelah membaca cerita bang Ari (kami chatt di Facebook) aku seperti ingat sesuatu. Terkenang kembali pada masa belasan tahun silam, saat aku masih jadi murid SD. Waktu itu, aku entah kelas berapa. Wali murid kami mengabarkan, katanya akan datang Bupati Aceh Timur ke kampung kami.

Sedikit gambaran, kampungku itu berada di pelosok. Kondisi waktu itu tidak seperti sekarang, belum ada listrik, jalan yang berlubang, rumah penduduk yang jauh-jauh. Hff....terbayanglah yaa bagaimana kondisinya. Kami seluruh murid dari kelas satu sampai kelas enam diwajibkan untuk berdiri di tepi jalan menyambut kedatangan para pejabat itu. Sejak kemarin guru sudah mewanti-wanti, kami para murid harus datang lebih awal dengan baju yang rapi. Pakai kaus kaki putih, baju dimasukkan ke dalam celana/rok. Sebagai murid yang baik budi aku datang sesuai peraturan. Begitu sampai di sekolah memang tidak langsung berbaris. Oh ya yang datang bukan cuma murid, tapi juga orang tua murid. Waktu itu jalanan di kawasan sekolah kami bak pasar kaget. Yang jualan makanan bertambah lebih banyak. Kami pun para murid dibekali uang jajan lebih dari rumah.

Tibalah saatnya berbaris. Kami berdiri rapi jali dari dua tepi jalan. Lalu menunggu Bupati yang katanya sebentar lagi akan datang. Kantor bupati waktu itu masih di Langsa. Seorang penjaga sekolah, merangkap guru (kalau diperlukan) memberikan instruksi kami harus berbaris serapi mungkin. Tidak boleh ribut dan bicara dengan teman di sebelah. Berdiri harus tegak, ngga boleh goyang sedikitpun. Ini untuk menyambut Pak Bupati. Parahnya kalaupun ada yang dipatok ular tetap jangan bergerak katanya kala itu. Memang, kalaupun itu terjadi amaran itu akan batal dengan sendirinya. Tapi aku berfikir, begitulah penghormatan yang diberikan rakyat kecil ini untuk pemimpinnya. Yang sama sekali tidak kita kenal. Bahkan namanya siapapun nggak tahu.

Ilustrasi nungguin Bupati @sulutonline
Setelah berdiri beberapa jam, para murid mulai pegal. Kalau tak salah waktu itu kami memagang bendera kecil di tangan. Bendera itu kami kibar-kibarkan sendiri. Guru mulai panik dan gelisah. Pasalnya yang ditunggu belum terlihat batang hidungnya. Ada yang mulai sesak pipis, yang ada orang tua sibuk mencari orang tuanya dan mencari paret/alur untuk pipis :-D. Matahari pun semakin tinggi, udara yang tadinya cukup sejuk dan segar berubah menjadi panas dan bikin gerah. Intinya barisan yang tadi rapi kini seperti ular, meliuk-liuk sudah.

Menjelang siang, yang dinanti-nanti tiba. Tapi, di luar harapan kami, karena yang datang bukan Bupati seperti yang dijanjikan. Tapi entah siapa, waktu itu aku belum punya keinginan untuk mencari tahu hal-hal seperti itu. Yang jelas masih disebut pejabat juga lah. Aku juga nggak tahu untuk apa mereka datang ke kampung kami, karena sampai sekarang jalan ke kampung itu masih juga belum teraspal. Padahal sudah beberapa periode bupati berganti. Kami termasuk beruntung karena listrik sudah ada sebelum aku menamatkan SD. Namun tak lama kemudian listrik kembali putus karena kampung itu mati suri karena konflik. Seingatku hanya itu aku mendengar ada pejabat yang "berusaha" datang ke kampung kami. Hari itu kami semua pulang dengan kecewa. Mungkin sama kecewanya dengan pengunjung PKA yang tak bisa melihat Presidennya dari dekat. Bahkan bisa jadi lebih kecewa karena yang ini sudah hadir, tapi tak bisa ditemui karena persoalan teknis. Tapi, kepada siapa kecewa ini bisa disampaikan?

Bu Ani waktu pembukaan PKA
@ATJEHPOSTcom/Khairi Tuah Miko
Pada saat yang bersamaan, para pemimpin itu mungkin saja tak pernah memikirkan rakyatnya. Teringat sepekan sebelum PKA, ada pembukaan Sail Morotai di Nusa Tenggara Timur yang dibuka oleh Presiden SBY. Melalui siaran live di TVRI aku melihat pak Presiden didampingi Ibu Ani, terlihat juga anaknya Ibas, dan beberapa menteri. Sejak aku menyalakan tv hingga siaran tersebut berakhir -sekitar satu jam lebih- kulihat bu Ani terus memotret dengan kameranya. Moncong kameranya yang panjang ia arahkan ke laut, tempat kapal-kapal besar milik Indonesia sedang berparade. Sungguh mengagumkan memang dan itu momen yang bagus untuk diabadikan. Tapi, entah mengapa aku merasa kurang sreg dengan apa yang dilakukan oleh bu Ani.

Kejadian itu rupanya berulang juga di pembukaan PKA, dari foto yang diambil salah satu fotografer kulihat bu Ani juga asyik memotret para penari. Hhhh....plisss....
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)